Disusun oleh :
Conny Noor Afifa - 12100117108
Preseptor:
Wiwiek Setyowulan, dr., SpA., M.Kes
RHINITIS ALERGI
Patogenesis. Paparan host atopik terhadap alergen memicu produksi IgE spesifik.
Reaksi terhadap paparan alergen kedua diklasifikasikan menjadi fase respon awal
dan fase respon akhir. Bridging molekul IgE di permukaan sel mast oleh alergen
menginsiasi fase respon awal, yang dikarakteristikan oleh degranulasi sel mast dan
pelepasan mediator inflamasi termasuk histamin, prostaglandin 2, dan sistein
leukotrien. Fase respon akhir terjadi 4-8 jam setelah paparan alergen dan
dihubungkan dengan infiltasi selular dari basofil, eosinofil, neutrofil, sel mast, dan
sel mononuklear. Eosinofil melepaskan mediator proinflamasi termasuk sistein
leukotrien, protein kationik, eosinofil peroksidase, dan protein mayor dasar, dan
juga berperan sebagai sumber IL-3, IL-5, IL-13, dan granulocyte-macrphage
colony-stimulating factor (GM-CSF).
Diagnosis. Diagnosis rhinitis alergi disarkan pada gejala bersin, rinorrhea, gatal
hidung, dan kongesti rekuren yang berlangsung lebih sering tanpa adanya infeksi
saluran napas atas atau kelaian struktural. Dianosis ditunjang oleh pemeriksaan
yang memperlihatkan peningkatan kadar IgE, antibodi spesifik IgE, dan tes tusuk
kulit yang positif.
Pengobatan. Terapi lingkungan dilakukan dengan cara menghindarkan alergen
pencetus.
1. Tungau debu
- Cuci seluruh sprei dengan menggunakan air panas (sekitar 50oC) setiap
minggu.
- Pertahankan kelembaban rumah kurang dari 50%.
- Gunakan kipas angin atau jendela di dapur dan kamar mandi untuk
menjaga kelembaban tetap rendah.
2. Jamur dalam rumah
- Gunakan kipas angin atau jendela di dapur dan kamar mandi untuk
menjaga kelembaban tetap rendah.
- Lap permukaan benda setelah mandi. Bersihkan kamar mandi dengan
cairan anti jamur.
- Buang makanan yang sudah basi.
- Kosongkan tempat sampah satu hari sekali.
- Jaga kelembaban antara 30-40%.
3. Kulit mati hewan
- Tidak memelihara hewan di lingkungan sekitar rumah.
- Jika harus memelihara hewan, jauhkan kamar orang yang memiliki
alergi terhadap kulit mati hewan. Pastikan kamar selalu tertutup dan
gunakan saringan udara pada ventilasi kamar.
- Jauhkan hewan dari karpet.
- Ikan dapat menjadi pilihan peliharaan.
4. Serbuk tanaman
- Gunakan masker saat bepergian keluar rumah.
- Jendela dan pintu harus tetap tertutup selama musim serbuk tanaman,
terutama di siang hari.
2. Anti-histamin.
Anti-histamin bekerja dengan mem-blok reseptor histamin, sehingga
histamin tidak dapat bereaksi di dalam tubuh. Digunakan terutama untuk
meredakan bersin dan hidung gatal. Ada yang berbentuk tablet dan semprot. Bentuk
semprot biasanya memiliki efek anti inflamasi yang akan mengobata kongesti nasal.
Memiliki osnet cepat (kurang dari 15 menit) dan dapat di administrasikan sesuai
kebutuhan.
3. Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal.
Antihistamin dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid intranasal pada
rhinitis alergi persisten sedang-berat yang tidak mengalami perbaikan sesudan 2-4
minggu mendapatkan kortikosteroid intranasal, masih terdapat gejala bersin dan
gatal pada hidung yang menetap.
4. Mast cell stabilizers
Diberikan 1-2 minggu sebelum paparan antigen. Sediaan topikal yaitu
natrium kromolin aman digunakan pada anak, karena durasi kerja yang singkat,
harus diberikan 4-6x/hari. Bisa dibandingkan dengan antihistamin dan steroid
intranasal, kromolin memiliki efektivitas yang lebih rendah.
5. Dekongestan oral dan topikal
Dekongestan oral pada anak dapat menyebabkan insomnia, iritabilitas,
pretasi belajar anak menurun, dan dapat menginduksi gangguan jantung pada
beberapa anak. Dekongestan topikal (misalnya oxymetazoline hydrochloride)
memiliki onset kerja yang cepat dan berguna untuk mengatasi kongesti akut, tetapi
penggunaannya tidak boleh lebih dari sama dengan 10 hari karena penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, mukosa hidung
menjadi kering dan menganggu imunitas alamian (innate) dari saluran respiratori
hidung.
