Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria
masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/mg
atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai
hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO),
1–3 dari 100.000 anak dibawah 16 tahun menderita sindrom nefrotik.2 Pada negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Insidensi di Indonesia diperkirakan terdapat 6
kasus per 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun setiap tahunnya, dengan
perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.3
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi
menjadi sindrom nefrotik primer yang terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain dan sindrom nefrotik sekunder yang timbul sebagai
akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata
seperti misalnya efek samping obat.1
Pada sindrom nefrotik kasus baru, sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua.
Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang cenderung kambuh berulangkali,
perjalanan penyakit ini bersifat secara kebetulan (insidious), dan seringkali
menyebabkan keterlambatan diagnosis.4 Oleh sebab itu, pentingnya para tenaga
medis untuk dapat memahami tentang sindrom nefrotik, mengingat masih tingginya
angka relaps pada penyakit ini.
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan anak R usia 6 tahun 8 bulan dengan
diagnosis Sindroma Nefrotik.

1
BAB II
KASUS

II. 1 Identitas
Identitas Pasien
Nama Pasien : An. R
Jenis kelamin : Laki – laki
Umur : 6 tahun 8 bulan
Alamat : Jalan Kereng Pangi
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 28/09/2017

Identitas Orang Tua


Ayah : Nama : Tn. MH
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Kereng Pangi
Ibu : Nama : Ny. H
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jalan Kereng Pangi

II. 2 Anamnesis
a. Tempat/Tanggal/Pukul : Poli Anak RSUD dr Doris Sylvanus
28 September 2017 (Autoanamnesis
dan Alloanamnesis dengan ibu pasien)
b. Keluhan Utama : Bengkak pada seluruh tubuh

2
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak R, laki-laki usia 6 tahun datang ke Poli Anak RSUD dr. Doris
Sylvanus dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh yang dirasakan
sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Bengkak pada awalnya
dirasakan pada daerah kelopak mata, terlihat jelas pada pagi hari saat
bangun tidur dan bengkak berkurang setelah siang atau sore hari. Bengkak
kemudian menjalar ke perut dan kedua kaki. Sebelumnya pasien pernah
merasakan keluhan bengkak yang serupa sekitar 2 minggu pada beberapa
bulan yang lalu, lalu bengkak hilang dengan sendirinya setelah berobat ke
dokter. Bengkak disertai dengan rasa nyeri di daerah sekitar pusat. Pasien
tidak mengeluhkan sesak napas, sakit kepala, mual muntah, kejang
maupun demam. Ibu pasien mengatakan bahwa nafsu makan pasien
meningkat namun konsumsi minum menurun. Pasien juga mengeluhkan
buang air kecil (BAK) dirasakan menurun sejak 1 minggu SMRS,
berwarna kuning pekat dan berbusa. Buang air besar (BAB) dikatakan
pasien lancar seperti biasa.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa pada beberapa
bulan yang lalu selama 2 minggu, namun keluhan hilang dengan
sendirinya setelah berobat ke dokter. Pasien juga mengaku memiliki
riwayat alergi.
Campak (-) TBC (-) diare (+) hepatitis (-) kejang (-) demam tifoid (-)
sesak (-) sakit tenggorokan (-) malaria (-).

e. Riwayat Persalinan :
Selama kehamilan ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya. Pada
usia kehamilan 9 bulan, ibu pasien mengalami kejang 1x. Pasien lahir
secara SC dengan indikasi eklampsi di RSUD Kasongan ditolong oleh

3
dokter. Pasien lahir cukup bulan, langsung menangis, gerak aktif, kulit
tampak kemerahan dengan berat badan lahir 3.600 gram, panjang badan
lahir 49 cm, tidak ada kelainan.

f. Riwayat Perkembangan :
Tiarap : 5 bulan
Merangkak : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 10-11 bulan

g. Riwayat Imunisasi :
BCG : Saat usia 1 bulan
Polio : Saat usia 10 hari, 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan
Hepatitis : Saat lahir, usia 1 bulan dan usia 6 bulan
DPT : Saat usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan,
Campak : Saat usia 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

h. Riwayat Nutrisi
Usia 0-3 bulan : Pasien diberikan susu formula, pemberian terutama
pada saat anak rewel dan gelisah, sekali minum 1
botol dengan takaran 30 mL dan habis.
Usia 3-4 bulan : Pasien diberikan susu kental manis, pemberian semau
anak, terutama pada saat anak rewel dan gelisah,
sekali minum 1 sachet dan habis.
Usia 4-12 bulan : Bubur saring, 3 kali setiap hari, porsi setiap makan
sebanyak ½ piring orang dewasa (±6-7 kali sendok
makan) dan habis.

4
> 12 bulan-sekarang : makanan keluarga 3 kali setiap hari, dengan porsi
setiap makan ± 1 piring orang dewasa dan habis.

i. Riwayat Keluarga
Tn. A Ny. I Tn. K Ny. T

Tn.GL Tn. K Tn.P Tn.G


Tn. MH Tn. S Ny. Y Tn. J

Ny. H

Ket :
= Sakit

An. T An. R An. J

Susunan Keluarga

No. Nama Umur L/P Jelaskan:


Sehat / Sakit (apa) /
Meninggal (umur/sebab)
1. Tn. MH 37 th L Sehat
2. Ny. H 35 th P Sehat
3. An. T 8,7 th L Sehat
4. An. R 6,8 th L Sakit
5. An. J 4,3 th L Sehat

5
II. 3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak edema seluruh tubuh
Kesadaran : Composmentis (E4V5 M6)
Tanda Vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98 x / menit
Respirasi : 27 x/ menit
Suhu : 36,6 derajat Celcius
Antropometri : Berat badan : 32,7 kg
Tinggi badan : 122 cm
Lingkar lengan atas : 19 cm

Status Generalis
Kulit
Wara : Coklat sawo
Sianosis : (-)
Hemangioma : (-)
Turgor : Cepat kembali
Kelembaban : Cukup
Pucat : (+)

Kepala
Bentuk : Normochepal
Ubun-ubun Besar : Telah menutup
Ubun-ubun Kecil : Telah menutup

Rambut
Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tebal
Distribusi : Merata

