Anda di halaman 1dari 9

Rhinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat peradangan yang terjadi di rongga hidung yang

diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) akibat paparan terhadap suatu alergen. Golongan alergen yang
paling sering menimbulkan rhinitis alergi adalah alergen indoor seperti tungau debu rumah dan
komponen sel epitel bulu peliharaan, serta alergen outdoor seperti serbuk sari dan bagian tumbuhan.[1]

Penegakan diagnosis rhinitis alergi dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Anamnesis penting untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit dan frekuensi gejala. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda-tanda rhinitis
alergi seperti nasal crease, sekret hidung, deviasi septum, serta manifestasi rhinitis alergi pada hidung,
mata, dan orofaring. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa skin test dan pemeriksaan
kadar IgE.[1]

Tata laksana utama untuk rhinitis alergi adalah dengan menghindari alergen pencetus. Tata
laksana farmakologi untuk rhinitis alergi dengan menggunakan pendekatan stepwise. Beberapa agen
farmakologi yang digunakan antara lain antihistamin oral, antihistamin intranasal, kortikosteroid
intranasal, antagonis reseptor leukotrien, antibodi IgE, dan imunoterapi.[2).

Epedimiologi

Rhinitis alergi secara epidemiologi merupakan penyakit yang bersifat global dan dapat terjadi di
semua usia.

1. Global

Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika, prevalensi
untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan hampir 40% pada usia anak anak. Peningkatan
prevalensi rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang berat karena pada umumnya
pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya dan penurunan
kualitas hidup.[2] Pada suatu survei di Amerika mengenai gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55%
(8267 pekerja) dengan gejala rhinitis alergi menjadi tidak produktif selama 3.6 hari dalam satu tahun. Di
Asia Pasifik, prevalensi rhinitis alergi tinggi terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan
menengah, yaitu sekitar 5-45%.[4]

2. Indonesia

Belum ada data nasional mengenai prevalensi rhinitis alergi di Indonesia. Suatu penelitian di
Bandung menemukan prevalensi kasus rhinitis alergi di RS. Hasan Sadikin sebanyak 38.2% dan sekitar
64.6% pasien rhinitis alergi tersebut berada pada rentang usia 10-29 tahun dan sekitar 45.1% berprofesi
sebagai pelajar.[4]

3. Mortalitas

Dibandingkan dengan beberapa kondisi medis yang lain, rhinitis alergi jarang sekali menimbulkan
masalah yang berat karena penyakit ini tidak menimbulkan kejadian morbiditas dan mortalitas yang
berat namun beban biaya menjadi suatu hal yang penting pada kasus ini. Rhinitis alergi akan
menurunkan kualitas hidup penderita, gangguan jumlah dan kualitas tidur, fungsi kognitif sehingga
pasien menjadi semakin lelah dan tidak dapat menjalankan fungsinya, baik dalam pekerjaan atau
sekolah.[1).

Etiologi

Etiologi rhinitis alergi berupa alergen yang dapat ditemui baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Alergen outdoor antara lain serbuk sari, debu, bagian dari tumbuhan tertentu seperti pohon,
rumput dan jamur. Alergen yang dapat ditemui di dalam rumah adalah tungau debu rumah, yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus serta komponen sel epitel bulu hewan
peliharaan seperti kucing dan anjing.

Pencetus nonspesifik seperti rokok, udara kering, atau cuaca dingin juga dapat berperan
menyebabkan rhinitis alergi melalui mekanisme hiperresponsivitas nonspesifik. Dokter juga harus
menggali pekerjaan pasien untuk menentukan ada tidaknya rhinitis alergi okupasional, misalnya
pekerjaan yang terpapar dengan debu kayu, lateks, atau lem.

Faktor Risiko

Orang dengan penyakit alergi lainnya, seperti dermatitis atopi dan asma, memiliki risiko
mengalami rhinitis alergi yang lebih tinggi. Memiliki orang tua atau saudara dengan riwayat alergi, ibu
yang merokok saat hamil, serta paparan rokok saat bayi dan anak-anak juga meningkatkan risiko
mengalami rhinitis alergi.[2,3]

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya rhinitis alergi diperankan oleh beberapa proses, yaitu sensitisasi alergen,
reaksi tipe cepat dan lambat, inflamasi neurogenik, hiperresponsivitas nonspesifik, serta konsep one
airway one disease.

