Anda di halaman 1dari 24

Rhinitis Alergi

Steviany Stezan 102013470


Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jl Arjuna Utara, No.6, Jakarta Barat 11510.
Steviany.2013fk470@civitas.ac.id
______________________________________________________________________________

Pendahuluan
Rinitis merupakan penyakit radang hidung yang dapat dibagi dalam dua kategori umum
yaitu purulen dan non purulen. Rinitis purulen dapat berupa rinitis akut yang disebabkan oleh
infeksi virus, runisinusitis purulen kronis, polip hidung yang terinfeksi, rinitis purulen dan rinitis
alergi musiman, rinitis alergi prenial, dan rinitis non alergi atau rinitis vasomotor.
Alergi adalah suatu manifestasi klinis sebagai reaksi imun tubuh saat terpapar dengan suatu
benda asing seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, makanan, atau gigitan serangga. Rinitis alergi
adalah suatu inflamasi pada membran hidung yang disebabkan oleh reaksi yang diperantarai oleh
IgE sebagai reaksi terhadap alergen.
Untuk menegakkan diagnosis, anamnesis sangat penting. Rinitis alergi biasanya mulai
timbul pada masa kanak-kanak dan ditandai dengan gejala obstruksi hidung, sering bersin, gatal
hidung dan rinore. Di samping itu, membuktikan adanya zat anti-IgE spesifik, sedapat mungkin
bisa kuantitatif, juga penting. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tes kulit dan RAST (radio
allergosorbent test).
Secara umum, rinitis alergi memberikan respon yang baik pada pengobatan dengan
antihistamin dan dekongestan. Imunoterapi biasanya efektif tetapi hanya dibaerikan bila
pengobatan lain gagal.
Anamnesis
 Apakah hidung tersumbat?
 Apakah hidung dan mata gatal dan disertai air mata keluar (lakrimasi)?
 Bagaimana rinore yang keluar?
- Rinore encer dan banyak
 Apakah ada gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen, atau
insomnia?
 Apakah sebelumnya ada riwayat kontak dengan bahan allergen seperti debu, tepung sari,
bulu binatang?
 Apakah mulut dan tenggorok terasa kering?

Anamnesis pada Rhinitis Vasmotor :


 Apakah mengkonsumsi obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti ergotamin, chlorpomazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topical?
 Apakah merokok atau sering terhirup asap rokok?
 Apakah suka makan makanan pedas dan panas?
 Apakah memakai pil anti kehamilan?
 Apakah suka cemas dan tegang?
 Apakah hidung tersumbat, bergantian kanan dan kiri?
- Iya, tergantung posisi pasien
 Apakah terdapat rinore?
- Terdapat rinorea yang mucus atau serous, kadang-kadang agak banyak.
 Apakah gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur?
- Iya, oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab

Anamnesis pada Rhinitis Simpleks :


 Apakah ada rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung?
 Apakah timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer?
 Apakah demam dan nyeri kepala?
 Apakah rinore seperti air sampai menjadi serosa?
- Iya, bila terjadi infeksi sekunder bakteri, sekresi menjadi mukopurulen terutama
disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus, Hemophylus influenzae atau
Staphylococcus dan sumbatan di hidung bertambah.

Anamnesis pada Rhinitis Medikamentosa :


 Apakah memakai vasokonstriktor topical (obat tetes atau semprot hidung)?
 Apakah hidung tersumbat terus menerus dan berair?

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung. Adakah
pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan ini dapat dipalpasi adanya krepitasi
tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus
paranasal.1