6
Alopesia : Tidak ada

Mata
Palpebra : Edem palpebra (+/+)
Alis, bulumata : Hitam, jarang, tidak mudah tercabut
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Produksi air mata : Cukup
Pupil: Diameter : 3 mm / 3 mm
Simetris : +/+
Refleks cahaya : Langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Kornea : Jernih

Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada

Hidung:
Bentuk : Simetris
Pernapasan cuping hidung : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Sekret : Tidak ada

Mulut
Bentuk : Normal
Bibir : Pucat
Gusi : Tidak mudah berdarah dan tidak ada pembengkakan

7
Lidah
Bentuk : Normal
Pucat : Tidak ada
Tremor : Tidak tremor
Kotor : Tidak ada
Warna : Merah muda

Faring
Hiperemis : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Membran/Pseudomembran : Tidak ada

Tonsil
Warna : Kemerahan
Pembesaran : T1-T1
Abses : Tidak ada
Membran/Pseudomembran : Tidak ada

Leher
Vena jugularis: Pulsasi : Tidak teraba
Tekanan : Tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada
Kaku kuduk : Tidak ada
Massa : Tidak ada
Tortikolis : Tidak ada

8
Thoraks
Dinding dada/paru
Inspeksi: Bentuk : Simetris (+/+), ketinggalan gerak (-),
barrel chest (-), pectus carinatum (-),
pectus excavatum (-)
Retraksi : Tidak ada
Dispnea : Tidak ada
Pernapasan : Abdominal-torakal
Palpasi: Fremitus fokal : Kanan kiri sama
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi: Suara napas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara napas tambahan: Ronki (-/-) wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi: Ictus cordis : Tidak terlihat
Palpasi: Apeks : Teraba di SIC V linea midclavikularis
sinistra
Perkusi: Batas kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : SIC VI linea midclavikularis sinistra
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi: Frekuensi : 97 x/menit, irama: reguler
Suara dasar : S1 S2 tunggal
Bising : Tidak ada

Abdomen
Inspeksi: Bentuk : Cembung, frog belly like
Lain-lain : Venektasi (-),caput medusa (-),massa (-)
Palpasi: Hati : Tidak ada pembesaran hati
Lien : Tidak ada pembesaran lien

9
Ginjal : Tidak teraba
Massa : Tidak ada
Perkusi: Timpani/redup : Redup
Asites : Shifting dullness (+)
Auskultasi : Bising usus 9 x/menit

Ekstremitas
Umum : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting
edema keempat ekstremitas, sianosis (-),
palmar pucat (-), white nail (-)

Pemeriksaan Neurologis
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan + + + +
Tonus + + + +
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus - - - -
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis - - - -
Sensibilitas + + + +
Tanda meningeal - -

Susunan Saraf : Nervus kranial I-XII dalam batas normal


Genitalia : Laki-laki, oedem skrotum & penis (+)
Anus : Eritema natum (-)

10
II. 4 Assesment Awal
Suspek Sindroma Nefrotik dd. Glomerulonefritis

II. 5 Penatalaksanaa Awal


- Furosemide 1 x 20 mg
- Cefixime sirup 2 x 5 mL

II. 6 Rencana
Cek laboratorium : Darah Lengkap, Kimia Darah dan Urinalisis

11
II. 7 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
28 September 2017
Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah
 WBC : 10,6 x 103/uL*
 Hb : 9,0 g/dl*
 RBC : 3,81 x 106 /uL
 PLT : 447 x 103 /uL
 Creatinine : 0,68 mg/dL
 Ureum : 32 mg/dL
 Albumin : 2,0 gr/dL*
 Kolesterol : 470 mg/dL*
Pemeriksaan Urin
 BJ : 1,020
 Leukosit : 500 mg/dL*
 Protein : +3*
 Glukosa : normal
 Sel eritrosit : banyak*

II. 8 Diagnosis Kerja


Sindroma Nefrotik Kasus Baru
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Anemia

II. 9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III. 1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolesterolemia.1

III. 2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar
12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.3

II. 3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.2 Sekitar
90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.
Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis: Sindrom nefrotik
kelainan minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation), dan
glomerulosklerosis fokal segmental.1

13
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah : penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. Infeksi: hepatitis B, malaria,
schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS. Toksin dan alergen: logam
berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. Penyakit sistemik
imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schinlein,
sarkoidosis.Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.3

II. 4 Patofisiologi
Diawali dengan suatu kelainan primer yang menyebabknan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein. Hal tersebut terjadi akibat perubahan
integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier)
dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Protein utama yang diekskresikan
dalam urin adalah albumin, sehingga keadaan proteinuria secara terus menerus akan
menimbulkan dampak hipoalbuminemia.5
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut. Selain itu efek terjadinya retensi natrium oleh ginjal juga dapat
menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. 2

14
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.6

II. 5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan
dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian
menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari. Seiring waktu,
edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital.
Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Penurunan jumlah urin
yang kadang disertai dengan keluhan urin bewarna kemerahan atau keruh. Hipertensi
dapat ditemukan pada pasien SN akan tetapi jarang.5

II. 6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:3
1. Urinalisis, biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari 3.
3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
- Albumin dan kolesterol serum

15
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody),
dan anti ds-DNA

II. 6 Tatalaksana
Pendekatan terapi pada anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali,
sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi kepada orangtua.3
a. Pengobatan Inisial
Terapi inisial pada anak dengan SN tanpa kontraindikasi steroid adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari)
dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai
dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis
penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4
minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2
LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1
x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis
penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.3

b. Pengobatan SN Relaps Jarang


Pengobatan diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi
yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal

16
ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.7

c. Pengobatan SN Relaps Sering


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian Steroid Jangka Panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap
0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai
dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir.3
2. Pemberian Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan.
Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash,
dan neutropenia yang reversibel.3
3. Pengobatan Dengan Sitostatik
Obat sitostatik yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis tunggal, maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2

17
LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2
jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual,
muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan
dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 5.000/uL, hemoglobin
>8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan
keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb.
Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb,
dan dosis ini aman bagi anak.14 Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 –
0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS
sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.3
4. Pengobatan Dengan Siklosporin
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan
kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps
sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi
bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).
Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian
penjelasan SN resisten steroid.3

II. 6 Komplikasi
Komplikasi dari SN pada anak selalu dikaitkan dengan aktivitas penyakit dan
pemberian terapi yang dilakukan. Komplikasi yang sering mterjadi pada kasus SN
adalah infeksi, hiperlipidemia dan tromboemboli.

