Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN NON STERIL


SUPPOSITORIA AMINOPHYLLIN
VIPALIN®

DOSEN PENGAMPU:
I G. N. JEMMY ANTON PRASETIA, S. Farm., M.Si., Apt.

KELOMPOK 9
GOLONGAN 2

PUTU AYU RISMAYANI (1608551054)

MADE VIRA MONIKA (1608551055)

FLORENSIA RAHATI PUJIANI (1608551056)

NI NYOMAN ADHI SATVIKA DEVI (1608551057)

NI PT. METHA PRADNYANDARI PUTRI WINARNI (1608551058)

GD BAGUS PRASETYA WIDIA WIBAWA KARANG (1608551059)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018

1
BAB I
PRAFORMULASI

1.1. Tinjauan Farmakologi Bahan Obat


1. Indikasi :
Teofilin banyak dijumpai dalam bentuk kompleks dengan etilendiamin,
yang dinamakan aminofilin (Ikawati, 2006). Indikasi dari aminofilin adalah
pengobatan dan pencegahan bronkokontriksi reversible yang berhubungan dengan
penyakit asmabronkial, emfisema dan bronkoitis kronik (Sukandar, et al., 2008).
2. Farmakokinetik :
Aminofilin (Teofilin) memiliki efek bronkodilatasi pada saat konsentrasi
dalam darah antara10-20 μg/ml. Aminofilin (Teofilin) oral diabsorpsi cepat dan
sempurna dalam bentuk cairan, kapsul dan tablet tanpa film. Waktu yang
dibutuhkan aminofilin (teofilin) untuk mencapai kadar puncak adalah 1 jam
untuk sediaan oral dan ½ jam untuk sediaan intravena. Volume distribusi
aminofilin (teofilin) 0,45 L/kg (0,3-0,7 L/kg) dikalikan dengan berat badan ideal
pasien. Aminofilin (teofilin) berdistribusi rendah pada lemak tubuh. Waktu paruh
aminofilin (teofilin) pada pasien sehat adalah 6,1-12,8 jam. Aminofilin (teofilin)
dimetabolisme di hepar menjadi 1,3-dimethyluric acid, 1-methyluric acid, dan 3-
methylxanthine. Pada orang dewasa sekitar 10% dari dosis aminofilin (teofilin)
diekskresikan dalam bentuktidak berubah dalam urin, tetapi pada neonatus sekitar
50% diekskresikan tidak berubah dan sebagian besar diekskresikan sebagai kafein
(Sweetman, 2009).
3. Mekanisme Kerja :
Aminofilin, merupakan obat yang dipakai untuk mengobati penyakit asma
dimana mekanisme kerjanya, sebagai bronkodilator (Mary Novena et al., 2017).
Memiliki 2 mekanisme aksi utama di paru yaitu dengan cara relaksasi otot polos
dan menekan stimulan yang terdapat pada jalan nafas (suppression of airway
stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum diketahui secara pasti. Diduga efek
bronkodilasi disebabkan oleh adanya penghambatan 2 isoenzim yaitu
phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV (Malamatari et al., 2016). Sedangkan
efek selain bronkodilasi berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain.

2
Aminofilin juga dapat meningkatkan kontraksi otot diafragma dengan cara
peningkatan uptake Ca melalui Adenosin-mediated Chanels (Kim et al., 2016).
Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat
dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik
(Depkes RI,2007).
4. Peringatan dan Perhatian
Peringatan dari aminofilin (Teofilin ) adalah sebagai berikut Status
asmatikus yaitu status asmatikus merupakan keadaan emergensi dan tidak
langsung memberikan respon terhadap dosis umum bronkodilator. Sediaan teofilin
oral tunggal tidak cukup untuk status asma. Toksisitas yaitu dosis berlebihan
dapat menyebabkan toksisitas parah, monitor level serum untuk memastikan
manfaat lebih besar daripada risiko. Efek samping serius seperti aritmia
ventrikular, konvulsi atau bahkan kematian dapat timbul sebagai tanda awal
keracunan tanpa ada peringatan awal. Tanda keracunan selanjutnya (mual dan
tidak bisa beristirahat) dapat sering timbul saat awal terapi yang bersifat
sementara; jika gejala-gejala ini masih ada selama terapi perawatan, hal ini
mungkin disebabkan oleh konsentrasi serum yang lebih besar dari 20mcg/mL.
Toksisitas serius tidak berhubungan dengan efek samping yang menjadi parah.
Efek pada Jantung : teofilin dapat menyebabkan disaritmia atau
memperparah aritmia yang ada. Kehamilan : Kategori C, laktasi : Teofilin
terdistribusi ke dalam air susu. Anak-anak : belum ada penelitian yang
mendukung untuk bayi di bawah 1 tahun, bagaimanapun, ada bukti yang
menunjukkan bahwa penggunaan dosis yang direkomendasikan untuk bayi di atas
1 tahun mungkin meningkatkan konsentrasi ke tingkatan toksik (Depkes RI,2007).
Perhatian dari aminofilin (Teofilin ) adalah untuk penyakit jantung,
hipoksemia, penyakit hati, hipertensi, gagal jantung kongestif, pecandu alkohol,
pasien lanjut usia dan bayi. Efek pada saluran pencernaan : perhatian untuk
pasien peptik ulser, iritasi lokal mungkin terjadi, efek saluran pencernaan akan
meningkat secara sistemik untuk level serum yang lebih tinggi dari 20 mcg/mL.

