DISUSUN OLEH:
GOLONGAN II /KELOMPOK 4
1. Silvia Ayu N.A.P
NIM 16/393412/FA/10880
2. Tintin Siti K
NIM 16/393414/FA/10882
3. Tri Setya Ningsih
NIM 16/395646/FA/10906
4. Wirinda Shafira
NIM 16/393416/FA/10884
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi masalah terkait obat (drug-
related problems) pada kasus dengan diagnosis utama Rhinitis Alergi.
2. Mahasiswa diharapkan mampu membuat rencana rekomendasi terapi, informasi
dan edukasi, serta pemantauan terapi yang tepat pada kasus penyakit dengan
diagnosis utama Rhinitis Alergi.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Berdsarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibedakan menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
2. ETIOLOGI
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab
rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-
anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari
atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
- Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
- Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
- Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
- Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
3. FAKTOR RISIKO
- Faktor genetik : jika salah satu atau kedua orang tua alergi, maka resiko alergi
akan meningkat
- Memiliki riwayat asthma: penderita asthma biasanya memiliki resiko rhinitis
alergi
- Gender dan Usia: setelah dewasa biasanya wanita memiliki resiko lebih tinggi
rhinitis alergi
- Perokok pasif : biasanya penderita yang sering terpapar asap rokok sejak usia
kecil memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita rhinitis alergi
(Kemenkes, 2018)
4. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu
penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi
alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase
lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13 (Irawati, 2008).
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1) (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2
atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
6. FARMAKOLOGI
Menurut ARIA 2008, pengobatan untuk rhinitis alergi terdiri dari:
a. Antihistamin Oral
Mekanisme aksi : memblok reseptor H1
Generasi pertaama : Chlorpheniramine, Clemastine, Ketotifen
Generasi kedua : Loratadine, Cetirizine, Desloratadine
Efek samping : efek sedasi dan efek antikolinergik (pada efek sedasi
ini, untuk obat generasi kedua memiliki efek sedasi yang lebih minimal
dibandingkan dengan generasi pertama).
Antihistamin oral generasi kedua menjadi terapi lini pertama karena rasio
kemanjuran / keamanannya yang menguntungkan. Selain itu obat golongan
antihistamin oral emiliki efek yang cepat (kurang dari 1 jam)
b. Local H1 Antihistamin
Mekanisme aksi : memblok reseptor H1
Contoh obat : Azelastine, Levocabastine, Olopatadine
Efek samping : efek sedasi dan anti kolinergik minimal
Obat golongan ini memiliki efek yang cepat (kurang dari 3 jam).
c. Intranasal Glucocorticoid
Mekanisme aksi : menurunkan inflamasi dan nasal hiperactivity
Contoh obat : Beclomethasone dipropionate, Budesonide, Fluticason
Efek samping : efek samping lokal minor.
Merupakan pengobatan yang paling efektif untuk rhinitis alergi. Selain itu
juga efektif untuk mengobati hidung tersumbat. Efek yang muncul dapat
diamati selama 12 jam, namun efek maksimalnya dalam beberapa hari.
d. Antagonis Leukotrien
Mekanisme aksi : memblok reseptor CystLT
Contoh obat : Montelukast, Zafirlukast, Pranlukast
Efek samping : excellent tolerance
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala rhinitis alergi, selain itu juga
efektif dalam mengatasi hidung tersumbat dan gejala radang pada mata.
e. Dekongestan Oral
Mekanisme aksi : obat simpatomimetik, meringankan hidung tersumbat
Contoh obat : Efedrin, Fenilefrin, Pseudoefedrin
Efek samping : Hipertensi, palpitasi, sakit kepala, dan insomnia
f. Intranasal Dekongestan
Mekanisme aksi : obat simpatomimetik, meringankan hidung tersumbat
Contoh obat : Oxymethazoline, Xylomethazoline
Efek samping :memiliki efek samping yang sama dengan dekongestan
oral namun pada intranasal dekongestan lebih minimal. Dapat menyebabkan
rhinitis medicamentosa (fenomena rebound yang terjadi dengan penggunaan
7. PENATALAKSANAAN
Tata laksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin
H1 generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator
sel mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori
berat. Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis
dengan air-fluid level atau deviasi septum nasi.
- Rinitis alergi intermiten
1. Ringan
Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila
terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
2. Sedang/Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali diberikan sekali
sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi ketiga
seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun. Bila tidak ada
perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison
1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.
