Anda di halaman 1dari 54

ANATOMI HIDUNG

INDERA PENCIUMAN
ANATOMI HIDUNG
& SINUS PARANASALES
• HIDUNG LUAR (Nasus eksternus):
• dorsum nasi
• apeks nasi
• radiks nasi
• ala nasi
• HIDUNG DALAM (Nasus internus):
• rongga hidung
• septum nasi
• SINUS PARANASALES:
• sinus frontalis
• sinus maksilaris
• sinus (sel-sel) ethmoidalis
• sinus sfenoidalis
HIDUNG LUAR
(Nasus eksternus)

• dorsum nasi
• apeks nasi
• radiks nasi
• ala nasi
HIDUNG DALAM (Nasus Internus)

• Cavum nasi (rongga hidung)


• Ataplamina cribriformis os ethmoidale, disini terdapat n. olfaktorius
• Dasar processus palatinus os maxilla dan the lamina horizontalis os
palatina
• Os nasale
• Os vomer
HIDUNG
DALAM Os frontalis
Os nasale

Konka media

Konka inferior
Septum nasi Os maxillaris

Cavum nasi
HIDUNG DALAM (Nasus Internus)
• Cavum nasi (rongga hidung)
• Terdapat tonjolan & lipatan selaput lendir hidung, yg disebut konka, terdiri dari :
• konka nasalis inferior
• konka nasalis media
• konka nasalis superior
• Meatus nasi inferior  ruang antara dasar cavum nasi dg konka nasalis inferior
• Meatus nasi media ruang antara konka nasalis inferior dg media
• Meatus nasi superior  ruang antara konka nasalis media dg superior
meatus nasi media

