Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMASI KLINIK

STUDI KASUS DENGAN DIAGNOSIS UTAMA


GANGGUAN PERNAFASAN (Rhinitis Alergi)

DISUSUN OLEH:
GOLONGAN II /KELOMPOK 4
1. Silvia Ayu N.A.P
NIM 16/393412/FA/10880
2. Tintin Siti K
NIM 16/393414/FA/10882
3. Tri Setya Ningsih
NIM 16/395646/FA/10906
4. Wirinda Shafira
NIM 16/393416/FA/10884

Tanggal Praktikum : Kamis, 12 September 2019


Dosen Jaga : Dr. Tri Murti Andayani, Sp.FRS., Apt
Asisten Jaga : Soraya Indira Sari, Murni Cahyani

PROGRAM SARJANA PROGRAM STUDI FARMASI


MINAT FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

STUDI KASUS DENGAN DIAGNOSIS UTAMA


GANGGUAN PERNAFASAN (Rhinitis Alergi)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi masalah terkait obat (drug-
related problems) pada kasus dengan diagnosis utama Rhinitis Alergi.
2. Mahasiswa diharapkan mampu membuat rencana rekomendasi terapi, informasi
dan edukasi, serta pemantauan terapi yang tepat pada kasus penyakit dengan
diagnosis utama Rhinitis Alergi.

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Berdsarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibedakan menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

2. ETIOLOGI
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab
rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-
anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari
atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
- Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
- Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
- Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
- Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

3. FAKTOR RISIKO
- Faktor genetik : jika salah satu atau kedua orang tua alergi, maka resiko alergi
akan meningkat
- Memiliki riwayat asthma: penderita asthma biasanya memiliki resiko rhinitis
alergi
- Gender dan Usia: setelah dewasa biasanya wanita memiliki resiko lebih tinggi
rhinitis alergi
- Perokok pasif : biasanya penderita yang sering terpapar asap rokok sejak usia
kecil memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita rhinitis alergi
(Kemenkes, 2018)
4. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu
penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi
alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase
lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13 (Irawati, 2008).
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1) (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2
atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

5. TANDA DAN GEJALA


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi,
Iskandar, 2012).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung
yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga
termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii (Bousquet, 2008).
Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, 2008). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

6. FARMAKOLOGI
Menurut ARIA 2008, pengobatan untuk rhinitis alergi terdiri dari:
a. Antihistamin Oral
Mekanisme aksi : memblok reseptor H1
Generasi pertaama : Chlorpheniramine, Clemastine, Ketotifen
Generasi kedua : Loratadine, Cetirizine, Desloratadine
Efek samping : efek sedasi dan efek antikolinergik (pada efek sedasi
ini, untuk obat generasi kedua memiliki efek sedasi yang lebih minimal
dibandingkan dengan generasi pertama).
Antihistamin oral generasi kedua menjadi terapi lini pertama karena rasio
kemanjuran / keamanannya yang menguntungkan. Selain itu obat golongan
antihistamin oral emiliki efek yang cepat (kurang dari 1 jam)
b. Local H1 Antihistamin
Mekanisme aksi : memblok reseptor H1
Contoh obat : Azelastine, Levocabastine, Olopatadine
Efek samping : efek sedasi dan anti kolinergik minimal
Obat golongan ini memiliki efek yang cepat (kurang dari 3 jam).
c. Intranasal Glucocorticoid
Mekanisme aksi : menurunkan inflamasi dan nasal hiperactivity
Contoh obat : Beclomethasone dipropionate, Budesonide, Fluticason
Efek samping : efek samping lokal minor.
Merupakan pengobatan yang paling efektif untuk rhinitis alergi. Selain itu
juga efektif untuk mengobati hidung tersumbat. Efek yang muncul dapat
diamati selama 12 jam, namun efek maksimalnya dalam beberapa hari.
d. Antagonis Leukotrien
Mekanisme aksi : memblok reseptor CystLT
Contoh obat : Montelukast, Zafirlukast, Pranlukast
Efek samping : excellent tolerance
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala rhinitis alergi, selain itu juga
efektif dalam mengatasi hidung tersumbat dan gejala radang pada mata.
e. Dekongestan Oral
Mekanisme aksi : obat simpatomimetik, meringankan hidung tersumbat
Contoh obat : Efedrin, Fenilefrin, Pseudoefedrin
Efek samping : Hipertensi, palpitasi, sakit kepala, dan insomnia
f. Intranasal Dekongestan
Mekanisme aksi : obat simpatomimetik, meringankan hidung tersumbat
Contoh obat : Oxymethazoline, Xylomethazoline
Efek samping :memiliki efek samping yang sama dengan dekongestan
oral namun pada intranasal dekongestan lebih minimal. Dapat menyebabkan
rhinitis medicamentosa (fenomena rebound yang terjadi dengan penggunaan

