1. Konsep Penyakit
a. Definis Penyakit
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang
mengakibatkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara (Wahid &
Suprapto, 2013). Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten,
bersifat reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau inflamasi (Padila, 2013)
Menurut Murphy dan Kelly (2011) Asma merupakan penyakit
obstruksi jalan nafas, yang revelsibel dan kronis, dengan karakteristik adanya
mengi. Asma disebabkan oleh spasma saluran bronkial atau pembengkakan
mukosa setelah terpajam berbagai stimulus. Prevelensi, morbiditas dan
martalitas asma meningkat akibat dari peningkatan polusi udara.
Jadi asma atau reactive air way disease (RAD) adalah penyakit
obstruksi pada jalan napas yang bersifat reversible kronis yang ditandai
dengan bronchopasme dengan karakteristik adanya mengi dimana trake a dan
bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami
peradangan atau inflamasi
b. Etiologi
Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh:
a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.
b. Pembengkakan membrane bronkus
c. Bronkus berisi mucus yang kental
c. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan
cuaca menjadi pemicu serangan asma.
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien
asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu lintas, penyapu
jalanan.
e. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila sedang
bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
asma
f. Stress
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma harus segera diobati penderita asma yang mengalami stres harus diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalahnya.(Wahid & Suprapto, 2013).
Kelemahan dan
Peningkatan kerja Hiperventilasi Kebutuhan O2
keletihan
otot pernafasan
Retensi O2
Asidosis Intoleransi
respiratorik aktivitas
nafsu m akan Ketidakefek
ketidakseimbangan tifan pola
nutrisi kurang dari nafas
kebutuhan tubuh
g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan untuk melihat adanya:
a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan kristal
eosinopil.
b) Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
d) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat muscus plug.
b. Pemeriksaan darah
a) Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi.
d) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu serangan
dan menurun pada saat bebas serangan asma.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan berdasarkan
manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium (Sujono riyadi & Sukarmin, 2009). Adapun pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah:
a) Tes Fungsi Paru
Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator
(inhaler atau nebulizer), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Dalam spirometry akan mendeteksi:
1. Penurunan forced expiratory volume (FEV)
2. Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
3. Kehilangan forced vital capacity (FVC)
4. Kehilangan inspiratory capacity (IC) (Wahid & Suprapto, 2013)
b) Pemeriksaan Radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat
gambaran sebagai berikut:
1. Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah
2. Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah
3. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.
4. Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru
5. Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
c) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada
asma secara spesifik
d) Elektrokardiografi
1. Terjadi right axis deviation
2. Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
3. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi depresi
segmen ST negatif
e) Scanning paru
Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
asma tidak menyeluruh pada paru-paru
(Wahid & Suprapto, 2013)
h. Penatalaksanaan Medis
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien asma yaitu:
a. Prinsip umum dalam pengobatan asma:
c. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam dosis dua
kali 1mg/hari. Keuntungannya adalah obat diberikan secara oral.
2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi, dan dokumentasi data
(informasi) yang sistematis dan bersinambungan. Sebenarnya, pengkajian adalah
proses bersinambungan yang dilakukan pada semua fase proses keperawatan.
Misalnya, pada fase evaluasi, pengkajian dilakukan untuk melakukan hasil strategi
keperawatan dan mengevaluasi pencapaian tujuan. Semua fase proses keperawatan
bergantung pada pengumpulan data yang akurat dan lengkap (Kozier, Berman, &
Snyder, 2011).
1. Identitas Klien
a. Usia: asma bronkial dapat menyerang segala usia tetapi lebih sering
dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun
dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
b. Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1 yang
kemudian sama pada usia 30 tahun.(Soemantri, 2009)
c. Tempat tinggal dan jenis pekerjaan: lingkungan kerja diperkirakan
merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2- 15% klien dengan
asma bronkial (Muttaqin, 2012). Kondisi rumah, pajanan alergen
hewan di dalam rumah, pajanan asap rokok tembakau, kelembapan,
dan pemanasan (Francis, 2011).
2. Keluhan Utama
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma bronkial adalah
dispneu (bisa sampai berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk, dan mengi
(Soemantri, 2009).
b. Eliminasi
Penderita asma dilarang menahan buang air besar dan buang air kecil.