Rinoskopi anterior
Pemeriksaan hidung dimulai dengan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar. Diperhatikan
bentuk dan posisi hidung dan adanya pembengkakan dan perubahan warna hidung dan daerah
sekitarnya. Dengan mendorong puncak hidung ke atas diperoleh kesan tentang kedudukan septum-
nasi dan konka-nasalis-inferior. Untuk memeriksa bagian dalam hidung digunakan spekulum
hidung, corong telingan atau otoskop untik membuka rongga hidung dan mendorong bulu-hidung
ke samping. Tekanan spekulum pada septum dirasakan nyeri. Oleh karena itu, spekulum
dimasukksan ke dalam rongga hidung dengan sudut 45o. Dengan mendorong kepala pasien agak
ke depan pada waktu rinoskopi anterior, dapat dilihat bagian bawah rongga hidung; sedang dengan
mendorong kepala ke belakangtampak bagian atasnya. Pada waktu inspeksi, perhatikan adanya
secret-hidung, asimetri (terutama ketidakrataan septum-hidung), selaput lender, konka, edema, dan
luas rongga hidung.2
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa hidung edema, basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi dan bersifat ireversibel. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau
polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.2
Gejala spesifik lain pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering
juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok-gosok hidung oleh punggung tangan ini lama
kelamaan akan rnengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granular dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal.
Pada pemeriksaan fisik pada penderita rinitis alergika memperlihatkan lakrimasi berlebihan,
sklera dan konjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita (mata biru alergi), pembengkakan
sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan, sekret hidung
encer jernih dan keriput lateral dari krista hidung.3
a. Wajah
 Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan
vasodilatasi atau obstruksi hidung
 Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah
bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.
b. Hidung
Mukosa hidung pada pasien alergi biasanya basal), pucat dan berwarna merah
jambu keabuan. Konka tampak membengkak (Gambar 2). Jika terdapat infeksi
penyerta, sekret dapat bervariasi mulai dari encer dan mukoid hingga kental dan
purulen; pada saat yang sama, mukosa menjadi merah dan meradang, terbendung, atau
bahkan kering sama sekali. Polip dapat timbul pada antrum maksilaris dan regio
etmoidalis, kemudian meluas ke dalam meatus superior dan media. Selain itu, dapat
terjadi pembahan degeneratif polipoid pada seluruh mukosa hidung, atau menutup
dinding hidung lateral; namun, tampilan klasik mukosa bidung ini tidak selalu
ditemukan. Radiogram sinus paranasalis tidak spesifik, namun dapat terlihat pertebalan
lapisan mukosa dan terkadang pengumpulan sekret. Bila ostia alami menjadi tersumbat
akibat pembengkakan hebat, maka suatu gambaran air fluid level atau bahkan bayangan
opak total, dapat nyata dalam rongga sinus. 3

Rinoskopi posterior
Bagian belakang hidung dan nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior. Kaca
tenggorok yang kecil dipanasi hingga sama dengan suhu tubuh untuk mencegah timbulnya embun
hawa panas. Dengan menggunakan spatel, lidah ditekan ke bawah. Pasien mengucapkan ‘aa’ dan
cermin menghadap ke atas, serta kaca diletakkan di belakang langit-langit. Sentuhan pada selaput
faring sering menimbulkan refleks muntah. Pasien diminta bernapas melalui hidung agar langit-
langit lunak sedikit turun ke bawah, sehingga ruang untuk melihat ke rongga nasofaring menjadi
agak luas. Melalui pantulan kaca, hanya dapat dilihat sepintas sebagian dari nasofaring. Dengan
menggerakan kaca sedikit ke kanan dan kiri, dapat diperoleh kesan secara keseluruhan. Perhatikan
lubang-koana, lubang saluran Eustachius (tuba auditiva) yang dilingkari oleh penonjolan (torus
tubarius) yang dikelilingi oleh fossa Rosenmuller dan atap nasofaring dengan kemungkinan
adanya adenoid. Sebagai pengganti spekulum hidung, pada anak-anak dapat pula digunakan
corong-telinga atau otoskop. Melalui koana dapat dilihat ujung konka-inferior; kadang-kadang
tampak semua konka. Pemeriksaan ini, oleh dokter THT, seringkali dilakukan dengan endoskop.
Bila perlu nasofaring dapat pula diperiksa dengan palpasi jari-tangan. Palpasi nasofaring dengan
jari tangan sering dirasakan tidak enak oleh pasien. Kadang-kadang diperlukan analgesik lokal
dengan menyemprotkan xylocain.
Untuk mempermudah masuknya alat ke nasofaring, palatum molle dapat ditarik ke depan
dengan retractor velum atau dengan pipa-PVC yang dimasukkan ke dalam hidung dan ujungnya
keluar ke mulut, kemudian ujung yang dihidung dan yang di mulut dipersatukan.
Suara bindeng karena insufisiensi velum-palatinum dapat diperiksa dengan menggunakan
pipa-auskultasi (otoskop dari Lucas) yang dimasukkan ke dalam hidung pasien dan ujung yang
lain ditempelkan ke telinga pemeriksa. Pengucapan kata-kata seperti ‘kukuk’ dan ‘bobo’ pada
keadaan normal tidak terdengar. Pada suara bindeng, jelas terdengar melalui pipa-auskultasi.
Pemeriksaan penghidu
Pada waktu memeriksa indera penghidu, reseptor-penghidu dapat terangsang melalui n.
olfaktorius maupun n. trigeminus. N. trigeminus peka terhadap bahan kimia seperti amoniak dan
chloroform. Rangsangan pada n. trigeminus dapat menimbulkan penghentian sementara
pernapasan.2
Pemeriksaan indera penghidu dalam praktek dilakukan secara bergantian pada setiap
lubang hidung dengan member tujuh bahan dasar penghidu. Dengan demikian, dapat dibuat
olfaktogram atas dasar reaksi terhadap bahan-bahan seperti kamper, muscus (bagian ini berbau
menyengat), bunga mawar, menthol, ether, bau asam, dan bau busuk. Usaha untuk menera
konsentrasi bahan penghidu untuk pengembangan tes-tes penghidu standar sampai sekarang belum
didapat secara global. Dengan penelitian kemungkinan dapat dibuat elektroolfaktometri.2
Rinometri dan rinomanometri
Daya tembus hidung dapat diperiksa dengan menggunakan sepotong lempeng kaca logam
yang dingin dan diletakkan di bawah lubang hidung; pasien bernapas dengan mulut tertutup (tes
Zwaardemaker). Besarnya bercak embun-pernapasan dapat member kesan daya-tembus kedua
lubang hidung.
Metode yang lebih modern sekaligus mengukur volume pernapasan tiap satuan waktu yang
melalui kedua atau salah satu lubang hidung (cara modern sering memanfaatkan computer) serta
perbedaan tekanan antara nares dan koane (rinomanometri). Hasil bagi antara kedua nilai
memberikan seberapa besar daya tembus hidung atau lebih lanjut, seberapa besar ketahanan
hidung.
Rinometri akustik mengukur setiap penampang pada seluruh panjang hidung dengan
memanfaatkan pantulan dan terobosan gelombang-gelombang suara ultrasonic. Cara ini dapat pula
dipakai setelah pemakaian dekongestan atau allergen.
Dengan palpasi, dapat diukur nyeri-tekan dan nyeri-ketok di dekat tempat keluarnya
nn.infra dan supraorbitalis dan di atas elemen gigi rahang-atas.
Pada infeksi sinus paranasal, terutama diperhatikan lubang ekskresi dalam meatus medius
dan meatus superior. Namun, keduanya sering tidak ditemukan, karena ostium tersumbat akibat
edema-peradangan. Pada peradangan sinus frontal dan etmoid yang berat (pada anak-anak kecil)
dapat timbul pembengkakan dan kemerahan kulit yang berada di atasnya atau kelopak-mata.
Pemeriksaan Laboratorium
In vitro
Pemeriksaan sitologi hidung
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.3
Pada rinitis alergi tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bed) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang intersuliler dan
penebalan membran basal, dan ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.4
Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau
anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan
IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked lmmuno
Sorbent Assay Test).5
Kadar IgE serum merupakan suatu imunoglobulin. Imunoglobulin adalah kelompok
protein yang dianggap sebagai antibodi. Selama reaksi alergi dan anafilaksis kadar IgE akan
meningkat. Nilai rujukan pada dewasa: <40 mg/dL. Kadar IgE total pada alergika kemungkinan
akan meningkat. IgE total > 200 dan IgE RAST untuk alergen-alergen dengan tingkat skor 1+ s/d
4+.5
In vivo
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes
kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan
menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan
pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin End-point Titration/SET).
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET selain alergen penyebab juga dapat menentukan
derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi dan desensitisasi dapat diketahui.5
Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung
ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan uji kulit yang
akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi ("Challenge Test').5
Alergen ingestan secara tuntas hilang dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
"Challenge Test", makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.5
Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain alergen jenis penyebab, juga dapat diketahui
besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat alergen tersebut.5
Uji klinis Alergi
Uji Diet. Terdapat dua kategori utama: uji makanan provokatif dan berbagai macam diet
eliminasi. Yang pertama pada dasarnya merupakan pengekangan diri dari makanan tersangka
selama empat hingga sepuluh hari, kemudian makanan tersebut dikonsumsi dalam jumlah besar.
Pasien melaporkan perubahan-perubahan subjektif dan mengamati data objektif. Diet eliminasi
telah dikembangkan untuk sereal, susu, telur, dan buah, dimana pemeriksa memilih diet tertentu
untuk pasien. Pasien biasanya sulit untuk terlibat dalam lebih dari satu macam diet demikian pada
saat yang bersamaan.5
Uji in Vitro. Uji makanan sitotoksik digunakan sebagai uji skrining. Bilamana leukosit
dari lapisan buff’s coat plasma pasien dihancurkan oleh adanya antigen makanan, maka
kepekaan dapat dicurigai.5
Uji Radioalergosorben. Uji ini memerlukan inkubasi antibodi pasien dengan antigen
dalam konsentrasi tertentu yang terikat pada kertas radioaktif. Dapat mengukur kadar
antibodi IgE dan terbukti lebih bernilai untuk hipersensitivitas tipe segera. 5
Ekhografi
Dilakukan dengan sebuah alat, seperti pulpen, yang ditekankan pada tempat sinus paranasal
dan mengeluarkan gelombang-gelombang ultrason. Gelombang-gelombang yang terpantul
kembali digambarkan pada sebuah layar. Dari pola gambar di atas layar ini, dapat ditarik
kesimpulan mengenai adanya udara atau cairan, penebalan selaput lendir, kista, dan tumor di
dalam sinus paranasal.2