3
Penurunan tekanan pada esofageal bawah dapat menyebabkan refluks, aspirasi
dan memperparah kerusakan saluran pernapasan (Depkes RI,2007).
Teofilin tergolong dalam golongan obat keras. Obat keras hanya dapat
diperoleh dengan resep dokter di apotek, apotek RS, puskesmas, dan balai
pengobatan. Tanda khusus untuk obat keras yaitu lingkaran berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.
Selain itu pada obat keras wajib mencantumkan kalimat “Harus dengan resep
dokter”. Tanda khusus untuk obat keras:

1.

Gambar 1. Lambang Golongan Obat Keras (Anief, 1994).


5. Efek Samping
Efek samping dari Etildiamin pada aminofilin dapat menyebabkan reaksi
sensitivitas termasuk dermatitis eksfoliatif dan urtikaria. Mual, muntah, sakit
epigastrik, hematemesis, diare, iritasi rektum atau pendarahan (karena penggunaan
supositoria aminofilin) ( Depkes RI, 2007).
6. Kontraindikasi :
Kontraindikasi dari aminofilin adalah hipersensitivitas terhadap santin
atau etilendiamin (Sukandar dkk., 2008). Supositoria aminofilin yaitu iritasi atau
infeksi dari rektum atau kolon bagian bawah (Depkes RI, 2007).
7. Interaksi Obat :
Interaksi Aminofilin ( Teofilin) antara lain :
1. Obat yang dapat menurunkan kadar teofilin termasuk aminoglutetimida,
barbiturat, hidantoin, ketokonazol, rifampin, perokok, sulfinperazon,
simpatomimetik (β-agonis), tioamin, karbamazepin, isoniazida dan
diuretik kuat.
2. Obat yang dapat meningkatkan kadar teofilin termasuk alopurinol, beta
bloker non selektif, penghambat saluran kalsium, simetidin, kontrasepsi

4
oral, kortikosteroid, disulfiram, efedrin, vaksin virus influenza, interferon,
makrolida, meksiletin, kuinolon, tiabendazol, hormon tiroid,
karbamazepin, isoniazid dan diuretik kuat.
3. Obat-obat berikut dapat dipengaruhi oleh teofilin : benzodiazepin, β
agonis, halotan, ketamin, lithium, relaksan otot non depolarisasi, propofol,
ranitidin dan tetrasiklin. Probenesid akan meningkatkan efek difilin.
4. Interaksi Obat dengan Makanan : eleminasi teofilin akan meningkat
(mempersingkat waktu paruh) oleh karbohidrat rendah dan diet protein
tinggi. Kebalikannya, eleminasi menurun (memperpanjang waktu paruh)
dengan diet protein karbohidrat tinggi. Makanan akan mempengaruhi
bioavailabilitas dan absorpsi sediaan – sediaan lepas lambat. Beberapa
sediaan lepas lambat akan dilepaskan secara cepat karena pengaruh
makanan sehingga akan menyebabkan toksisitas.
(Depkes RI,2007).
8. Penyimpanan :
Aminofilin disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
(Depkes RI, 1979).

1.2 Tinjauan Bahan Obat


1.2.1 Aminophilin (Aminophyllinum, Teofilina Etilendiamida)
Aminofilina mengandung tidak kurang dari 78,0% dan tidak lebih dari
83,5%teofilina, tidak kurang dari 12,8% dan tidak lebih dari 14,1% etilendiamina.
BM : 420,43
Rumus Molekul : C16H24N10O4
Pemerian : butir atau serbuk, putih atau agak kekuningan, bau
lemah mirip amoniak, rasa pahit
Kelarutan :Larut dalam lebih kurang 5 bagian air, jika
dibiarkan mungkin menjadi keruh, praktis tidak
larut dalam etanol (95%) dan dalam eter.
Penyimpanan :Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya.
Khasiat : Bronkodilator, antipasmodikum, diuretikum.
(Depkes RI, 1979).

