Anda di halaman 1dari 26

CASE SCIENCE SESSION (CSS)

ALERGI PADA ANAK: ALERGI SUSU SAPI, RINITIS


ALERGI, ANAFILAKSIS

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)


SMF Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh :
Conny Noor Afifa - 12100117108

Preseptor:
Wiwiek Setyowulan, dr., SpA., M.Kes

SMF ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BANDUNG
2018
ALERGI PADA ANAK

Alergi mengacu pada pasien yang memperlihatkan perubahan reaksi


terhadap antigen lingkungan yang umum. Beberapa individu memiliki
peredisposisi keluaga terhadap penyakit alergi yang bermanifestasi sebagai kondisi
hiperresponsif pada organ target seperti paru-paru, kulit, atau hidung. Pada
beberapa dekade terakhir terdapat peningkatan prevalensi penyakit alergi. Hal
tersebut diakibatkan karena adanya perubahan faktor lingkungan.

RHINITIS ALERGI

Rhinitis alergi merupakan kelainfan inflamatori pada mukosa nasal yang


dikarakteristikan adanya kongesti nasal, rinorrhea, dan gatal dan biasanya diikuti
oleh bersin serta iritasi konjungtiva. Rhinitis alergi merupakan penyakit kronik
mayor pada anak berdasarkan tingginya prevalensi, komorbid, dan efek merugikan
pada kualitas hidup dan performa sekolah.

Klasifikasi. Berdasarkan konsesus WHO-ARIA 2008, rhinitis alergi


diklasifikasikan berdasarkan frekuensinya menjadi intermiten dan persisten, serta
berdasarkan berat gejala menjadi ringan dan sedang-berat.
Etiologi. Dua prasayarat terjadinya rhinitis alergi adalah sensitisasi terhadap
alergen dan adanya alergen di lingkungan. Alergen inlahan merupakan faktor utama
yang menyebabkan rhinitis alergi. Sekitar 20% kasus merupakan intermiten, 40%
persisten, dan 40% campuran (persisten dengan eksaserbasi intermiten). Rhinitis
alergi intermiten paling banyak disebabkan karena serbuk tanaman. Serbuk pohon
biasanya muncul pada musim semi, serbuk rumput muncul pada awal musim panas,
dan serbuk semak-semak muncul pada akhir musim panas. Spora jamur menetap
selama musim panas di wilayah dengan iklim sedang, sementara di wilayah dengan
iklim hangat menetap sepanjang tahun. Gejala alergi intermiten biasanya
menghilang seiring datangnya musim dingin. Bertolak belakang dengan rhinitis
alergi intermiten, rhinitis alergi persisten paling sering dikaitkan dengan alergen
dalam rumah: kulit mati hewan peliharaan, tungau debu rumah, dan jamur.

Epidemiologi. Rhinitis alergi mengenai sekitar 20-30% populasi dunia dan


prevalensinya masih meningkat hingga saat ini. Terdapat peningkatan prevalensi
rhinitis alergi di daerah perkotaan dan sedikit kenaikan di daerah pedesaan sejak 4
dekade terakhir. Di kalangan masyarakat madani, 20-40% anak-anak menderita
rhinitis alergi. Prevalensi rhinitis alergi di negara Regio Asia Pasifik dengan
pendapatan menengah ke bawah diperkirakan sekitar 5-45%. Sekitar 1-15% anak
usia 6-7 tahun di dunia memiliki tanda rhinitis alergi, sementara pada anak usia 13-
14 tahun sebesar 2-40%. Rhinitis alergi ditemukan pada 16% orang dewasa dengan
kencenderungan memiliki tipe persisten. Gejala rhinitis alergi dapat ditemukan
pada balita dengan diagnosis biasanya tegak pada usia 6 tahun. Faktor risiko
termasuk riwayat atopi pada keluarga atau kadar IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6
tahun. Risiko meningkat pada anak yang diperkenalkan makanan atau susu formula
lebih awal saat balita; anak dengan riwayat ibu perokok berat, terutama sebelum
anak tersebut berusia 1 tahun; dan anak dengan paparan tinggi terhadap alergen
dalam rumah. Anak dengan riwayat alergi di usia 4 tahun memiliki peningkatan
risiko terhadap munculnya rhinitis alergi.

