• Pemeriksaan penunjang:
• Pemeriksaan sitologi hidung.
• Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinanalergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jikaditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
• Hitung eosinofil dalam darah tepi.
• Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan pemeriksaan
IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial
atau urtikaria.
• Uji kulit.
• Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo dengan beberapa cara. Yaitu
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri ( Skin End-point
Titation/SET), uji cukit ( Prick Test), dan uji gores (Scratch Test).
• Tes IgE spesifik dengan RAST (Radio Immunosorbent Test) atau ELISA ( Enzyme
Linked Immunoassay).
14. Penatalaksanaan Rinitis Alergi
• Penatalaksanaan rinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan
penghindaran alergen penyebab dan kontrol lingkungan. Medikamentosa
diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama.
Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan
pencegahan. Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini
• Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok
reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak
menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi
pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan
difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan
loratadin/desloratadin. Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap
lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat
(kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun
obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek
antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar
tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau
kardiotoksisitas.
• Antihistamin-H1 lokal Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin
dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1.
Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-
H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam
mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif
ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.
• Kortikosteroid intranasal Kortikosteroid intranasal (misalnya
beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan
triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi
nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling
efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung.
Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat
setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak
masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian
lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang
efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung
jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan
dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu
pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan
keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
• Kortikosteroid oral/IM Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason,
hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon,
dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas
nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,
kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek
samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid
sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil
perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
• Kromon lokal (‘local chromones’) Kromon lokal (local chromones), seperti
kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak
diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal
kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini
ringan dan tingkat keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium
kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang
kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini
tidak dijumpai efek samping.
• Dekongestan oral Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan
pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi
gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau
tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian
terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral
efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
• Dekongestan intranasal Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin,
naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini
bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya
harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis
medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih
ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis
alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi
dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan
kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
• Antikolinergik intranasal Antikolinergik intranasal (misalnya
ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus
(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik.
Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek
antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan
untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung
beringus yang menonjol.
• Anti-leukotrien Anti-leukotrien, seperti montelukast,
pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT,
dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri
ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral,
namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat
ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
15. Komplikasi rinitis alergi
- Berkurangnya kualitas hidup
- Kurang tidur
- Memperberat asma
- Sinusitis
- Infeksi telinga
15. Prognosis rinitis alergi
Sebagian besar pasien dapat hidup normal.
Hanya pasien yang mendapatoterapi untuk
alergen spesifik yang dapat sembuh dari
penyakitnya dan banyakjugaasien yang
melakukan pengobatan simtomatik saja secara
intermiten denganbaik. ritislergi mungkin dapat
timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah
pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi
akan menurun pada pasien bilamencapai umur
4 dekade.
16. Edukasi dan preventif rinitis alergi?
• Ka inggrid
17. (A) ASMA
Definisi, etiologi, klasifikasi, epidemiologi
• Ka jannet
17. (B). ASMA : Faktor Resiko dan
gejala klinis
• Berikut adalah 10 gejala asma yang paling umum ditemukan:
• 1. Kesulitan bernapas yang disebabkan sesak napas atau napas yang sering terengah-engah. Gejala
ini menjadi penanda asma yang paling umum.
• 2. Sering batuk. Batuk bisa menjadi tanda adanya sesuatu yang salah pada paru-paru atau saluran
pernapasan.
• 3. Mengi
• 4. Dada terasa sesak. Kondisi ini menunjukkan bahwa paru-paru berada di bawah tekanan dan
sebagai akibatnya timbul rasa sakit konstan yang terjadi di daerah tersebut.
• 5. Perasaan lelah dan lesu. Kedua hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat cukup oksigen yang
didistribusikan ke tubuh oleh paru-paru.
• 6. Cepat lelah ketika melakukan aktivitas fisik seperti olahraga.
• 7. Susah tidur. Kondisi ini dapat menyebabkan tubuh terasa lesu keesokan harinya.
• 8. Lebih sensitif terhadap alergi.
• 9. Pembacaan rendah bila diperiksa menggunakan peak flow meter. Peak flow meter adalah alat
yang digunakan untuk mengukur fungsi paru-paru dan untuk menentukan apakah paru-paru
bekerja di tingkat normal dalam memanfaatkan oksigen.
• 10. Ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas fisik yang panjang tanpa mengalami masalah
pernapasan.
•
17. (C). ASMA : Patogenesis
Diawali dengan inhalasi yang bersifat alergen
maupun polutan yang kemudian sampai pada
dinding mukosa dari saluran bronkus. Terjadi
respon imun terhadap antigen tersebut
sehingga menstimulasi hipereksresi mukus dan
edem pada mukosa oleh mediator kimia yang
dihasilkan terjadinya bronkokonstriksi
udara sulit masuk-keluar yang dalam gejala klinis
tampak sesak.
17. (D). ASMA : Respon Imun
• Mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B
dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen
atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik
yang disebut reaksi hipersensitivitas.
• Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50
sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-
kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi
dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang
menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen).
• Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak progresif.
Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi paru yang irreversible,
pasien ini seringkali memiliki tangsangan komorbid seperti perokok sigaret yang tidak dapat
dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus
berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang
menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik dengan
jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien menjadi tua
17. (H). ASMA : Edukasi dan preventif
• Ka Dudu
18. (A) Sinusitis
Definisi, etiologi, klasifikasi, epidemiologi
• Ka Nisa
18. (B). Sinusitis : Faktor Resiko dan
gejala klinis
• Ka Inggrid
18. (C). Sinusitis : Patogenesis
• Ka Jannet
18. (D) RESPONS IMUN SINUSITIS
KRONIK (1)
• Hipereaktivitas saluran napas (Asma) merupakan
faktor yang berperan pada sinusitis kronik dengan
ditemukannya gen ADAM-33 (disintegrin dan
metaloprotease 33).
• Imunodefisiensi (bawaan atau yang didapat) juga
berperan terhadap sinusitis kronik.
• Pada penelitian menunjukkan bahwa pada
keadaan level immunoglobulin (IgG, IgA, IgM)
yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T,
maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung
meningkat.
RESPONS IMUN SINUSITIS KRONIK (2)
• Pada individu dengan HIV, sinusitis sering
terjadi (38-68%) dengan klinis yang lebih berat
namun resisten terhadap terapi.
RESPONS IMUN SINUSITIS KRONIK (3)
• Sel inflamasi sinusitis kronik:
– Limfosit, eosinofil, makrofag, mastosit, neutrofil.
• Mediator inflamasi sinusitis kronik :
• Sitokin,kemokin, molekul adhesi, eicosanoid,
Metaloproteinase dan TGF beta, immunoglobulin, nitrit
oksida (NO), neuropeptida, musin, VEGF (vascular
endothelial-cell growth factor), SP-A (surfactant protein
A).
18. (E). Sinusitis : Pemeriksaan fisik
dan penunjang
Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
1. Kriteria Mayor :
- Sekret nasal yang purulen
- Drenase faring yang purulen
- Purulent Post Nasaldrip
- Batuk
- Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih 50% dari antrum
- Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus
2. Kriteria Minor :
- Sakit kepala - Edem periorbital
- Nyeri di wajah - Sakit gigi
- Nyeri telinga Sakit tenggorok - Nafas berbau
- Bersin-bersin bertambah sering - Demam
- Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri
- Ultrasound
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
o Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut
o Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif
dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis.
2. Imaging
o Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan perselubungan.Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen
gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.
o CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis.
· MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut
18. (F) Sinusitis
Tatalaksana
Sinusitis akut
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari. Beberapa antibiotik yang
direkomendasikan untuk sinusitis akut adalah Amoxicillin, Amoxicillin-clavulanate, cefpodoxime
proxetil dan cefuroxim, Trimethoprim-sulfamethoxazole, clarithromycin dan Azithomycin. Jika obat-
obatan garis depan tersebut di atas mengalami kegagalan dan kurang memberikan respon dalam
waktu 72 jam pada terapi awal, maka pemberian antibiotik dengan spektrum lebih luas bisa
dipertimbangkan. Ini termasuk fluoroquinolone generasi lebih baru, gatifloxacin, moxifloxacin dan
lefofloxaci. Selain antibiotik dapat diberikan decongestan untuk memperlancar drainase sinus,
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri dan mukolitik untuk mengurangi kekentalan mukus. Bila
ada rinitis alergi dapat diberikan antihistamin. Pemberian kortikosteroid tidak direomendasikan pada
sinusitis akut. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila ada komplikasi
ke orbita atau intrakranial; atau ada nyeri yang hebat karena ada sekret yang tertahan oleh
sumbatan.
Sinusitis Subakut
Terapinya diberikan antibiotik bersepektrum luas, atau sesuai tes resistensi kuman, selama 10 – 14
hari. Juga diberikan dkongestan, analgetik, mukolitik dan antihistamin bila ada alergi. Dapat juga
dilakukan tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek, sebanyak 5 sampai 6 kali pada daerah
yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian
sinus. Tindakan intranasal lain yang mungkin perlu dilakukan antara lain operasi koreksi septum bila
terdapat devisiasi sevtum, pengangkatan polip dan konkotomi bila ada hipertofi konka. Prinsipnya
supaya drainase sekret menjai lancar.
