AMINOFILIN
Oleh:
VICTOR JULIUS
0910015045
Pembimbing:
dr. Sjarif Ismail, M.Kes
Dra. Khemasili Kosala, Apt, Sp.FRS
dr. Lukas Daniel Leatemia, M.Kes, M.Pd.Ked
dr. Ika Fikriah, M.Kes
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................
1
DAFTAR ISI...............................................................................................................................
2
PENDAHULUAN......................................................................................................................
3
Penggolongan Obat dan Nama lainnya........................................................................................
5
Indikasi.........................................................................................................................................
6
Farmakodinamik..........................................................................................................................
6
Farmakokinetik............................................................................................................................
7
Frekuensi Pemberian....................................................................................................................
9
Dosis............................................................................................................................................
9
Interaksi Obat...............................................................................................................................
11
Kontraindikasi..............................................................................................................................
12
Toksisitas......................................................................................................................................
13
KESIMPULAN..........................................................................................................................
16
Daftar Pustaka...........................................................................................................................
17
BAB I
PENDAHULUAN
Asma akan selalu identik dengan peningkatan respon trakea dan bronki
terhadap berbagai rangsangan dan dengan terjadinya penyempitan jalan napas yang
beratnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun dengan terapi. Asma memiliki
beberapa gejala klinis yang khas seperti berulang-ulangnya serangan episode batuk,
dada rasa terikat, napas yang memendek dan mengalami mengi. Sumber lain
mengatakan bahwa adanya kombinasi sesak napas diikuti rasa dada yang terhimpit,
suara napas yang ngik-ngik dan batuk, disertai sifatnya yang hilang timbul sudah
cukup untuk mendiagnosa seseorang terkena asma (Crockett, 1997; Danusantoso,
2000; Mukty & Alsagaff, 2010).
Teofilin bekerja dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase. Dimana
enzim fosfodiesterase berfungsi untuk mendegradasi cAMP. Jika cAMP tidak
didegradasikan maka akan menghambat terjadinya degranulasi sel mast dan kontraksi
otot polos. Karena kadar tinggi cAMP akan membuat dinding sel histamine stabil,
dan mencegah kontraksi dari otot polos bronkus. Menyebabkan bronkodilatasi,
diuresis, stimulasi CNS dan jantung, stimulasi pengeluaran asam lambung dengan
peningkatan
katekolamin
yang
akan
menstimulasi
lipolysis,
AMINOFILIN
terjadi pada bayi baru lahir. Dan golongan metilxantin menjadi lini pertama
pengobatan (British Thoracic Society, 2009; Anderson, 2007; Rau, 2002).
3. Farmakodinamik
Ada 2 hipotesa utama yang menerangkan cara kerja dari teofilin yaitu pada
siklik adenosine 5 monofosfat (cAMP) & katekolamin. cAMP diduga mempengeruhi
fungsi sentral maupun fungsi seluler. Sebagian besar system enzim menggunakan
cAMP sebagai perantara atau lebih dikenal dengan nama second messenger yang
akan mempengaruhi fungsi seluler sebagai akibat dari pengaruh hormonal dan obatobatan atau zat lain. Didalam system cAMP hormone atau obat-obatan akan berperan
sebagai first messenger yang akan membawa pesan pertama ke eskstra seluler.
Kemudian hormone atau obat-obatan tadi akan masuk ke dalam reseptor serta akan
mengaktifkan adenilsiklase yang terdapat di membrane sel (Departemen Kesehatan
RI, 2007; Dipiro, Talbert, & Yee, 2001; Hardman, Limbird, & Gilman, 2001).
Dengan adanya ion magnesium, adenilsiklase akan menghambat perubahan
dari cAMP menjadi AMP. Pemecahan cAMP diatur oleh enzim fosfodiesterase.
Inhibisi terhadap enzim fosfodiesterase oleh teofilin akan mengakibatkan peningkatan
kadar cAMP dan mengakibatkan terjadinya respon fisiologis yaitu bronkodilatasi.
Peningkatan katekolamin seperti epinefrin tidak merangsang fungsi seluler secara
langsung, tapi melalui aktivasi adenililsiklase yang akan mengakibatkan terjadinya
penumpukan cAMP. Apabila peningkatan katekolamin bersamaan dengan pemberian
aminofilin akan menyebabkan peningkatan aktifitas efektor yang sinergis dengan
cAMP. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pemberian aminofilin secara intravena akan
menyebabkan peningkatan ekskresi epinefrin dan norepinefrin melalui urine.