Patogenesis. Paparan host atopik terhadap alergen memicu produksi IgE spesifik.
Reaksi terhadap paparan alergen kedua diklasifikasikan menjadi fase respon awal
dan fase respon akhir. Bridging molekul IgE di permukaan sel mast oleh alergen
menginsiasi fase respon awal, yang dikarakteristikan oleh degranulasi sel mast dan
pelepasan mediator inflamasi termasuk histamin, prostaglandin 2, dan sistein
leukotrien. Fase respon akhir terjadi 4-8 jam setelah paparan alergen dan
dihubungkan dengan infiltasi selular dari basofil, eosinofil, neutrofil, sel mast, dan
sel mononuklear. Eosinofil melepaskan mediator proinflamasi termasuk sistein
leukotrien, protein kationik, eosinofil peroksidase, dan protein mayor dasar, dan
juga berperan sebagai sumber IL-3, IL-5, IL-13, dan granulocyte-macrphage
colony-stimulating factor (GM-CSF).

Manifestasi klinis. Gejala rhinitis alergi biasanya disalaharikan sebagai infeksi


respiratori. Anak yang lebih besar dapat meneluarkan cairan dari dalam hidung
mereka sementara anak yang lebih kecil cenderung menghirupnya. Gatal pada nasal
menyebabkan wajah menjadi menyeringai, dan mengorek hidung hingga terjadi
epistaksis. Anak dengan rhinitis alergi biasanya melakukan alergi salut, yaitu
menggosok hidung ke atas dengan telapak tangan. Manuver tersebut meredakan
gatal dan secara singkat melancarkan saluran napas. Hal tersebut juga menyebabkan
nasal crease, lipatan horizontal pada kulit di batang hidung.

Keluhan tipikal termasuk penyumbatan hidung yang hilang-timbul, gatal,


bersin, cairan hidung yang bening, dan iritasi konjungtiva. Gejala meningkat
dengan paparan alergen yang lebih lama dan lebih banyak. Pasien dapat
mengeluhkan sakit kepala, mengi, dan batuk, dan penurunan penciuman atau
pengecapan. Penyumbatan hidung biasanya lebih parah di malam hari,
menyebabkan napas melalui hidung dan mengorok, sehingga mengganggu tidur
dan menyebabkan iritabilitas.
Pemeriksaan laboratorium. Tes epikutan (tes tusuk kulit) merupakan meteode
terbaik untuk mendeteksi adanya alergen spesifik IgE. Tes tersebut sensitif, tidak
mahal, dan cepat, dan risiko serta ketidaknyamanan yang mungkin dialami pasien
minimal. Sebelum dilakukan tes penggunaan antihistamin generasi pertama harus
dihentikan 3-4 hari sebelumnya sementara penggunaan antihistamin generasi 2
harus dihentikan 5-7 hari sebelumnya. IgE spesifik serum dapat dijadikan alternatif
bila kondisi kulit pasien tidak mungkin untuk dilakukan tes tusuk kulit misalnya
dermatografisme berat/dermatitis luas, penderita tidak dapat menghentikan
penggunaan antihistamin, terdapat risiko tinggi terjadinya anafilaksis, dan tidak
kooperatif.

Diagnosis. Diagnosis rhinitis alergi disarkan pada gejala bersin, rinorrhea, gatal
hidung, dan kongesti rekuren yang berlangsung lebih sering tanpa adanya infeksi
saluran napas atas atau kelaian struktural. Dianosis ditunjang oleh pemeriksaan
yang memperlihatkan peningkatan kadar IgE, antibodi spesifik IgE, dan tes tusuk
kulit yang positif.
Pengobatan. Terapi lingkungan dilakukan dengan cara menghindarkan alergen
pencetus.