Working Diagnosis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.5
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:5
1. Rinitis Alergi musiman(Seasonal, Hay Fever, Polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:5
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Gambar 2. Klasifikasi Rinitis Alergika menudur ARIA2
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang menganggu.
2. Sedang atau berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
Rinitis Alergi Musiman
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di Negara yang mempunyai
4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungan (pollen) dan spora jamur. Oleh karena
itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah
gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).5
Penyakit ini timbulnya periodic, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi
allergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan biasanya mulai timbulnya
pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun,
tergantung pada banyaknya allergen di udara. Factor herediter pada penyakit ini sangat berperan.5
Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa varias musim, jadi
dapat ditemukan sepanjang tahun.5
Penyebab yang paling sering ialah allergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergi
ingestan. Alergi inhalan utama adalah allergen dalam rumah dan diluar rumah. Alergen inhalan
dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukkan baju,
dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasa dari serpihan kulit dan feses
tungau D. pteronyssinus, D. farinae, dan Biomia tropicallis, kecoa, dan bulu binatang peliharaan.
Allergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Allergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak dan biasanya diserta dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan
dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.5

Gambar 4. Algoritma Diagnosis Rinitis Alergika menurut ARIA 2008 2

Manifestasi Klinik5-6
Rhinitia alergika secara khas digambarkan dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan
hidung, bersin, mata berair, dan gatal, dan postnatal drip.
Gejala alergi hidung berbeda dengan rhinitis infeksiosa. Respons alergi biasanya ditandai
oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan secret
biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen seperti yang terjadi pada rhinitis infeksiosa.
Awitan gejala timbiul cepat setelah paparan allergen, dapat berupa mata atau palatum yang gatal
berair. Biasanya dapat terungkap suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap
atau inhalan lain. Gejala penyerta seeperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen, atau
insomnia dapat juga member kesan suatu allergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien
ini dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis alergika umunya
berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan diathesis alergika, sering kali
terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada rhinitis virus, maka sinusitis
bakterialis akut juga dapat timbul sekunder akibat sumbatan ostia dan pengumpulan secret.
Gejala lain adalah keluar ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stais vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak mengosok-gosok hidung, karena gatal. Keadaan ini desebut
sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.

Etiologi
Rinitis alergi adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan imunitas
humoral yang dimediasi oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) dan terjadi sebagai respons terhadap
antigen lingkungan yang mengakibatkan inflamasi saluran napas atas.7 Rinitis alergi diduga
melibatkan antibodi reaginik, basofil, sel mast, dan pelepasan zat mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan
manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin terlibat dalam menimbulkan reaksi
peradangan dalam hidung.6
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat
dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban
udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat
hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.8
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang, perubahan cuaca,
dan kelembaban yang tinggi.
Berdasarkan cara masuknya, alergen terbagi menjadi:
 Alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan, misalkan debu rumah, misalnya
tungau debu rumah (D. Pteronyssinus, D. Farinae, B. Tropicalis), kecoa, serpihan epitel
kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergilus
Alternia).
 Alergen ingestan yang masuk lewat makanan, misalnya susu, telur, ikan laut, udang,
kepiting, telur, kacang-kacangan dan lain-lain.
 Alergen injektan yang masuk lewat suntikan atau tusukan, misalnya penisilin, gigitan
serangga (sengatan lebah).
 Alergen kontaktan yang masuk lewat kulit, misalkan obat kosmetik atau salep.