1. Sensitisasi Alergen

Permukaan sel mukosa hidung banyak mengandung Antigen Presenting Cell (APC), seperti sel dendritik.
APC ini akan mengenali alergen pencetus rhinitis alergi dan mengeluarkan beberapa peptida, yang akan
berikatan dengan major histocompability complex (MHC II). Kompleks MHC 2-antigen ini akan berperan
sebagai ligan untuk CD4 (koreseptor sel T helper 2 / Th2). Sel Th2 yang teraktivasi akan memproduksi
sitokin untuk mengaktifkan sel B untuk memproduksi immunoglobulin E (IgE) pada sel mast dan basofil,
serta meningkatkan proliferasi eosinofil, sel mast dan neutrofil.

2. Reaksi Tipe Cepat dan Tipe Lambat

Pada saat pasien terpapar alergen, akan timbul dua reaksi alergi, yaitu reaksi alergi tipe cepat dan
tipe lambat.
Reaksi alergi tipe cepat menimbulkan gejala bersin dan hidung berair yang muncul dalam waktu
tiga puluh menit setelah terpapar alergen. Reaksi ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1. Sel Mast yang
termediasi oleh alergen akan mengeluarkan beberapa mediator kimia seperti histamin, prostaglandin
dan leukotrien. Mediator kimia inilah yang menyebabkan munculnya gejala secara cepat.

Reaksi alergi tipe lambat yaitu gejala yang timbul akibat sumbatan hidung. Reaksi ini biasanya
terjadi dalam 60 menit setelah terpapar alergen. Reaksi ini dimediasi oleh mekanisme kemotaksis
eosinofil. Mekanisme kemotaksis ini dimediasi oleh mediator kimia yang diproduksi pada reaksi tipe
cepat. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, eosinofil akan berpindah ke mukosa hidung dan
menimbulkan kerusakan pada jaringan normal yang pada akhirnya menimbulkan gejala obstruksi.

3. Inflamasi Neurogenik

Epitel saluran nafas yang rusak dan serat saraf sensori yang terpapar oleh protein sitotoksik dari
eosinofil akan merangsang pengeluaran neuropeptida seperti substans P dan neurokinin A.
Neuropeptida ini akan menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mukus oleh sel goblet dan eksudasi
plasma kapiler sehingga terjadi inflamasi.

4. Hiperresponsivitas Nonspesifik

Mekanisme ini menupakan mekanisme yang sering terjadi pada reaksi alergi. Akibat dari
infiltrasi eosinofil dan kerusakan yang ditimbulkan oleh proses inflamasi, mukosa hidung akan menjadi
lebih reaktif terhadap stimulus normal dan memperberat gejala bersin, hidung berair, gatal pada hidung
dan obstruksi. Keadaan ini tidak diperankan oleh IgE namun sering dicetuskan oleh stimulus nonspesifik
seperti rokok, udara kering, atau cuaca dingin.

5. Konsep One Airway One Disease

Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 10-40% pasien dengan rhinitis alergi sering kali juga
menunjukkan gejala asma. Mekanisme ini diakibatkan oleh infiltrasi eosinofil tidak hanya terjadi pada
mukosa hidung namun juga dapat terjadi di mukosa bronkus dan menginduksi respon yang berlebihan
pada bronkus. Akibat adanya kesamaan pada sebagian besar struktur sel pada saluran nafas dan
mediator inflamasi ini maka konsep one airway one disease diyakini juga berperan pada pasien dengan
rhinitis alergi yang disertai dengan gejala asma.[2]

Diagnosis

Diagnosis rhinitis alergi berdasarkan anamnesis tentang gejala alergi yang sering terjadi pada
pasien, pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnesis

Gejala yang sering dikeluhkan pasien dengan rhinitis alergi antara lain: bersin, rasa gatal pada
hidung, mata, telinga dan langit-langit mulut serta hidung yang terasa menyumbat. Dugaan adanya
rhinitis alergi akan semakin besar jika pada pasien terdapat dua atau lebih dari gejala yang ada dan
keluhan berlangsung lebih dari satu jam serta terjadi hampir setiap hari. Pasien dengan gejala tersebut
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan skin prick test dan pemeriksaan serum IgE. Sekret hidung yang
mukopurulen, adanya post nasal drip yang mukoid, anosmia, nyeri pada hidung dan adanya epistaksis
yang berulang umumnya tidak berhubungan dengan rhinitis alergi.[2] Berdasarkan berat ringannya dan
frekuensi terjadinya keluhan, pasien dengan rhinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok sebagai berikut:

Beberapa pasien juga sering mengeluhkan beberapa gejala yang berkaitan dengan komplikasi dari
rhinitis alergi, yaitu sinusitis akut, sinusitis kronik, otitis media, gangguan tidur, dan obstructive sleep
apnea, gangguan pada gigi akibat sering bernapas melalui mulut, abnormalitas pada langit langit dan
disfungsi tuba.

Dokter juga harus menggali kemungkinan penyebab rhinitis alergi pada pasien, baik penyebab di dalam
ruang, luar ruang, maupun terkait pekerjaan. Hal ini penting supaya pasien dapat mengenali pencetus
rhinitis alerginya dan menghindarinya.[5]
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik rhinitis alergi sering sekali berhubungan dengan gangguan pada hidung antara lain:
nasal crease, yaitu adanya garis pada hidung bagian bawah yang terjadi akibat penggosokan berulang
dengan menggunakan telapak tangan karena terasa gatal, adanya sekret cair pada hidung, deviasi atau
perforasi septum hidung jika sudah menimbulkan komplikasi sinusitis kronik.

Tanda lain yang juga dapat ditemukan adalah manifestasi rhinitis alergi di hidung, mata dan orofaring.
Tanda tersebut antara lain: retraksi pada membran timpani, injeksi dan pembengkakan pada
konjungtiva palpebra, garis dennie morgan yaitu garis yang berada di kelopak mata bagian bawah,
allergic shiners yaitu lingkaran hitam yang mengelilingi mata yang terjadi akibat kongesti dan
vasodilatasi vena hidung, hipertrofi tonsil, maloklusi dan arkus palatum yang tampak lebih tinggi.[5]

Diagnosis Banding

Diagnosis banding rhinitis alergi adalah sebagai berikut:

Rhinitis lain: rhinitis vasomotor, rhinitis nonalergi, non-allergic rhinitis with nasal eosinophilia syndrome
(NARES), rhinitis gustatory, rhinitis medikamentosa, rhinitis anatomic, rhinitis granulomatosa, atau
rhinitis viral

Penyakit hidung lain: diskinesia silier, polip hidung, sinusitis akut, sinusitis kronik[5,6]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan skin test dan kadar serum IgE bermanfaat untuk
menentukan alergen penyebab rhinitis alergi secara pasti.

Skin Test

Skin test adalah pemeriksaan yang paling penting untuk memastikan alergen penyebab dari rhinitis
alergi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain uji gores, uji tusuk, uji
tempel dan intradermal. Uji tusuk (skin prick test) adalah pemeriksaan yang paling disarankan di antara
seluruh pemeriksaan tersebut. Walau demikian, skin test menggunakan metode manapun memiliki
beberapa kelemahan berupa rendahnya tingkat akurasi pemeriksaan dan hasil positif belum tentu
berkorelasi positif dengan adanya rhinitis alergi.

Kelemahan lain pada pemeriksaan ini antara lain sangat dipengaruhi terhadap penggunaan obat-obatan
seperti antihistamin, usia pasien dan gangguan kulit yang terjadi pada lokasi penyuntikan. Pada suatu
penelitian di Korea mengenai uji tusuk, ditemukan sekitar 70-80% penyebab rhinitis alergi adalah tungau
debu rumah.
Kadar Immunoglobulin E (IgE)

Pemeriksaan kadar IgE pada serum awalnya dilakukan menggunakan radioallergosorbent test (RAST)
namun pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena penggunaan isotop radioaktif dan cenderung
mahal. Saat ini, pemeriksaan kadar IgE dilakukan secara in vitro, misalnya menggunakan fluorescence
enzyme immunoassay (FEIA). Tes in vitro seperti ini dapat mengukur kadar spesifik IgE[2]

Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan multiple allergen simultaneous test (MAST) dengan
menggunakan photo reagent sehingga cenderung tidak mahal dan dapat mendeteksi banyak alergen
bersamaan. Pemeriksaan ini tidak dipengaruhi oleh penggunaan antihistamin oral. Namun sensitivitas
pemeriksaan ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan uji tusuk. Pemeriksaan lain dengan
prinsip yang sama dengan MAST ini adalah capsulated hydrophilic carrier polymer (CAP) yang memiliki
afinitas yang tinggi terhadap alergen karena menggunakan antigen yang spesifik. Dalam percobaan in
vitro menunjukkan hasil yang lebih akurat.[2]

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan kadar eosinofil pada darah
namun pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifik karena dipengaruhi oleh banyak faktor.