5
Gambar 2. Struktur Kimia Aminophilin (Depkes RI, 1979).
1.3 Tinjauan Fisikokimia Bahan Tambahan
1.3.1 Polietilen Glikol 400 (PEG 400) / Makrogol 400 / Poliglikol 400

Gambar 3.Struktur Kimia Polietilenglikol


(Rowe et al., 2009)
Rumus molekul : H(O-CH2-CH2)nOH ; harga n antara 8,2 dan 9,1
Pemerian : Cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis
tidak berwarna; bau khas lemah; agak
higroskopik.
Kelarutan : Larut dalam air, dalam etanol (95%), dalam
aseton P, dalam glikol lain, dan dalam
hidrokarbon aromatik; praktis tidak larut dalam
eter dan dalam hidrokarbon alifatik.
Berat molekul : 380 sampai 420
Bobot jenis : 1,110 sampai 1,140
Suhu beku : antara 4° dan 8°
pH : pH larutan 5% b/v yaitu 4,5 sampai 7,5
Kekentalan : 6,8 cS sampai 8,0 cS pada suhu 210°F dinyatakan

sebagai kekentalan kinematik.


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
(Depkes RI, 1979).
Penggunaan : Basis salep, plasticizer, pelarut, basis supositoria,
pelicin tablet dan kapsul.
Stabilitas : Polietilenglikol secara kimia stabil di udara dan
dalam larutan, meskipun yang memiliki berat

6
molekul kurang dari 2000 higroskopis.
Polietilenglikol tidak menyebabkan pertumbuhan
mikroba dan tidak menjadi tengik.
Inkompatibilitas : Reaktivitas kimia PEG terbatas pada kedua
kelompok hidroksil terminal, yang dapat berupa
esterifikasi atau dieterifikasi. PEG mungkin tidak
cocok dengan beberapa zat pewarna. Aktivitas
antibakteri dari antibiotik tertentu berkurang
dengan basis PEG, terutama penisilin dan
basitrasin. Efektivitas pengawet dari paraben juga
terganggu jika berikatan dengan PEG. Efek fisik
yang disebabkan oleh basis PEG termasuk
pelunakan dan pencairan dalam campuran fenol,
asam tanat, dan asam salisilat.
(Rowe et al., 2009)
1.3.2 Polietilen Glikol 6000 (PEG 6000)/ Makrogol 6000/ Poliglikol 6000
Rumus Molekul : H(O-CH2-CH2)nOH ; harga n 158 dan 204
Pemerian : Serbuk licin putih atau potongan putih kuning
gading; praktis tidak berbau; tidak berasa.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan
dalamkloroform P; praktis tidak larut dalam eter
P.
Berat molekul : 7000 sampai 9000 gram/mol
Kekentalan :470 cS sampai 900 cS pada suhu 210° F
dinyatakan sebagai kekentalan kinematik.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
(Depkes RI, 1979).
Titik lebur : 55 – 63o C
Penggunaan : Basis salep, plasticizer, pelarut, basis supositoria,
pelicin tablet dan kapsul.
Stabilitas : Polietilen glikol secara kimia stabil di udara dan
dalam larutan, meskipun yang memiliki berat
molekul kurang dari 2000 higroskopis.
Polietilenglikol tidak menyebabkan pertumbuhan
mikroba, dan tidak menjadi tengik.
Inkompatibilitas : Reaktivitas kimia PEG terbatas pada kedua
kelompok hidroksil terminal, yang dapat berupa

7
esterifikasi atau dieterifikasi. PEG mungkin tidak
cocok dengan beberapa zat pewarna. Aktivitas
antibakteri dari antibiotik tertentu berkurang
dengan basis PEG, terutama penisilin dan
basitrasin. Efektivitas pengawet dari paraben juga
terganggu jika berikatan dengan PEG. Efek fisik
yang disebabkan oleh basis PEG termasuk
pelunakan dan pencairan dalam campuran fenol,
asam tanat, dan asam salisilat.
(Rowe et al., 2009)

1.4 Bentuk Sediaan, Dosis, dan Cara Pemakaian


1.4.1 Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan berupa supositoria. Suppositoria adalah sediaan padat
dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina, atau
uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria
dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat
terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria yang biasa
digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati
terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester asam
lemak polietilen glikol (Depkes RI, 1995). Bobot supositoria jika tidak dinyatakan
lain adalah 3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak dengan basis oleum cacao.
Supositoria disimpan dalam wadah tertutup baik dan di tempat yang sejuk
(Depkes RI, 1979).
Suppositoria umumnya dimasukkan melalui rectum dan vagina, kadang-
kadang melalui saluran urin. Umumnya, supositoria rectum panjangnya ± 32 mm
(1,5 inci), berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa supositoria
untuk rectum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari
kecil tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan habis yang digunakan,
beratnya pun berbeda-beda. USP menetapkan berat supositoria 2 gram untuk
orang dewasa apabila oleum cacao yang digunakan sebagai basis. Sedangkan