Epidemiologi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di seluruh dunia,
sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga
berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya
yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3
miliar dolar amerika pertahun.6
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau sekitar
20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-laki dan 14%
pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik,
tipe dan potensi alergen.6
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung
perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya dengan
jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada
wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi
onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda.
Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi antara
onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.6

Patofisiologi
Rinitis alergi terjadi jika suatu antigen pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung berupa reseptor histamin H1, adrenoseptor
α, adrenoseptor β2, kolinoseptor, reseptor histamin H3, dan reseptor iritan. Dari semua reseptor,
yang terpenting adalah reseptor histamin H1. Bila reseptor histamin H1 terangsang oleh histamin,
hal ini akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, menyebabkan bersin, gatal, dan rinore.6
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan
Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). Pada
alergi, interleukin-4 (IL-4) secara khusus dilepaskan oleh CD4 sehingga menghasilkan proliferasi
limfosit B. Sel B mengalami “perubahan isotipe” sedemikian rupa sehingga mereka berubah dari
memproduksi IgM menjadi memproduksi sejumlah besar IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk
ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dnegna akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediatros antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), dan berbagai sitoikin (IL-3, IL-4,
IL-5, IL-6, GM-CSF). Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).5
Histamin akan merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Seain histamim merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan ransangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).5
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang meyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrodil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dna mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL-4, IL-5, dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper-responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Perocidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca, dan kelembapan udara yang tinggi.5
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari :
1. Respon primer:
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respon sekunder:
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau kedua-duanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek
dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier:
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringanyang banyak dijumpai dibidang THT adalah tripe 1 yaitu rinitis alergi.
Respons alergi merupakan respons terhadap pajanan alergen, tetapi dapat mengakibatkan
perubahan kronis dalam mukosa pernapasan dengan gejala menetap. Berbagai efek klinis yang
terjadi bergantung pada alergen, individu, dan jaringan yang terutama menjadi sasaran untuk
respons alergi. Pada rinitis alergika:9
 Mukosa nasal mengalami edema dengan peningkatan produksi mukus.
 Upaya inspirasi dnegan tekanan jalan napas nasal negatif mengakibatkan kolaps nasal dan
obstruksi jalan napas. Penyumbatan tuba eustachius dapat mengakibatkan otitis serosa dan
dapat mengakibatkan otitis media.
 Inflamasi pernapasan atas berhubungan dengan respons inflamasi jalan napas bawah dan
dapat dihubungkan dengan asma.
 Sering terjadi respons fase lambat yang dimediasi oleh memori sel T dan eosinofil dengan
gejala berulang 4 sampai 12 jam setelah pajanan awal.

Penatalaksanaan5
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah kontak
antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mastosit tidak
berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam praktek adalah sangat sulit
mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk
mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja
molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya
dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis
pada umumnya diberikan intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara
oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase
lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak
dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi
di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada penyakit
yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan
penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa
dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g.
Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama
20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan
farmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar dari pada yang
digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk
melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti
pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu menekan
reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat
berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam
sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak
membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan populasi
limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang
sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah:5
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.

Preventif10
Cara yang terbaik untuk mengawasi adanya gejala alergi adalah mencegah terjadinya pencetus
alergi. Jika Anda mengalami demam debu, maka Anda berpotensi terkena alergi ketika alergen
udara sedang tinggi:
1. Tinggal saja di dalam rumah, dan jika mungkin, tutup semua jendela.
2. Gunakan AC.
3. Hindari menggunakan kipas angin yang menarik udara dari luar.
4. Untuk mengeringkan bahan cucian Jangan menggantungnya di luar.
5. Segera setelah Anda dari luar rumah, ganti pakaian Anda dengan yang (relatif)
bebas debu.
6. Gunakan filter udara jenis HEPA di kamar tidur Anda.
Jika Anda menderita alergi rinitis abadi:
1. Menghindarkan alergen penyebab dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari alergen,
menempatkan suatu sawar antara pasien dengan alergen atau menjauhkan alergen dari
pasien.
2. Tutupi bantal dan kasur dengan penutup tungau debu.
3. Singkirkan karpet; langsung ke ubin atau lantai kayu yang keras. Gunakan karpet dan cuci
daerah itu sesering mungkin dengan air yang sangat panas.
4. Jauhkan hewan peliharaan dari kamar tidur.

