Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella
zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah infeksi primer yakni penyakit varisela.1 Lesi pada herpes zoster
sangat khas yakni mengikuti dermatom persarafan sensorik karena virus ini
berdiam di ganglion susunan saraf tepi dan ganglion kranialis.1-3 Lokasi dermatom
yang paling banyak terkena yakni regio torakala (45%), servikal (23%) dan
trigeminal (15%), namun selain daerah tersebut Herpes Zister juga dapat
menyerang bagian lain.1,2

Kejadian Herpes Zoster di dunia diperkirakan lebih dari 1,7 juta kasus baru
tidap tahun dengan sekitar 4 kasus per 1000 penduduk per tahun.4 Studi di daerah
Olmsted County, Minnesota, Amerika Serikat menemukan bahwa insidensi Herpes
Zoster 3,6 kasus per 1000 pasien.5 Risiko kejadian Herpes Zoster meningkat seiring
pertambahan usia.6 Faktor lain yang mempengaruhi yaitu jenis kelamin dimana
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, ras dimana kulit putih lebih
rentan dibandingkan ras kulit hitam, riwayat varisela dan riwayat kelurga dengan
penyakit Herpes Zoster.4,6 Di Eropa angka kejadian Herpes Zoster pada pasin usia
≥ 50 tahun dengan riwayat Varisela adalah sebesar 95%.4 Di Amerika Serikat,
diperkirakan lebih dari 90% orang dewasa merupakan carrier virus Varicella zoster
dan berisiko berkembang menjadi Herpes Zoster.7

Penegakkan diagnosis dan penanganan dini pada Herpes Zoster sangat


penting terutama untuk mencegah komplikasi. Manajemen Herpes Zoster meliputi
pemberian antivirus dan analgetik. Terkadang kortikoksterid juga diberikan untuk
mengurangi keparahan dan durasi fase akut. Komplikasi pasca Herpes Zoster yang
paling sering terjadi adalah Post Herpetic Neuralgia (PHN), komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah gangguan penglihatan, paralisis, dan gangguan neurologis
lain.1

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
Nama : Tn. MA
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Statur Perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Swasta
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 15/03/2018

2.2. Anamnesa
Anamnesis langsung dilakukan dengan pasien.
Keluhan Utama : Nyeri pada luka di wajah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
dengan keluhan 1 minggu yang lalu di wajah sebelah kanan tiba-tiba muncul lepuh-
lepuh kecil berisi cairan jernih, terasa nyeri, panas, dan gatal. Jumlah lepuh
memuncak pada hari ketiga kemudian lepuh mulai pecah baik pecah sendiri
maupuan akibat digaruk dan menyisakan keropeng. Riwayat pengobatan medis (-),
namun pasien berobat tradisional dengan memberikan jangung tumbuk pada tempat
kelainan kulit. Sebelum muncul lepuhan kulit riwayat demam (-) nyeri pada daerah
yang melepuh (-)
Saat ini keluhan hanya berupa nyeri pada daerah wajah yang luka, gatal (-), panas
(-), dan keluhan lain (-)

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat cacar air (-) penyakit hipertensi (-), DM (-),
penyakit ginjal (-),asma (-) dan alergi terhadap obat dan makanan (-)

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengaku bahwa tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit
seperti ini sebelumnya. Anak pasien memiliki riwayat cacar air ± 6 tahun yang lalu.

2.3. Status Generalis


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Denyut nadi : 81 kali / menit, kuat angkat, reguler
Frekuensi pernapasan : 20 kali / menit, tipe torako-abdominal
Suhu : 36,50C
Kepala : mesocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi siliar (-), conjunctival bleeding (-)
Hidung : discharge (-/-), tidak ada deviasi septum, nafas
cuping hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-), lidah tidak kotor
Telinga : daun telinga simetris, serumen (+/+), discharge
(-/-)
Leher : tidak ada pembesaran limfonodi
Kulit : sianosis (-), turgor cukup
Thorax dan paru : simetris, perkusi dan palpasi tidak dilakukan,
auskultasi suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung : inspeksi dalam batas normal, perkusi dan palpasi
tidak dilakukan, Auskultasi S1-S2 tunggal,
murmur (-/-), gallop (-/-)
Abdomen : Datar, auskultasi bising usus (+), massa (-), nyeri
tekan (-), perkusi timpani
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time < 2 detik