1. Tungau debu
- Cuci seluruh sprei dengan menggunakan air panas (sekitar 50oC) setiap
minggu.
- Pertahankan kelembaban rumah kurang dari 50%.
- Gunakan kipas angin atau jendela di dapur dan kamar mandi untuk
menjaga kelembaban tetap rendah.
2. Jamur dalam rumah
- Gunakan kipas angin atau jendela di dapur dan kamar mandi untuk
menjaga kelembaban tetap rendah.
- Lap permukaan benda setelah mandi. Bersihkan kamar mandi dengan
cairan anti jamur.
- Buang makanan yang sudah basi.
- Kosongkan tempat sampah satu hari sekali.
- Jaga kelembaban antara 30-40%.
3. Kulit mati hewan
- Tidak memelihara hewan di lingkungan sekitar rumah.
- Jika harus memelihara hewan, jauhkan kamar orang yang memiliki
alergi terhadap kulit mati hewan. Pastikan kamar selalu tertutup dan
gunakan saringan udara pada ventilasi kamar.
- Jauhkan hewan dari karpet.
- Ikan dapat menjadi pilihan peliharaan.
4. Serbuk tanaman
- Gunakan masker saat bepergian keluar rumah.
- Jendela dan pintu harus tetap tertutup selama musim serbuk tanaman,
terutama di siang hari.

Pilihan medikamentosa bersifat individual disesuaikan dengan kondisi anak dan


respons terhadap pengobatan yang diberikan. Faktor kepatuhan terhadap
pengobatan sangat penting karena pengobatan bersifat jangka panjang.
1. Kortikosteroid intranasal dan oral.
Steroid intranasa: flutikason propionat atau mometason furoat, pengobatan
lini pertama pada anak dengan gejala sedang berat. Efek terapeutik tercapai dalam
waktu 6-8 jam sesudah pemberian, terapi mencapai tingkat maksimal sesudah
pemakaian 2 minggu.
Kortikosteroid oral jangka pendek: misalnya prednisolon dosis 0,5
mg/kg/hari, diberikan pada gejala hidung tersumbat berat yang tidak dapat
dikendalikan oleh farmakoterapi lain, bersamaan dengan makanan di pagi hari
selama 5-10 hari. Penggunaan jangka panjang tidak direkomendasikan.

2. Anti-histamin.
Anti-histamin bekerja dengan mem-blok reseptor histamin, sehingga
histamin tidak dapat bereaksi di dalam tubuh. Digunakan terutama untuk
meredakan bersin dan hidung gatal. Ada yang berbentuk tablet dan semprot. Bentuk
semprot biasanya memiliki efek anti inflamasi yang akan mengobata kongesti nasal.
Memiliki osnet cepat (kurang dari 15 menit) dan dapat di administrasikan sesuai
kebutuhan.
3. Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal.
Antihistamin dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid intranasal pada
rhinitis alergi persisten sedang-berat yang tidak mengalami perbaikan sesudan 2-4
minggu mendapatkan kortikosteroid intranasal, masih terdapat gejala bersin dan
gatal pada hidung yang menetap.
4. Mast cell stabilizers
Diberikan 1-2 minggu sebelum paparan antigen. Sediaan topikal yaitu
natrium kromolin aman digunakan pada anak, karena durasi kerja yang singkat,
harus diberikan 4-6x/hari. Bisa dibandingkan dengan antihistamin dan steroid
intranasal, kromolin memiliki efektivitas yang lebih rendah.
5. Dekongestan oral dan topikal
Dekongestan oral pada anak dapat menyebabkan insomnia, iritabilitas,
pretasi belajar anak menurun, dan dapat menginduksi gangguan jantung pada
beberapa anak. Dekongestan topikal (misalnya oxymetazoline hydrochloride)
memiliki onset kerja yang cepat dan berguna untuk mengatasi kongesti akut, tetapi
penggunaannya tidak boleh lebih dari sama dengan 10 hari karena penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, mukosa hidung
menjadi kering dan menganggu imunitas alamian (innate) dari saluran respiratori
hidung.
6. Antikolinergik
Onset kerjanya 15-30 menit dan efektif dalam mengendalikan gejala hidung
berair tetapi tidak efektif untuk gejala rhinitis lainnya. Kombinasi dengan steroid
intranasal perlu dipertimbangkan pada penderita yang gejala dominannya hidung
berair.
7. Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien)
Montelukast adalah satu-satunya antagonis reseptor leukotrien yang terbukti
aman dan efektif dalam pengobatan rhinitis aleri pada anak usia lebih dari 2 tahun.
Bila dibandingkan denan antihistamin dan steroid intranasal, montelukast memiliki
efektivitas yang lebih rendah.