Pemeriksaan radiologi seperti radiografi (posisi Caldwell, Waters dan lateral), Coronal CT scan dan MRI
tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk
menyingkirkan adanya deformitas pada hidung dan tulang sekitarnya, serta komplikasi yang sering
terjadi akibat rhinitis alergi, misalnya sinusitis kronik.[5]

Tatalaksana

Penatalaksanaan utama rhinitis alergi berupa pengenalan pencetus alergi dan menghindarinya. Untuk
itu, diperlukan anamnesis dan konfirmasi menggunakan pemeriksaan penunjang, untuk memastikan
faktor pencetus pada pasien.

Berobat Jalan

Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah menghindari pencetus alergi. Sesuai dengan alergen yang
paling sering menimbulkan keluhan rhinitis alergi yaitu tungau debu rumah dan sel epitel pada bulu
hewan peliharaan, upaya menghindari alergen ini dapat dilakukan dengan membersihkan peralatan
rumah dengan air yang memiliki suhu 60° C.[2]

Imunoterapi

Terapi jangka panjang yang dapat dilakukan untuk pasien rawat jalan adalah dengan melakukan
imunoterapi. Imunoterapi adalah pilihan yang digunakan dengan memodifikasi mekanisme alergi dasar
dengan cara melakukan desensitisasi dan menimbulkan keadaan anergi terhadap alergen pencetus.
Pada awalnya imunoterapi ini digunakan untuk alergen berupa serbuk sari namun saat ini sudah
diindikasikan untuk alergen lain seperti tungau debu rumah, sel epitel hewan peliharaan dan jamur.
Ekstrak alergen ini akan disuntikkan melalui subkutan dengan peningkatan dosis yang bertahap sampai
mencapai dosis tetap, dosis ini akan tetap dipertahankan dalam tubuh sampai tiga tahun. Namun teknik
penyuntikan secara subkutan ini sudah mulai dihindari karena terjadinya risiko anafilaksis. Saat ini sudah
dikembangkan imunoterapi sublingual (sublingual immunotherapy / SLIT). Pada SLIT ini, keadaan anergi
terhadap alergen pencetus dapat terjadi karena terjadinya regulasi dari sel T yaitu penekanan produksi
IL-10 dan TGF-beta sehingga menekan reaksi radang. Suatu meta analisis menunjukkan pemberian SLIT
selama 4-5 tahun dapat menurunkan gejala rhinitis alergi dan terjadinya asma pada pasien rhinitis alergi.
Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan SLIT adalah gejala pruritus dan keluhan
gastrointestinal.[2,5]

Persiapan Rujukan ke Rumah Sakit

Pada umumnya rhinitis alergi dapat ditatalaksana di fasilitas kesehatan primer secara rawat jalan,
namun jika penyakit ini menunjukkan respon yang kurang baik dengan terapi awal atau disertai dengan
penyakit komorbid dan komplikasi lainnya, sebaiknya persiapkan pasien untuk dirujuk ke fasilitas
kesehatan lanjutan untuk terapi seperti imunoterapi dan penatalaksanaan komorbid serta komplikasi
yang terjadi.[5]

Medikamentosa

Terapi obat-obatan pada rhinitis alergi dilakukan dengan stepwise approach sesuai dengan tingkat
keparahan dan frekuensi penyakit. Obat yang dapat digunakan untuk rhinitis alergi ini adalah:

Antihistamin Oral

Antihistamin oral yang disarankan pada penatalaksanaan rhinitis alergi adalah antihistamin H1 oral
generasi dua karena mekanisme penetrasi obat ini pada sawar darah otak jauh lebih kecil dari pada
antihistamin H1 generasi satu sehingga efek samping seperti sedasi, disfungsi psikomotor dan gangguan
memori dapat dicegah. Golongan antihistamin H1 generasi dua yang paling sering digunakan adalah
acrivastin, azelastin, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine,
mequitazine, mizolastine dan rupatadine. Pada penggunaan ebastine disarankan untuk dilakukan
monitor karena obat ini dapat menimbulkan pemanjangan interval QT jika dikombinasikan dengan
ketoconazole dan eritromycin.