3
2.4 Status Dermatologis
Efloresensi: Pada regio fasialis sinistra terdapat lesi polimorf berupa vesikel pecah
dengan dasar eritema, beberapa ditutupi krusta krusta kuning – kehitaman, erosi,
dan pustula. Lesi berukuran miliar – lenticular terdistribusi unilateral.

2.5. Diagnosis Banding


1. Herpes Zoster
2. Sindrom Ramsay Hunt
2. Herpes Simpleks

2.7. Diagnosis Kerja


Herpes Zoster

4
2.8. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
1. Gabapentin 300 mg 3 x 1 tab pc (H-1)
2 x 1 tab pc (H-2)
1 x 1 tab pc (H-3 dan seterusnya)
2. Neurodex 2 x 1 tab pc
3. Natrium diklofenak 50 mg 2 x 1 tab pc
4. Asam Fusidat cream gr 10 2 dd ue

b. Non medikamentosa
1. Edukasi kepada pasien tentang penyakitnya
2. Edukasi kepada pasien tentang komplikasinya
3. Mencegah garukan pada daerah yang gatal
4. Menjaga kebersihan kulit

2.9. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

5
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Herpes Zoster adalah penyakit infeksi virus akut yang menyakitkan akibat
inflamasi pada radix dorsal ganglia atau gngla nervus kranialis ekstraedular
yang menyebabkan erupsi vesicular pada kulit dan membrane mukosa di
daerah yang supali sarafnya terinfeksi.3

Gambar 1. Lesi herpes Zoster

3.2 Epidemiologi
Kejadian Herpes Zoster di dunia diperkirakan lebih dari 1,7 juta kasus baru
tidap tahun dengan sekitar 4 kasus per 1000 penduduk per tahun.4 Studi di
daerah Olmsted County, Minnesota, Amerika Serikat menemukan bahwa
insidensi Herpes Zoster 3,6 kasus per 1000 pasien.5 Risiko kejadian Herpes
Zoster meningkat seiring pertambahan usia.6 Prevalensi Herpes Zoster seiring
peningkatan usia ialah 1 per 1000 pada anak < 10 tahun, 2 per 1000 pada
dewasa < 40 tahun, 1-4 per 1000 pada dewasa usia 40 – 50 tahun, 7-8 per

6
1000 setelah usia 50 tahun dan 10 per 1000 pada usia > 80 tahun.4 Faktor lain
yang mempengaruhi yaitu jenis kelamin dimana lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pria, ras dimana kulit putih lebih rentan dibandingkan
ras kulit hitam, riwayat varisela dan riwayat kelurga dengan penyakit Herpes
Zoster.4,6 Di Eropa angka kejadian Herpes Zoster pada pasin usia ≥ 50 tahun
dengan riwayat Varisela adalah sebesar 95%.4 Di Amerika Serikat,
diperkirakan lebih dari 90% orang dewasa merupakan carrier virus Varicella
zoster dan berisiko berkembang menjadi Herpes Zoster.7

3.3 Etiologi
Sama seperti varisela, Herpes Zoster juga disebabkan oleh virus Varicella
Zoster. Virus ini merupakan kelompok virus herpes dengan ukuran sedang
yakni 140-200 mikron dan berinti DNA.2 Penyakit herpes disebabkan oleh
eaktivasi virus ini pasca pasien menderita varisela. Kadang-kadang varisela
berlangsung subklinis. Virus ini ditularkan secara airborne dan kontak
langsung dengan kulit penderita varisela maupun dengan herpes zoster.8
Namun lesi herpes zoster lebih tidak menular dibandingan lesi varisela.9