8
supositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan
berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil (Ansel, 2011).
Supositoria untuk vagina yang juga disebut pessarium biasanya berbentuk
bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5
gram, apabila basisnya oleum cacao. Supositoria untuk saluran urin yang juga
disebut bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke
dalam saluran urin pria atau wanita. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah
3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu
dengan lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4 gram.
Supositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk
pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao (Ansel,
2011).
1.4.2 Dosis
Dosis obat yang digunakan melalui rektum lebih besar atau lebih kecil dari
pada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti
keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia obat dan kemampuan obat melewati
penghalang fisiologi untuk absorpsi dan sifat basis suppositoria serta
kemampuannya melepaskan obat supaya siap untuk diabsorpsi (Ansel, 2011).
Dosis Dewasa Aminofilin (oral dan rektal) :
Dosis lazim sekali : 100 mg – 200 mg
Dosis lazim sehari : 300 mg – 600 mg
Dosis maksimum sekali : 500 mg
Dosis maksimum sehari : 1.500 mg
(Depkes RI, 1979).
Tiap 1 supositoria mengandung 200 mg aminofilin, sehingga pemakaian
dewasa sehari dapat digunakan maksimal 3 kali sesuai dengan dosis lazim sehari.
1 kali pemakaian = 200 mg
1 hari pemakaian = 3 x 200 mg
= 600 mg
Jadi dalam 1 hari pemakaian dosis aminofilin yang diterima adalah 600
mg. Sehingga pemakaian suppositoria untuk dewasa adalah 3 kali sehari.
1.4.3 Cara Pemakaian
Petunjuk pemakaian: Pemberian obat aminofilin dengan sediaan
suppositoria dilakukan dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam
bentuk suppositoria. Cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria,

9
kemudian tidur dengan posisi miring, dan masukkan suppositoria yang telah
dibasahi dengan air (untuk menghindari iritasi mukosa sehingga mempermudah
penggunaan) ke dalam rektum dengan jari kanan sampai melewati otot sfingter
rektal, kira-kira ½ - 1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa. Jangan berikan lebih
dari 6 suppositoria dalam periode 24 jam. Supositoria digunakan 15 menit setelah
buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah
pemakaian (Ansel, 2011).
Begitu dimasukkan, basis suppositoria meleleh, melunak, atau melarut
menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut.
Obat ini bisa dimaksudkan untuk ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja
lokal, atau bisa juga dimaksudkan agar diabsorpsi untuk mendapatkan efek
sistemik. Suppositoria rektal dimaksudkan untuk kerja lokan dan paling sering
digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal dan
radang sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya (Ansel, 2011).
BAB II
FORMULASI

2.1 Formula
R/ Aminophylin 200 mg
PEG 400 50%
PEG 6000 50%

2.2 Permasalahan dan Pencegahan Masalah dalam Formulasi


No.
Permasalahan Pencegahan
No.
1. Aminophylin berbentuk butir Dilakukan pengecilan ukuran
atau serbuk yang tidak partikel aminophylin dengan cara
homogen sehingga dapat penggerusan hingga serbuk
mempengaruhi homogenitas homogen halus sebelum
sediaan. dicampur ke dalam basis.
2. PEG 200-600 berbentuk cair PEG 6000 dilebur pada suhu 55-

10
sedangkan PEG di atas 1000 63ºC terlebih dahulu, kemudian
berbentuk padat lunak (Rowe suhu diturunkan dan ditambahkan
et al., 2009). dengan PEG 400 yang berbentuk
cair.

3. Saat pencetakan, suppositoria Cetakan suppositoria terlebih


mudah melekat pada cetakan. dahulu dilapisi gliserin.
4. PEG bersifat higroskopis PEG ditimbang dengan
sehingga dapat menganggu menggunakan botol timbang
penimbangan.
5. PEG bersifat higroskopis yang Sebelum digunakan, suppositoria
dapat menyebabkan iritasi dibasahkan dengan air untuk
mukosa rektum. menghindari iritasi mukosa
rektum. Pada etiket sediaan harus
diberi petunjuk “Basahi dengan
air sebelum digunakan”.
6. Aminophylin tidak stabil Penyimpanan aminophylin harus
terhadap cahaya. dalam wadah tertutup baik atau
terlindung dari cahaya.

11
BAB III
PRODUKSI
III.1 Penimbangan
3.1 Penimbangan
Diketahui:
Jumlah Suppositoria yang diproduksi = 12 buah
Bobot Suppositoria yang mengandung 100% basis = 3 gram
Bobot zat aktif pada masing-masing suppositoria= 200 mg = 0,2 gram
Ditanya :
Berapa jumlah basis PEG yang diperlukan untuk membuat 12 sediaan
suppositoria ?
Jawab :
Untuk membuat 14 sediaan suppositoria, diperlukan bahan-bahan sejumlah
berikut :
 Aminophilin = 12 x 0,2 gram = 2,4 gram
 PEG basis suppo 100% = 3 gram x 12 buah = 36 gram
 Jumlah basis PEG = 36 gram – 2,4 gram = 33,6 gram
Perhitungan penimbangan bahan :
 Aminophilin = 12 x 0,2 gram = 2,4 gram
 PEG 400 = 50% x 33,6 gram = 16,8 gram
 PEG 6000 = 50% x 33,6 gram = 16,8 gram
Tabel 2. Penimbangan Bahan
Bobot untuk 1
Bahan Fungsi Jumlah
batch