Prognosis
Prognosis dan perjalanan alamiah dari rinitis alergika sulit dipastikan. Ada kesan klinis
bahwa gejala-gejala rinitis alergika berkurang dengan bertanbahnya usia. Seseorang yang
mendapat rinitis alergi saat anak-anak, tidak menunjukkan gejala pada dewasa. Seseorang yang
mengalami alergi setelah usia 20 tahun, akan berlanjut sampai usia 40 tahun.
Gejala rinitis alergi dapat diobati, tetapi gejala tersebut akan muncul setiap kali pasien
terpapar alergen. Meskipun alergi rinitis bukan kondisi yang serius, tetapi dapat mengganggu
kualitas kehidupan pasien dalam beraktivitas sehari-hari, tergantung pada seberapa parah gejala
yang muncul.

Differential Diagnosis
a. Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis
ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan alergi yang sesuai.3
Gangguan vasomotor hidung ialah terdapatnya gangugan fisiologik lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini mempunyai gejala yang
mirip dengan rhinitis alergi. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat
gangguan keseimbangan vasomotor. Oleh karena itu kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh,
atau vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non specific allergic rhinitis.3


Manifestasi Klinik Rhinitis Vasomotor3

Untuk memahami gejala yang timbul pada rhinitis vasomotor perlu diketahui terlebih
dahulu apa yang dimaksud dengan siklus nasi, yaitu kemampuan untuk dapat bernapas dengan
tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Gejala yang didapat pada rintis vasomotor ialah hidung tersumbat, bergantian kiri dan
kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinorea yang mucus atau serous, kadang-
kadang agak banyak. Keluhan ini jarang disertai dengan bersin, dan tidak terdapat rasa gatal di
mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan
suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan
obstruksi (blockers) dan golongan rinorea (sneezers). Pada golongan rinore (sneezers), gejala dapat
diatasi dengan pemberian antikolinergik topikal; dan golongan obstruksi (blockers) yang kongesti
umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokonstriktor oral.
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinorea. Oleh
karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang
teliti untuk memastikan diagnosisnya.

b. Rhinitis Simpleks/ Infeksiosa (Pilek, Salesma, Common Cold, Coryza)

Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. Sering
disebut juga sebagai selesma, common cold, flu. Rinitis infeksiosa atau common cold adalah suatu
penyakit ringan yang berlangsung singkat, gejala utama ditemukan pada saluran pernapasan atas
dengan predominan gejala hidung.4
 Manifestasi Klinik Rhinitis Simpleks4
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering
dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan
ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung
tampak merah dan membengkak.
Ingus mulanya seperti air sampai menjadi serosa. Bila terjadi infeksi sekunder bakteri,
sekresi menjadi mukopurulen terutama disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus,
Hemophylus influenzae atau Staphylococcus dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejala kemudian akan berkurang dan pasien akan sembuh
sesudah 5-10 hari.

c. Rhinitis Medikamentosa

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung, berupa gangguan respons normal
vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriksi topical (obat tetes hidung atau obat semprot
hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan(drug
abuse).3

 Manifestasi Klinik Rhinitis Medikamentosa

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak
edema konka dengan secret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin, edema konka
tidak berkurang.3

Kesimpulan
Rinitis alergika merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tubuh terhadap suatu allergen. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Dan dalam mendiagnosa rinitis alergika, akan
ditemukan gejala bersin-bersin, rinorea, rasa gatal pada hidung, dan terseumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E. Pentalaksanaan yang paling penting pada
rinitis alergika adalah dengan cara menghindari tubuh dari paparan alergen. Prognosis pada
umumnya ditentukan dari baik tidaknya seseorang dalam menghindari alergen. Pada umumnya
baik, dan dapat dikontrol .

Daftar Pustaka
1. Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam: Adams GL, Boeis LR, Higler PA, editor. Boeis Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC., 1997.h.211-4.
2. Bousquet et al. Allergy.New York:ARIA, 2008;63 Suppl 86:8-160.
3. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor. Dalam: Soepardo EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.h.135-7.
4. Wardani RS, Mangunkusumo E. Dalam: Soepardo EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.h.139-41.
5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi. Dalam: Soepardo EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.h.128-34.
6. Blumenthal MN. Kelainan alergi pada pasien THT. Dalam: Adams GL, Boeis LR, Higler
PA, editor. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit BUku Kedokteran
EGC., 1997.h.196-8.
7. Herawati S, Rukmini S. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk
mahasiswa fakultas kedokteran gigi. Jakarta: EGC; 2005.
8. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M. Jennifer. Allergy
and immunology, an otolaryngic approach. USA: Lippincott
Williams&Wilkins,2002.p.209-19.
9. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisilogi: pemeriksaan dan manajemen. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2007.h.377-81.
10. Gunawan GS, Setiabudy R, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2007.

Anda mungkin juga menyukai