Anda di halaman 1dari 21

Overview Case

Skenario Interpretasi
Seorang laki-laki berusia 15 tahun Insidensi
Keluhan utama : DD/ CINTA
Hidung tersumbat sejak lima tahun
yang lalu
Keluhan disertai dengan : Tanda Kardinal rinitis alergi
rinore, sering bersin, dan hidung terasa
gatal
Keluhan timbul bila terpapar debu, saat Faktor pencetus
cuaca dingin atau kondisi tubuh lelah DD/ - Rhinitis Alergi
- Rhinitis Vasomotor
- Rhinosinusitis
Keluhan berkurang bila penderita Klasifikasi WHO ARIA : Persisten
minum obat flu, dan rutin berolah raga. Sedang Berat
Keluhan timbul hampir setiap hari, dan Klasifikasi WHO ARIA : Persisten
menggangu aktivitas penderita. Sedang Berat

Riwayat adanya demam, pemakaian Menyingkirkan DD/ CINTA


obat-obatan dan semprot hidung,
epistaksis, benjolan didalam hidung,
benturan didaerah hidung, pemasangan
tampon hidung atau nasogastric tube
disangkal.

1
2

Keluhan tidak disertai mata merah dan Menyingkirkan komplikasi


gatal, sesak napas berbunyi, sakit
kepala, pendengaran berkurang, batuk
kronis, dan suara serak.
Keluhan pertama kali dirasakan sejak Faktor risiko
masih balita.
Riwayat penyakit serupa pada keluarga
ada, yaitu ayah penderita
Penderita sudah sering berobat dan Riwayat pengobatan
berganti-ganti dokter, tetapi
penyakitnya tidak pernah sembuh
Riwayat alegi obat tidak ada Riwayat Pengobatan
Pemeriksaan Fisik :
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah = 110/80 mmHg dbn
Frekuensi napas = 18 x/menit
Denyut nadi = 80 x/menit
Suhu = 37,2 C
Status generalis dalam batas normal

Pemeriksaan penunjang :
1.Skin Prick Test
Histamin (+3)
Buffer fosfat (-)
Inhalant allergens + 3  Alergen derajat berat
- House dust +3 + 2  Alergen derajat sedang
- Human dander:0 =1  Alergen derajat ringan
- Mute culture: +3
- Chicken Feather: +2
- Cat dander: +3
- Cockroaches: +1
3

Food allergens:
- Egg: +2
- peanut: +1

immunoglobulinE
Radioallergosorbent tesr (Ig E RAST):
- Houst dust : 15,50 kU/ I Derajat tinggi / III = 3,5 - 17,49
- Mute Culture: 12, 70 kU/I Derajat sedang/ II = 0,7 - 3,49
- Egg: 2,85 kU/L Derajat ringan / I + 0,35 – 0,69
- Peanut: 0,50 kU/I

Status lokalis THT:

Cavum nasi : Mukosa pucat +/+, Tanda reaksi alergi , tidak ada infeksi
sekret serous +/+

Konka nasalis inferior pucat +/+, Komplikasi, hipertrofi konka, hidung


hipertrofi +/+ tersumbat
Septum nasi tidak deviasi, asase udara
↓/↓

Maksilofasial : Simetris, parese N.


Fasialis -/-
Allergic shinner (+/+) Atopic March (+)

allergic salute (+) Menyingkirkan Rinosinusitis


allergic crease (+)
Nyeri tekan -/-

Pemeriksaan telinga dan tenggorok


dalam batas normal

Rontgent Waters d.b.n (menyingkirkan rhinosinusitis)


4

DK/ Rhinitis alergi persisten sedang-berat

Definisi
Menurut WHO ARIA Rinitis alergi adalah gejala gejala yang timbul
(symptomatic disorder) pada hidung yang terinduksi setelah terpapar allergen, yang
diperantarai IgE.
Von pirquet, 1986: Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan aerogen spesifik pada pasien atopic yang sudah
tersensitisasi dengan allergen yang sama sebelumnya
Rinitis alergi adalah radang selaput lendir hidung yang disebabkan proses
inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensivitas / alergi tipe 1,
dengan gejala hidung gatal, bersin – bersin, rinore encer dan hidung tersumbat yang
reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.

Klasifikasi
Secara garis besar rinitis dibagi 2 :
1. Rhinitis alergi.
Yaitu rhinitis yang disebabkan dari bahan alergen tertentu.
Dahulu berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibedakan atas :
 Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis)
Hanya ditemukan di negara yang mempunyai 4 musim.Alergen penyebabnya.
spesifik yaitu tepung sari(polen) dan spora jamur
 Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim jadi
dapat di temukan sepanjang tahun.
Saat ini menurut rekomendasi dari WHO Initiative ARIA(Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi diklasifikasikan
menjadi :
 Intermiten(kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
5

 Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4


minggu.
 Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi 2 :
 Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur,gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
 Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2. Rhinitis non alergi


Yaitu rinitis yang disebabkan oleh bahan-bahan bukan alergen.
Contoh rhinitis non alergi
 Rhinitis vasomotor
Gangguan mukosa hidung yang merupakan akibat dua kekuatan yang saling
berlawanan aktivitas saraf parasimpatis yang menyebabkan pelebaran jaringan
vaskular sehingga terjadi sumbatan dan peningkatan produksi mukus, sementara
aktivitas saraf simpatis menyebabkan vasokontruksi yang mengakibatkan patensi
hidung dan menurunnya produksi mukus.
 Rhinitis medikamentosa
Umumnya juga dianggap sebagai suatu bentuk rhinitis hipertrofik berkaita dengan
penggunaan obat-obat hidung topical secara berlebihan.
 Rhinitis hipertropik kronik
Tipe rhinitis ini ditandai oleh pembengkakan jaringan lunak,sekret yang banyak,
dan pada kasus lama, hipertrofik mukosa,penebalan periostium, serta pembentukan
tulang baru.
 Rhinitis hiperplastik kronik
Kondisi ini dapat menyertakan unsur-unsur rinitis hipertopik, namun umumnya
dihubungkan dengan poliposias hidung.
 Rhinitis sicca
Seringkali dianggap sebagai suatu gangguan atau perubahan faal hidung dalam
kaitannya dengan perubahan lingkungan terutama udara inspirasi yang kering.
 Rhinitis atrofik (ozena)
Kondisi ini dicirikan oleh atrofi struktur intranasal sejati dengan krusta sekunder,
umumnya idiopatik.
6

Tabel 21. Klasifikasi Rhinitis Menurut WHO ARIA

Epidemiologi
Angka prevalensi Rhinitis alergi di dunia mencapai 10-25 %. Lebih sering
terkena pada anak-anak dan remaja

Ilmu Kedokteran Dasar


Anatomi Hidung
Hidung Bagian Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. pangkal hidung
2. dorsum nasi
3. puncak hidung
4. ala nasi
5. kolumela
6. lubang hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung
Kerangka tulang terdiri dari :
1. tulang hidung (os nasalis)
7

2. prosesus frontalis os maksila


3. prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari :


1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
3. beberapa pasang kartilago ala minor
4. tepi inferior kartilago septum.
Hidung Bagian Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.

Gambar 2.1 Hidung Bagian Luar

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os rnaksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
8

sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dan rongga hidung.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dan
n. oftalmikus (N.V-I). Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Perdarahan hidung
Perdarahan hidung berasal dari a.maksilaris interna (bagian bawah hidung),
a.fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut pleksus kieselbach.
Persarafan hidung
Pesarafan hidung pada bagian depan dan atas,saraf sensoris n.etmoid
anterior (cabang n.nasolakrimalis, cabang n.oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n.maksilaris.Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.

Gambar 2.2 Hidung Bagian Dalam


9

HISTOLOGI
1. Cavum nasi

Area vestibulum : epitel kulit (epitel gepeng berlapis berkeratin) dan folikel rambut
Area olfactoriua : Epitel olfactoria ( epitel silindris bertingkat bersilia) dengan sel
goblet
Lamina propria jaringan ikat fibrosa dengan kelenjar serumukosa, menempel pada
periosteum / perikondrium, banyak anyaman pembuluh darah vena di daerah
concha inferior dan media
2. Sinus paranasalis

Rongga buntu dalam tulang tengkorak di daerah sekitar hidung : os.frontalis,


os.maillaris, os.ethmoidalis, os.sphenoidalis
Membrane mukosa memiliki epitel silindris bertingkat bersilia lebih tipis dari epitel
nasus, pada lamina proprianya memiliki kelenjar lebih sedikit dari cavum nasi
Pada ujung anterior konka dan septum berepitel gepeng berlapis tanpa silia untuk
sisanya epitel silindris bertingkat bersiliar (irregular),
Histologi Hidung
Luas permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar
15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa
hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu
bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial,
lapisan media dan lapisan kelenjar profunda (Mygind 1981).

a. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous
kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum
dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius.
Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak
mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria
ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet
merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel
goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein
10

polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus
untuk fungsi menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel
penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang
melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan
memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.
b. Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan
yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri
dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol
layer) yang disebut lapisan perisiliar (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir
1997; Lindberg 1997).
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein
sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada
gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Diduga mukoglikoprotein ini
yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar,
menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur
dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan
virus yang terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara
silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi
mukosiliar.(Sakakura 1994).
c. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel.
Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas
kolagen dan fibril retikulin (Mygind 1981).
d. Lamina Propia
11

Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini


dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan
ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger
1996).
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua
sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling
tinggi (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).
FAAL
Fisiologi Hidung
Penghidu : untuk mengenali suatu bau, ketika mengendus untuk menambah tekanan
guna menarik urada yang masuk ke organ olfaktorius
Tahanan jalan napas
Penyesuaian udara
Purifikasi udara : rambut hidung pada vestibulum nasi yang berlapis kulit
berperanan dalam filtrasi udara
Fungsi mukosilliar : apabila ada benda asing untuk mengeluarkannya merupakan
kerja sillia yang menggunakan lapisan mucus dengan partikel yang terperangkap
Hubungan dengan paru paru
Modifikasi bicara : hidung, sinus paranasalis dan nasofaring berperan dalam
artikulasi misalnya “M” “N” dan “ing” , resonansi hidung adalah penting
FIsiologi alergik
Beberapa orang mempunyai cenderungan alergi yang disebut atopic disebabkan
olen respon imun yang tidak lazim, alergi ini cenderung diturunkan secara genetis
dari orang tua ke anak, ditandai dengan Rsejumlah besar anti bodi IgE dalam darah.
Antibodi ini disebut reagen/antibody tersentitasi untuk membedakan dengan
antibody IgG, apabila suatu allergen memasuki tubuh maka akan terjadi reaksi
allergen-alergen kemudian terjadi reaksi alergi
12

Antibody IgE memiliki sifat khusus kecendurungan yang kuat untuk melekat pada
sel mast dan basophil, bila allergen dan antibody diberikatan menyebabkan
perubahan segera pada membrane sel mast / basophil. Sel mat dan basofil
mempunyai banyak substansi yang menyebabkan efek peningkatan permeabilitas
kapiler, kontraksi sel otot polos setempat, dilatasi pembuluh darah setempat,
penarikan eosinophil dan neutrophil menuju tempat yang reaktif
Pada kasus rhinitis alergi terjadi di dalam hidung, respon terhadap reaksi alergi
melepaskan histamin yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang akan
meningkatkan tekanan kapiler dan permeabilitas kapiler dan dapat menyebabkan
kebocoran cairan yang dapat ke dalam rongga hidung dan terjadi lebih dalam
hidung bengkak penuh dengan sekret
Parasitologi
Tungau Debu Rumah (TDR)
Jenis dari tungau debu rumah ada 2 macam :
1. Tungau Debu Rumah / House Dust Mites (HDS)
2. Tungau Gudang Penyimpanan (Storage Mites/SM)

Klasifikasi :
 Kingdom : Animalia
 Phylum : Arthopoda
 Class : Arachnida
 Subclass : Acarina
 Order : Acariformes
 Family : Pyroglyphidae
 Genus : Dermatophagoides
 Species : Dermatophagoides pteronyssinus

Morfologi :
 Tubuhnya tidak bersegmen
 Tubuh TDR hanya dapat terlihat pada cahaya normal dalam latar belakang
yang gelap.
 Ukuran tubuh: panjang 420 mikrometer, dan lebar 250-320 mikrometer.
 Badan Jantan dan Betina dewasa berbentuk persegi, bagian luar tubuh
memiliki kutikula.
 Siklus hiduo: telur-larva-nympha-dewasa (imago)
13

 Stadium imago nympha memiliki 4 pasang kaki, sedangkan larva 3 pasang


kaki.

Habitat :
 TDR biasanya hidup pada tempat tidur, karpet, furniture, dan alas tempat
tidur.
 Kurangnya ventilasi didalam rumah.
 Suhu dan kelebaban merupakan tempat yang ideal bagi pertumbuhan
TDR.

Patogenesis dan patofisiologis


Alergen yang masuk ke dalam hidung akan langsung difagosit oleh sel makrofag,
selanjutnya makrofag yang tadi akan dipresentasikan oleh MHC Kelas II. Makrofag dan
MHC Kelas II yang telah berikatan itu akan dipresentasikan kembali pada sel limfosit T,
yang biasa dinamakan dengan Limfosit T-Helper (TH0). TH0 ini akan berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Sel Th2 ini akan melepaskan berbagai macam sitokisn contohnya
Interleukin-3 (IL-3), Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-5(IL-5), dan Interleukin 13 (IL-13).
Sitokin IL-4 dan IL-13 ditangkap oleh reseptornya di limfosit B sehingga akan
menyebabkan pengaktifan dari sel limfosit B. Limfosit B yang aktif akan menghasilkan
immunoglobulin-E (IgE).
14

a. Fase Sensitisasi

IgE ini akan berikatan dengan alergen sehingga akan terjadi degranulasi sel mast dan
basofil yang akan menyebabkan pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti histamin,
LT C4, LT D4, PG pada fase cepat. Histamin ini akan merangsang reseptor pada ujung
saraf N. Vidianus sehingga akan menimbulkan rasa gatal dan bersin-bersin. Rasa gatal yang
ditimbulkan akan menyebabkan penderita cenderung untuk menggosok-gosok hidungnya
dengan menggunakan jarinya atau disebut juga sebagai allergic sallute. Allergic sallute ini
lama-kelamaan akan menimbulkan tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian
bawah (Allergic crease). Selain itu juga, histamin akan menyebabkan hipersekresi kelenjar
mukus dan sel goblet karena sel goblet itu sendiri berfungsi untuk memproduksi mukus
sehingga akan menyebabkan terjadinya peningkatan mukus yang dapat membuat batuk-
batuk sebagai sistem pertahanan tubuh namun, lama-kelamaan akan menjadi kronis dan
dapat mengakibatkan laryngitis.
15