Imunoterapi alergen

Imunoterapi alergen adalah satu-satunya pilihan terapi yang memodifikasi


mekanisme dasar alergi dengan cara menginduksi desensitisasi dan menghasilkan
kondisi anergi terhadap suatu alergen penyebab. Terdapat 2 macam imunoterapi,
yaitu imunoterapi s.k. (subcutaneous immunotherapy/SCIT) dan sublingual
(sublingual immunotherapy/SLIT)

Edukasi pasien mengenai teknik penggunaan obat semprot hidung yang benar.
ANAFILAKSIS

Anafilaksis terjadi ketika terdapat pelepasan mediator biologis poten secara tiba-
tiba dari sel mast dan basofil yang menuju ke kutan (urtrikaria, angioedema,
kemerahan), respiratori (bronkhospasm, edema laring), kardiovaskular (hipotensi,
disaritmia, iskemik miokardial), dan gejala gastrointestinal (mual, nyeri kolik
abdomen, muntah, diare).
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemik, berat,
serta mengancam jiwa. Reaksi ini berlangsung dalam beberapa menit sesudah
paparan, dapat bertahan hingga dua jam atau lebih.

Etiologi. Penyebab paling umum anafilaksis anak berbeda pada seting komunitas
dan rumah sakit. Anafilaksis terjadi di rumah sakit utamanya disebabkan karena
reaksi alergi terhadap medikasi dan latex. Alergi makanan merupakan penyebab
tersering anafilaksis terjadi di luar rumah sakit, berjumlah sekitar ½ ada total reaksi
anafilaksis yang dilaporkan.

Epidemilogi. Keseluruhan insidensi tahunan anafilaksis di Amerika Serikat


diperkirakan mencapai 30 kasus/100.000 orang/tahun, dengan jumlah 81.000
kasus/tahun. Survey di Australia memperlihatkan 0.59% anak usia 3-17 tahun
mengalami setidaknya 1 kali kejadian anafilaksis.

Patogenesis. Prinsip fitur patologi pada anafilaksis fatal termasuk hiperinflasi


pulmonal akut, edema pulmonal, edema laring, dan urtrikaria dan angioedema.
Hipotensi akut dikaitkan dengan adanya dilatasi vasomotor dan/atau disaritmia
kardio.

Kebanyakan kasus anafilaksis merupakan hasil dari aktivasi sel mast dan
basofil melalui molekul cell-bound allergen-specific IgE. Pasien mula-mula harus
terpajan alergen bersangkutan dan membentuk antibodi alergen-spesifik. Pada
kebanyakan kasus, anak dan orang tua tidak menyadari paparan awal, yang mungin
disebabkan karena lewatnya protein makanan pada ASI. Ketika terpajan ulang
terjadi sensitisasi alergen, sel mast dan basofil dan kemungkinan sel lain seperti
makrofag melepaskan berbagai mediator (histamin, triptase) dan sitokin yang dapat
menghasilkan gejala alergi di salah satu atau semua target organ. Secara klinis
anafilaksis juga dapat disebabkan melalui mekanisme lain selain reaksi IgE-
meadiated, yang kadang-kadang disebut reaksi anafilaktoid, termasuk pelepasan
secara langsung mediator dari sel mast akibat faktor medikasi dan fisik (morfin,
latihan, dingin), gangguan metabolisme leukotrien (aspirin, dan NSAID), aktivasi
komplemen dan aggregat imun (produk darah), dan kemungkinan aktivasi
komplemen.

Manifestasi klinis. Onset gejala dapat bervariasi bergantung pada penyebab reaksi.
Reaksi akibat alergen yang teringesti (makanan, obat) memiliki onset yang tertunda
(menit sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergin yang diinjeksi (sengatan
serangga, medikasi) dan cenderung memiliki lebih banyak gejala gastrointestinal.
Gejala awal bervariasi bergantung pada etiologi dan dapat termasuk beberapa gejala
berikut: pruritus di sekitar mulut dan wajah, sensasi hangat, dan lemah; kemerahan,
utrikaria dan angioedema, pruritus oral, perasaan tercekik, batuk kering yang
menghentak dan suara serak, pruritus perioral, kongesti nasal, bersin, dyspnea,
batuk dalam, dan mengi; mual, kram abdomen, dan mintah, terutama dengan
alergen yang teringesti; kontraksi uterin (jarang bermanifestasi sebagai nyeri
punggung bawah); dan pingsan dan kehilangan kesadaran pada kasus berat.
Beberapa derajat edema laring biasanya muncul pada reaksi berat. Gejala kutaneous
mungkin tidak ada pada 20% kasus, dan onset akut bronkospasme berat pada
riwayat asma yang terkontrol dengan baik harus dicurigai diagnosis anafilaksis.
Kolaps mendadak tanpa adanya gejala kutaneous juga harus mencurigai adanya
vasovagal kolaps, infark miokard, aspiasi, emboli pulmonal, atau kelaian kejang.
Edema laring, terutama dengan nyeri abdomen, harus dicurigai angioedema
herediter.

Pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan


adanya antibodi IgE terhadap suspek agen kausatif, namun tidak definit. Histamin
plasma meningkat dalam beberapa saat namun tidak stabil dan sulit untuk dinilai
pada klinisnya. Beta-tryptase plasma lebih stabil dan tetap meningkat selama
beberapa jam namun terkadang tidak mengalami peningkatan, terutama pada reaksi
anafilaksis yang diinduksi makanan.

Diagnosis. Diagnosis anafilaksis biasanya sangat tergantung pada akut dan


karakteristik kombinasi manifestasi kutaneous dan repiratori, terutama saat disertai
hipotensi. Diagnosis banding termasuk bentuk syok yang lain (hemoragik,
kardiogenik, septik), reaksi vasopressor termasuk flush syndrome seperti carcinoid
syndrome, sindrom kelebihan histamin, ingesti monosodium glutamat,
scromboidosis, dan angioedema herediter.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anafilaksis yaitu


elektrokardiografi, foto rontgen thorax, pemeriksaan urea dan elektrolit darah,
analisis gas dara, atau pemeriksaan lainnya sesuai dengan gejala yang timbul.
Anafilaksis dapat ditegakan dengan kriteria berikut:

Klafikasi.

Terapi. Anafilaksis merupakan kondisi medis emergensi yang membutuhkan


management menggunakan epinefrin intramuskular, antihistamin antagonis H1 dan
H2 intramuskular atau intravena, oksigen, cairan intravena, beta agonis inhalasi, dan
kortikosteroid. Pasien dapat mengalami anafilaksis bifasik, yang terjadi saat gejala
anafilaksis kembali muncul setelah resolusi yang nyata. Mekasnisme fenomena
tersebut belum diketahui, namun lebih sering terjadi saat inisiasi terapi terlambat
dan gejala saat datang lebih berat.
Pencegahan. Pasien yang mengalami reaksi anafilaksis terhadap makanan harus
diedukasi untuk menjauhi alergen, termasuk membaca label makanan dan
pengetahuan tentang potensi kontaminasi dan situasi resiko tinggi, termasuk deteksi
dini gejala anafilaksis dan administrasi medikasi emergensi. Anak dengan riwayat
asma, alergi acang, atau riwayat anafilaksis berat sebelumnya harus diberikan
EpiPen (epinefrin), cetirizine cair (atau difenhidramin), dan diberikan rencana
emergensi jika terjadi ingesti secara tidak sengata. Pasien dengan alergi telur harus
di tes sebelum menerima vaksi influensa atau demam kuning, karena mengandung
protein telur. Anak yang mengalami reaksi anafilaksis sistemin termasuk gejala
respiratori akibat gigitan serangga harus dieveluasi dan diterapi dengan
immunotherapy, yang melindungi lebih dari 90%.