18
a. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah selulitis dan
peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen
faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial ( pneumonia
pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK ) diberikan antibiotik yang
sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah
infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menambah
resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes. Bila terjadi peritonitis
primer (biasanya disebabkan oleh kuman gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral, dikombinasikan
dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama
10-14 hari.3
b. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar
kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein, sedangkan kolesterol
HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik.
Pada sindrom nefrotik sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
bersifat sementara, cukup dengan pengurangan diet lemak. 5
c. Tromboemboli
Beberapa factor yang dapat menyebabkan komplikasi tromboemboli pada SN
antara lain pengeluaran dari faktor penghambat trombus seperti antitrombin
melalui urin secara berlebihan, peningkatan pembentukan faktor yang
mendorong pembentukan thrombus seperti fibrinogen serta pengurangan volume
akibat dehidrasi ataupun akibat terapi diuretik juga beresiko dalam peningkatan
pembentukan trombus. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan
dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan
pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.8

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dilaporkan seorang anak laki-laki bernama An.R, berusia 6
tahun 8 bulan dengan keluhan utama diawal masuk poli anak RSUD dr. Doris
Sylvanus, Palangka Raya, Kalimantan Tengah tanggal 28 September 2017 yaitu
bengkak pada seluruh tubuh dengan diagnosis Sindroma nefrotik.
Berdasarkan hasil anamnesis yang telah dilakukan, tanda dan gejala yang
ditemukan sebagai pendukung dari diagnosis kasus ini adalah diketahui bahwa pasien
menderita keluhan bengkak yang dirasakan pada pagi hari, berawal dari daerah
kelopak mata lalu pada siang hari bengkak berkurang namun dirasa menyebar ke
perut dan kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema pada palpebra,
skrotum, penis dan keempat ekstremitas serta didapatkan juga asites pada
pemeriksaan shifting dullnes. Keluhan bengkak pada pasien ini harus dipikirkan
beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebabnya, antara lain kelainan ginjal,
penyakit jantung, gangguan hepar, alergi dan malnutrisi.9
Edema yang ditimbulkan akibat penyakit jantung pada umumnya diawali
dari kedua tungkai. Hal ini dikarenakan edema yang terjadi diakibatkan adanya
gangguan aliran balik ke jantung yang menyebabkan berkurangnya venous return dan
tingginya tahanan perifer pada tungkai terutama fossa poplitea dan inguinal. Lain
halnya, edema yang ditimbulkan akibat kelainan organ hepar biasanya diawali dari
perut. Hal ini dikarenakan fibrosis pada hepar mengakibatkan bendungan sehingga
venous return berkurang dan terjadi hipertensi porta. Selain itu alergi juga dapat
menyebabkan edema, akan tetapi sifatnya biasanya hanya lokal, non pitting dan tidak
berlangsung lama. Berbeda dengan malnutrisi, edema yang terjadi pada awalnya di
daerah perut akibat rendahnya protein, biasanya penyebabnya dapat dikarenakan
kwashiorkor ataupun marasmus.9

20
Edema yang terjadi akibat kelainan ginjal biasanya dimulai dari kelopak
mata atau biasa disebut edema periorbital, hal ini dikarenakan kelopak mata
merupakan jaringan yang banyak mengandung jaringan ikat longgar, selain pada
skrotum atau labia. Bengkak pada kelopak mata paling terlihat pada pagi hari setelah
bangun tidur. Hal ini dikarenakan pengaruh gaya gravitasi cairan dalam posisi
horizontal saat tidur dan kemudian bengkak pada ekstremitas pada siang harinya.
Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Jika edema
terjadi dibeberapa tempat, sering disebut sebagai edema anasarka yang merupakan
edema khas pada penyakit ginjal. Edema anasarka merujuk pada akumulasi cairan
yang parah yang tersebar luas dalam semua jaringan-jaringan dan rongga-rongga
tubuh pada saat yang bersamaan.10
Edema yang disebabkan karena kelainan ginjal dapat diterangkan dengan
teori underfill dan overfill. Berdasarkan teori Underfilled, adanya peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi
albuminuria dan hipoalbuminemia.10 Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma menurun sehingga cairan plasma bergeser dari intravaskular
ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Selanjutnya dampak yang terjadi
menyebabkan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.2
Berdasarkan teori Overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal
akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-
angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan
mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga
ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi
saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau

21
resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan
kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi
natrium dan edema semakin berlanjut.11
Pada pasien ini, edema yang terjadi bersifat intermiten, dan manifestasi awal
edema tampak pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah yaitu
daerah kelopak mata. Selain itu edema juga dirasakan menyebar pada seluruh tubuh
yang mengarah pada manifestasi edema anasarka. Pada pemeriksaan fisik juga
didapatkan edema bersifat general (edema anasarka) dan bersifat pitting. Hal ini
menunjukkan bahwa bengkak yang dikeluhkan pada pasien mengarah pada
manifestasi edema yang diakibatkan karena kelainan ginjal.
Selain itu pasien juga mengeluhkan produksi urin yang berkurang
dibandingkan dengan biasanya, berwarna kuning pekat dan berbusa. Hal ini berkaitan
dengan keadaan edema yang terjadi pada pasien yang merupakan manifestasi dari
ekstravasasi cairan dari ruang interstitial. Akibatnya terjadilah penurunan dari volume
plasma yang menstimulasi timbulnya retensi air dan natrium sebagai usaha
kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap
normal. Dampak yang ditimbulkan dari keadaam retensi air dan natrium inilah yang
akhirnya menimbulkan manifestasi produksi urin berkurang dan berwarna lebih
pekat.5 Selain itu adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan
albumin keluar sehingga terjadi proteinuria dan menyebabkan keadaan urin berbusa.1
Berdasarkan definisinya sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-klinis
yang terdiri dari proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urine sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL),
edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1 Oleh sebab itu, pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah dan urin sangat penting dilakukan
guna penegakan diagnosis dari sindrom nefrotik ini.
Pada pasien ini, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan
dari kadar albumin dalam darah sebesar 2,0 gr/dL dan peningkatan dari kadar
kolesterol sebesar 470 mg/dL serta penurunan kadar hb menjadi 9,0 gr/dL. Dari hasil