Aminophilin Zat aktif 0,2 gram 2,4 gram

PEG 400 Basis 50 % 16,8 gram

PEG 6000 Basis 50 % 16,8 gram

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Alat dan Bahan
a. Alat
- Aluminium foil
- Batang pengaduk
- Cawan porselen
- Cetakan suppositoria
- Gelas beaker

12
- Kertas perkamen
- Mortir
- Penangas air
- Sendok tanduk
- Stamper
- Termometer
- Timbangan
b. Bahan
- Aminophilin
- Parafin cair
- PEG 400
- PEG 6000
- Tisu

13
3.2.2 Skema Kerja

14
Bahan-bahan ditimbang sesuai perhitungan

BASIS I BASIS II

Aminophilin digerus hingga PEG 6000 diletakkan pada cawan


homogen di dalam mortir porselen, dipanaskan pada penangas
air dengan suhu 55oC-63oC hingga
melebur
Dicampurkan aminophilin
sedikit demi sedikit ke dalam
PEG 400, diaduk homogen Leburan diaduk secara perlahan, suhu
pada suhu 400C. diturunkan hingga 40oC

Setelah suhu diturunkan menjadi 40°C. Basis I ditambahkan


sedikit sedikit pada leburan basis II, diaduk hingga homogen

Campuran suppositoria dituang ke dalam cetakan yang sudah


dilapisi gliserin

Suppositoria didiamkan membeku pada suhu kamar lalu


dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama ±30 menit sampai 15
benar-benar membeku
Suppositoria dikemas dalam kemasan

BAB IV
PENGEMASAN

IV.2 Kemasan Primer


Kemasan primer berupa aluminium foil yang nantinya akan membungkus
sediaan suppositoria secara langsung dan kemudian diletakkan pada tempat
khusus.

IV.3 Kemasan Sekunder

IV.4 Etiket

IV.5 Brosur

16
17
BAB V
EVALUASI
5.1 Uji Organoleptis

Satu suppositoria dibelah secara vertikal dan horizontal

Diamati secara visual pada bagian internal dan eksternal untuk melihat
bentuk, warna, dan bau suppositoria.

5.2 Uji Keseragaman Bobot

Sediaan suppositoria ditimbang satu per satu. Digunakan 5 buah sampel


suppositoria.

Dicatat masing-masing bobot suppositoria dan dicatat bobot suppositoria


yang menyimpang.

5.3 Uji Homogenitas

Sediaan suppositoria dipotng menjadi tiga bagian (ujung, tengah, dan


pangkal).

Diamati di bawah mikroskop, dibandingkan hasil yang diperoleh antara


ketiga bagian tersebut.

5.4 Uji Waktu Hancur

Disiapkan gelas beaker berisi akuades dengan suhu 37 0C.

Dimasukkan sediaan suppositoria ke dalam gelas beaker, diamati dan dicatat


waktu sediaan hingga melarut sempurna.

5.5 Uji Titik Leleh

Dimasukkan suppositoria kedalam cawan uap dan dilelehkan di atas hot


plate

Diamati dan dicatat suhu saat suppositoria meleleh

18
BAB VI
PERHITUNGAN

6.1 Keseragaman Bobot


Tabel X. Uji Keseragaman Bobot
Suppositoria
Bobot (g)
ke-
I 2,4217 2,41038 0,01132 1,281424x10-4
II 2,4215 2,41038 0,01112 1,236544x10-4
III 2,3516 2,41038 -0,05878 3,4550884x10-3
IV 2,4015 2,41038 -8,88x10-3 7,88544x10-5
V 2,3136 2,41038 -0,09678 9,3363684x10-3
VI 2,4152 2,41038 4,82x10-3 2,32324x10-5
VII 2,4359 2,41038 0,02552 6,512704x10-4
VIII 2,4323 2,41038 0,02192 4,804864x10-4

IX 2,5076 2,41038 0,09722 9,4517284x10-3

X 2,4029 2,41038 -7,4x10-3 5,59504x10-5

0,023814776

SD = = = 0,05144

Perhitungan Standar Deviasi Relatif (RSD)


Diketahui : SD = 0,05144
= 2,41038
Ditanya : Standar Deviasi Relatif (RSD) = …?
Jawab :

RSD = x 100%

19
RSD = x 100%
RSD = 2,1341 %

20
BAB VII
HASIL DAN PEMBAHASAN

7.1 HASIL
7.1.1 Formula dan Penimbangan Sediaan Suppositoria
Tabel 3. Formula dan Penimbangan
Persentase/ Jumlah Penimbangan
No Nama Bahan Fungsi
Jumlah Total (g) (g)
1 Aminophyllin Zat Aktif 500 mg 3 3,004
2 PEG 4000 Basis 25% 8,187 8,188
3 PEG 400 Basis 75% 24, 5625 24,5358