Peningkatan tersebut berhubungan dengan rangsangan terhadap medulla adrenal.
(Departemen Kesehatan RI, 2007; Dipiro, Talbert, & Yee, 2001; Hardman, Limbird,
& Gilman, 2001).
Teofilin juga bekerja dengan cara menghambat aktivitas adenosine. Dimana
adenosine memiliki dua reseptor. Reseptor A1 yang menstimulasi inhibisi cAMP dan
melalui urine, dan sisanya akan mengalami biotransformasi di hati. Eliminasi teofilin
setelah melewati hati akan keluar melalui feses, dan sisanya melalui ginjal bersama
urine tanpa dirubah. Karena sangat bergantung dengan keadaan pasien maka
eliminasi dari teofilin sangat bervariasi rentang waktunya. Sekitar 7-9 jam untuk
pasien asma tanpa adanya gangguan atau penyakit lain, untuk orang yang merokok
sekitar 4-5 jam, dan untuk anak kecil sekitar 3-5 jam. pasien dengan adanya gangguan
pada hati atau parunya atau terdapat gangguan dijantungnya akan mengeliminasi
teofilin dalam waktu 24 jam.
4. Frekuensi Pemberian
Pada saat terjadinya serangan akut, aminofilin IV diberikan selama 24 jam, diawali
dengan loading dose 6 mg/kgBB selama 20-30 menit jika tidak diberikan teofilin.
Kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan umur dan status
kesehatan pasien selama 12 jam. Dosis dewasa yang diberikan secara intravena untuk
pasien asma untuk dosis maintenance 380-760 mg/hari dibagi tiap 6-8 jam, dimulai
dengan 380 mg/hari sebanyak 3 kali per hari, dilanjutkan 507 mg/hari tiga kali per
hari, dilanjutkan 760 mg/hari jika masih bisa ditoleransi dengan dosis maksimal 1015
mg/hari (Epocrates, 2013).
5. Dosis Dewasa-Anak & Dosis Maksimal Dewasa-Anak
Frekuensi pemberian dan dosis ditulis berdasarkan monograph aminophylline generic
(Epocrates, 2013)
Dosis dewasa yang diberikan secara intravena untuk pasien asma untuk dosis
maintenance 380-760 mg/hari dibagi tiap 6-8 jam, dimulai dengan 380 mg/hari
sebanyak 3 kali per hari, dilanjutkan 507 mg/hari tiga kali per hari, dilanjutkan 760
mg/hari jika masih bisa ditoleransi. Harus selalu dipantau kadarnya dalam serum
darah dan akan terjadi perlambatan clearance pada pasien tua, gangguan fungsi hati,
gagal jantung, demam, sepsis dengan berbagai macam gagal organ, syok, dan
hipotiroid.
Pada bronkospasme akut akan di loading dose 6 mg/kgBB selama 20-30
menit. Dengan pasien yang sehat tidak merokok diberikan dosis 0,5 mg/kgBB/jam
secara intravena selama 24 jam kemudian dilanjutkan 0,7 mg/kgBB/jam untuk 12 jam
berikutnya. Untuk perokok diberikan 0,8 mg/kgBB/jam lewat intravena secara
intravena selama 24 jam kemudian dilanjutkan 1 mg/kgBB/jam untuk 12 jam
berikutnya. Pada pasien geriatric diberikan dosis 0,3 mg/kgBB/jam secara intravena
selama 24 jam kemudian dilanjutkan 0,6 mg/kgBB/jam untuk 12 jam berikutnya.
Untuk pasien yang akan mengalami keterlambatan ekskresi teofilin diberikan dosis
0,25 mg/kgBB/jam secara intravena selama 24 jam kemudian dilanjutkan 0,5
mg/kgBB/jam untuk 12 jam berikutnya.
Dosis anak untuk dosis pemeliharaan dibagi dua berdasarkan berat badan
anak. Jika beratnya diatas 45 kg maka pemberian dosis disamakan dengan orang
dewasa, namun jika beratnya kurang dari 45 kg maka diawali dengan pemberian
15,2-17,7 mg/kgBB/hari ditingkatkan hingga 380 mg secara intravena yang
pemberiannya dibagi 4-6 jam 3 kali per hari, lalu dilanjutkan 20,3 mg/kgBB/hari
sampai 507 mg tiga kali sehari, dan 25,3 mg/kgBB/hari sampai 760 mg jika masih
bisa ditoleransi, dengan dosis maksimal anak 1015 mg/hari, dan 507 mg/hari pada
keadaan dimana terjadi gangguan clearance obat pada pasien anak dengan gangguan
fungsi hati, gagal jantung, demam, sepsis yang sudah mengalami gagal organ, syok,
dan hypotiroid.