22
pemeriksaan urinalisis juga didapatkan proteinuria sebesar +3, selain itu ditemukan
juga peningkatan dari leukosit dan eritrosit pada hasil urinalisis.
Proteinuria pada pasien ini terjadi akibat perubahan integritas membrana
basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap
protein plasma. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindroma nefrotik kedua mekanisme
penghalang tersebut ikut terganggu. Protein utama yang diekskresikan dalam urin
adalah albumin, sehingga keadaan proteinuria secara terus menerus akan
menimbulkan dampak hipoalbuminemia.3
Proteinuria dapat diuji dengan cara; dipstick, SSA, atau perbandingan rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu (Normal 0,2:1). Tes dipstick menunjukkan ekresi
protein urin secara kualitatif. Interpretasi dengan hasil negatif, trace (10-20 mg/dL),
1+ (30 mg/dL), 3+ (300 mg/dL), dan 4+ (1000-2000 mg/dL). Pengukuran dari
pengumpulan urine 24 jam lebih menunjukkan keakuratan secara kuantitatif. Eksresi
protein normal pada anak adalah ≤ 4 mg/m2/jam, abnormal 4–40 mg/m2/jam; dan
nephrotik jika ≥ 40 mg/m2/jam. 1 Pada pasien ini hasil dipstick menunjukkan +3 yang
artinya protein dalam urin pasien setara dengan 300 mg/dL.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,
pasien ini didapatkan edema anaksarka, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan
proteinuria masif. Maka diagnosis Sindrom Nefrotik pada pasin ini dapat ditegakan
karena memenuhi semua kriteria berdasarkan Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012):3
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+);
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL;
3. Edema;
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.

23
Pada pembahasan ini, pasien didiagnosa kerja dengan sindrom nefrotik dan
diagnosis bandingnya adalah GNA. Alasan tidak didiagnosa kerja dengan GNA
adalah dari hasil pemeriksaan yang kurang mendukung kearah GNA. Pada GNA
terjadi proses proliferasi & inflamasi pada glomerulus akibat mekanisme imunologis
terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang tersering adalah Streptococcus. Dari
riwayat anamnesa pasien ini, tidak didapatkan keluhan sakit menelan, kelainan pada
kulit serta tanda gejala ISPA sebelumnya. Hal ini menjadi penting karena timbunya
GNA biasanya didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemolyticus grup A. Gejala
klinik yang sering berupa hematuria / kencing berwarna kemerahan. Kadang disertai
edema ringan disekitar mata atau diseluruh tubuh. Hipertensi pada 60-70% anak
dengan GNA hari pertama, kemudian normal kembali. Pada pasien ini didapatkan
hematuria mikroskopik, namun tidak terdapat hipertensi. Selain itu juga, pada pasien
ini tidak terjadi tanda insufisiensi ginjal yang ditandai dengan normalnya laju filtrasi
glomerulus (LFG), kadar ureum dan kreatinin pada pasien. Sehingga manifestasi
hematuria mikroskopik pada pasien ini dapat saja hanya diakibatkan karena
terjadinya ISK, mengingat ISK merupakan salah satu penyebab hematuria paling
sering pada anak. Infeksi pada pasien dengan sindroma nefrotik dapat meningkat
resikonya diakibatkan terjadinya kehilangan IgG dan komplemen factor B dan D di
urin yang berperan dalam sistem imunitas. Infeksi saluran kemih pada pasien ini
dapat ditegakan denga pemeriksaan urinalisis yang menunjukkan peningkatan
leukosit dalam urin.1
Hematuria mikroskopik pada pasien ini dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya anemia pada kasus. Berdasarkan hasil laboratorium pasien ini didapatkan
kadar hemoglobin sebesar 9,0 gr/dL. Selain itu anemia pada pasien dengan SN juga
dapat dijelaskan akibat terjadinya kehilangan protein yang keluar bersama dengan
urin, dimana salah satunya adalah protein pengangkut Fe (transferrin), sehingga
anemia yang terjadi terkesan akibat defisiensi. Pada pasien ini untuk keadaan anemia
tidak dilakukan terapi karena berdasarkan beberapa literature mengatakan bahwa

24
kadar transferrin pada pasien kasus SN dapat membaik dengan sendirinya mengikuti
dengan keadaan remisi.12
Berdasarkan tipenya pasien ini didiagnosis menderita sindrom nefrotik kasus
baru. Hal ini dikarenakan berdasarkan batasan definisi relaps sendiri yaitu terjadinya
keadaan proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu setelah dilakukannya terapi.3 Sedangkan pada pasien ini
pengobatan belum pernah dilakukan.
Terapi inisial pada anak dengan sindroma nefrotik tanpa kontraindikasi
steroid seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi
berat adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal
80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang
sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Sebelum pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan
antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan pada kasus curiga relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++
disertai edema, maka prednison dapat mulai diberikan.3
Sebelum pengobatan steroid dimulai, seharusnya dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berupa pengukuran berat badan dan tinggi badan, pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch Schonlein. Mencari fokus infeksi di
gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu
sebelum terapi steroid dimulai. Sebaiknya uji Mantoux dilakukan sebelum pemberian
steroid. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama
steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).3
Akan tetapi pada pasien ini pemeriksaan berupa uji Mantoux tidak dilakukan.

25
Terdapat beberapa pernyataan yang dapat dijadikan alasan tidak dilakukannya uji
Mantoux pada pasien ini, yaitu tidak ada kejelasan yang pasti tentang riwayat
penggunaan steroid jangka panjang sebelumnya, tidak ditemukannya tanda gejala
baik respiratorik dan sistemik dari TB pada pasien ini serta tidak adanya tanda-tanda
dari imunokompromais. Akan tetapi, terlepas dari itu semua pasien dengan sindrom
nefrotik seharusnya tetap dilakukan uji Mantoux sebelum penggunaan steroid
dimulai. Hasil dapat menunjukkan negative palsu bila uji dilakukan setelah steroid
dimulai.13
Pada pasien ini terapi yang diberikan hanya berupa furosemide 1 x 20 mg
dan antibiotik cefixime sirup 2 x 5 mL. Pemberian diuretik pada pasien-pasien
dengan sindroma nefrotik yang bermanifestasi edema berat dapat dibenarkan.
Golongan diuretik yang biasanya diberikan adalah golongan loop diuretik seperti
furosemide dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kgbb.3 Dosis pemberian diuretik digunakan berdasarkan berat actual
tanpa edema pada pasien. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan pada pasien ini
terdapat edema anasarka pada wajah, kedua kaki dan tangan disertai asites sehingga
BB koreksi pada pasien ini adalah sekitar 30 % dari BB dengan edema. Berat badan
koreksi yang didapat adalah 9,81 kg, sehingga BB aktual pada pasien ini adalah 32,7
– 9,81 kg = 22,89 kg. Dosis furosemide yang dapat diberikan adalah 1-3
mg/kgBB/hari yang apabila dikonversikan sesuai dengan BB pasien ini adalah 22,89
– 68,67 mg. Sehingga dosis 1 x 20 mg furosemide pada pasien ini telah sesuai dengan
pedoman tatalaksana sindroma nefrotik yang benar.

26
Pemberian antibiotik pada pasien ini diberikan mengingat tingginya kadar
leukosit dalam urin. Infeksi merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien dengan sindroma nefrotik. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
kebocoran IgG dan komplemen factor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi
bakterial maka pemberian antibiotik dapat dilakukan, sehingga pada pasien ini
pemberian antibiotik yang dilakukan dapat dibenarkan dan telah sesuai dengan
pedoman dari tatalaksana pada komplikasi sindroma nefrotik.3
Pada pasien ini masih kurang dalam penatalaksanaan sindroma nefrotik
inisialnya. Terapi inisial pada anak dengan sindroma nefrotik tanpa kontraindikasi
steroid adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari.
Seharusindroma nefrotikya pada pasien ini diberikan terapi steroid berupa prednisone
dengan dosis 50 mg per hari selama 4 minggu awal dan dilanjutkan dengan dosis 1,5
mg/kgbb/hari atau pada pasien ini 35 mg per hari secara alternating (selang sehari)
selama 4 minggu berikutnya. Pertimbangan belum dilakukannya terapi steroid pada
pasien ini adalah kendala pada orang tua pasien yang menolak MRS. Sedangkan
penggunaan daripada steroid harus selalu dimotoring terkait dengan dampak
pemberian jangka panjangnya. Monitoring pada pasien dengan sindroma nefrotik
sangat diperlukan, sehingga setiap terapi yang dilakukan dapat dievaluasi berkaitan
dengan respon yang ditimbulkan pada penderita itu sendiri.
Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain dan
siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain.
Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian
siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila terjadi
hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain, hipertensi
diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang (leukosit
<3.000/uL) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit
≥5.000/uL. Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom
nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam
jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga

27
sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu tumbuh kembang
pasien. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala
cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan
setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.14
Pada pasien ini pengaturan diet tidak dapat dilakukan akibat orang tua pasien
menolak untuk pasien dirawat inap, sehingga edukasi yang adekuat terkait asupan
gizi pada pasien ini sangat diperlukan. Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan
bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena dapat menambah beban ginjal
untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diet protein normal 2 g/kgBB
karena bila diberikan diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 gr/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah lemak harus diberikan.15
Kebutuhan cairan pada pasien ini juga dibatasi maksimal sebanyak 1400 cc
per hari. Jika hasil perhitungan balance cairan adalah positif maka menunjukkan
adanya penambahan cairan dalam tubuh yaitu cairan yang masuk lebih banyak
daripada cairan yang keluar (I > O). Jika hasil perhitungan balance cairan adalah
negatif maka menunjukkan adanya pengurangan cairan dalam tubuh yaitu jumlah
cairan yang keluar lebih banyak dibanding cairan yang masuk ke tubuh (O > I).
Dimana pada pasien sindroma nefrotik dengan edema anasarka diharapkan balance
cairannya negatif.16 Penatalaksanaan non farmakologis pada edema, bila ada edema
anasarka diperlukan tirah baring dan mengganjal kaki agar tidak tergantung dan
meninggikan kaki pada saat berbaring.14
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang
baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.5

28
BAB V
KESIMPULAN

Anak R, laki-laki usia 6 tahun datang ke Poli Anak RSUD dr. Doris Sylvanus
dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh yang dirasakan sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit (SMRS). Bengkak pada awalnya dirasakan pada daerah kelopak
mata, terlihat jelas pada pagi hari saat bangun tidur dan bengkak berkurang setelah
siang atau sore hari. Bengkak kemudian menjalar ke perut dan kedua kaki. Keluhan
tidak disertai dengan sesak napas, sakit kepala, mual muntah, kejang, batuk, maupun
demam. Pasien juga mengeluhkan buang air kecil (BAK) dirasakan menurun sejak 1
minggu SMRS, berwarna kuning pekat dan berbusa. Buang air besar (BAB)
dikatakan pasien lancar seperti biasa.
Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak edema seluruh tubuh,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 98 x/menit,
frekuensi pernafasan 27x/menit, suhu 36,60C, BB 32,7 kg, TB 122 cm. Pada wajah
ditemukan edema palpebra dan konjungtiva anemis pada kedua mata disertai pucat
pada mukosa bibir. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bentuk abdomen
cembung serta shifting dullnes yang merupakan tanda adanya asites. Pada ekstremitas
superior dan inferior ditemukan pitting edema. Pada genitalia eksterna ditemukan
edema pada skrotum dan penis. Pada pemeriksaan neurologis dari nervusI-XII tidak
ada kelainan, reflex fisiologis tidak meningkat ataupun menurun, reflex patologis
tidak ada, rangsang selaput otak juga tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap dan kimia darah didapatkan:
leukositosis, penurunan kadar Hb, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Selain
itu dari hasil urinalisis didapatkan peningkatan leukosit dalam urin, proteinuria dan
sel eritrosit banyak yang menandakan keadaan hematuria mikroskopik Pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium ditemukan adanya edema,
hipoalbuminemia, proteinuria, hiperkolesterolemia, dan tidak adanya kejelasan

29
riwayat penyakit yang sama sebelumnya sehingga diagnosis pada pasien ini adalah
sindrom nefrotik kasus baru disertai dengan penyulit berupa infeksi saluran kemih
dan anemia.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah Furosemide 1 x 20 mg dan Cefixime
sirup 2 x 5 mL. Tatalaksana yang diberikan telah sesuai dengan pedoman tatalaksana
sindrom nefrotik oleh IDAI, terutama untuk tatalaksana simptomatik. Akan tetapi
tatalaksana kausal berupa terapi inisial dengan steroid belum diberikan pada pasien
ini. Selain itu terapi diet yang diberikan juga dilakukan dengan edukasi yang adekuat.
Hal ini terkait penolakan untuk rawat inap pada pasien. Prognosis pada An.R adalah
dubia ad bonam karena pada kasus pertama kali keluhan terjadi pada usia 6 tahun,
tidak disertai dengan hipertensi tetapi disertai dengan hematuria, selain itu respon
terhadap terapi steroid juga masih belum dapat dinilai.

30
DAFTAR PUSKATA

1. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18th


ed. Saunders. Philadelphia.
2. Wirya IW. Sindrom nefrotik. Dalam: Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi ke-2.
Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2009:381-421
3. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta,
h.1-18.
4. Handayani I., Rusli B., Hardjoeno. Gambaran Kadar Kolesterol, Albumin Dan
Sedimen Urin Penderita Anak Sindroma Nefrotik. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2007;13(2)
5. Mansjoer Arif, 2008, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :
Jakarta
6. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h. 50-54.
7. Debbie S. Gipson, dkk. Management of Childhood Onset Nephrotic
Syndrome. American Academy of Pediatrics Pediatrics Volume 124, Number
2, August 2009.
8. Allison A Eddy, Jordan M Symons. Seminar : Nephrotic syndrome in
childhood. The lancet. 2003: 362 (23).
9. Pudjiadi A., Hegar B., Handryastuti S. Sindrom Nefrotik dalam Pedoman
Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1. 2009
10. Prabowo A. Nephrotic Syndrome In Children. Medula. 2014;2(4):9-16
11. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia
Kedokteran No. 134. Jakarta, h.32-37
12. Sri Lilijanti Widjaja, dkk. Ketebalan Tunika Intima-Media Arteri Karotis dan
Fungsi Ventrikel serta Profil Lipid pada Anak dengan Sindrom Nefrotik
Relaps Frekuen dan Dependen Steroid. Sari Pediatri: 9(4); 2007

31
13. Nursyamsi. Tbc Dengan Tes Mantoux Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rsu
Prof. Dr.R.D.Kandou Manado Periode 2001 – 2006. INSPIRASI, No.Xiv.
2011
14. Schmitz G. Farmakologi dan Toksikologi. Ed. 3. Jakarta: EGC:2009:2
15. Rachmadi D. Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. MKB.
Bandung. 2010;42(1):37-44
16. Horne, Mima M. dan P.L. Swearingen. 2001. Keseimbangan Cairan,
Elektrolit dan Asam Basa. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta.

32
PERTANYAAN - PERTANYAAN

Pertanyaan Dokter Muda

1. Apakah diagnosa ISK sudah dapat ditegakan hanya dengan berlandaskan hasil
urinalisis yang menunjukkan adanya peningkatan leukosit dalam urin ?
Jawab :
Standar baku emas pemeriksaan sampel urin untuk diagnosis ISK adalah
kultur bakteri. Namun kultur bakteri membutuhkan waktu untuk mendapatkan
hasil, selain itu dibutuhkan biaya yang cukup mahal. Hasil dari kultur bakteri
juga bisa menghasilkan hasil negatif palsu. Kultur bakteri juga tidak dapat
dilakukan di semua laboratorium. Terlepas dari penyulit diatas, diagnosis ISK
harus segera ditegakan agar para tenaga kesehatan dapat menentukan terapi
(antibiotik) yang adekuat. Oleh sebab itu, metode diagnostik yang sederhana,
cepat, dan terjangkau sangat dibutuhkan. Salah satu pemeriksaan yang dapat
dilakukan guna membantu dalam penegakan diagnosis ISK selain kultur urin
adalah pemeriksaan mikroskopis. Kriteria penegakan diagnosa ISK pada CDC
adalah dengan ditemukannya leukosit dalam urin ≥3/LPB. Adanya leukosit
pada preparat sampel urin dapat membuktikan adanya ISK karena keberadaan
leukosit menunjukkan bahwa respon inflamasi telah terjadi dan menyebabkan
berkumpulnya leukosit.
Sumber :
Catheter Associated Urinary Tract Infection (CAUTI) Event. Atlanta: Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), 2009.

33
2. Mengapa insidensi Sindrom Nefrotik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan ? Mengapa perlu dilakukannya evaluasi katarak pada
pasien dengan Sindrom Nefrotik ?
Jawab
Belum ada sepenuhnya dasar ilmu yang menjelaskan hubungan jenis kelamin
dengan insidensi pada Sindrom Nefrotik. Kesimpulan yang menjelaskan
bahwa insidensi pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan
hanya didapatkan berdasarkan hasil dari beberapa penelitian terdahulu yang
telah dilakukan secara komperhenssif dalam jangan waktu yang panjang.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh IDAI yaitu
perbandingan insidensi pada laki-laki dan perempuan yang menderita Sindrom
Nefrotik adalah sebesar 2 berbanding 1.
Resiko terjadinya katarak meningkat pada pasien yang menggunakan
kortikosteroid dalam jangka panjang dan risiko ini tampaknya berhubungan
dengan dosis kortikosteroid yang digunakan. Katarak subkapsular posterior
khas terbentuk pada katarak akibat kortikosteroid, hal ini disebabkan oleh
migrasi abnormal dari sel epitel lensa. Kekeruhan lensa akibat kortikosteroid
terjadi akibat reaksi spesifik dengan asam amino dari lensa dan aktivasi
reseptor glukokortikoid pada sel epitel lensa yang menyebabkan proliferasi
sel, penurunan apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel. Sehingga pada
kasus yang diperlukannya terapi steroid jangka panjang dianjurkan untuk
dilakukannya evaluasi katarak setiap 1 tahun sekali.
Sumber :
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
2. Jobling A, Augusteyn R. What causes steroid cataract? A review of
steroid- induced posterior subcapsular cataracts. Clinical and experimental
optometry. 2002;85(2):61- 75.

34
3. Apa saja faktor resiko yang dapat digali pada pasien dengan Sindrom
Nefrotik ?
Berdasarkan etiologinya, diketahui Sindrom Nefrotik diklasifikan menjadi 2
yaitu Sindrom Nefrotik primer dan Sindrom Nefrotik sekunder. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain atau
sering juga disebut dengan idiopatik. Golongan ini paling sering dijumpai
pada anak. Sehingga terkadang kaitan beberapa faktor resiko yang terdapat
pada pasien Sindrom Nefrotik idiopatik sulit digali, mengingat perjalanan
penyakit ini sifatnya timbul secara kebetulan. Akan tetapi terdapat beberapa
penyakit dan beberapa faktor yang dapat digali yang merupakan faktor resiko
terjadinya Sindrom Nefrotik sekunder, diantaranya ada atau tidaknya riwayat
penyakit metabolik atau kongenital sebelumnya seperti diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. Selain itu apakah terdapat riwayat
penyakit infeksi sebelumnya seperti hepatitis B, malaria, schistosomiasis,
lepra, sifilis, streptokokus, AIDS. Riwayat terpapar toksin dan alergen seperti
logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. Riwayat
penyakit sistemik imunologik seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis. Serta ada atau tidaknya riwayat penyakit
neoplasma sebelumnya seperti tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor
gastrointestinal.
Sumber :
Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

35
Pertanyaan dr. Ni Made Yuliari, Sp.A

1. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?


Berdasarkan beberapa penelitian prognosis jangka panjang Sindrom Nefrotik
yang menunjukkan gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal
selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal. Disisi lain beberapa penelitian jangka panjang juga mengamati dan
menyimpulkan bahwa respons terhadap pengobatan steroid lebih sering
digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran
patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi Sindrom Nefrotik
lebih didasarkan pada respons klinik yaitu: Sindrom Nefrotik sensitif steroid
(SNSS) dan Sindrom Nefrotik resisten steroid (SNRS). Selain itu, literatur
lainnya juga menyebutkan bahwa prognosis Sindrom Nefrotik umumnya baik,
kecuali bila ditemukan keadaan-keadaan seperti dibawah ini :
- Menderita untuk pertama kali pada umur < 2 th atau > 6 th
- Disertai oleh hipertensi
- Disertai hematuria persisten
- Termasuk SN sekunder
- Gambaran histopatologik selain kelainan minimal
Pada pasien dalam laporan kasus ini diketahui bahwa keluhan yang mengarah
pada Sindrom Nefrotik ini pertama kali dialami pada usia 6 tahun, tidak
disertai dengan hipertensi, terdapat hematuria namun bersifat mikroskopik dan
kurangnya evaluasi sehingga sulit menentukan bahwa hematuria yang diderita
pada pasien ini bersifat persisten atau tidak. Pada pasien ini juga tidak
ditemukan tanda-tanda Sindrom Nefrotik yang terjadi akibat penyebab
sekunder serta untuk klasifikasi berdasarkan gambaran patologi anatomi juga
tidak dapat dinilai terkait tidak adanya indikasi pada pasien ini yang
mengharuskan pasien untuk melakukan pemeriksaan patologi anatomi.

36
Berlandaskan pernyataan-pernyataan diatas makan prognosis pada pasien
dalam laporan kasus ini adalah dubia ad bonam.
Sumber :
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
2. Noer, S, M, dkk; Sindrom Nefrotik resisten steroid dan Permasalahannya,
Simposium Nasional Nefrologi Anak IX Hemato – onkologi Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Surabaya. 2003:16

2. Apa saja faktor yang dapat berperan dalam terjadinya relaps pada kasus
Sindrom Nefrotik ?
Jawab :
Berbagai faktor telah diteliti dan dianggap merupakan risiko untuk terjadinya
relaps pada penderita sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS), yaitu riwayat
atopi, jenis human leucocyte antigen (HLA) tertentu, usia saat serangan
pertama, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian atas oleh virus
yang menyertai atau mendahului terjadinya relaps. Relaps pada Sindrom
Nefrotik ditandai dengan terjadinya proteinuria setelah mengalami remisi.
Mekanisme proteinuria yang merupakan gejala utama terjadinya relaps pada
penderita Sindrom Nefrotik belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
melibatkan pelepasan berbagai jenis sitokin, terutama interleukin (IL-4 dan
IL13). Selain itu ketidakpatuhan pengobatan yang diberikan juga diketahui
menjadi salah satu faktor yang dapat memicu relaps pada kasus Sindrom
Nefrotik.
Sumber :
Arief Budiman, dkk. Musim Hujan sebagai Faktor Risiko Kambuh pada Anak
Penderita Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid. 2011. MKB : 43(3).

37
3. Apa saja yang perlu dievaluasi dalam tindak lanjut pasien Sindrom Nefrotik
selanjutnya ?
Jawab :
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Oleh karena itu,
pada semua pasien Sindrom Nefrotik harus dilakukan pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan
dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap
tahun sekali.
Sumber :
Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

Pertanyaan dr. Arieta R. Kawengian, Sp.A

1. Diagnosa banding dari kasus-kasus yang datang dengan manifestasi edema ?


Jawab :
Pada kasus-kasus dimana manifestasinya adalah edema harus dipikirkan
beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebabnya, antara lain kelainan
ginjal, penyakit jantung, gangguan hepar, alergi dan malnutrisi. Setiap
penyebab memiliki karakteristik dari edema yang berbeda-beda yang menjadi
khas dan berguna dalam membedakannya. Edema yang ditimbulkan akibat
penyakit jantung pada umumnya diawali dari kedua tungkai. Hal ini
dikarenakan edema yang terjadi diakibatkan adanya gangguan aliran balik ke
jantung yang menyebabkan berkurangnya venous return dan tingginya
tahanan perifer pada tungkai terutama fossa poplitea dan inguinal. Lain

38
halnya, edema yang ditimbulkan akibat kelainan organ hepar biasanya diawali
dari perut. Hal ini dikarenakan fibrosis pada hepar mengakibatkan bendungan
sehingga venous return berkurang dan terjadi hipertensi porta. Selain itu alergi
juga dapat menyebabkan edema, akan tetapi sifatnya biasanya hanya lokal,
non pitting dan tidak berlangsung lama. Berbeda dengan malnutrisi, edema
yang terjadi pada awalnya di daerah perut akibat rendahnya protein, biasanya
penyebabnya dapat dikarenakan kwashiorkor ataupun marasmus. Edema yang
terjadi akibat kelainan ginjal biasanya dimulai dari kelopak mata atau biasa
disebut edema periorbital, hal ini dikarenakan kelopak mata merupakan
jaringan yang banyak mengandung jaringan ikat longgar, selain pada skrotum
atau labia. Bengkak pada kelopak mata paling terlihat pada pagi hari setelah
bangun tidur. Hal ini dikarenakan pengaruh gaya gravitasi cairan dalam posisi
horizontal saat tidur dan kemudian bengkak pada ekstremitas pada siang
harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting
edema). Jika edema terjadi dibeberapa tempat, sering disebut sebagai edema
anasarka yang merupakan edema khas pada penyakit ginjal. Edema anasarka
merujuk pada akumulasi cairan yang parah yang tersebar luas dalam semua
jaringan-jaringan dan rongga-rongga tubuh pada saat yang bersamaan.
Sumber :
1. Pudjiadi A., Hegar B., Handryastuti S. Sindrom Nefrotik dalam Pedoman
Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1. 2009
2. Prabowo A. Nephrotic Syndrome In Children. Medula. 2014;2(4):9-16

2. Jelaskan terkait pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien-pasien


edema ?
Pada pemeriksaan fisik edema pada umumnya didapatkan gambaran edema
pada beberapa bagian tubuh, antara lain daerah palpebral, pretibial, abdomen,
genital serta ektremitas. Pada keadaan edema bersifat masif perlu dilakukan
pemeriksaan thoraks untuk menilai ada atau tidaknya efusi pleura dan tanda-

39
tanda gagal jantung yang merupakan salah satu penyebab timbulnya
manifestasi edema. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan abdomen
serta ekstremitas untuk mendapatkan hasil berupa tampakan edema.
- Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Pada umumnya pada pemeriksaan inspeksi tidak didapatkan
adanya kelainan.
Palpasi : Tidak ditemukan adanya nyeri tekan, namun biasanya
fremitus vokal akan meningkat pada daerah yang dicurigai
terdapat penumpukan dari cairan.
Perkusi : Ditemukan perubahan suara saat perkusi dari sonor ke redup
menandakan bahwa terdapat penumpukan cairan pada daerah
tersebut.
Auskultasi : Ditemukan suara dasar napas yang menjauh, serta tanda-
tanda gagal jantung seperti ditemukannya irama gallop serta
bunyi suara napas tambahan berupa ronkhi.
- Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Pada umumnya dapat ditemukan perubahan dinding abdomen
menjadi cembung.
Palpasi : Dapat ditemukannya asites dari pemeriksaan undulasi.
Perkusi : Dapat ditemukannya asites dari pemeriksaan shifting dullnes.
Auskultasi : Dapat ditemukannya suara metallic sound akibat
perpindahan aliran cairan yang terjadi.
- Pemeriksaan ekstremitas
Inspeksi : Edema dapat ditemukan pada keempat ekstremitas
Palpasi : Regio tibia bagian anterior diberi tekanan ringan dengan ibu
jari selama kurang lebih 10 detik lalu dilepaskan. Pada pitting
edema akan timbul indentasi kulit yang ditekan, dan akan
kembali secara perlahan-lahan. Pada non-pitting edema tidak
akan terjadi indentasi. Syarat pemeriksaan ini harus dilakukan

40
pada dasar tulang yang keras dan datar. Pada pasien yang
sudah berbaring lama maka cairan akan berkumpul di bagian
terendah, biasanya pada daerah punggung dan sakrum. Pasien
dapat dimiringkan atau didudukkan, lalu dilakukan penekanan
ringan sama seperti pada ekstremitas.
Sumber :
Burns EA, Korn K, Whyte J, Thomas J, Monaghan T. Oxford American
Handbook of Clinical Examination and Practical Skills. New York: Oxford
University Press; 2011.

3. Apa saja komponen KIE yang dapat diberikan pada kasus dengan Sindrom
Nefrotik ?
Terdapat beberapa komponen edukasi yang dapat diberikan kepada setiap
orang tua pasien dengan Sindrom Nefrotik.
- Edukasi terkait kepatuhan konsumsi obat, mengingat pada kasus
Sindrom Nefrotik ini penggunaan obat-obatan termasuk dalam katagori
jangka panjang.
- Edukasi terkait diet yang harus diberikan pada pasien dengan Sindrom
Nefrotik. Beberapa orang memberian anaknya diet tinggi protein
sedangan pada dasar ilmu yang berlaku diet tinggi protein tidak
disarankan untuk anak dengan Sindrom Nefrotik karena akan semakin
memperberat kerja dari glomerulusnya sendiri untuk filtrasi dari protein.
Sehingga edukasi orang tua untuk memberikan protein yang cukup
jangan berlebih sangat penting. Selain itu edukasi terkait diet berupa
pengurangan asupan garam dan asupan cairan juga harus diberikan
kepada orang tua pasien.
- Edukasi terkait efek samping jangka panjang dari penggunaan steroid.
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan

41
orang tuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
- Edukasi terkait tindak lanjut yang harus selalu dievaluasi pada pasien
dengan Sindrom Nefrotik, antara lain pemantauan terhadap gejala-gejala
cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan
tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap
tahun sekali.
Sumber :
Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta.

42

Anda mungkin juga menyukai