7.1.2 Uji Waktu Hancur


Digunakan 1 Suppositoria
Waktu hancur : 18 menit 36 detik
7.1.3 Uji Titik Leleh
Digunakan 1 Suppositoria
Titik leleh : 380C
Waktu leleh : 14 menit 4 detik
7.1.4 Uji Keseragaman Bobot
Tabel 4. Uji Keseragaman Bobot
Suppositoria
Bobot (g)
ke-
1 2,4217 2,41038 0,01132 0,000128142
2 2,4215 2,41038 0,01112 0,000123654
3 2,3516 2,41038 -0,05878 0,003455088
4 2,4015 2,41038 -0,00888 7,88544e-05
5 2,3136 2,41038 -0,09678 0,009366368
6 2,4152 2,41038 0,00482 2,32324e-05
7 2,4359 2,41038 0,02552 0,00065127

21
8 2,4323 2,41038 0,02192 0,000480486
9 2,5076 2,41038 0,09722 0,009451728
10 2,4029 2,41038 -0,00748 5,59504E-05

0,023814776

SD = = = ± 0,05144

Perhitungan Standar Deviasi Relatif (RSD))


Diketahui : SD = 0,05144
= 2,41038
Ditanya : Standar Deviasi Relatif (RSD) = …?
Jawab :

RSD = x 100%

RSD = x 100%

RSD = 2,1341 %
7.1.5 Uji Homogenitas
Sediaan suppositoria yang diperoleh sudah homogen dan tidak berongga.
7.1.6 Organoleptis Suppositoria
Bentuk : Torpedo
Bau : Tidak berbau
Warna : Putih susu
Tekstur : Halus dan licin
7.2 PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dibuat formulasi sediaan suppositoria dengan zat
aktif Aminophylin yang ditujukan untuk dewasa. Aminophylin ini dibuat dalam

22
bentuk suppositoria karena memiliki beberapa keuntungan yaitu karena langsung
dapat masuk ke sistem sirkulasi sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat dan
lebih mudah digunakan pada pasien yang umumnya sulit menelan atau tidak bisa
melalui oral dan untuk pasien yang tidak sadar ataupun yang sedang muntah
(Anief, 2010). Aminophylin sendiri memiliki khasiat sebagai bronkodilator dan
antispasmodikum (Depkes RI, 2007).
Pemilihan basis didasarkan pada karakteristik aminofilin yang dapat
campur dengan air sehingga dipilih basis yang bersifat hidrofilik yaitu PEG
(Depkes RI, 1979). Basis yang digunakan pada pembuatan suppositoria
aminophylin ini adalah kombinasi PEG 400 dan PEG 4000 yang bersifat
higroskopik. Tujuan digunakan kombinasi ialah memperoleh basis yang
diinginkan konsistensinya dan sifatnya khas. Penggunaan PEG sebagai basis
Aminophylin memiliki beberapa keuntungan dibandingkan basis lain karena di
dalam tubuh mampu melarut dan melepaskan zat aktif dengan cepat sehingga
terdispersi pada cairan rektum.
Selain itu, PEG 400 dan PEG 4000 dapat memadat pada suhu ruangan
terkontrol sehingga dalam pembuatannya menjadi lebih mudah. Basis supositoria
yang ideal adalah basis yang memiliki sifat dapat memadat pada suhu ruangan
tetapi akan melunak, melebur, atau melarut dengan mudah pada suhu tubuh, inert,
tidak toksik atau mengiritasi, dapat bercampur dengan bahan obat, pada
pembuatannya dengan metode pelelehan ataupun cetak tekan dapat menghasilkan
bentuk yang baik dan tidak menempel pada dinding cetakan, stabil dalam
penyimpanan, serta untuk efek lokal harus dapat membebaskan obatnya dengan
cepat dan sebanyak mungkin untuk keperluan absorpsi obat, dan untuk supositoria
efek sistemik, basis harus dapat membebaskan obatnya secara lambat agar dapat
memberikan efek dalam jangka waktu yang panjang (Lachman, et al., 1994).
Pembuatan supositoria aminophylin diawali dengan ditimbang semua bahan
(Aminophylin 3,004 gram, PEG 400 24,5358 gram, dan PEG 4000 8,188 gram)
untuk 12 sediaan suppositoria. Dilakukan penimbangan bahan secara berlebih
untuk mengantisipasi ketika penuangan ke dalam cetakan, cetakan tidak terisi
penuh. PEG 400 ditimbang dengan menggunakan cawan porselen dikarenakan

23
bahan tersebut berupa cairan dan agak higroskopik. Dalam penimbangan PEG 400
ditimbang dengan menggunakan beaker glass dikarenakan bahan tersebut berupa
cairan dan higroskopik. Dilelehkan PEG 4000 dalam cawan porselen dengan suhu
titik leleh antara 50 0C hingga 58 0C dikarenakan bahan tersebut berupa sediaan
padatan (basis II), (Depkes RI, 1979). Bahan berupa Aminophylin digerus terlebih
dahulu hingga halus agar homogenitas dalam sediaan lebih baik. Aminophylin
digerus untuk memperkecil ukuran partikel zat aktif karena dapat berpengaruh
pada proses disolusi (Shargel, et al., 1988). Apabila ukuran partikel kecil optimal
maka luas permukaan partikel semakin besar sehingga permukaan zat yang akan
kontak dengan cairan rektum akan semakin besar dan zat aktif mudah melarut
dalam cairan rektum. Ditambahkan Aminophylin ke dalam cairan PEG 400 sedikit
demi sedikit hingga tercampur merata dengan menggunakan batang pengaduk
pada suhu 40ºC (BASIS I).