Rhinitis Alergi Pengobatan sendiri: Subjektif: a. Keadaan pasien belum Merekomendasikan kepada
Procold(Paracetamol 500 mg ; membaik karena obat tidak pasien terkait penggantian obat
a. Bersin – bersin
Pseudoefedrin HCL 30 mg ; efektif (untuk pengobatan Stopcold dan CTM dengan
b. Hidung gatal
CTM 2 mg) sendiri dengan Procold) Cetirizine 5 mg / hari ( 1x sehari
c. Pilek (hidung berair)
Akan diberikan oleh apoteker: b. Adanya terapi obat yang tidak 1 tablet)
d. Mata bengkak (radang)
1. Stopcold 3x sehari 1 tablet diperlukan seperti Paracetamol
dan gatal
selama 3 hari (Paracetamol (karena pasien tidak
e. Lesu
500 mg ; mengalami demam) dan
f. Tidak enak badan
Phenylpropanolamin HCL 20 guaifenesin (karena pasien
mg ; Triprolidine HCL 12.5 Objektif: - tidak batuk)
mg ; Guaefenesin 50 mg; c. Duplikasi pengobatan
vitamin C 50 mg) antihistamin yaitu CTM dan
2. CTM 4 mg 3x sehari 1 tablet triprolidine
selama 3 hari
E. PEMBAHASAN
a. Asesmen DRPs
Menurut Pharmaceutical Network Europe 2006, Drug Related Problem adalah
kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan. Drug Related Problems (DRPs)
merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi
obat potensial mengganggu keberhasilan terapi yang diharapkan (Cipolle et al., 1998).
Drug Related Problems terdiri dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP
adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang
diberikan pada penderita. Sedangkan potensial DRP adalah problem yang
diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan
oleh penderita. Pada kasus ini pasien dengan gejala yang mengarah ke rinitis alergi
memiliki 3 masalah terkait obat (Drug-Related Problem) yaitu:
1. Obat in efektif
Obat in efektif atau obat yang tidak efektif yaitu dimana obat yang digunakan tidak
efektif untuk mengatasi gejala penyakit. Hal ini dapat menyebabkan tidak tercapainya
tujuan terapi. Pada kasus ini termasuk kategori actual DRP, dimana pasien telah
menggunakan Procold. Namun keadaan pasien belum membaik, sehingga dapat
dikatakan bahwa obat tidak efektif untuk pasien.
2. Terapi obat yang tidak diperlukan
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan karena tidak sesuai dengan gejala
yang muncul. Pada kasus ini termasuk actual DRP untuk pemberian parasetamol dan
potensial DRP untuk parasetamol dan guaifenesin yang akan diberikan. Pasien
diberikan parasetamol dan guaifenesin, padahal pasien tidak merasakan gejala demam
dan batuk. Seharusnya penggunaan obat parasetamol dan guaifenesin tidak perlu
diberikan.
3. Duplikasi terapi
Duplikasi terapi adalah keadaan dimana pasien menerima 2 buah terapi obat dengan
indikasi yang sama. Pada kasus ini termasuk potensial DRP, dimana pasien akan
mendapatkan 2 obat dengan indikasi yang sama yaitu Tripolidin dan CTM. Obat-obat
tersebut merupakan golongan antihistamin generasi 1 dan memiliki efek terapi yang
sama.
Pemilihan oral antihistamin H1 didasarkan pada guideline yang ada di ARIA 2008,
dimana obat ini direkomendasikan untuk pengobatan rhinitis alergi pada anak-anak
dan dewasa.
Selain itu, obat ini bisa diberikan oleh apoteker tanpa resep dokter. Praktikan
tidak merekomendasikan obat intranasal kortikosteroid karena memerlukan resep
dokter dan harganya yang cukup mahal. Praktikan juga tidak merekomendasikan
kombinasi obat antihistamin H1 dengan dekongestan karena menurut clinical key
belum terbukti keamanan dan efikasinya untuk anak dibawah umur 12 tahun.
Sumber : https://www.clinicalkey.com/#!/content/drug_monograph/6-s2.0-
2680?scrollTo=%23Indications
Pada kasus ini direkomendasikan obat oral antihistamin H1 generasi kedua
yaitu Cetirizine dengan dosis 5 mg perhari yang diminum 1x sehari 1 tablet
dengan dosis maksimal per hari yaitu 10 mg. Cetirizine dapat diminum sebelum
atau sesudah makan.
Sumber : https://www.drugs.com/dosage/cetirizine.html
Selain itu dipilih Cetirizine karena memiliki efek samping sedasi yang
minimal dibandingkan generasi pertama. Hal ini menjadi pertimbangan karena
pasien akan mengikuti ulangan umum dalam waktu dekat sehingga diharapkan
penggunaan obat tidak mengganggu aktivitas belajar dari pasien tersebut. Obat
oral antihistamin H1 juga efektif untuk mengatasi nasal congestion sehingga tidak
diperlukan penambahan dekongestan. Selain itu, dekongestan hanya boleh
digunakan 5 hari saja agar tidak menekan pertumbuhan.