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

jangka panjang) apabila obat intranasal dekongestan digunakan dalam waktu


jangka panjang. Intranasal dekongestan memiliki aksi dan efek yang lebih
cepat dibandingkan dengan oral dekongestan
g. Oral Glukokortikoid
Mekanisme aksi : mengurangi peradangan hidung
Contoh obat : Dexamethasone, Hydrocortisone, Prednisone
Efek samping : efek samping sistemik
h. Intranasal Antikolinergik
Mekanisme aksi : antikolinergik, memblok rhinorrea
Contoh obat : Ipratropium
Efek samping : efek samping minimal.
Obat ini efektif untuk pasien alergi dengan disertai rhinorrea
i. Imunoterapi
Imunoterapi digunakan ketika pengobatan medikamentosa gagal dalam
mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat
dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga
meningkatkan titer antibody IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi,
hiposensitisasi, dan netralisasi. Desentisisasi dan hiposensitisasi membentuk
blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat,
berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi
membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.

7. PENATALAKSANAAN
Tata laksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin
H1 generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator
sel mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori
berat. Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis
dengan air-fluid level atau deviasi septum nasi.
- Rinitis alergi intermiten
1. Ringan
Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila
terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
2. Sedang/Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali diberikan sekali
sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi ketiga
seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun. Bila tidak ada
perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison
1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

- Rinitis alergi persisten


1. Ringan
Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala tidak membaik dapat
diberikan kortikosteroid intranasal misalnya mometason furoat atau flutikason
propionat.
2. Sedang/berat
Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan evaluasi setelah 2-4
minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat simtomatik lain seperti
rinitis alergi intermiten sedang/berat.
- Terapi komorbiditas
Terapi untuk konjungtivitis, sinusitis maupun asma yang menyertai gejala rinitis
alergi sebaiknya dilakukan dengan mengatasi penyebabnya terlebih dahulu, dalam hal
ini adalah proses alergi.
(Bousquet, 2008)
C. KASUS
An AS (10th),laki-laki, BB: 25 kg,TB: 115 cm, sejak tiga hari yang lalu bersin-bersin,
hidung terasa gatal, dan kemudian pilek (hidung berair). Matanya bengkak (radang)
dan rasanya juga gatal. Lesu dan tidak enak badan. Padahal tiga hari lagi dia akan
ulangan umum, ibunya mengharapkan AS bisa segera sembuh dan cukup sehat untuk
belajar dan mengikuti ulangan umum. Ibunya memberikan obat flu Procold, tetapi
belum membaik. Ibunya datang ke apotek untuk mencari obat untuk anaknya.
Riwayat penyakit dahulu: Dia punya riwayat alergi terhadap ikan laut dan obat
golongan penisilin (kulitnya jadi bentol-bentol dan gatal sejak umur 2 tahun. Riwayat
rhinitis alergi sejak umur 5 tahun. Riwayat keluarga dan sosial: Ibunya pernah
menderita atopic dermatitis. Neneknya mengidap asma ringan.Tiga hari yang lalu, AS
membantu ayahnya membersihkan gudang di belakang rumahnya karena sudah terlalu
penuh. Pengobatan yang diberikan: Stop cold 3x sehari 1 tablet selama 3 hari, CTM
3x sehari 1 tablet selama 3 hari.