Selanjutnya pada basis II yang telah meleleh diturunkan suhunya menjadi


40ºC sebelum ditambahkan basis I dikarenakan suhu basis I (PEG 400) lebih
rendah daripada basis II (PEG 4000) serta untuk menjaga stabilitas dari zat aktif
sekaligus menghindari peningkatan suhu secara drastis dari basis I. Ditambahkan
basis I ke dalam basis II diaduk hingga homogen. Cetakan suppositoria yang
digunakan berisi 12 lubang setakan yang terbuat dari kuningan karena sudah
disesuaikan dengan daya adhesi dari basis dengan bahan cetakan agar sediaan
lebih mudah terlepas. Cetakan juga diberi parafin untuk mempermudah
melepaskan sediaan suppositoria yang terbentuk dan tidak melekat pada cetakan.
Penggunaan parafin tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan parafin
berkumpul pada ujung cetakan dan membuat bentuk suppositoria tidak sama
dengan cetakan (ujung suppositoria akan tumpul dan adanya rongga-rongga pada
permukaan suppositoria).
Pada praktikum kali ini digunakan metode cetak tuang. Metode ini
menggunakan cetakan yang biasanya dipisah oleh sekat, umumnya dapat dibuka
secara membujur. Pada waktu leburan dituangkan cetakan ditutup dan dapat
dibuka lagi saat akan mengeluarkan suppositoria yang tekah dingin (Ansel, 2008).
Sehingga, setelah semua bahan tercampur sempurna, campuran tersebut

24
dituangkan ke dalam cetakan. Selama penuangan ke dalam cetakan harus
diperhatikan agar penuangan campuran tidak terputus karena bila terputus-putus
akan menyebabkan terbentuk lubang-lubang akibat adanya udara pada cetakan
sehingga menimbulkan rongga pada suppositoria.
Selain itu, campuran harus dituangkan berlebih dari cetakan karena pada
saat didinginkan PEG 400 dan PEG 4000 akan mengalami pengerutan. Penuangan
campuran mengalami kesulitan karena campuran cepat memadat pada suhu ruang,
sehingga proses pencetakan harus dilakukan dengan cepat. Pada proses
penuangan, diperoleh suppositoria sebanyak 12 buah. Cetakan yang sudah diisi
lalu didiamkan sebentar pada suhu kamar lalu disimpan pada lemari es pada suhu
15ºC bila disimpan di bawah suhu 15ºC maka akan terbentuk kristal α yang
meleleh pada 24ºC yang mendekati suhu kamar yaitu 25ºC selain itu pendinginan
yang tiba-tiba akan membuat suppositoria mudah rapuh (Anief, 2010).
Bila suppositoria yang dibuat sudah membeku, maka suppositoria
dikeluarkan dari cetakan lalu dibungkus dengan aluminium foil. Pembungkusan
dengan aluminium foil diusahakan sesuai dengan bentuk suppositoria karena bila
selama penyimpanan suppositoria sedikit meleleh maka bentuknya akan
menyesuaikan dengan bentuk wadahnya. Suppositoria disimpan dalam tempat
dingin, kering dan terlindung dari cahaya (Lachman, et al., 1994).
Dilakukan uji organoleptis berupa warna, bau, dan bentuk dari suppositoria.
Hasil yang diperoleh suppositoria yang terbentuk berwarna putih susu, tidak
beraroma, tidak berongga dan berbentuk torpedo secara merata. Hasil uji
organoleptis suppositoria yang dibuat sudah memenuhi standar terutama dari
bentuk karena sudah memenuhi persyaratan bentuk dari suppositoria rektal
(Anief, 2010).
Selanjutnya dilakukan uji keseragaman bobot dengan menimbang satu
persatu suppositoria berjumlah 10 sampel dimana bobot total didapat 24,1038
gram. Dari penimbangan diperoleh bobot rata-rata suppositoria 2,41038±
0,023814776 gram. Pada uji keseragaman bobot, bobot suppositoria yang
menyimpang ialah suppositoria 5 berjumlah 2,3136 gram dan suppositora 9
berjumlah 2,5076 gram memiliki nilai SD ± 0,05144 dan nilai RSD 2,1341 %. dan