F. PARAMETER PEMANTAUAN
Cetirizine digunakan untuk mengobati hidung berair dan gatal, bersin-bersin, dan
gejala pada mata seperti mata radang dan gatal.
Obat diminum 1x sehari 1 tablet 5 mg (bisa sesudah atau sebelum makan) dengan
dosis maksimum yaitu 10mg/hari. Disarankan pada malam hari supaya jika
muncul efek sedasi/mengantuk tidak mengganggu aktivitas pasien meskipun efek
sedasi dari Cetirizine minimal adanya.
Efek samping obat yang dapat terjadi adalah sakit kepala,faringitis,dan sakit perut.
Namun efek samping tidak terjadi pada semua orang.
Perlu dilakukan skin test untuk memastikan alergen penyebab terjadinya rhinitis
alergi.
Sebaiknya obat ini disimpan di tempat tertutup pada suhu ruangan.
Non Farmakologi
Hindari paparan alergen, dalam kasus ini yaitu debu.
Istirahat yang cukup dan banyak mengonsumsi air putih
Jaga kebersihan rumah dan gunakan masker ketika bepergian
Jika perlu, pastikan penyebab alergi dengan skin test
I. KESIMPULAN
- Masalah drug-related problem pada kasus ini yaitu obat inefektif, terapi obat yang
tidak diperlukan (adanya kandungan guaifenesin dan paracetamol dalam obat
dimana dalam kasus ini pasien tidak mengalami batuk dan demam), serta adanya
duplikasi terapi antihistamin. Selain itu adanya CTM juga menyebabkan reaksi
yang tidak diharapkan (sedasi).
- Rencana rekomendasi terapi yang diusulkan yaitu penggantian obat dengan
Cetirizine 5 mg yang diminum 1x sehari 1 tablet (dapat diminum sebelum atau
sesudah makan)
- Pasien diberikan edukasi untuk menghindari paparan alergen yang menjadi
pemicu terjadinya rhinitis alergi, selalu menjaga kebersihan lingkungan, serta
menerapkan pola hidup yang sehat. Selain itu, jika perlu pasien disarankan untuk
melakukan skin test yang bertujuan untuk mengetahui alergen penyebab terjadinya
rhinitis alergi.
J. DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Boies L., Higler P., 1997, Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Anonim, 2019, Cetirizine, https://clinicalkey.com, diakses pada tanggal 10
September 2019 pukul 13.00 WIB.
Anonim, 2019, Cetirizine, https://drugs.com, diakses pada tanggal 10 September
2019 pukul 13.00 WIB
Becker E., W., 1994, Microalgae Biotechnology and Microbiology,Cambridge
University Press, Melbourne
Benjamini, E., Coico, R., Sunshine, G., 2000, Immunology A Short Course, Forth
Edition, Wiley-Liss, A John Wiley & Sons, Inc., New York.
Bousquet, J. et al., 2008, ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)update
2008. Canada: World Health Organization.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice,
McGraw-Hill, New York.
Dipiro, Joseph dkk., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition, McGraw-
Hill Education, United States.
Harmadji S, 1993, Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT, Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
IAI, 2017, Informasi Spesialite Obat Indonesia, PT ISFI, Jakarta.
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N., 2008, Alergi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi keenam, FKUI
Jakarta.
Praktikan
Wirinda Shafira ( )
***
Sumber : (ARIA,2008)
Sumber : https://www.clinicalkey.com/#!/content/drug_monograph/6-s2.0-
2680?scrollTo=%23Indications
Sumber : http://www.yankes.kemkes.go.id/read-rintis-alergi-4259.html
4. Ibu Trimurti
Apakah pertimbangan memilih cetirizine dengan alasan pasien yang akan
melaksanakan ujian? Sedangkan sudah ada antihistamin generasi 3 yang memiliki
efek sedasi yang lebih kecil tapi kenapa masih dipilih anti histamin golongan 2?
Lalu dalam anti histamin generasi 2 terdapat loratadine, lebih efektif mana antara
cetirizine dan loratadine?
Jawaban:
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara efektifitas dari cetirizine dan
loratadine.Namun efek samping yang mungkin muncul dari cetirizine lebih
minimal dibandingkan dengan loratadine.
Sumber : https://www.clinicalkey.com/#!/content/drug_monograph/6-s2.0-
2680?scrollTo=%23Indications
Sumber : https://www.drugs.com/dosage/cetirizine.html