Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN ASMA

A. Konsep Dasar Medis


1. Defenisi Asma
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer & Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas,
bervariasi dan sering kali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan
(Boushey, 2005).
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di
seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang
(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),
dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006;
GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada
individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan
menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang
bervariasi derajatnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu.
2. Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas factor genetik dan faktor
lingkungan (National Institutes of Health, 2007)
a. Faktor Genetik
1) Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
2) Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
3) Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
4) Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
b. Faktor lingkungan
1) Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
2) Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
c. Faktor lain
1) Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
2) Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
3) Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
4) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini.
5) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
6) Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
7) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
3. Manifestasi Klinis
a. Gejala awal berupa:
1) Batuk terutama pada malam atau dini hari
2) Sesak napas
3) Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
4) Rasa berat di dada
5) Dahak sulit keluar.
6) Belum ada kelainan bentuk thorak
7) Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
8) BGA belum patologis
b. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa atau
disebut juga stadium kronik. Yang termasuk gejala yang berat adalah:
1) Serangan batuk yang hebat
2) Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
3) Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
4) Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
5) Kesadaran menurun
6) Thorak seperti barel chest
7) Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
8) Sianosis
9) BGA Pa O2 kurang dari 80%
10) Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest) (Direktorat Bina
Farmasi dan Klinik, 2007)
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari asma,
diantaranya:
1) Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada,
disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
2) Sianosis karena hipoksia
3) Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.
4. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada
sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos
bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase
cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
b. Tes provokasi :
1) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
2) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.
3) Tes provokasi bronkial seperti :
a) Tes provokasi histamine
b) Metakolin
c) Alergen
d) Kegiatan jasmani
e) Hiperventilasi dengan udara dingin
f) Inhalasi dengan aqua destilata.
4) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam
tubuh.
c. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
d. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
e. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
f. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
g. Pemeriksaan sputum.
6. Penatalaksanaan
a. Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara
semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah
metaproterenol ( Alupent, metrapel )
b. Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila
golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang
dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari
c. Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus
diberikan kortikosteroid. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek
samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d. Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak. Dosisnya
berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e. Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari keuntunganya
dapat diberikan secara oral.
f. Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat
bronkodilator.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama klien
c. Pemeriksaan fisik
d. Pemeriksaan tanda-tanda vital
1) Tekanan Darah
2) Nadi
3) Frekuensi pernapasan
4) Suhu tubuh
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan Manajemen kesehata
Perawat perlu menanyakan pengetahuan tentang kesehatan, pengetahuan
preventif.
2) Pola nutrisi, cairan dan metabolic
Perawat perlu menanyakan pola makan, masukan cairan, tipe makanan
dan cairan, berat badan, nafsu makan, pilihan makanan
3) Pola Eliminasi
Perawat perlu menanyakan pola BAB/Defekasi, alat bantu, obat, pola
BAK.
4) Pola latihan- aktivitas
Perawat perlu menanyakan latihan, rekreasi, aktivitas sehari-hari,
pemenuhan ADL.
5) Pola istirahat dan tidur
Perawat perlu menanyakan kualitas dan kuantitas tidur serta istirahat
6) Pola konsep diri dan persepsi diri
Perawat perlu menanyakan fungsi panca indera, bahasa, persepsi pasien
terhadap nyeri
7) Pola kognitif- perceptual
Perawat perlu menanyakan persepsi diri, pola emosional
8) Pola peran dan hubungan
Perawat perlu menanyakan peran dan tanggung jawab
9) Pola reproduksi- seksual
Perawat perlu menanyakan kualitas seksual dan Reproduksi
10) Pola koping dan toleransi stress
Perawat perlu menanyakan kemampuan mengendalikan stress, kukungan/
coping saat menghadapi masalah.
11) Pola keyakinan dan nilai
Perawat perlu menanyakan nilai, tujuan, keyakinan, spiritual, konflik
2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas


b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan : Hiperventilasi
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan fisiologis penyakit
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Keperawatan
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Airway suction:
bersihan jalan nafas 3x30 menit, di harapkan mampu a. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
berhubungan dengan mempertahankan bersihan jalan nafas pasien b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
obstruksi jalan nafas dengan indikator : suctioning.
a. Respiratory status : Ventilation c. Berikan O2
b. Respiratory status : Airway patency d. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
Kriteria hasil : e. Monitor status oksigen pasien
Suara nafas bersih, mampu mengeluarkan Airway Management
sputum, tidak ada sianosis atau dipsnea a. Buka jalan nafas
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
d. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
f. Berikan bronkodilator
g. Monitor status hemodinamik
h. Monitor respirasi dan status o2
Kolaborasi
a. terapi antibiotik
b. intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
2 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x30 Airway Management
nafas berhubungan menit diharapkan pasien menunjukkan a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dengan : Hiperventilasi keefektifan pola nafas, dengan indikator: b. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
a. Respiratory Status : Gas exchange c. Monitor respirasi dan status O2
b. Respiratory Status : ventilation Oxygen Therapi
c. Vital Sign Status a. Pertahankan jalan nafas yang paten
Kriteria hasil : b. Pertahankan posisi pasien
a. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien c. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
tidak merasa tercekik, irama nafas, d. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, Vital Sign Monitoring
tidak ada suara nafas abnormal) 1. Monitor vital sign
b. Tanda Tanda vital dalam rentang normal 2. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
(tekanan darah, nadi, pernafasan) 3. Monitor suara paru
4. Monitor pola pernafasan abnormal
5. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik
relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
3 Gangguan pola tidur Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1. Berikan tempat tidur yang nyaman
berhubungan dengan 2x24 jam diharapkan pola istirahat dan tidur 2. Kontrol atau hindari adanya kebisingan

fisiologis penyakit pasien tidak terganggu, dengan kriteria hasil: 3. Batasi pengunjung
a. Pasien dapat tidur minimal 5 – 8 jam/hari 4. Hindari kegiatan yang tidak diperlukan dan sesuaikan
b. Pasien mengatakan tidak mengantuk, badan dengan pola tidur klien
lebih segar, tidak letih dan lebih rileks serta 5. Ajarkan teknik relaksasi
tidak sering menguap
4 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam
berhubungan dengan 1x24 jam klien dapat melaporkan peningkatan merencanakan program terapi yang tepat
ketidakseimbangan aktivitas dengan kriteria hasil : 2. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
antara suplai dan Activity Tolerance dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial.
kebutuhan oksigen 1. Tanda – tanda vital dalam batas normal 3. Fasilitasi aktivitas pengganti ketika pasien memiliki
2. Klien dapat melakukan aktivitas dan istirahat keterbatasan energi dan peningkatan frekuensi
dengan tenang pernapasan
3. Klien melakukan aktivitas sesuai dengan 4. Kaji pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi defisit
kemampuan aktivitas
4. Klien tidak menunjukkan tanda – tanda
keletihan
5 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 1. Anjurkan pasien untuk bersikap tenang, sehingga mampu
dengan perubahan status x24 jam, diharapkan ansietas pada pasien dapat mendekati ketenangan
kesehatan ditangani dengan kriteria hasil, yaitu: 2. Berikan informasi factual tentang diagnosis, pengobatan,
1. Dapat menghilangkan pencetus dari ansietas dan prognosis dari penyakit klien
2. Dapat mencari informasi untuk menurunkan 3. Anjurkan keluarga untuk selalu bersama dengan pasien
ansietas
3. Dapat merencanakan strategi koping jika
berhadapan dalam situasi tertekan
DAFTAR PUSTAKA

Bernstein JA. 2003. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott


Williams & Wilkins, USA.
Boushey, Homer A. Jr., David B. Corry, John V. Fahy, Esteban G. Burchard, Prescott G.
Woondruff. 2005. Asthma dalam Mason, Robert J, John F. Murray, V. Curtney
Broaddus, Jay A. Nadel, editor. Textbook of Respiratory Medicine. Volume Two.
Fourth Edition. Pennsylvania: Elsevier.
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M. and Wagner, Cheryl
M. 2013. Nursing Interventtions Classification (NIC), Sixth Edition.USA : Mosby
Elsevier
Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health,
2007.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2006. Global Burden of Asthma-Global Initiative for
Asthma. Available from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=29
[Accessed at 24 Januari 2016]
Herdman, T. H. Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classifications, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Mansjoer S, Suprohaita., Wardhani, W., Setiowulan, W. 2008. Kapita Selekta Kedokteran
Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
National Education and Prevention Program (NAEPP). 2007. Guidelines for the diagnosis
and management of asthma. United States: National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI) of National institutes of Health (NIH) Publication.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. ASMA: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Smeltzer, Suzzane C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai