Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa oleh orangtuanya ke Poliklinik karena batuk.
Alloanamnesis diketahui batuk sudah berlangsung selama 3 minggu. Apabila pasien batuk, batuk
tidak berjeda / tidak putus-putus seperti anjing menggonggong dan terus menerus disertai dengan
suara whoop, busa, dan muntah. Pasien sampai mengompol dan buang angin secara bersamaan. Batuk
tidak berdahak dan paling sering terjadi pada siang hari. Selain batuk pasien juga mengalami demam
subfebril dan muncul bintik-bintik merah di dahi. Pasien merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara.
Riwayat kelahiran pasien lahir normal di bidan dengan BBL 2900 gram. Ibu pasien lupa riwayat
imunisasi anaknya. Hasil dari pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter didapatkan BB 18 kg, TB
110 cm, pasien tampak sadar dan aktif, tidak terdapat tanda sesak, denyut nadi 86 x/menit, frekuensi
napas 28 x/menit, dan temperatur 37.6℃, teraba pembesaran kelenjar getah bening leher diameter 1
cm, multiple, konsistensi kenyal, tanpa nyeri tekan. Pemeriksaan fisik paru didapatkan retraksi
suprasternal, palpasi, perkusi dan auskultasi suara dasar vesikuler, tidak terdapat hantaran dan
wheezing. Dokter menjelaskan pasien perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis.
1. Bagaimana mekanisme batuk?
- Adanya allergen/benda asing ditangkap carina trakea dan laring mengaktifkan nervi
afferentes mengaktifkan nervus vagus mengirimkan impuls ke medulla oblongata
mengaktifkan nervi efferentes meningkatkan inspirasi volume bertambah (2,4-
2,5mL) menutup epiglottis dan pita suara diafragma mengangkat peningkatan
intrapulmonal membuka tiba tiba epiglottis dan pita suara tanpa penekanan uvula
sehingga udara keluar lewat mulut
- Terjadi reflek batuk karena adanya benda asing masuk
- Lengkung reflex dalam reflex batuk :
1. Jalur aferen: Serabut saraf sensorik (cabang saraf vagus) yang terletak di epitel bersilia
dari saluran udara bagian atas (paru, auricular, faringeal, laringeal superior, lambung) dan
cabang jantung dan esofagus dari diafragma. Impuls aferen pergi ke medula secara difus.
2. Central Pathway (pusat batuk): daerah pusat koordinasi untuk batuk terletak di batang
otak bagian atas dan pons.
3. Jalur eferen: Impuls dari pusat batuk perjalanan melalui vagus, frenikus, dan saraf
motorik tulang belakang ke diafragma, dinding perut, dan otot. Nukleus retroambigualis,
oleh saraf motorik frenikus dan spinal lainnya, mengirimkan impuls ke otot inspirasi dan
ekspirasi; dan nukleus ambiguus, oleh cabang laring dari vagus ke laring.
Sumber : Anatomy and neuro-pathophysiology of the cough reflex arc oleh Polverino M et al
tahun 2012 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3415124/)
4. Mengapa saat batuk pasien sampai mengompol dan buang angin bersamaan?
- Batuk terus menerus kontraksi kuat di abdomen buang angin
- Batuk terus menerus penekanan di vesika urinaria kencing tiba tiba/tanpa disadari
- Bisa terjadi pendarahan subkonjungtiva dan pendarahn epitaksis
- Penyebab lainnya adalah batuk terus menerus menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul sehingga menyebabkan inkontinensia uri (BAK spontan saat batuk) dan
inkontinensia alvi (kentut/BAB spontan saat batuk)
Sumber : Cough-Anal Reflex May Be the Expression of a Pre-Programmed Postural Action
oleh Cavallari P et al tahun 2017 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5624195/)
Jarang (kurang dari 2% kasus), komplikasi SSP seperti kejang dan ensefalopati dapat terjadi,
kemungkinan sekunder akibat hipoksia, hipoglikemia, toksin, infeksi sekunder, atau
pendarahan otak akibat peningkatan tekanan selama batuk. Peningkatan tekanan intrathoracic
dan intraabdominal yang tiba-tiba juga dapat menyebabkan edema periorbital, pneumotoraks,
pneumomediastinum, emfisema subkutan, ruptur diafragma, hernia umbilikalis dan
inguinalis, dan prolaps rektum.
Racun pertusis juga menyebabkan hipersensitivitas histamin dan peningkatan sekresi insulin.
Bayi sangat rentan terhadap bradikardia, hipotensi, dan henti jantung akibat pertusis.
Perkembangan hipertensi paru telah semakin diakui sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap kematian anak, karena dapat menyebabkan memburuknya hipotensi sistemik dan
hipoksia.
Sumber : Pertussis (Whooping Cough) oleh Lauria AM tahun 2014
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519008/)
Pencegahan melalui imunisasi tetap menjadi pertahanan terbaik dalam memerangi pertusis.
Rekomendasi CDC untuk vaksinasi adalah sebagai berikut:
a. Vaksin DTaP: Direkomendasikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan dan pada usia 4-6
tahun; tidak disarankan untuk anak berusia 7 tahun atau lebih.
b. Vaksin Tdap: Direkomendasikan untuk anak berusia 7-10 tahun yang belum divaksinasi
lengkap; sebagai dosis tunggal untuk remaja usia 11-18 tahun; untuk orang dewasa yang
berusia 19 tahun atau lebih; dan untuk wanita hamil terlepas dari riwayat vaksinasi,
termasuk vaksinasi ulang pada kehamilan berikutnya.
Sumber : Pertussis oleh Bocka JJ tahun 2019 (https://emedicine.medscape.com/article/
967268-medication#showall)
Patofisiologi Pertussis
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian melekat
pada silia epitel saluran pemafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh B. pertussis terjadi
melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,
kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Iymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin (PT)
dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan B. pertussis, kemudian ber-multiplikasi .dan menyebar ke seluruh permukaan
epitel saluran pemafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan B. pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang
dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin pertusis
mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan
reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim
membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein di
dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peri bronkial
dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih
terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder. (tersering oleh Streptococcus
pneumoniae, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan
menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya
apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf
pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami
regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses
penyakit.
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot polos
pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea.
Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan
kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal
patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang B. pertussis hanya menyebabkan infeksi yang
ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Kedua oleh
Soedarmo SSP dkk tahun 2008.