18. (F) Sinusitis
Tatalaksana
Sinusitis Kronik
Terapi medis harus melibatkan antibiotik dengan spektrum luas, dan steroid itranasal topikal
untuk mengobati komponen inflamasi yang kuat dari penyakit ini. Antibiotik yang menjadi
pilihan diantaranya amoxicillin-clavulanate, Clindamycin, Cefpodoksime proxetil, cefuroxime,
gativloxacin, moxifloxacin, dan levofloxacin. Juga diberikan dekongestan, mukolitik dan
antihistamin bila ada rinitis alergi dan dapat juga dibantu dengan diatermi. Berbeda dengan
sinusitis akut yang biasanya segera senbuh dengan pengobatan yang tepat, penyakit sinusitis
kronis atau sinusitis akut berulang sering kali sulit disembuhkan dengan pengobatan
konservatif biasa. Dahulu, bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan operasi radikal pada
sinus yang terkena antara lain etmoidektomi intra nasal, yang merupakan operasi yang
berbahaya karena dilakukan secara membuta, dan banyak komplikasi berbahaya karena sinus
etmoid terletak di midfasial yang berhubungan dengan struktur-struktur penting seperti
orbita, otak, sinus kavernosus dan kelenjar hipofisis. Berdasarkan penemuan baru dari
Messerklinger mengenai patofisiologi sinusitis disertai bantuan pemeriksaan radiologi canggih
yaitu CT scan, maka teknik operasi lama ditinggalkan dan dikembangkan teknik baru yaitu
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau lebih dikenal dengan Fungsional Endoscopic
Sinus urgery (FESS). Perinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan KOM ini sehingga
nantinya tidak ada lagi hambatan ventilasi dan drainase. Keuntungan BSEF ialah tindakan ini
biasanya sudah cukup untuk menyembuhkan kelainan sinus yang berat-berat sehingga tidak
perlu tindakan radikal.
18. (G). Sinusitis : Komplikasi dan
prognosis
• Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 %
akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik.
Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah
pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %.
Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada
pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat
menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess,
atau komplikasi extra sinus lainnya.
• Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika
dilakukan pengobatan yang dini maka akan mendapatkan
hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa orbital
cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension
(brain abscess, meningitis) dan mucocele formation.
18. (h) Edukasi dan preventif sinusitis :
http://eprints.undip.ac.id/14919/1/OSAS_pada_
Kasus-kasus_THT_Anak_-_dr_Farokah.pdf
Rera
19. (F) penatalaksanaan OSAS ?
2. Konsumsi alhohol
Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan resistensi
inspirasi selama stage 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada laki-laki
muda normal. Efek terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari
metoda pengukuran yang digunakan. Tekanan oklusi inspirasi yang diukur
dengan menilai otot-otot inspirasi, cenderung meningkat selama tidur setelah
mengkonsumsi alkohol. Namun demikian, respons ventilasi terhadap
hiperkapnia menurun pada banyak subjek dan respons terhadap hipoksia
isokapnik bervariasi, meningkat pada sebagian subjek. Mendengkur
kemungkinan terjadi karena resistensi inspirasi yang tinggi selama tidur.
3. Obesitas
Penelitian epidemiologik menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas dan OSA.
Namun demikian, secara kausal hubungan antara berat badan berlebih dan
sleepdisordered breathing masih sulit ditemukan. Insidens OSA diantara pasien obese
adalah 12 sampai 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi lain dan pasien ini dapat
bariatric surgery, meskipun rekurensi jangka panjang kemungkinan dapat terjadi.
Pendekatan baik bedah maupun bukan bedah untuk menurunkan berat badan telah
dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian mempunyai banyak keterbatasan. Lingkar
leher, merupakan prodiktor kuat untuk sleep-disordered breathing diantara beberapa
penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh bagian atas, dibandingkan dengan
distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih berpengaruh terhadap terjadinya
OSA. Penurunan berat badan harus dianjuran pada pasien OSA, termasuk juga mereka
yang dengan peningkatan berat badan sedang. Kombinasi diet sangat rendah kalori
dengan pengaturan kebiasaan adalah aman dan hemat sebagai penanganan utama
OSA.
4. Posisi Tubuh Posisi supine merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI
pada banyak pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh
lateral. Nilai ApneaHyponea Index (AHI) pada pasien dengan posisi tidur apneik
dianalisis dengan tahapan tidur (sleep stage) untuk menentukan apakah perbedaan
posisi mempengaruhi nREM. Perbedaan beratnya apnea dikaitkan dengan posisi tidur
didapatkan menetap pada REM sehingga penanganan posisi tidur perlu
dipertimbangkan. Hasil penelitian menunjukkan meskipun pasien dengan OSA berat
memiliki jumlah apneik yang banyak pada posisi supine dan lateral, kejadian apneik
lebih berat pada posisi tidur supine daripada tidur lateral.