Dosis untuk serangan bronkospasme akut diberikan berdasarkan usia anak.
Untuk anak usia < 6 minggu diberikan dosis 0,25 mg/kgBB/jam secara intravena.
Anak 6 minggu sampai 6 bulan diberikan dosis 0,6 mg/kgBB/jam secara intravena.
Usia 6 bulan sampai 1 tahun diberikan dosis 0,75mg/kgBB/jam secara intravena
selama 24 jam kemudian dilanjutkan 0,8 mg/kgBB/jam untuk 12 jam berikutnya.
10
Anak 1 tahun sampai 9 tahun diberikan dosis 1 mg/kgBB/jam secara intravena selama
24 jam kemudian dilanjutkan 1,2 mg/kgBB/jam untuk 12 jam berikutnya. Pada anak
usia 9 tahun sampai 12 tahun atau perokok muda diberikan dosis 0,9 mg/kgBB/jam
secara intravena. Bisa diberi 4 mg/kgBB IV untuk 10-15 menit pertama, drip 1
mg/kgBB/jam untuk monitoring.
Dosis aminofilin oral untuk dewasa untuk loading dose diberikan 6,3
mg/kgBB sekali kemudian jika pasien tidak merokok dan sehat diberikan aminofilin
oral 12,5 mg/kgBB/hari sedang jika merokok 19 mg/kgBB/hari. Dibagi dalam 6 jam
dan kadarnya tidak boleh melebihi 1125 mg/hari. Untuk anak dengan usia 1-9 tahun
diberikan 24 mg/kg/hari tiap 6-12 jam. Anak 9-12 tahun diberi 20 mg/kg/hari tiap 612 jam. anak usia 12-16 tahun diberi 18 mg/kg/hari tiap 6-12 jam. Anak lebih dari
usia 16 tahun diberikan 13 mg/kg/hari tiap 6-12 jam (Chan, 2004).
Dosis maksimal untuk anak adalah jika < 9 tahun yaitu 30,4 mg/kgBB/hari, 9
sampai 12 tahun yaitu 25,3 mg/kgBB/hari. 12 sampai 16 tahun adalah 22,8
mg/kgBB/hari. Anak atau dewasa diatas 16 tahun dosis maksimal 16,5 mg/kgBB/hari
atau tidak boleh lebih dari 1.100 mg/hari.
6. Interaksi Obat
Teofilin berinteraksi dengan berbagai macam jenis obat. Interaksinya bisa
berupa interaksi farmakodinamik yang akan menyebabkan perubahan pada respon
terapi terhadap teofilin, atau respon terhadap obat lain, atau munculnya efek
merugikan tanpa adanya peningkatan kadar teofilin dalam serum darah. Namun yang
paling sering terjadi adalah interaksi yang menyebabkan perubahan pada
farmakokinetik dari teofilin.
Contohnya adalah kemampuan eliminasi teofilin akan terganggu dikarenakan
adanya konsumsi obat lain yang akan menyebabkan peningkatan atau penurunan
kadar teofilin serum. Namun teofilin sendiri jarang menyebabkan gangguan
farmakokinetik obat lain. Obat yang dapat menurunkan kadar teofilin termasuk
didalamnya adalah aminoglutetimida, barbiturate, hidantoin, ketokonazol, rifampin,
11
12
terjadinya toksisitas dikarenakan kadarnya yang berlebih didalam plasma akan sangat
besar.
Aminofilin juga bukan obat pilihan utama untuk anak dibawah enam tahun.
Pemberian aminofilin secara injeksi merupakan kontra indikasi bagi pasien yang
memiliki penyakit arteri coroner. Selain itu aminofilin injeksi juga dikontra
indikasikan bagi pasien yang memiliki penyakit bronkiolitis atau bronkopneumonia.