konka nasi inferior


HIDUNG DALAM (Nasus Internus)
• Septum nasi
• Lamina perpendicularis os ethmoidalis
• Os vomer
• Cartilago septi nasi
10
SINUS PARANASALIS
• Disekitar rongga hidung trdpt rongga2 => sinus paranasalis
• Terdiri dari :
• Sinus frontalis
• Sinus maksilaris
• Sinus sfenoidalis
• Sinus ethmoidalis
• Sinus-sinus ini juga dilapisi selaput lendir seperti hidung, sehingga bila terjadi
peradangan maka cairan lendir tidak bisa keluar akibatnya sinusitis
FISIOLOGI HIDUNG
Indera Penciuman
FISIOLOGI HIDUNG
FISIOLOGI HIDUNG
• Alat pencium terdapat dalam rongga hidung dari ujung saraf otak nervus olfaktorius
• Serabut saraf ini timbul pd bag atas selaput lendir hidung => area olfaktoria
• N. olfaktorius dilapisi oleh sel-sel yg sangat khusus yg mengeluarkan fibril-fibril yg
halus, terjalin dg serabut-serabut dr bulbus olfaktorius
• Bulbus olfaktorius mrpkan lanjutan dr bagian otak yg ujung-ujung akhirnya
menembus lempeng kribiformis dasar tulang otak (os ethmoidalis) yg berlubang-
lubang
• N. olfaktorius terletak pada os ethmoidalis
FISIOLOGI HIDUNG
• Dari bulbus olfaktorius, penciuman dihantarkan melalui traktus
olfaktorius menuju pusat olfaktoria pd otak bagian lobus temporalis,
tempat penciuman ditafsirkan
• Bau yg masuk ke rongga hidung akan merangsang n. olfaktorius di bulbus olfaktorius
• Indera bau bergerak lewat traktus olfaktorius dg perantaraan stasiun penghubung hingga
mencapai daerah penerima akhir dlm pusat olfaktorius pd lobus temporalis di otak besar
tempat penafsiran bau tsb.
• Rasa penciuman dirangsang oleh gas yg masuk dan akan mudah hilang pd bau yg sama dlm
waktu lama
created by rolanda
FISIOLOGI HIDUNG
• Rangsangan reseptor hanya berespon terhadap senyawa-senyawa yg kontak
dg epitel olfaktorius dan dilarutkan dlm lapisan tipis mukus yg menutupinya
• Ambang olfaktorius yg menggambarkan sensitivitas hebat reseptor
olfaktorius thd sejumlah senyawa yg dpt dicium pd konsentrasi >500pg/L
diubah 30% dr sebelum dpt dideteksi.
• Molekul penghasil bau mengandung 3-20 atom karbon yg memiliki bau yg
berbeda
FISIOLOGI HIDUNG
• Manusia dpt membedakan 2000-4000 bau yg berbeda & menghasilkan pola
ruang yg berbeda dari peningkatan aktivitas metabolik di dalam olfaktoria
• Bau khusus bergantung pada pola ruang perangsangan reseptor dalam
membran mukosa olfaktorius
• Bila seseorang secara kontinyu terpapar pd bau yg paling tdk disukai, mk
perserpsi bau menurun lalu berhenti. Ini disebabkan oleh adaptasi yg cukup
cepat yg timbul dalam sistem olfaktorius
FISIOLOGI HIDUNG
Indera penciuman :
• Akan melemah bila selaput lendir hidung sangat kering, terlalu basah, atau
membengkak seperti saat influenza
• Akan menghilang akibat cedera pad akepala
• Batas ambang meningkat seiring pertambahan usia
FISIOLOGI HIDUNG
• Anosmia = tidak adanya indera penciuman
• Hiposmia = pengurangan sensitivitas olfaktorius
• Disosmia = indera penciuman berubah
RHINITIS ALERGI
Apt. Novi Milasari, M.Farm
PENDAHULUAN
• Rinitis alergi  penyakit inflamasi yang banyak ditemui  prevalensi :
bervariasi 15 – 20 %
• Int. Study of Asthma & Allergies in Children (ISAAC) di Indonesia: 0,8%-
14,9%(6-7 th), 1,4%-39,7%(13-14 th) , 10-20% % dewasa
• Prevalensi terbesar  usia 15-30 tahun  prevalensi pada usia sekolah dan
produktif meningkat  penurunan kualitas hidup  fisik, emosional,
gangguan bekerja dan sekolah, gangguan tidur malam hari akibat sumbatan
hidung, sakit kepala, lelah, penurunan kewaspadaan dan penampilan
DEFINISI
• Rinitis alergi adalah inflmasi membran mukosa hidung disebabkan oleh
paparan terhadap alergenik yang terhirup yang mengawali respon imunologik
spesifik, diperantarai oleh imunglobulin E (IgE).
EPIDEMIOLOGI
• Secara umum RA sering terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada anak-anak.
• Di beberapa negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita keluhan rinitis.
• Di Amerika Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh Centersfor Disease Control (CDC) pada
tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-anak(11%) dilaporkan menderita keluhan pernafasan terkait
alergi dalam 12 bulan terakhir.
• Disebutkan pula bahwa di Amerika Serikat, RA merupakan penyebab kedua terbanyak dari penyakit
kronis yang mengenai hampir 60 juta penduduk Amerika, dimana kira-kira terdapat 1 orang diantara 4
rumah tangga.
• Dari yang menderita tersebut lebih dari setengahnya memiliki gejala RA lebih dari 10 tahun
FAKTOR RESIKO
• Genetik & riwayat keluarga atopi
• Sensitisasi pd masa kehidupan dini
• Paparan alergen tinggi
• Perubahan gaya hidup, peningkatan sosial ekonomi ( gaya hidup barat )
• Efek jangka panjang polusi udara : ozon, NO, gas buang kendaraan
• Faktor infeksi pd masa neonatus ( keseimbangan Th1 dan Th2, hygiene
hypothesis )
PATOFISIOLOGI
• Reaksi awal terjadi ketika alergen di udara memasuki hidung selama inhalasi
dan kemudian di proses oleh limfosit, yang menghasilkan antigen spesifik
IgE. Hal ini menyebabkan sensitisasi pada orang yang secara genetik rentan
terhadap alergen tersebut. Pada saat terjadi paparan ulang melalui hidung,
IgE yang berkaitan dengan sel mast berinteraksi dengan alergen dari udara,
dan memicu mediator dari inflamasi.
LANJUTAN
• Reaksi segera terjadi dalam hitungan menit, yang menyebabkan pelepasan
cepat mediator yang terbentuk sebelumnya serta mediator yang baru dibuat.
Mediator hipersensitivitas segera meliputi histamin, leukotrien,
prostaglandin, triptase, dan kinin. Mediator ini menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular, dan produksi sekresi nasal. Histamin
menyebabkan rinorea, gatal, bersin, dan hidung tersumbat.
KLASIFIKASI