Alergi terhadap obat-obatan dapat diminimalisir dengan menggunakan


obat-obatan oral dan mencegah penggunaan obat-obatan injeksi.

ALERGI SUSU SAPI

Alergi susu sapi (ASS) merupakan reaksi simpang terhadap protein susu sapi yang
diperantarai reaksi imunologi. Mekanisme tersebut bisa diperantarai oleh IgE
(reaksi hipersensitivitas tipe I, reaksi cepat) maupun non-IgE (reaksi
hipersensitivitas tipe III atau IV, reaksi lambat). Alergi susu sapi yang tidak
diperantarai IgE dapat mengenai saluran cerna, kulit, dan saluran napas dikemudian
hari seperti asma dan rhinitis alergi.
Epidemiologi. Antara 2 sampai 3 persen anak berusia kurang dari 3 tahun memiliki
alergi terhadap susu sapi, dan merupakan penyebab alergi tersering pada anak. Pada
penelitian dilaporkan prevalensi alergi susu sapi pada anak usia 1 tahun mencapai
2,2 sampai 2,8 persen dalam satu tahun.

Diagnosis. Pada anamnesis harus diketahui beberapa hal, yaitu:

- Gejala yang ditimbul kan dapat sangat luas, baik pada saluran cerna,
saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang timbul dapat
mempersulit pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau kadang-
kadang overdiagnosis.
- Awitan gejala ASS, waktu pemberian susu sapi dan timbulnya gejala
dan jumlah susu yang diminum hingga menimbulkan gejala.
- Riwayat atopi pada orang tua dan saudara kandung perlu ditanyakan.
Risiko atopi meningkat jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung
menderit atopi, dan bahkan risikonya lebih tinggi jika kedua orang tua
sama-sama penderita atopi.
- Riwayat atau gejala alergi sebelumnya.

Pada saluran cerna dapat ditemukan beberapa gejala berikut, yaitu:

- Edema dan gatau pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika
makanan yang mensensitisasi kontak dengan mukosa.
- Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut, atau
intractable dan dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah.
Alergi susu sapi dapat menyebabkan kolik infantil. Jika hipersensitivitas
berat, dapat terjadi kerukana mukosa usus, dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan berat badan.
- Konstipasi kronik yang tidak responsif terhadap laksatif.

Pada kulit dapat ditemukan gejala berikut:

- Pada alergi susu sapi, dermatitis atopi merupakan gejala yang paling
sering ditemukan, menempati urutan kedua setelah gejala di saluran
cerna. Erupsi kemerahan pada umumnya terjadi setelah sensitisasi 1-2
minggu dan sering mengalami eksaserbasi.
- Urtrikasia dan angioedema.

Pada saluran napar gejala yang ditemukan berupa:

- Rhinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk kronis, dan mengi
merupakan manifestasi alergi susu sapi yang cukup sering.

Gejala hematologi:

- Pucat akibat anemia defisiensi karena perdarahan mikro pada saluran


cerna.

Pemeriksaan fisik

- Kondisi umum: status gizi, status hidrasi,kadang tampak pucat


- Kulit: dermatitis atopi, urtrikaria, angioedema
- Saluran napas: tanda rhinitis alergi (konka edema dan pucat) atau asma
(mengi), otitis media efusi.
- Saluran cerna: meteorismus, fissura ani