Kortikosteroid Intranasal

Golongan obat ini banyak digunakan karena menimbulkan efek samping yang lebih minimal. Obat ini
akan menimbulkan efek antiinflamasi dengan menghambat sintesis protein akibat adanya kompleks
DNA dan reseptor steroid. Obat ini menghambat reaksi alergi tipe cepat dan tipe lambat serta
mengurangi produksi IgE dan eosinofil melalui inhibisi sekresi beberapa sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-
13. Efek terapeutik kortikosteroid inhaler ini didapatkan pada 7 jam setelah pemakaian dan mencapai
efek maksimal setelah 2 minggu. Obat yang termasuk ke dalam golongan kortikosteroid intranasal ini
antara lain budesonide, triamcinolone, fluticasone proprionate, mometasone furoat dan fluticasone
furoat. Penggunaan kortikosteroid inhaler ini relatif aman termasuk penggunaan pada anak. Namun
pada suatu studi dilaporkan penggunaan beclomethasone selama satu tahun dapat menimbulkan
hambatan pada pertumbuhan anak. Obat ini juga dapat digunakan pada pasien rhinitis alergi yang
disertai dengan gejala asma.

Antagonis Leukotrien

Penggunaan obat ini pada rhinitis alergi didasarkan pada konsep one airway one disease karena obat ini
sebelumnya sudah dimanfaatkan untuk tata laksana asma. Penggunaan obat ini dapat meringankan
gejala hidung berair, hidung tersumbat dan mata berair. Obat yang termasuk golongan antagonis
leukotrien ini adalah pranlukast, montelukast, dan zafirlukast. Sebagian besar obat ini dimetabolisme
oleh enzim CYP3A4 di hati sehingga kombinasi dengan obat lain seperti ketoconazole, eritromisin dan
terfenadine sebaiknya dihindari.

Antibodi Anti Immunoglobulin E (Anti IgE)

Mekanisme golongan obat ini adalah dengan mengganggu interaksi antara sel mast atau eosinofil
dengan ikatan IgE bebas sehingga dapat menurunkan kadar IgE bebas pada darah selain itu juga dapat
menekan reaksi peradangan pada darah dan mukosa hidung. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
nyeri kepala, infeksi saluran napas atas, sinusitis dan urtikaria pada bekas penyuntikan.[2,8]

Prinsip Pengobatan Rhinitis Alergi (Stepwise Approach)

Ketika diagnosis rhinitis alergi ditegakkan, dokter perlu memeriksa ada tidaknya asma pada pasien,
khususnya pada pasien dengan rhinitis berat dan/atau persisten. Langkah selanjutnya adalah
mengklasifikasi rhinitis yang dialami pasien berdasarkan frekuensi gejala, persisten atau intermiten,
serta tingkat keparahan, ringan atau sedang-berat. Pilihan pengobatan didasarkan pada klasifikasi
rhinitis tersebut menggunakan stepwise approach. Jika gejala tidak membaik dengan step yang lebih
rendah, tingkatkan pilihan pengobatan ke step yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika gejala membaik,
turunkan pilihan pengobatan ke step yang lebih rendah. Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2-4
minggu.
Edukasi

Edukasi dan promosi kesehatan terkait rhinitis alergi kepada pasien adalah dengan cara mengenali dan
menghindari alergen pencetus, alergen yang bersifat nonspesifik. Karena alergen yang paling banyak
menimbulkan rhinitis alergi adalah tungau debu rumah maka upaya yang dapat dilakukan salah satunya
adalah dengan membersihkan seluruh perlengkapan rumah dengan air bersuhu 60° C.

Aspek edukasi lainnya adalah terkait pengobatan rhinitis alergi. Pasien harus berobat secara teratur dan
kontrol rutin setiap 2-4 minggu untuk dapat dievaluasi respon terapinya sehingga dokter dapat
menentukan apakah diperlukan step up atau step down.[1,2]

Komplikasi dan prognosis

Prognosis rhinitis alergi cenderung baik karena jarang menyebabkan mortalitas tetapi penyakit ini
memiliki risiko komplikasi dan komorbid yang cukup tinggi, serta penurunan kualitas hidup.

Komplikasi

Komplikasi dan penyakit komorbid lain yang mungkin terjadi pada rhinitis alergi antara lain konjungtivitis
alergi, rhinosinusitis, polip hidung, hipertrofi adenoid, disfungsi tuba eustasius dan otitis media dengan
efusi.[2]

Prognosis

Rhinitis alergi jarang menimbulkan keadaan yang membahayakan jiwa, sehingga prognosis pada pasien
ini cenderung baik selama tidak terjadi komplikasi dan penyakit komorbid yang berat. Walau demikian,
penyakit ini memiliki dampak penurunan kualitas hidup yang signifikan bagi pasien jika tidak terkontrol.
[1]

Anda mungkin juga menyukai