Sifat Tingkat ringan


Gejala
berlangsungnya beratnya
• Musiman • Intermiten (< • Ringan
• Sepanjang 4 hari/minggu) • Sedang
tahun • Persisten (>4 • Berat
hari/minggu)
KLASIFIKASI
• Klasifikasi berdasarkan sifat berlangsungnya :
• Musiman (hay fever, di daerah bertemperatur) : terjadi sebagai respon terhadap allergen
spesifik (serbuk sari) yang ada pada waktu tertentu dalam setahun (misalnya saat musim
semi) dan secara tipikal menyebabkan gejala yang lebih akut.
• Perennial (berselang-selang atau menetap): terjadi sepanjang tahun sebagai respons
terhadap allergen bukan musiman (misalnya, kutu dan jamur) dan biasanya
menyebabkan gejala yang tersembunyi dan kronik.
KLASIFIKASI
• Berdasarkan tingkat ringan beratnya penyakit:
• Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari :
• gangguan tidur
• gangguan aktifitas sehari-hari/malas/olahraga
• gangguan pekerjaan atau sekolah
• Gejala dirasakan mengganggu

• Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal di atas


MANIFESTASI KLINIS
• Gejala termasuk :
• Rinorea,
• Bersin ,
• Kongesti hidung,
• Sensasi adanya ingus (postnasal drip),
• Konjungtivitis alergik,
• Ruam mata, telinga, atau hidung.
• Pasien dapat mengeluh hilangnya penciuman atau pengecapan, yang pada banyak
kasus disebabkan oleh sinusitis. Postnasal drip dapat disertai dengan batuk dan serak
• Gejala rinitis yang tak ditangani dapat mengakibatkan insomnia, lemas, lelah,
dan memburuknya efisiensi kerja atau sekolah.
• Rinitis alergi merupakan faktor risiko asma; sebanyak 78% pasien asma
mempunyai gejala nasal, dan sekitar 38% pasien rinitis alergik menderita
asma.
• Sinusitis berulang dan kronik serta epistaksis (pendarahan hidung yang hebat)
berulang dan kronik adalah komplikasi dari rinitis alergik.
TUJUAN TERAPI
• Untuk meminimalisasi atau mencegah gejala dengan tidak ada atau sedikit
efek samping dan biaya pengobatan yang masuk akal.
• Pasien harus dapat mempertahankan pola hidup normal, termasuk
berpartisipasi dalam kegiatan luar ruangan dan bermain dengan hewan
peliharaan sesuai keinginan.
DIAGNOSIS
• Anamnesis  Gejala rinitis alergi :
• bersin-bersin (> 5 kali/serangan)
• rinore (ingus bening encer)
• hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
• gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
• mata gatal, berair atau kemerahan
• hiposmia/anosmia
• sekret belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
• frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit (intermiten atau persisten), usia timbulnya gejala,
• pengaruh terhadap kualitas hidup : ggn. aktifitas dan tidur
• Gejala penyakit penyerta : sakit kepala, nyeri wajah, sesak napas, gejala radang tenggorok, mendengkur,
penurunan konsentrasi, kelelahan
ANAMNESIS
• Cari kemungkinan alergen penyebab
• Keterangan mengenai tempat tinggal, lingkungan sekolah & pekerjaan
serta kesenangan / hobi penderita
• Riwayat pengobatan ( respon perbaikan & efek samping ), kepatuhan
• Riwayat atopi pasien dan keluarga : asma bronkial, dermatitis atopik,
urtikaria, alergi makanan
PEMERIKSAAN FISIK
• Anak-anak : Allergic shiner, Allergic Salute, Allergic Crease,
Allergic Facies
• Rinoskopi anterior
• Mukosa edema, basah, pucat-kebiruan disertai adanya
sekret yang banyak, bening dan encer
• konka inferior hipertrofi
• Nasoendoskopi  kelainan yang tidak terlihat di rinoskopi
anterior
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• In vivo :
• Tes kulit :
• Tes cukit/tusuk (Prick test), Multi test
• Intradermal
• SET (skin end point titration)
• In vitro :
• IgE total : untuk skrining, bukan alat diagnostik
• IgE spesifik
• Radiologis (Foto SPN, CT-Scan, MRI) :
• Tidak untuk diagnosis rinitis alergi
• Indikasi : Untuk mencari komplikasi sinusitis/polip, tidak ada respon terhadap terapi, direncanakan
tindakan operatif
PRICK TEST
• Banyak dipakai  sederhana, mudah, murah,
sensitivitas tinggi, cepat, cukup aman
• Tes pilihan dan primer untuk diagnostik dan riset
• Membuktikan telah terjadi fase sensitisasi
• Tes (+)  ada reaksi hipersensitivitas tipe I atau
telah terdapat kompleks Sel Mast – IgE pada
epikutan
TERAPI FARMAKOLOGI
• Antihistamin
Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 mengaktivasi
reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Antihistamin lebih
efektif dalam mencegah respons histamin daripada melawannya.
Antihistamin harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang
berkecenderungan retensi urin dan pada mereka yang mengalami
peningkatan intraokular, hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular
contoh :
• Klorfeniramin Maleat
Dosis : dewasa -> 4 mg tiap 6 jam
6-12 -> 2 mg tiap 6 jam
2-5 -> 1 mg tiap 6 jam
Indikasi : rinitis, urtikaria, hay fever
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
Efek samping : mulut kering, mengantuk, pandangan kabur
Perhatian : penderita yang menggunakan obat ini sebaiknya tidak mengendarai kendaraan bermotor atau
menjalankan mesin, tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil dan menyusui.
DEKONGESTAN
• Dekongestan
Dekongestan merupakan agen simpatomimetik yang bertindak pada reseptor dalam
mukosa nasal yang menyebabkan pembuluh darah mengecil (vasokonstriksi).
Dekongestan juga dapat mengurangi pembengkakan mukosa hidung dan melegakan
pernafasan.
Dekongestan yang umum meliputi pseudoefedrin, phenylephrine,
phenylpropanolamin dan oxymetazolin.
Dekongestan apabila dikombinasikan dengan antihistamin sangat efektif melegakan
tanda-tanda rinitis terutama bila hidung sumbat.
DEKONGESTAN
Dekongestan Sistemik
• Dekongestan sistemik diberikan secara oral.
• Dekongestan sistemik adalah seperti efedrin, fenilpropanolamin dan
pseudoefedrin.
• Jenis dekongestan sistemik dapat menyebabkan tekanan darah tinggi
terutamanya efedrin dan fenilpropanolamin apabila melebihi dosis terapeutik
sebanyak 2-3 kali.
• Phenyl Propanolamin
Mekanisme kerja : mengecilkan pembuluh darah (vena dan arteri) dalam tubuh.
Phenylpropanolamine (PPA) yang dianggap berbahaya karena menyebabkan pendarahan di otak.
Tetapi masih aman jika digunakan pada dosis di bawah 15 mg.
Efek samping : insomnia, sakit kepala, takikardia, dsb.
• Pseudoefedrin
Pseudoefedrin adalah suatu stereoisomer dari efedrina. Peseudoefedrin merupakan suatu obat
simpatomimetik dengan efek langsung pada reseptor adrenergik yang memberikan efek
dekongestan. Kerjanya mirip dengan efedrin.
Efek samping : insomnia, sakit kepala, takikardia, dsb.
DEKONGESTAN TOPIKAL