3.4 Patogenesis
Selama perjalanan varicella, virus varicella zoster berpindah dari lesi pada
permukaan kulit dan mukosa ke ujung saraf sensoris yang bersebelahan dan
diangkut secara sentripetal melalui serabut sensorik menuju ganglia sensorik.
Sel T yang terinfeksi juga membawa virus ke ganglia sensorik secara
hematogen. Di ganglia, virus tersebut membentuk infeksi laten yang bertahan
seumur hidup. Herpes zoster paling sering terjadi pada dermatom di mana
ruam varicella mencapai kepadatan tertinggi - yang diinervasi oleh ramus
pertama saraf trigeminal (oftalmikus) dan oleh ganglia sensoris spinalis dari
T1 sampai L2.
Meskipun virus laten di ganglia mempertahankan potensinya untuk
infektivitas penuh, reaktivasi bersifat sporadis dan jarang terjadi, dan virus
infeksius tampaknya tidak muncul selama fase laten. Mekanisme yang terlibat

7
dalam reaktivasi virus varicella zoster laten tidak jelas, namun reaktivasi telah
dikaitkan dengan penekanan kekebalan; stres emosional; radiasi kolomna
vertebra; keterlibatan tumor saraf, radix ganglion dorsalis, atau struktur yang
berdekatan; trauma lokal; manipulasi bedah tulang belakang; dan sinusitis
frontal (sebagai presipitant oftalmik zoster). Namun yang paling penting
adalah penurunan kekebalan seluler spesifik virus varicella zoster yang terjadi
dengan bertambahnya usia.
Virus varicella zoster juga dapat diaktifkan kembali tanpa menimbulkan
penyakit yang mencolok. Sejumlah kecil antigen virus yang dilepaskan
selama reaktivasi tersebut diharapkan dapat merangsang dan
mempertahankan kekebalan terhadap virus varicella zoster. Ketika kekebalan
seluler spesifik virus varicella zoster turun di bawah tingkat kritis, virus yang
diaktifkan kembali tidak dapat lagi dibendung. Virus bereplikasi dan
menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuron dan peradangan
yang hebat, sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia berat. Virus
varicella zoster infeksius kemudian menyebar secara antidromis ke saraf
sensorik, menyebabkan neuritis yang hebat, dan dilepaskan dari ujung saraf
sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik vesikel zoster yang
bergerombol.
Penyebaran infeksi ganglionik secara proksimal di sepanjang akar saraf
posterior menuju meninges dan korda spinalis dapat menyebabkan
leptomeningitis lokal, pleocytosis fluoresen serebrospinal, dan myelitis
segmental. Infeksi neuron motor pada anterior horn dan peradangan akar saraf
anterior menyebabkan palsi lokal yang menyertai erupsi kutaneous, dan
perluasan infeksi di dalam sistem saraf pusat (SSP) dapat menyebabkan
komplikasi herpes zoster yang jarang terjadi (misalnya, meningoensefalitis,
mielitis melintang). Viremia juga terjadi selama herpes zoster.

