Beberapa bagian hidung yang terlibat dalam proses penciuman adalah neuroepitel
olfaktorius, bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius. Neuroepitel olfaktorius terletak dibagian
atap rongga hidung. Sel pada neuroepitel olfaktorius terdiri atas sel-sel yang merupakan reseptor
olfaktorius dan pada ujungnya terdapat silia.
Di dalam neuroepitel terdapat sustentakuler yang memiliki fungsi untuk mengatur
komposisi sel local mucus dan melindungi sel olfaktorius dari benda asing.
Bau yang tercium pada area olfaktorius mengaktifkan respon dari silia sehingga akan menyebar
ke dalam mukus yang akan berikatan dengan protein reseptor pada silia tersebut. Protein tersebut
akan berpasangan membentuk protein G sehingga ikatan ini menyebabkan stimuli guanine
nucleotide yang akan mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk menghasilkan adenosin
monofosfat yang akan mengaktifkan kanal-kanal ion natrium yang menyebabkan dihasilkannya
potensial listrik sehingga akan merangsang neuron olfaktorius.
Sel olfaktorius bipolar merupakan neuron pertama dalam system penciuman sedangkan
sel mitral dan sel tufted dari bulbus olfaktorius merupakan neuron kedua. Akson dari neuron-
neuron ini akan membentuk tractus olfaktorius.
Korteks olfaktorius merupakan bagian terakhir dari proses penciuman yang kemudian penciuman
akan dipersepsikan oleh korteks frontal sedangkan jypotalamus dan amygdala merupakan pusat
emosional dari suatu bau. 1
Salah satu modalitas farmakoterapi untuk rhinitis alergi adalah menggunakan anti
leukotrien dimana anti leukotrien terdiri atas 2 fungsi yaitu sebagai penghambat sintesis
leukotrien dan antagonis resptor leukotriene. Leukotrien ini merupakan asam lemak tak jenuh
dan akan dilepaskan pada proses inflamasi .
Pada Rhinitis alergi leukotrien ini berperan Bersama dengan mediator-mediator lainnya
pada reaksi alergi fase cepat saat terjadinya paparan ulang yang sudah tersesitisasi. Pada proses
ini akan terjadi ikatan allergen denga nig E spesifik baik dipermukaan sel mast maupun basophil
hingga terjadinya degranulasi sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Manusia memiliki 12
reseptor leukotriene dalam reaksi alergi yaitu CysLTs R-1 yang senistif terhadap antagonis
leukotriene
CysLts merupakan suatu mediator pro inflamasi yang dapat menyebabkan bronko
konstriksi yang lebih kuat menyebabkan vasokontriksi dibandingkan histamin selain itu juga
dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular yang akan menyebabkan pengeluaran
makromolekul dalam plasma ke saluran nafas. Selain itu berfungsi untuk merangsang sekresi
lendir sehingga dapat digunakan sebagai terapi pada rhinitis alergi.2
Terapi Operatif :
Neurektomi adalah prosedur pemotongan saraf yang dilakukan pada pasien rhinitis
alergi, saraf yang dipotong adalah nervus nasalis superoposterior pada foramen spenopalatina
pada foramen sfenopalatina. Tindakan ini diawali dengan injeksi 1 ml dari 1:100.000 epinefrin
pada bagian posterior dari meatus media. Terapi ini dilakukan agar gejala-gejala pada rhinitis
alergi dapat berkurang seperti gejala bersin , rinore dan hidung tersumbat. Neuroktemi ini
tindakan pembedahan pada saraf dengan memotong atau mengambil sebafian sekitar 1-2 cm
dari nervus nasalis superoposterior.3
Untuk menyesuaikan kondisi udara agar dapat diterima paru, hidung sebagai saluran pernafasan akan
turut berusaha mengkompensasi dengan cara vasodilatasi, dengan tujuan untuk meningkatkan
vaskularisasi dan memperluas mukosa agar udara dalam rongga hidung menjadi lebih hangat.
Vasodilatasi terutama terjadi di koana yang akan menimbulkan manifestasi gejala berupa hidung
tersumbat. Udara dingin dan kering (cold dry air/CDA) dapat menyebabkan meningkatnya tonicity
dan osmolarity sekresi mukosa hidung. Rangsangan hiperosmolaritas menjadi trigger pada saraf,
diikuti stimulasi reflek sistem parasimpatis. Pelepasan epitel yang terjadi sebagai respons klinik
terhadap CDA pada mukosa hidung disebabkan karena epitel tidak dapat mengkompensasi
kehilangan air. Sel epitel akibat rangsangan hipertonik dapat melepaskan metabolit asam
arakidonat, terutama hidroksieicosatetraenoid yang dapat mengaktifkan akhiran saraf sensoris dan
memunculkan gejala. Udara dingin dan kering juga dapat memicu degranulasi sel mast dan basofil
pada permukaan mukosa, akibatnya mediator histamin, prostaglandin (PGD2), kinin, dan N-α-tosyl-
L-arginin methyl ester (TAME) akan meningkat dan menimbulkan manifestasi gejala rinitis alergi,
asma, dan urtikaria yang tidak berhubungan langsung dengan paparan alergen penyebabnya4,5
DAFTAR PUSTAKA
1. Addison AB, et all. Clinical Olfactory Working Group consensus statement on the
treatment of postinfectious olfactory dysfunction. J Allergy y Clin ImmunoL. 2021. 147:5
2. Nugroho PS, Parawati DR. PENGGUNAAN ANTI LEUKOTRIEN DALAM TERAPI RINITIS
ALERGI
3. Hua H, et all. The long-term outcomes of posterior nasal neurectomy with or without
pharyngeal neurectomy in patients with allergic rhinitis: a randomized controlled trial.
Brazilian Journal of Otorhinolaryngology, 2021. 7:89
4. Deng S-Z, Jalaludin BB, Antó JM, Hess JJ, Huang C-R. Climate change, air pollution,
and allergic respiratory diseases: A call to action for Health Professionals [Internet].
Chinese medical journal. Wolters Kluwer Health; 2020. 5:133(13)
5. Kim HM, Kim HH, Lee JT. Assessing the cold temperature effect on hospital visit by
allergic rhinitis in Seoul, Korea. Science of the Total Environment. 633 (2018) 938–945
6. Djohan GA, Dewi SM. Hubungan antara tingkat intensitas latihan fisik dengan prevalensi
rhinitis pada mahasiswa Universitas Tarumanagara berusia 18-24 tahun. Tarumanagara
Medical Journal.2020. Vol. 3(1) 78-84
7. Heinzerling L, et All. Skin prick test- the European standard. Allergy clin J. 2013. 3:3