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

D. ASESMEN DRUG-RELATED PROBLEMS (DRPs) DAN RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN


Masalah Medik Terapi S, O A P

Rhinitis Alergi  Pengobatan sendiri: Subjektif: a. Keadaan pasien belum Merekomendasikan kepada
Procold(Paracetamol 500 mg ; membaik karena obat tidak pasien terkait penggantian obat
a. Bersin – bersin
Pseudoefedrin HCL 30 mg ; efektif (untuk pengobatan Stopcold dan CTM dengan
b. Hidung gatal
CTM 2 mg) sendiri dengan Procold) Cetirizine 5 mg / hari ( 1x sehari
c. Pilek (hidung berair)
 Akan diberikan oleh apoteker: b. Adanya terapi obat yang tidak 1 tablet)
d. Mata bengkak (radang)
1. Stopcold 3x sehari 1 tablet diperlukan seperti Paracetamol
dan gatal
selama 3 hari (Paracetamol (karena pasien tidak
e. Lesu
500 mg ; mengalami demam) dan
f. Tidak enak badan
Phenylpropanolamin HCL 20 guaifenesin (karena pasien
mg ; Triprolidine HCL 12.5 Objektif: - tidak batuk)
mg ; Guaefenesin 50 mg; c. Duplikasi pengobatan
vitamin C 50 mg) antihistamin yaitu CTM dan
2. CTM 4 mg 3x sehari 1 tablet triprolidine
selama 3 hari

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

E. PEMBAHASAN
a. Asesmen DRPs
Menurut Pharmaceutical Network Europe 2006, Drug Related Problem adalah
kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan. Drug Related Problems (DRPs)
merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi
obat potensial mengganggu keberhasilan terapi yang diharapkan (Cipolle et al., 1998).
Drug Related Problems terdiri dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP
adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang
diberikan pada penderita. Sedangkan potensial DRP adalah problem yang
diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan
oleh penderita. Pada kasus ini pasien dengan gejala yang mengarah ke rinitis alergi
memiliki 3 masalah terkait obat (Drug-Related Problem) yaitu:
1. Obat in efektif
Obat in efektif atau obat yang tidak efektif yaitu dimana obat yang digunakan tidak
efektif untuk mengatasi gejala penyakit. Hal ini dapat menyebabkan tidak tercapainya
tujuan terapi. Pada kasus ini termasuk kategori actual DRP, dimana pasien telah
menggunakan Procold. Namun keadaan pasien belum membaik, sehingga dapat
dikatakan bahwa obat tidak efektif untuk pasien.
2. Terapi obat yang tidak diperlukan
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan karena tidak sesuai dengan gejala
yang muncul. Pada kasus ini termasuk actual DRP untuk pemberian parasetamol dan
potensial DRP untuk parasetamol dan guaifenesin yang akan diberikan. Pasien
diberikan parasetamol dan guaifenesin, padahal pasien tidak merasakan gejala demam
dan batuk. Seharusnya penggunaan obat parasetamol dan guaifenesin tidak perlu
diberikan.
3. Duplikasi terapi
Duplikasi terapi adalah keadaan dimana pasien menerima 2 buah terapi obat dengan
indikasi yang sama. Pada kasus ini termasuk potensial DRP, dimana pasien akan
mendapatkan 2 obat dengan indikasi yang sama yaitu Tripolidin dan CTM. Obat-obat
tersebut merupakan golongan antihistamin generasi 1 dan memiliki efek terapi yang
sama.

b. Rencana Asuhan Kefarmasian


Rencana asuhan kefarmasian (Care Plan) yang diberikan oleh apoteker
kepada pasien dilakukan berdasarkan hasil telah kasus dengan mempertimbangkan
kondisi pasien. Rekomendasi didasarkan pada tinjauan literature yang mendukung
yaitu textbook, jurnal dan artikel.
- Menyarankan penggantian semua obat
Kasus rhinitis alergi ini terjadi pada anak usia 10 tahun dengan gejala bersin –
bersin, hidung gatal, pilek (hidung berair), mata bengkak (radang) dan gatal, lesu serta
tidak enak badan. Obat Procold yang diberikan oleh ibu AS dihentikan dan
pengobatan yang diberikan oleh apoteker diganti menjadi oral antihistamin H1.

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Pemilihan oral antihistamin H1 didasarkan pada guideline yang ada di ARIA 2008,
dimana obat ini direkomendasikan untuk pengobatan rhinitis alergi pada anak-anak
dan dewasa.