8
Gambar 2. Patogenesis Herpes Zoster10

Nyeri merupakan gejala utama herpes zoster. Seringkali mendahului dan


umumnya menyertai ruam, dan sering berlanjut setelah ruam sembuh -
komplikasi yang dikenal sebagai neuralgia postherpetic (PHN). Sejumlah
mekanisme yang berbeda namun saling tumpang tindih tampaknya terlibat
dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN. Cedera pada saraf
perifer dan neuron di ganglion memicu sinyal nyeri aferen. Peradangan di
kulit memicu sinyal nosiseptif yang selanjutnya memperkuat nyeri kulit.
Pelepasan asam amino eksitatorik dan neuropeptida yang melimpah yang
diinduksi oleh impuls aferen berentet yang berkelanjutan selama fase
prodromal dan fase akut herpes zoster dapat menyebabkan cedera
eksitotoksik dan hilangnya inhibitorik interneuron pada cornu dorsalis tulang
belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang dan ganglion, dan
ke saraf perifer, penting dalam patogenesis PHN. Saraf aferen utama yang
rusak dapat menjadi aktif secara spontan dan hipersensitif terhadap
rangsangan perifer, dan juga stimulasi simpatis. Aktivitas nociceptor yang
berlebihan dan generasi impuls ektopik, pada gilirannya, dapat mensensitisasi
neuron SSP, menambah dan memperpanjang respons sentral terhadap
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya. Secara klinis, mekanisme ini
menghasilkan allodynia (rasa sakit dan/atau sensasi yang tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh rangsangan yang biasanya tidak
menyakitkan, misalnya sentuhan ringan) dengan sedikit atau tanpa
kehilangan fungsi sensorik. Perubahan anatomis dan fungsional yang

9
bertanggung jawab untuk PHN tampaknya dimulai pada awal herpes zoster.
Ini akan menjelaskan korelasi tingkat keparahan nyeri awal dan adanya nyeri
prodromal dengan perkembangan PHN selanjutnya, dan kegagalan terapi
antiviral untuk mencegah PHN sepenuhnya.11

3.5 Gejala Klinis


Nyeri dan paresthesia pada dermatom yang terlibat sering terjadi beberapa
hari sebelum erupsi dan bervariasi dari gatal superfisial, kesemutan, atau rasa
terbakar hingga hingga rasa pedih yang berat dan dalam. Nyeri mungkin
konstan atau berselang dan sering disertai nyeri tekan dan hiperestesi pada
dermatom yang terlibat. Nyeri preeruptive herpes zoster dapat menyerupai
pleuritis, infark miokard, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik bilier atau
renalis, radang usus buntu, prolaps diskus intervertebralis, atau glaukoma
dini, dan ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis dan intervensi yang
salah arah. Nyeri prodromal jarang terjadi pada orang yang imunokompeten
di bawah usia 30 tahun, namun terjadi pada sebagian besar orang dengan
herpes zoster di atas usia 60 tahun. Beberapa pasien mengalami neuralgia
segmental akut tanpa pernah mengalami erupsi kutaneous-suatu kondisi yang
dikenal sebagai zoster sine herpete.
Ciri herpes zoster yang paling khas adalah lokalisasi dan distribusi ruam,
yang hampir selalu unilateral dan umumnya terbatas pada area kulit yang
diinervasi oleh ganglion sensorik tunggal. Area yang disuplai oleh saraf
trigeminal, terutama divisi oftalmik, dan batang tubuh dari T3 sampai L2
paling sering terkena; regio thoraks sendiri menyumbang lebih dari setengah
dari semua kasus yang dilaporkan, dan lesi jarang terjadi distal pada siku atau
lutut. Meskipun lesi herpes zoster dan varicella tidak dapat dibedakan, herpes
zoster cenderung berevolusi lebih perlahan dan biasanya terdiri dari vesikel
berkelompok rapat dengan dasar eritem, bukan vesikel terdistribusi acak
tersebar diskrit seperti pada. Perbedaan ini mencerminkan penyebaran virus
secara intraneural ke kulit pada herpes zoster, berlawanan dengan penyebaran
viremik pada varicella. Lesi herpes zoster dimulai sebagai makula dan papula