25
memiliki persentase penyimpanan bobot kurang dari 6% dilihat dari RSD,
sehingga sediaan suppositoria telah memenuhi syarat keseragaman bobot.
Dilakukan uji homogenitas pada tiga buah sediaan suppositoria. Dilakukan dengan
cara membelah secara vertikal dan secara horizontal sediaan suppositoria dan diamati
sediaan tersebut. Pada praktikum kali ini sediaan suppositoria tidak adanya rongga baik
secara vertikal maupun horizontal, kristal di dalam suppositoria terlihat terdistribusi
dengan merata sehingga suppositoria telah memenuhi persyaratan homogenitas.
Setelah itu, dipilih satu suppositoria untuk dilakukan uji waktu hancur. Uji
ini dilakukan pada penangas air dengan menggunakan beaker glass yang berisikan
air sebanyak 50 mL dan dimasukkan sediaan ke dalam beaker glass tersebut
penangas air yang diatur suhunya 37ºC sesuai dengan suhu tubuh. Waktu yang
dibutuhkan suppositoria untuk meleleh adalah 18 menit 36 detik. Hal ini
menunjukkan hasil praktikum dengan literatur rujukan sesuai, suppositoria akan
hancur dalam waktu tidak lebih dari 30 menit untuk suppositoria basis lemak dan
tidak lebih dari 60 menit untuk suppositoria basis larut air, kecuali dinyatakan
lain (Depkes RI, 1995). Berdasarkan hal tersebut, maka suppositoria yang dibuat
memenuhi standar yang telah ditentukan.

26
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan
8.1.1 Prinsip dari pembuatan sediaan suppositoria yaitu peleburan,
pencampuran, pencetakan, dan pendinginan. Peleburan dilakukan
dengan meleburkan bahan yang memiliki titik lebur tinggi ke titik
lebur rendah ataupun sebaliknya. Kemudian dicampurkan dengan zat
aktif, dan dicetak ketika masih dalam keadaan panas. Suppositoria
yang telah dicetak, didinginkan untuk mendapatkan massa suppositoria
yang padat.
8.1.2 Formulasi sediaan suppositoria parasetamol yang digunakan kali ini
terdiri dari 500 mg Aminophylin, dan kombinasi basis PEG 400 (75%)
dengan basis PEG 4000 (25%).
8.1.3 Sediaan suppositoria Vipalin® yang dihasilkan pada praktikum ini
memiliki bentuk torpedo dan rata, tidak berbau, dan berwarna putih
susu. Bobot rata-rata suppositoria adalah sebesar 2,41038 ± 0,05144
gram dan standar deviasi relatif (RSD) yang diperoleh sebesar 2,1341
%. Berdasarkan uji kerapatan, tidak ditemukan adanya rongga pada
bagian internal dan eksternal sediaan suppositoria Vipalin®. Waktu
hancur sediaan suppositoria Vipalin® adalah 18 menit 36 detik, titik
leleh pada suhu 380C dengan waktu 14 menit 4 detik.

8.2 Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu diharapkan kepada mahasiswa
kedepannya agar lebih mampu menghasilkan sediaan suppositoria yang baik
sesuai dengan formulasi yang lebih baik agar diperoleh sediaan yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

27
Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anief, M. 2010. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta : UI
Press.
Ansel, H. C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
Ansel, H. C. 2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:
UI-Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan KlinikDitjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Ikawati,Z.2006.Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernfasan.Yogyakarta: Fakultas
Farmasi UGM.
Kim,W.-Y.,Park,S.H.,Kim,W.Y.,Huh,J.W.,Hong,S.-B.,Koh,Y.,Lim,C.- M.,2016.
Effectof theophyllineon ventilator-induceddiaphragmatic dysfunction.J.
Crit. Care33:145–150.
Lachman, L., A. L. Herbert, dan L. K. Joseph. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi 3. Jakarta: UI Press.
Malamatari, M., Somavarapu, S., Kachrimanis, K., Bloxham, M.,Taylor,K.M.G.,
Buckton,G., 2016. Preparationof theophylline inhalable microcomposite
particles by wetmilling and spray drying: The influence of mannitol as a
co-millingagent.Int. J.Pharm.514 : 200-211.

28
Mary Novena,L.,Suresh Kumar,S.,Athimoolam, S.,Saminathan, K.,Sridhar, B.
2017. Single crystal, vibration alandcomputational studiesof Theophylline
(abronchodilatordrug) and its chloridesalt. J.Mol.Struct.1133:294–306.
Rowe, R.C., J.S. Paul, J. W. Paul. 2009. Handbook of Pharmaceutical Exipients.
Edisi Keenam. London: Pharmaceutical Press.

Shargel, L., et al. 1988. Farmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya:


Airlangga University Press.
Sukandar, E.Y.,R. Andarajati,J.I. Sigit,I.K. Adnyana,A.A.P.Setiadi . 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta: PTISFI Penerbitan.
Sweetman, S.C.. 2009. Martindale The Complete Drug Reference. 36th Edition.
New York: Pharmaceutical Press.

29

Anda mungkin juga menyukai