Sumber : (ARIA, 2008)

Sumber : (Dipiro, 2015)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Selain itu, obat ini bisa diberikan oleh apoteker tanpa resep dokter. Praktikan
tidak merekomendasikan obat intranasal kortikosteroid karena memerlukan resep
dokter dan harganya yang cukup mahal. Praktikan juga tidak merekomendasikan
kombinasi obat antihistamin H1 dengan dekongestan karena menurut clinical key
belum terbukti keamanan dan efikasinya untuk anak dibawah umur 12 tahun.

Sumber : https://www.clinicalkey.com/#!/content/drug_monograph/6-s2.0-
2680?scrollTo=%23Indications
Pada kasus ini direkomendasikan obat oral antihistamin H1 generasi kedua
yaitu Cetirizine dengan dosis 5 mg perhari yang diminum 1x sehari 1 tablet
dengan dosis maksimal per hari yaitu 10 mg. Cetirizine dapat diminum sebelum
atau sesudah makan.

Sumber : https://www.drugs.com/dosage/cetirizine.html

Selain itu dipilih Cetirizine karena memiliki efek samping sedasi yang
minimal dibandingkan generasi pertama. Hal ini menjadi pertimbangan karena
pasien akan mengikuti ulangan umum dalam waktu dekat sehingga diharapkan

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

penggunaan obat tidak mengganggu aktivitas belajar dari pasien tersebut. Obat
oral antihistamin H1 juga efektif untuk mengatasi nasal congestion sehingga tidak
diperlukan penambahan dekongestan. Selain itu, dekongestan hanya boleh
digunakan 5 hari saja agar tidak menekan pertumbuhan.

Sumber : (ARIA, 2008)

Pertimbangan pemilihan Cetirizine dengan obat oral antihistamin H1 generasi


kedua yang lainnya yaitu memiliki efek samping yang lebih minimal
dibandingkan loratadine.

Sumber : (Juliana, 2012)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

F. PARAMETER PEMANTAUAN

Parameter efektivitas Parameter efek samping


Obat
Kondisi klinik TTV dan lab Kondisi klinik TTV dan lab

Cetirizine Keluhan atau gejala rihinitis -  Sakit kepala -


membaik (bersin-bersin,  Sakit perut
hidung gatal, pilek/hidung  Faringitis
berair, mata bengkak dan gatal,
lesu dan tidak enak badan)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

G. KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI


Penggantian obat dengan Cetirizine 5 mg

 Cetirizine digunakan untuk mengobati hidung berair dan gatal, bersin-bersin, dan
gejala pada mata seperti mata radang dan gatal.
 Obat diminum 1x sehari 1 tablet 5 mg (bisa sesudah atau sebelum makan) dengan
dosis maksimum yaitu 10mg/hari. Disarankan pada malam hari supaya jika
muncul efek sedasi/mengantuk tidak mengganggu aktivitas pasien meskipun efek
sedasi dari Cetirizine minimal adanya.
 Efek samping obat yang dapat terjadi adalah sakit kepala,faringitis,dan sakit perut.
Namun efek samping tidak terjadi pada semua orang.
 Perlu dilakukan skin test untuk memastikan alergen penyebab terjadinya rhinitis
alergi.
 Sebaiknya obat ini disimpan di tempat tertutup pada suhu ruangan.

Non Farmakologi
 Hindari paparan alergen, dalam kasus ini yaitu debu.
 Istirahat yang cukup dan banyak mengonsumsi air putih
 Jaga kebersihan rumah dan gunakan masker ketika bepergian
 Jika perlu, pastikan penyebab alergi dengan skin test