10
eritematosa yang sering muncul pertama di mana cabang superfisial dari saraf
sensorik yang terkena dilepaskan. vesikel terbentuk dalam 12-24 jam dan
berkembang menjadi pustula pada hari ketiga. lesi ini mengering dan
berkerusta dalam 7-10 hari. Kerak umumnya bertahan selama 2-3 minggu.
Pada individu normal, lesi baru terus muncul selama 1-4 hari (kadang-kadang
selama 7 hari). Ruamnya paling parah dan berlangsung paling lama pada
orang tua, dan paling tidak parah dan durasi terpendek pada anak-anak.
Antara 10% dan 15% kasus herpes zoster yang dilaporkan melibatkan ramus
oftalmikus nerus trigeminus. Ruam zoster oftalmik dapat meluas dari tingkat
mata ke vertex tengkorak, namun itu berakhir secara tegas di garis tengah
dahi. Bila hanya cabang supratrochlear dan supraorbital yang terlibat, mata
biasanya terhindar. Keterlibatan cabang nasociliary, yang menginervasi mata
serta ujung dan sisi hidung, memberi VZV akses langsung ke struktur
intraokular. Jadi, bila herpes zoster oftalmikus melibatkan ujung dan sisi
hidung, perhatian khusus harus diberikan pada kondisi mata. Mata terlibat
dalam 20% -70% pasien dengan herpes zoster oftalmik. Sensasi kornea
umumnya terganggu dan bila gangguan berat dapat menyebabkan keratitis
neurotrofik dan ulserasi kronis. Herpes zoster yang mempengaruhi divisi
kedua dan ketiga dari saraf trigeminal serta saraf kranial lainnya dapat
menyebabkan gejala dan lesi di mulut (Gambar 194-5), telinga, faring, atau
laring. Sindrom Ramsay Hunt (kelumpuhan wajah dikombinasikan dengan
herpes zoster pada telinga luar atau membran timpani, dengan atau tanpa
tinnitus, vertigo, dan tuli), diakibatkan oleh keterlibatan saraf wajah dan
auditori.11
Meski ruam itu penting, rasa sakit adalah masalah kardinal yang
ditimbulkan oleh herpes zoster, terutama pada orang tua. Sebagian besar
pasien mengalami nyeri atau ketidaknyamanan dermatomal selama fase akut
(30 hari berikutnya setelah onset ruam) yang berkisar dari ringan sampai
berat. Pasien menggambarkan rasa sakit atau ketidaknyamanannya sebagai
rasa terbakar, nyeri dalam, kesemutan, gatal, atau tusukan. Bagi beberapa
pasien, intensitas nyeri sangat besar sehingga kata-kata seperti mengerikan

11
atau menyiksa digunakan untuk menggambarkan pengalamannya. Nyeri
herpes zoster akut dikaitkan dengan penurunan fungsi fisik, tekanan
emosional, dan penurunan fungsi social.11

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologi pada lesi namun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena
diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan histopatologi akan tampak gambaran vesikula bersifat
unilocular, biasanya pada stratum granulosum, kadang-kadang sub
epidermal. Yang paling penting adalah temuan “sel balon” yaitu sel stratum
spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar, juga badan inklusi
(lipschutz) yang tersebar dalam inti sel epidermis, dalam jaringan ikat dan
endotel pembuluh darah. Pada dermis tampak dilatasi pembuluh darah dan
sebukan limfosit.2

3.7 Penatalaksanaan
Terapi pada herpes zoster meilputi pemberian antivirus dan analgetik.
Antivirus yang digunakan bermacam-macam diantaranya7:
- Asiklovir 5 x 800 mg selama 7-10 hari
- Famsiklovir 3 x 500 mg selama 7 hari
- Valasiklovir 3 x 1000 mg selama 7 hari

Analgetik yang dapat diberikan pada pasien Herpes Zoster bervariasi. Pilihan
obat yang dapat diberikan antara lain6:

- Oxycodone 5 mg/4jam (bila diperlukan)


- Tramadol 1-2 x 50 mg
- Prednisone 60mg/hari selama 7 hari
- Gabapentin 3 x 100-300 mg
- Nortriptilin 1 x 25 mg
- Lidokain patch 1 patch selama 12 jam/hari

12
Terapi lain yang dapat diberikan ialah antibiotic topical untuk mencegah
infeksi sekunder.1

3.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling umum neuralgia post herpes (Post Herpetic
Neuralgia/NPH). Presentasenya meningkat seiring pertambahan usia. Pada
pasien dengan immunodeficiency misalnya pasien dengan infeksi HIV dapat
ditemukan komplikasi berupa vesikel yang menjadi ulkus dengan jaringan
nekrotik. Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi
seperti ptosis paralitik, keratitis, skleritis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan
neuritis optic. Paralisis motoric terjadi pada 1-5% pasien. Komplikasi berupa
infeksi juga dapat terjadi mislanya penjalaran ke organ paru, hepar, dan otak.1