6. Antikolinergik
Onset kerjanya 15-30 menit dan efektif dalam mengendalikan gejala hidung
berair tetapi tidak efektif untuk gejala rhinitis lainnya. Kombinasi dengan steroid
intranasal perlu dipertimbangkan pada penderita yang gejala dominannya hidung
berair.
7. Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien)
Montelukast adalah satu-satunya antagonis reseptor leukotrien yang terbukti
aman dan efektif dalam pengobatan rhinitis aleri pada anak usia lebih dari 2 tahun.
Bila dibandingkan denan antihistamin dan steroid intranasal, montelukast memiliki
efektivitas yang lebih rendah.
Imunoterapi alergen
Edukasi pasien mengenai teknik penggunaan obat semprot hidung yang benar.
ANAFILAKSIS
Anafilaksis terjadi ketika terdapat pelepasan mediator biologis poten secara tiba-
tiba dari sel mast dan basofil yang menuju ke kutan (urtrikaria, angioedema,
kemerahan), respiratori (bronkhospasm, edema laring), kardiovaskular (hipotensi,
disaritmia, iskemik miokardial), dan gejala gastrointestinal (mual, nyeri kolik
abdomen, muntah, diare).
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemik, berat,
serta mengancam jiwa. Reaksi ini berlangsung dalam beberapa menit sesudah
paparan, dapat bertahan hingga dua jam atau lebih.
Etiologi. Penyebab paling umum anafilaksis anak berbeda pada seting komunitas
dan rumah sakit. Anafilaksis terjadi di rumah sakit utamanya disebabkan karena
reaksi alergi terhadap medikasi dan latex. Alergi makanan merupakan penyebab
tersering anafilaksis terjadi di luar rumah sakit, berjumlah sekitar ½ ada total reaksi
anafilaksis yang dilaporkan.
Kebanyakan kasus anafilaksis merupakan hasil dari aktivasi sel mast dan
basofil melalui molekul cell-bound allergen-specific IgE. Pasien mula-mula harus
terpajan alergen bersangkutan dan membentuk antibodi alergen-spesifik. Pada
kebanyakan kasus, anak dan orang tua tidak menyadari paparan awal, yang mungin
disebabkan karena lewatnya protein makanan pada ASI. Ketika terpajan ulang
terjadi sensitisasi alergen, sel mast dan basofil dan kemungkinan sel lain seperti
makrofag melepaskan berbagai mediator (histamin, triptase) dan sitokin yang dapat
menghasilkan gejala alergi di salah satu atau semua target organ. Secara klinis
anafilaksis juga dapat disebabkan melalui mekanisme lain selain reaksi IgE-
meadiated, yang kadang-kadang disebut reaksi anafilaktoid, termasuk pelepasan
secara langsung mediator dari sel mast akibat faktor medikasi dan fisik (morfin,
latihan, dingin), gangguan metabolisme leukotrien (aspirin, dan NSAID), aktivasi
komplemen dan aggregat imun (produk darah), dan kemungkinan aktivasi
komplemen.
Manifestasi klinis. Onset gejala dapat bervariasi bergantung pada penyebab reaksi.
Reaksi akibat alergen yang teringesti (makanan, obat) memiliki onset yang tertunda
(menit sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergin yang diinjeksi (sengatan
serangga, medikasi) dan cenderung memiliki lebih banyak gejala gastrointestinal.
Gejala awal bervariasi bergantung pada etiologi dan dapat termasuk beberapa gejala
berikut: pruritus di sekitar mulut dan wajah, sensasi hangat, dan lemah; kemerahan,
utrikaria dan angioedema, pruritus oral, perasaan tercekik, batuk kering yang
menghentak dan suara serak, pruritus perioral, kongesti nasal, bersin, dyspnea,
batuk dalam, dan mengi; mual, kram abdomen, dan mintah, terutama dengan
alergen yang teringesti; kontraksi uterin (jarang bermanifestasi sebagai nyeri
punggung bawah); dan pingsan dan kehilangan kesadaran pada kasus berat.
Beberapa derajat edema laring biasanya muncul pada reaksi berat. Gejala kutaneous
mungkin tidak ada pada 20% kasus, dan onset akut bronkospasme berat pada
riwayat asma yang terkontrol dengan baik harus dicurigai diagnosis anafilaksis.
Kolaps mendadak tanpa adanya gejala kutaneous juga harus mencurigai adanya
vasovagal kolaps, infark miokard, aspiasi, emboli pulmonal, atau kelaian kejang.