H. EVALUASI DAN FOLLOW-UP


- Evaluasi
Terapi Rhinitis Alergi pada anak akan berhasil apabila keluhan yang dialami
membaik dengan berkurangnya atau hilangnya tanda dan gejala rhinitis alergi
yang dialami pasien, pasien tidak mengalami kekambuhan setelah pengobatan
dilakukan, pasien tidak mengalami efek samping yang dapat mengganggu
aktivitas. Periode terapi: selama 3 hari.
- Follow-up
Yang harus dilakukan apabila
a. Obat efektif / mencapai target terapi
Penggunaan obat dapat dihentikan
b. Obat tidak efektif / tidak mencapai target terapi
a. Jika dalam 3 hari kondisi pasien belum membaik (dalam hal ini pasien
masih mengalami gejala dan tanda rhinitis alergi seperti yang disebutkan),
maka dapat berkonsultasi ke dokter.
b. Jika setelah meminum obat pasien mengalami efek samping serius, maka
konsumsi obat dapat dihentikan dan segera berkonsultasi ke dokter.
c. Jika perlu, dapat dilakukan skin test /skin prick test / RAST
(Radioallergosorbent test) untuk mengetahui alergen penyebab terjadinya
Rhinitis alergi.

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

I. KESIMPULAN
- Masalah drug-related problem pada kasus ini yaitu obat inefektif, terapi obat yang
tidak diperlukan (adanya kandungan guaifenesin dan paracetamol dalam obat
dimana dalam kasus ini pasien tidak mengalami batuk dan demam), serta adanya
duplikasi terapi antihistamin. Selain itu adanya CTM juga menyebabkan reaksi
yang tidak diharapkan (sedasi).
- Rencana rekomendasi terapi yang diusulkan yaitu penggantian obat dengan
Cetirizine 5 mg yang diminum 1x sehari 1 tablet (dapat diminum sebelum atau
sesudah makan)
- Pasien diberikan edukasi untuk menghindari paparan alergen yang menjadi
pemicu terjadinya rhinitis alergi, selalu menjaga kebersihan lingkungan, serta
menerapkan pola hidup yang sehat. Selain itu, jika perlu pasien disarankan untuk
melakukan skin test yang bertujuan untuk mengetahui alergen penyebab terjadinya
rhinitis alergi.

J. DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Boies L., Higler P., 1997, Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Anonim, 2019, Cetirizine, https://clinicalkey.com, diakses pada tanggal 10
September 2019 pukul 13.00 WIB.
Anonim, 2019, Cetirizine, https://drugs.com, diakses pada tanggal 10 September
2019 pukul 13.00 WIB
Becker E., W., 1994, Microalgae Biotechnology and Microbiology,Cambridge
University Press, Melbourne
Benjamini, E., Coico, R., Sunshine, G., 2000, Immunology A Short Course, Forth
Edition, Wiley-Liss, A John Wiley & Sons, Inc., New York.
Bousquet, J. et al., 2008, ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)update
2008. Canada: World Health Organization.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice,
McGraw-Hill, New York.
Dipiro, Joseph dkk., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition, McGraw-
Hill Education, United States.
Harmadji S, 1993, Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT, Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
IAI, 2017, Informasi Spesialite Obat Indonesia, PT ISFI, Jakarta.
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N., 2008, Alergi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi keenam, FKUI
Jakarta.

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Juliana J, Evalina R, Irsa L, Loebis M, Efficacy comparison of cetirizine and


loratadine for allergic rhinitis in children, PI [Internet]. 30Apr.2012 [cited
11Sep.2019];52(2):61-6. Available from:
https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-
indonesiana/article/view/320
Kaplan, H. dan Sadock, B., 2003, Synopsis of Psychiatri 9th ed, Philadelphia:
Lippincott.
Kemenkes, 2018, Rinitis Alergi, diakses di http://www.yankes.kemkes.go.id/read-
rintis-alergi-4259.html pada tanggal 10 September 2019 pukul 14.00 WIB.
Mahendra, IB., Soetjiningsih., Suryawan, Bikin., 2007, Pengaruh Kortikosteroid
Inhalasi Terhadap Pertumbuhan, Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar
Pharmaceutical Care Network Europe, 2006, PCNE Classification for Drug Related
Problem, Pharmaceutical Care Network Europe Foundation.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, 2012, Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher Ed Ke- 7, Jakarta.
Von Pirquet C., 1986, Allergy and Infectious Diseases: A Review. The Journal of
Immunology 133:1594-600.
Wallace, D. V., Dykewicz, M. S., Bernstein, D. I., Blessing-Moore, J., Cox, L.,
Khan, D. A., Tilles, S. A., 2008,The diagnosis and management of rhinitis: An
updated practice parameterJournal of Allergy and Clinical Immunology, 122(2,
Supplement), S1-S84. doi: https://doi.org/10.1016/j.jaci.2008.06.003