3.9 Prognosis
Prognosis Herpes Zoster umumnya baik. Pada herpes Zoster Oftalmikus
prognosis bergantung pada tindakan perawatan dini.1

13
BAB IV

PEMBAHASAN

Dilaporkan Pasien Tn.P berkunjung ke Poli Kulit dan Kelamin dengan


Diagnosis Herpes Zoster. Diagnosis Herpes Zoster didapatkan hasil dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik terhadap status dermatologis pasien. Dari anamnesis
didapatkan keluhan 1 minggu yang lalu di wajah sebelah kanan tiba-tiba muncul
lepuh-lepuh kecil berisi cairan jernih, terasa nyeri, panas, dan gatal, yang kini telah
pecah menjadi keropeng yang terasa nyeri. Riwayat demam (-) riwayat terkena
cacar air (-). Dari status dermatologis didapatkan pada regio fasialis sinistra terdapat
lesi polimorf berupa vesikel pecah dengan dasar eritema, beberapa ditutupi krusta
krusta kuning – kehitaman, erosi, dan pustula. Lesi berukuran miliar – lenticular
terdistribusi unilateral.
Menurut teori Herpes zoser merupakan reaktivasi virus Varicella zoster pas
infeksi primer yang berupa varisela atau cacara air. Pada pasien tidak didapatkan
riwayat adanya cacar air. Hal ini mungkin saja terjadi karena varisela dapat bersifat
subklinis.1 Sumber infeksi varisela zoster pada pasien kemungkinan didapat dari
anak pasein yang memiliki riwayat cacar air, baik melalui airborne maupun kontak
langsung, dan tidak menutup kemungkinan sumber infeksi bisa juga berasal dari
orang lain yang tidak disadari oleh penderita.8
Berdasarkan anamnesis tentang awal kemunculan lesi hingga kondisi pasien
saat ini, ditambah dari hasil pemeriksaan status dermatologis pasien, diagnosis
Herpes Zoster dapat dengan mudah dibuat. Hal ini karena secara klinis Herpes
Zoster memiliki lesi yang khas yakni unilateral dan penyebarannya mengikuti
dermatome persarafan yang ganglionya terdapat virus Varicella zoster yang
tereaktivasi. Berdasarkan gambaran lesi pada pasien, kemungkinan distribusi lesi
sesuai dengan daerah yang diinervasi oleh N. trigeminus ramus maxilaris dan
mandibularis.10

14
Gambar 3. Distribusi Persarafan N. Trigeminus

Gambar 4. Lesi pada pasien

Diagnosis banding Herpes Zoster dengan lokasi seperti pada pasien adalah
Sindrom Ramsay Hunt aatau Herpes simpleks. Diagnosis herpes simpleks dapat

15
disingkirkan karena lesi herpes simpleks tidak terdistribusi secara raoi mengikusi
dermatom tertentu. Sindrom Ramsay hunt merupakan bagian dari Herpes Zoster
dengan ciri kusus yakni adanya kelumpuhan wajah dikombinasikan dengan herpes
zoster pada telinga luar atau membran timpani, dengan atau tanpa tinnitus, vertigo,
dan tuli, diakibatkan oleh keterlibatan saraf wajah dan auditori. Pada pasien
ditemukan adanya lesi pada kulit namun tidak jelas apakah lesi mencapai membra
timpani atau tidak.. namun tanda-tanda lain seperti adanya paralisis nervus fasialis
yang menyebabkan kelumpuhan wajah serupa Bell’s Palsy, maupun gejala seperti
tinnitus, vertigo, atau tuli tidak ditemukan pada pasien sehingga diagnosis ini pun
dapat disingkirkan. 1,2,11