14
berada pada level 30 mikrogram/ml, efek merugikan yang dirasakan dapat berupa
keluhan-keluhan yang sama seperti yang muncul pada pasien yang mengalami
overdosis teofilin. Pada dosis yang lebih tinggi lagi dari 30 mikrogram/ml dapat
terjadi kelakuan maniak, delirium, dan kejang (Khaltaev, 2004).
Efek samping yang bisa dirasakan ketika menggunakan teofilin diantaranya
adalah pada system GIT adalah keluhannya seperti mual, muntah, diare,
hematemesis, rasa terbakar diulu hati, nyeri epigastrium, keram, anoreksia,
gastroesofagus reflux, perdarahan gastrointestinal. Pada sistem kardiovaskular bisa
terjadi takikardi, palpitasi, ekstrasistol, peningkatan denyut nadi, hipotensi, atrial dan
ventricular aritmia, vasokonstriksi pembuluh darah perifer, kegagalan sirkulasi
sistemik
Pada system imun bisa terjadi reaksi hipersensitivitas. Pada CNS bisa terjadi
hiperventilasi, vertigo, kecemasan, tremor, kepala terasa ringan, reflex meningkat,
kedutan otot, sakit kepala, insomnia kejang tonik klonik. Penglihatan akan mengalami
gangguan. Sistem Urogenital akan terjadi polyuria & albuminuria. Pada pasien yang
alergi terhadap ethilendiamine akan menyebabkan terjadinya dermatitis pada kulit.
Kulit pasien akan terlihat kemerahan, gatal, makulo-papular skin rash, urtikaria,
dermatitis eksfoliasi. Terkadang pasien juga bisa mengalami demam.
Jika aminofilin diberikan secara intravena, efek merugikan yang dirasakan
pasien dapat berupa nyeri dada, penurunan tekanan darah, pusing, nafas cepat, nyeri
kepala, takikardia dan palpitasi, menggigil, demam, nyeri, dan kemerahan kulit.
Namun efek merugikan ini bisa saja tidak timbul dalam kurun waktu 12 sampai 24
jam.
15
BAB III
KESIMPULAN
Adapun simpulan yang diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Aminofilin merupakan obat golongan metilxantin dan memiliki komposisi teofilin
dan tambahan etilendiamin untuk meningkatkan kelarutannya di air.
2. Aminofilin efektif untuk mengatasi serangan asma akut yang tidak mempan obat
lain.
3. Pemberian aminofilin diawali dengan loading dose dan dosis rumatan disesuaikan
status kesehatan dan umur penderita.
4. Aminofilin masuk kedalam kategori golongan obat C bagi ibu hamil.
5. Penggunaan aminofilin dosis besar dapat menimbulkan keracunan yang mampu
berakibat kematian.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, H. S., & Nanavati, R. N. (1997). Indian Pediatric. Transplacental Aminophylline Toxicity.
American Regent. (2005). LUITPOLD PHARMACEUTICALS, INC. Aminophylline Injection.
Anderson, M. (2007). Clinical. The Properties Of Aminophylline.
British Thoracic Society. (2009). Scottish Intercollegiate Guidelines Network. British Guideline on the
Management of Asthma.
Chan, P. D. (2004). Pediatric Drug Reference. California: Current Clinical Strategies Publishing.
Crockett, A. (1997). Penanganan Asma Dalam Perawatan Primer. Jakarta: Hipokrates.
Danusantoso, H. (2000). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates.
Departemen Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran. (2007). Farmakologi Dan Terapi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., & Yee, G. C. (2001). Pharmacotherapy A Pathophsyologic Approach. New
York: Mc Graw-Hill.
Epocrates. (2013). An athenahealth. Aminophylline Entire Monograph.
Hardman, Limbird, & Gilman. (2001). The Pharmalogical Basis of Therapeutics. New York: Mc
Graw-Hill.
Karmini. (1998). Karya Akhir. Respon Faal Paru Setelah Pemberian Aminophylline.
Katzung, B. G. (1998). Farmakologi dasar Dan Klinik. Jakarta: ECG.
Khaltaev, N. (2004). World Health Organization. Application for the Inclusion of Aminophylline in the
WHO Model List of Essential Medicines.
Mukty, A., & Alsagaff, H. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University
Press.
Pharma Ingredients & Service. (2010). Aminophylline Hydrous. BASF The Chemical Company.
Pramudianto, A. (2013). MIMS Indonesia. Jakarta: Buana Ilmu Populer.
Rau, J. L. (2002). Respiratory Care Pharmacology. USA: Mosby.
17