b. Fase Provokasi

Selain batuk, peningkatan mukus ini akan mengakibatkan terjadinya rinore sehingga
menyebabkan hidung menjadi tersumbat dan apabila keadaan ini didiamkan maka akan
menimbulkan kelainan pada indra penciuman dengan kata lain ketidakmampuan seseorang
dalam mencium bau-bauan. Hidung tersumbat juga bisa menyebabkan disfungsi tuba
eustachius sehingga dapat terjadi Otitis Media Efusi (OME). Selain itu juga hidung
tersumbat dapat menyebabkan peningkatan fluid level sinus sehingga akan terjadilah
rinosinusitis. Kemampuan lain dari histamin ialah dapat menyebabkan vasodilatasi yang
akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga akan dihasilkannya cairan
transudasi dan apabila terus berlanjut dapat menimbulkan edema sehingga didapatkan juga
mukosa hidung akan tampak hipertrofi hingga mengakibatkan terjadinya polip nasi.
Keadaan mukosa yang hipertrofi ini juga dapat menyebabkan penekanan pada kapiler
16

sehingga mukosa akan terlihat lebih pucat dan akan terbentuk lingkaran gelap disekeliling
mata yang sering juga disebut dengan allergic shinner (black eyes).
Pada fase lambat, akan menyebabkan kemotaktik eosinofil dan neutrofil, aktivator
trombosit, dan GM-CSF yang merupakan sitokin yang berfungsi sebagai stimulan bagi sel
progenitor agar terdiferensiasi menjadi granulosit (neutrofil/eosinofili). Selain itu juga
terdapat beberapa kondisi yang dapat memperberat keadaan sakit pasien yaitu asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca terutama pada saat musing dingin. Dan yang
terakhir adalah kelembapan meningkat.

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang ang dapat membantu penegakkan diagnosis
diantara;
 Skin Prick Test, merupakan tes penapisan dengan sensitivitas dan spesifisitas
tinggi, cepat, dan relatif tidak mahal. Prinsip tes ini adalah memasukkan
sejumlah kecil alergen ke epidermis yang kemudian akan berikatan dengan IgE
yang melekat di permukaan sel mast yang selanjutnya akan mengeluarkan
berbagai mediator yang menyebabkan indurasi yang dapat diukur. Tes ini
dilakukan dengan membubuhkan beberapa tetes alergen berbeda, larutan
histamin (kontrol positif ), dan pelarut (kontrol negatif) pada daerah volar
lengan bawah. Jarum ditusukkan ke epidermis. Hasil reaksi dibaca dalam 15
menit. Kriteria pembacaan (ARIA) yaitu hasil positif satu (+1) apabila indurasi
berdiameter 1 mm lebih besar dari diameter kontrol negatif, (+2) indurasi
berdiameter 1-3 mm lebih besar dari diameter kontrol negatif, (+3) indurasi
berdiameter >3 mm lebih besar dari diameter kontrol negatif disertai flare, dan
(+4) indurasi berdiameter >5 mm dari diameter kontrol negatif disertai flare.
 Pemeriksaan test kulit terhadap allergen inhalan atau makanan,atau jika sulit
dengan RAST. Uji kulit seperti uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skinned-Point Titration SET). Uji cukit (prick test) dan uji gores
(scratch test) . Untuk uji alergen makanan adalah dengan diet eliminasi dan
provokasi (challenge test) tapi akhir-akhir ini yang banyak dilakukan adalah
Provocation Neutralization Test atau Intra-cuttaneus Provocative Food Test
(IPFT).
 Pemeriksaan kadar eosinafil pada usap hidung (nasal crease)
17

 Kadar eosinofil darah dan IgE total


 Foto rontgen sinus atau CT-scan bila perlu

Factor risiko
 Faktor herediter
 Asap rokok
 Kelembaban yang tinggi
 Hygene tempat tinggal yang buruk
 Perubahan cuaca
 Paparan alergen

Penatalaksanaan

A. Nonfarmakologi :
1. Menghidari paparan alergen :
Bertujuan untuk menghindari kontak alergen dengan IgE, agar tidak
terjadi degranulasi sel mastosit/basofil sehingga tanda dan gejala tidak
muncul kembali
2. Olahraga :
Olahraga berguna untuk menurunkan gejala alergi, karena terjadi
peningkatan limfosit Th yang berfungsi untuk penghambat reaksi alergi
B. Farmakologi
1. Pemberian kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat berguna untuk :
 Mengurangi gejala klinis rinitis alergi
 Menurunkan dan menghambat peningkatan T CD3+
 Menurunkan jumlah eosinofil (EG2+) pada epitel nasal dan
submukosa dengan cara menghambat produksi IL-5 pada sel T CD3+

Pemberian kortikosteroid secara topikal sangat jarang menimbulkan efek


samping, tetapi penggunaan kortikosteroid secara sistemik dapat
menimbulkan gangguan pertumbuhan pada anak, supresi sistem imun dan
18

osteoporosis. Salah satu obat kortikosteroid topikal yaitu Metametason


Furoat .
Metametason furoat
Metametason furoat merupakan salah satu obat kortikosteroid intranasal
yang paling efektif mengatasi rinitis alergi. Efek penggunaan obat ini beupa
pengurangan edema mukosa hidung, menghambat pelepasan
mediator,produksi sitokin dan infiltrasi sel-sel radang. Efektif dalam
mengurangi kongesti nasal, rinore, dan bersin-bersin. Efek samping yang
mungkin ditemukan adalah epistaksis atau infeksi lokal.
2. Tindakan Operatif
Pengobatan alternatif dilakukan apabila diindikasi telah terjadi komplikasi
dari reaksi alergi yang berulang. Operasi bukan merupakan tindakan untuk
menghentikan reaksi alergi.
Penulisan resep untuk pasien :
R/ Metametason Furoat nasal spray fl. I
S I dd puffs II

EDUKASI :
Edukasi terhadap pasien dan keluarga bahwa penyakit ini merupakn
penyakit herediter (diturunkan melalui genetik) dan belum ada obat yang
dapat menyembuhkan penyakit ini. Pasien disarankan agar menghindari
paparan debu dan polusi udara seperti asap kendaraan (alergen) yang dapat
menimbulkan keluhan berulang. Serta pasien dianjurkan untuk rutin
olahraga dan menjaga kebugaran tubuh.
19

Gambar 2.3 Penatalaksanaan Rhinitis Menurut WHO ARIA

Komplikasi
 Laringitis
 Otitis Media Efusi
 Rinosinusitis
 Anosmia
 Polip nasi
20

Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Funtionam : dubia ad malam

Pencegahan
 Menghindari allergen, menurunkan dropping tungau debu rumah
dengan menggunakan bantal tidur yang sering dicuci / dibersihkan
 Membunuh tungau debu rumah dengan 4 cara sederhana direbus,
disemprot, dibekukan, dikeringkan
 Mengurangi jumlah allergen dengan cara membersihkan furniture,
tempat tidur, karpet dan lingkungan rumah secara teratur
 Mengontrol kelembapan ruangan
 Mengurangi kemungkinan terpapar tungau debu rumah
 Berolahraga

Aspek Etik
MEDICAL INDICATION
Penyakit pasien merupakan penyakit yang kronik dan akan berulang jika terkena
paparan alergen yang sama, jadi tujuan pengobatan nya adalah untuk mengurangi
keluhan yang terjadi
PATIENT PREFERENCE
Karena pasien pada kasus ini masih anak-anak dan belum berkompeten dalam
mengambil keputusan dan belum memahami apa yang terjadi, maka inform consent
atau permintaan persetujuan di ajukan kepada orang tua dari pasien ini.
QUALITY OF LIFE
Pasien diberikan edukasi berupa rutin olahraga dan tindakan pencegahan agar
menjauhi alergen dan faktor pencetus, supaya kualitas hidupnya membaik
CONTEXTUAL FEATURES
Memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita oleh anaknya, mengenai
penyebab terjadinya penyakit dan hal apa saja yang dapat memicu timbulnya tanda
dan gejala pada pasien. Serta memberikan penjelasan agar tidak perlu berpindah-
pindah dokter
21

Anda mungkin juga menyukai