• Dekongestan Topikal
Digunakan untuk rinitis akut yang merupakan radang selaput lendir hidung. Bentuk
sediaan dekongestan topikal berupa balsam, inhaler, tetes hidung atau semprot
hidung. Dekongestan topikal (semprot hidung) yang biasa digunakan yaitu
oxymetazolin, xylometazolin yang merupakan derivat imidazolin.
Dekongestan hidung bekerja dengan menimbulkan venokonstriksi (penyempitan
pembuluh vena) dalam mukosa hidung sehingga mengurangi volume mukosa dan
akhirnya dapat mengurangi penyumbatan hidung.
Penggunaan dekongestan topikal dilakukan pada pagi dan menjelang tidur malam,
dan tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 24 jam .
• Oxymetazolin
Bekerja dengan cara mempersempit pembuluh darah di daerah hidung,
sehingga mengurangi pembengkakan dan kemacetan pada daerah hidung.
KORTIKOSTEROID NASAL
Secara efektif meredakan bersin, rinorea, ruam, dan kongesti nasal dengan efek
samping yang minimal. Obat ini mereduksi inflamasi dengan menghambat
pembebasan mediator, penekanan kemotaksis neutrofil, menyebabkan
vasokontriksi, dan menghambat reaksi lambat yang diperantarai oleh sel mast.
Direkomendasikan sebagai terapi awal daripada antihistamin karena tingkat
keefektifan tinggi ketika digunakan secara benar disertai penghindaran alergen.
Efek samping: bersin, perih, sakit kepala, epistaksis, dan infeksi.
 Kromolyn Natrium
Penstabil sel mast, tersedia sebagai obat bebas dalam bentuk semprotan
hidung untuk pencegahan gejala dan penanganan terhadap rhinitis alergi.
Efek samping : iritasi lokal (bersin dan hidung perih).
Dosis: umur ≥ 2 tahun satu semprotan pada setiap nostril 3-4 kali sehari
dengan interval normal.
 Ipratropium Bromida
Merupakan zat antikolinergik yang berguna dalam rinitis alergik parennial.
Zat ini mempunyai sifat antisekretori ketika diberikan secara lokal dan meredakan
gejala rinorea yang berkaitan dengan alergi dan bentuk lain rinitis kronis.
Dosis pemakaian: larutan 0,03% diberikan sebanyak dua semprotan 2-3 kali sehari
Efek samping: tergolong ringan termasuk sakit kepala, epistaksis, dan hidung kering.
• Montelukast
antagonis reseptor leukotrien untuk penanganan rinitis alergik musiman. Efektif
diberikan tunggal atau dikombinasikan dengan antihistamin.
Dosis: ≥15 tahun 1 tablet 10 mg/hari.
6-14 tahun 1 tablet kunyah 5 mg/hari
2-5 tahun 1 tablet kunyah 4 mg/hari atau satu bungkus serbuk/hari.
obat ini harus diberikan pada sore hari jika pasien menderita kombinasi asma dan
rinitis alergi musiman.
KESIMPULAN
• Untuk rhinitis alergi ringan hingga sedang, antihistamin generasi baru menjadi pengobatan
lini pertama dan lebih disukai daripada antihistamin generasi lama, karena lebih aman
dengan efek samping yang minimal.
• Kortikosteroid intranasal adalah perawatan andalan untuk rhinitis alergi sedang hingga berat
karena terbukti aman dan efektif.
• Kombinasi antara antihistamin dan kortikosteroid intranasal memiliki hasil yang signifikan.
• Pada pasien yang tidak ada perbaikan setelah pemberian kortikosteroid intranasal, kombinasi
antihistamin dan kortikosteroid harus dipertimbangkan. Jika dengan pemberian obat-obatan
kombinasi tidak ada perbaikan, satu-satunya pilihan adalah dengan allergic specific
immunotherapy

Anda mungkin juga menyukai