Edema laring, terutama dengan nyeri abdomen, harus dicurigai angioedema
herediter.
Klafikasi.
Alergi susu sapi (ASS) merupakan reaksi simpang terhadap protein susu sapi yang
diperantarai reaksi imunologi. Mekanisme tersebut bisa diperantarai oleh IgE
(reaksi hipersensitivitas tipe I, reaksi cepat) maupun non-IgE (reaksi
hipersensitivitas tipe III atau IV, reaksi lambat). Alergi susu sapi yang tidak
diperantarai IgE dapat mengenai saluran cerna, kulit, dan saluran napas dikemudian
hari seperti asma dan rhinitis alergi.
Epidemiologi. Antara 2 sampai 3 persen anak berusia kurang dari 3 tahun memiliki
alergi terhadap susu sapi, dan merupakan penyebab alergi tersering pada anak. Pada
penelitian dilaporkan prevalensi alergi susu sapi pada anak usia 1 tahun mencapai
2,2 sampai 2,8 persen dalam satu tahun.
- Gejala yang ditimbul kan dapat sangat luas, baik pada saluran cerna,
saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang timbul dapat
mempersulit pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau kadang-
kadang overdiagnosis.
- Awitan gejala ASS, waktu pemberian susu sapi dan timbulnya gejala
dan jumlah susu yang diminum hingga menimbulkan gejala.
- Riwayat atopi pada orang tua dan saudara kandung perlu ditanyakan.
Risiko atopi meningkat jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung
menderit atopi, dan bahkan risikonya lebih tinggi jika kedua orang tua
sama-sama penderita atopi.
- Riwayat atau gejala alergi sebelumnya.
- Edema dan gatau pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika
makanan yang mensensitisasi kontak dengan mukosa.
- Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut, atau
intractable dan dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah.
Alergi susu sapi dapat menyebabkan kolik infantil. Jika hipersensitivitas
berat, dapat terjadi kerukana mukosa usus, dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan berat badan.
- Konstipasi kronik yang tidak responsif terhadap laksatif.
- Pada alergi susu sapi, dermatitis atopi merupakan gejala yang paling
sering ditemukan, menempati urutan kedua setelah gejala di saluran
cerna. Erupsi kemerahan pada umumnya terjadi setelah sensitisasi 1-2
minggu dan sering mengalami eksaserbasi.
- Urtrikasia dan angioedema.
- Rhinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk kronis, dan mengi
merupakan manifestasi alergi susu sapi yang cukup sering.
Gejala hematologi:
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Tata laksana
Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang menandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan
seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang mengandung
protein susu sapi yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli gizi perlu
dipertimbangkan. Pada anak yang mendapat susu formula, diberikan susu pengganti
berupa susu terhidrolisis sempurna/ekstensif atau susu formula asam amino pada
kasus yang berta. Susu formula kedelai dapat dicoba untuk diberikan pada anak
berusia di atas 6 bulan apabila susu terhidrolisis ekstensif tidak tersedia atau
terdapat kendala biaya.
Indikasi rawat
- Dehidrasi berta
- Gizi buruk
- Anafilaksis
- Anemia yang memerlukan transfusi darah
Prognosis
Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita
akan menjadi toleran sesuai dengan bertambahnya usia. Umumnya diketahui bahwa
ASS akan membaik pada usia 3 tahun: sekitar 50% toleran pada usia 1 tahun, 70%
usia 2 tahun, dan 85% usia 3 tahun. Pada anak dengan alergi yang tidak diperantarai
IgE, toleransi lebih cepat terjadi yaitu pada usia sekitar 1 tahun yang dapat
dibuktikan dengan memakai metode uji provokasi. Pada anak dengan alergi yang
diperantarai IgE sebaiknya pemberiannya ditunda lebih lama lagi dan untuk
menentukan waktu yang tepat, dapat dibantu dengan panduan tes alergi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman, RM. Behrman, RE. Jenson, HB. Stanton, BF. Nelson Textbook
of Pediatrics 18th Edition. 2007.
2. Garna, H. Nataprawira, HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi ke-5. 2014.
3. Fauzi. Sudiro, M. Lestari, BW. Prevalence of Allergic Rhinitis based on
World Health Organization (ARIA-WHO) questionnaire among Batch
20120 Students of the Facultry of Medicine Universitas Padjajaran. 2015.
4. ARIA. Alergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma 1st Edition. 2007.
5. Adeli, M. Allergic Rhinitis Guide. Allergy and Immunology Awareness
Programe (AIAP).