Pemeriksaan penunjang

- Konfirmasi diagnosis ASS sangat penting karena seringkali terdapat


ketidaksesuaian antara gejala yang dikeluhkan orangtua dengan bukti
secara klini.
- Double-blind, placebo-controller food challenge (DBPCFC) dianggap
sebagai baku emas. Pada prosedur ini, dilakukan pemberian makanan
yang mengandung alergen dan plasebo dengan metode crossover secara
tersamar baik terhadap pasien maupun evaluator disertai emantauan
reaksi alergi. Metode tersebut lebih banyak digunakan untuk keperluan
riset. Metode yang dapat dilakukan pada praktik klinis adalah
melakukan eliminasi dan uji provokasi terbuka.
- Mengingat risiko terjadinya reaksi alergi saat dilakukannya uji
provokasi makanan (food challenge), maka dapat dipilih pemeriksaan
alternatif dengan efikasi yang sama, seperti: uji cukit kulit (skin prick
test, SPT), pengukuran antibodi IgE serum spesifik terhadap protein
susu sapi, dan uji tempel (patch test).
- Kombinasi SPT dan pengukuran antibodi IgE spesifik memiliki nilai
duga positif 95% untuk mendiagnosis ASS yang diperantarai IgE,
seingga dapat mengurangi perlunya uji provokasi makanan jika yang
dicurigai adalah ASS yang diperantarai IgE.
- Uji cukit kulit dan kadar IgE spesifik tidak berguna dalam diagnosis
ASS yang tidak diperantarai IgE, sebagai alternatif dapat dilakukan uji
tempal, atau uji eliminasi dan provokasi.
- Pemeriksaan laboratorium tidak memberikan nilai diagnostik, tetapi
dapat menunjang diagnosis klinis. Penurunan kadar albumin sugestif
untuk enteropati; hipoproteinemia sering terjadi bersama-sama dengan
anemia defisiensi besi akibat alergi susu sapi. Peningkatan trombosit,
LED, CRP, dan leukosit tinja merupakan bukti adanya inflamasi tetapi
tidak spesifik, sehingga nilai normal tidak dapat menyingkirkan ASS.
Leukositosis eosinofilik dapat dijumpai pada kedua tipe ASS.

Tata laksana

Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang menandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan
seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang mengandung
protein susu sapi yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli gizi perlu
dipertimbangkan. Pada anak yang mendapat susu formula, diberikan susu pengganti
berupa susu terhidrolisis sempurna/ekstensif atau susu formula asam amino pada
kasus yang berta. Susu formula kedelai dapat dicoba untuk diberikan pada anak
berusia di atas 6 bulan apabila susu terhidrolisis ekstensif tidak tersedia atau
terdapat kendala biaya.
Indikasi rawat

- Dehidrasi berta
- Gizi buruk
- Anafilaksis
- Anemia yang memerlukan transfusi darah

Prognosis

Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita
akan menjadi toleran sesuai dengan bertambahnya usia. Umumnya diketahui bahwa
ASS akan membaik pada usia 3 tahun: sekitar 50% toleran pada usia 1 tahun, 70%
usia 2 tahun, dan 85% usia 3 tahun. Pada anak dengan alergi yang tidak diperantarai
IgE, toleransi lebih cepat terjadi yaitu pada usia sekitar 1 tahun yang dapat
dibuktikan dengan memakai metode uji provokasi. Pada anak dengan alergi yang
diperantarai IgE sebaiknya pemberiannya ditunda lebih lama lagi dan untuk
menentukan waktu yang tepat, dapat dibantu dengan panduan tes alergi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman, RM. Behrman, RE. Jenson, HB. Stanton, BF. Nelson Textbook
of Pediatrics 18th Edition. 2007.
2. Garna, H. Nataprawira, HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi ke-5. 2014.
3. Fauzi. Sudiro, M. Lestari, BW. Prevalence of Allergic Rhinitis based on
World Health Organization (ARIA-WHO) questionnaire among Batch
20120 Students of the Facultry of Medicine Universitas Padjajaran. 2015.
4. ARIA. Alergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma 1st Edition. 2007.
5. Adeli, M. Allergic Rhinitis Guide. Allergy and Immunology Awareness
Programe (AIAP).

Anda mungkin juga menyukai