Yogyakarta, 13 September 2019

Praktikan

Silvia Ayu N.A.P ( )

Tintin Siti Kholisoh ( )

Tri Setya Ningsih ( )

Wirinda Shafira ( )

***

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

K. LAMPIRAN PERTANYAAN DAN JAWABAN DISKUSI

1. Nada Nisrina (393395)


Kenapa hanya merekomendasikan cetirizine, apakah belum perlu intranasal? Jika
iya, kapan butuh intranasal? Dan jikagelaja rhinitis belum membaik tindakan apa
yang perlu dilakukan?
Jawaban:
- Dalam kasus ini bisa juga diberikan intranasal kortikosteroid (contohnya
Budesonide) dimana obat ini juga direkomendasikan untuk penyakit rinitis alergi.
Namun dengan dosis tertentu dapat menekan pertumbuhan.Selain itu obat ini
juga merupakan obat yang paling efektif.Selain itu harga untuk intranasal jauh
lebih mahal.
- Kalau belum membaik tindakan yang bisa dilakukan yaitu : jika rinitis alergi
dirasa sangat mengganggu aktivitas, pasien diminta untuk melakukan skin test
guna mengetahui alergen penyabab. Dilanjutkan dengan imunoterapi yang
bertujuan untuk peningkatan toleransi terhadap alergen sampai tidak menujukkan
reaksi alergi jika terpapar.

Sumber : (ARIA,2008)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : (Mahendra, 2007)

2. Miranda Rosary (393392)


Apa pertimbangan memilih obat cetirizine? Kenapa gak kombinasi antara
dekongestan dan antihistamin?
Jawaban:
- Dipilih Cetirizine karena merupakan antihistamin second generation dimana
memiliki efek sedasi yang minimal. Selain itu obat antihistamin second
generation dapat digunakan untuk mengobati nasal congestion yang menjadi efek
terapi dari dekongestan.
- Tidak dipilih kombinasi antara antihistamin dengan dekongestan karena :
Less than 12 years: Safety and efficacy have not been established.

Sumber : (ARIA, 2008)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : https://www.clinicalkey.com/#!/content/drug_monograph/6-s2.0-
2680?scrollTo=%23Indications

3. Ahmad Fahmy (10909)


Menurut saya,jika gejala yang dialami pasien sudah parah lebih baik
direkomendasikan untuk penggunaan obatkortikosteroid juga. Bagaimana menurut
kalian?
Jawaban:
Obat steroid oral (tablet).Beberapa jenis rhinitis alergi yang cukup berat biasanya
tidak cukup dengan terapi kortikosteroid semprot saja sehingga diberikan
tambahan kortikosteroid.Jenis obat ini hanya digunakan dalam jangka waktu
singkat karena memiliki efek samping jika digunakan jangka panjang seperti
katarak atau osteoporosis.

Sumber : http://www.yankes.kemkes.go.id/read-rintis-alergi-4259.html

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

4. Ibu Trimurti
Apakah pertimbangan memilih cetirizine dengan alasan pasien yang akan
melaksanakan ujian? Sedangkan sudah ada antihistamin generasi 3 yang memiliki
efek sedasi yang lebih kecil tapi kenapa masih dipilih anti histamin golongan 2?
Lalu dalam anti histamin generasi 2 terdapat loratadine, lebih efektif mana antara
cetirizine dan loratadine?
Jawaban:
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara efektifitas dari cetirizine dan
loratadine.Namun efek samping yang mungkin muncul dari cetirizine lebih
minimal dibandingkan dengan loratadine.

Sumber : (Juliana, 2012)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

L. LAMPIRAN EVIDENCE-BASED MEDICINE

Sumber : (ARIA, 2008)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : (Dipiro, 2015)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : https://www.clinicalkey.com/#!/content/drug_monograph/6-s2.0-
2680?scrollTo=%23Indications

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : https://www.drugs.com/dosage/cetirizine.html

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : (Juliana, 2012)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada

Sumber : (Mahendra, 2007)

Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik

Anda mungkin juga menyukai