Setelah diagnosis ditegakkan, pasien diberi terapi berupa Gabapentin 300


mg 3 x 1 tab pc (H-1), 2 x 1 tab pc (H-2), 1 x 1 tab pc (H-3 dan seterusnya),
Neurodex 2 x 1 tab pc, Natrium diklofenak 50 mg 2 x 1 tab pc, Asam Fusidat cream
gr 10 2 dd ue. Pada pasien tidak diberikan agen antivirus karena lesi telah ada > 72
jam sejak awal kemunculannya. Gabapentin merupakan obat analgetik golongan
antikonvulsan yang banyak digunakan untuk mengobati nyeri pasca herpes.
Keluhan nyeri akut pada herpes merupakan factor risiko pasien tersebut untuk
menderita post herpetic neuralgia. Kondisi ini sebenarnya bersifat self-limitting
namun pada tiap individu memiliki waktu yang berbeda-beda bahkan ada yang baru
hilang dalam dalam waktu bertahun-tahun. Terapi lain yang diberikan yakni asam
fusidat cream yang merupakan antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.11

Tindakan yang tepat saat ini adalah selain memberikan terapi untuk
tatalaksana keluhan pasien yakni memberikan edukasi pada pasien mengenai
penyakitnya dan komplikasi yang kemungkinan timbul kedepannya, selain itu
penting untuk menjaga kebersihan kulit yang terinfeksi dan jangan memberikan zat-
zat yang belum terbukti secara klinis mengurangi keluhan namun malah dapat
memicu infeksi sekunder.

16
BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan Tn. P dengan diagnosis Herpes Zoster. Diagnosis dibuat


berdsarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus kali ini tergolong unik
karena tidak didapatkan riwayat infeksi primer yang jelas pada pasien meski pasien
memiliki riwayat kontak erat dengan penderita varisel (cacar air) yakni anak pasien.
Setelah diagnosis ditegakkan pasien diberikan terapi berupa antinyeri dan antibiotic
topical untuk mencegah infeksi sekunder. Agen antivirus tidak diberikan pada
pasien karena indikasi pemberiannya sudah tidak ada. Secara umum prognosis
penyakit ini pada pasien adalah dubia ad bonam. Hal perlu diperhatikan adalah
edukasi kepada pasien mengenai perawatan kebersihan kulit yang terinfeksi untuk
mencegah infeksi sekunder, dan edukasi mengenai komplikasi yang mungkin
muncul pasca kejadian herper zoster ini.

17
Daftar Pustaka

1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta:


FKUI. 2013.

2. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC.


2005.

3. Christy AW et al. Rare Occurrence of Herpes Zoster of Trigeminal Nerve


following Extraction of Tooth. Hindawi. 2015

4. Giovanni et al. Prevention of herpes zoster and its complications: from the
clinic to the real-life experience with the vaccine. Journal of Medical
Microbiology (2016), 65, 1363–1369

5. Sampathkumar P et al. Herpes Zoster (Shingles) and Postherpetic Neuralgia.


Mayo Clin Proc. March 2009;84(3):274-280.

6. Cohen JI. Clinical Practice: Herpes Zoster. N Engl J Med (2013) 369:3.

7. Cohen KR et al. Presentation and Management of Herpes


Zoster (Shingles) in the Geriatric Population. P&T.2013;38(04).

8. Tidwell E et al. Herpes Zoster of the Trigeminal third branch: a case report
and review of the literature. International endodontic Journal. 1999. 32: 61-
66

9. Mali s. Herpes zoster: etiology, clinical features and treatment options, and
case report. Maxillofac Surg 3:91–100. 2012

18
10. Wolff K & Johnson RA. Fitzptrick’s Color Atlas and Synopsis Of Clinical
Dermatology ed. 6. McGraw-Hill. 2009.

11. Goldsmith RA et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Ed. 8.


McGraw-Hill. 2012

19

Anda mungkin juga menyukai