Kebiasaan menahan buang air besar akan menyebabkan feses
menghasilkan radikal bebas yang bersifat meracuni tubuh, menyebabkan
sembelit, dan semakin mempersulit pernafasan (Mumpuni & Wulandari,
2013).
c. Aktivitas
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit
bernafas (Wijaya & Putri, 2013).
1. Istirahat/tidur
Susah tidur karena sering batuk atau terbangun akibat dada sesak
(Mumpuni & Wulandari, 2013). Ketidakmampuan untuk tidur, perlu
tidur dalam posisi duduk tinggi (Wijaya & Putri, 2013).
2. Aktivitas
a. Pekerjaan: lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor
pencetus yang menyumbang 2-15% klien dengan asma bronkial
(Muttaqin, 2012).
b. ADL
Perasaan selalu merasa lesu dan lelah akibat kurangnya pasokan
O2ke seluruh tubuh (Mumpuni & Wulandari, 2013).
c. Pemeriksaan ekstermitas (atas dan bawah)
Perasaan selalau merasa lesu dan lelah akibat kurangnya pasokan
O2 ke seluruh tubuh (Mumpuni & Wulandari, 2013).
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum Klien
Keadaan umumpada pasien asma yaitu compas metis, lemah, dan
sesak nafas.
b. Pemeriksaan kepala dan muka
Inspeksi : pemerataan rambut, berubah/tidak, simetris, bentuk wajah.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak rontok, tidak ada oedema.
c. Pemeriksaan telinga
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
d. Pemeriksaan mata
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi, tidak ada oedema, konjungtiva
anemis, reflek cahaya normal.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
e. Pemeriksaan mulut dan farink
Inspeksi : mukosa bibir lemah, tidak ada lesi disekitar mulut,
biasanya ada kesulitan dalam menelan.
Palpasi : tidak ada pembesaran tonsil.
f. Pemeriksaan leher
Inspeksi : simetris, tidak ada peradangan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
g. Pemeriksaan payudara dan ketiak
Inspeksi : ketiak tumbuh rambut/tidak, kebersihan ketiak, ada
lesi/tidak,ada benjolan/tidak.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
h. Pemeriksaan thorak
1. Pemeriksaan paru
Inspeksi : batuk produktif/nonproduktif, terdapat sputum yang
kental dan sulit dikeluarkan, dengan menggunakan otot-otot
tambahan, sianosis (Somantri, 2009). Mekanika
bernafas,pernafasan cuping hidung, penggunaan oksigen,dan
sulit bicara karena sesak nafas (Marelli, 2008).
Palpasi : bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan
(Somantri, 2009). Takikardi akan timbul diawal serangan,
kemudian diikuti sianosis sentral (Djojodibroto, 2016).
Perkusi : lapang paru yang hipersonor pada perkusi
(kowalak,Welsh, & Mayer, 2012).
Auskultasi : respirasi terdengar kasar dan suara mengi
(wheezing) pada fase respirasi semakin menonjol (Somantri,
2019).
2. Pemeriksaan jantung
Inspeksi : ictuscordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis terdengar di ICS V mid clavicula kiri.
Perkusi : pekak.
Auskultasi : BJ 1dan BJ 2 terdengar tunggal, ada suara
tambaha/tidak.
i. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : bentuk tidak simetris.
Auskultasi : bising usus normal (5-30x/menit). Palpasi : tidak ada
nyeri tekan.
Perkusi : tympani.
j. Pemeriksaan integumen
Inspeksi : kulit berwarna sawo matang, tidak ada lesi, tidak ada
oedema.
Palpas : integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan.
k. Pemeriksaan anggota gerak (ekstermitas)
Inspeksi : otot simetri, tidak ada fraktur.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
l. Pemeriksaan genetalia dan sekitar anus
Inspeksi : tidak terdapat lesi, tidak ada benjolan, rambut pubis
merata.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
5. Pemeriksaan penunjang
1. Pengukuran Fungsi Paru (spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerososl golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
2. Tes Provokasi Bronkus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan Fev sebesar 20%
atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari
maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 105
atau lebih.
3. Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup): hanya dilakukan pada serangan
asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis
respiratorik.
b. Sputum: adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan
asma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang
menyebabkan trensudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah
sekelompok sel-sel epitelnya dari perlekatannya. Pewarnaan gram
penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti
kultur dan uji resistensi terhadap antibiotik.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah fase kedua proses keperawatan. Pada fase
ini, perawat menggunakan ketrampilan berfikir kritis untuk
menginterprestasikan data pengkajian dan mengidentifikasi kekuatan serta
masalah klien. Diagnosis adalah langkah yang sangat penting dalam proses
asuhan keperawatan. Semua aktivitas sebelum fase ini ditunjukkan untuk
merumuskan diagnosis keperawatan; semua aktivitas perencanaan asuhan
setelah fase ini didasarkan pada diagnosis keperawatan (Kozier, Berman, & Snyder,
2011).
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien asma menurut (Nurarif dan
Kusuma, 2015) adalah:
Analisis PICO
Unsur PICO Analisis Kata Kunci
(Terapi)
P Asma asma
ABSTRAK
Penyempitan bronkus pada pasien asma mengakibatkan sesak napas. Tujuan penelitian untuk
mengetahui gambaran resprasi rate (RR) pasien asma. Penelitian kuantitatif menggunakan metode
analitik observasional melibatkan 30 pasien secara accidental sampling. Pengukuran dengan
menggunakan lembar catatan observasi. Hasi penelitian terdapat peningkatan RR pasien asma
dengan pasien mengalami peningkatan RR sebanyak 100% (30 pasien). Hal ini dapat menjadi
pertimbangan bagi perawat untuk menentukan intervensi yang tepat bagi pasien asma baik secara
mandiri ataupun kolaborasi.
Kata Kunci: asma, respirasi rate, analitik observasional
ABSTRACT
Narrowing of the bronchi in asthma patients results in shortness of breath. The aim of this study
was to describe the respiration rate (RR) of asthma patients. This quantitative study using
observational analytical methods involved 30 patients by accidental sampling. Measurements using
observation note sheets. The result of the study was an increase in the RR of asthmatic patients
with patients experiencing an increase in RR by 100% (30 patients). This can be a consideration for
nurses to determine the right intervention for asthma patients either independently or
collaboratively.
Keywords: asthma, respiration rate, observational analytics
PENDAHULUAN
Penyempitan bronkus pada pasien asma diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas terhadap sesuatu perangsangan langsung/fisik ataupun tidak langsung
(Smeltzer, et.al, 2008). Pasien asma memerlukan penanganan yang baik untuk
membantu proses penyembuhan dan rehabilitasi serta upaya pencegahan kekambuhan
yang berulang, sehingga dapat mencegah komplikasi ataupun kematian. Masyarakat
perlu mengetahui asma secara baik bukan hanya sekedar pemahaman bahwa asma
merupakan penyakit yang sederhana serta mudah diobati. Perspektif ini akan mengarah
kepada upaya pengobatan saja untuk mengatasi gejala asma seperti gejala sesak napas
dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukan mengelola asma secara lengkap
(Nugroho, 2009).
Peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas asma di seluruh dunia
terutama terjadi di daerah perkotaan dan industri. Penderita asma ringan dan periodik
tidak menyadari mengidap asma dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau
batuk biasa. Gangguan yang terjadi akan mempengaruhi status respirasi pada pasien
asma, seperti peningkatan upaya pernafasan seperti peningkatan respiratory rate, batuk
dan sesak (Kartikasari, et. al., 2019). Upaya pernafasan ini merupakan upaya
kompensasi bagi pasien asma untuk meningkatkan oksigenasi, namun hal ini akan
mengakibatkan penggunaan otot pernafasan yang berlebih sehingga menyebabkan
kelelahan. Sehingga perlu adanya latihan yang mampu mengatur upaya pernafasan
sehingga tidak terjadi secara berlebihan (Atmoko, Widi, et al., 2011).
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berhasil.
Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu kurang pengetahuan tentang asma,
pelaksanaan pengelolaan yang belum maksimal, upaya pencegahan dan penyuluhan
dalam pengelolaan asma yang masih perlu ditingkatkan. Mengingat hal tersebut
pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat dini dengan
berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma,
terlebih kepada upaya untuk mengembalikan status respirasi normal seperti semula (Zul
Dahlan, 2005).
Penyakit asma merupakan salah satu masalah kesehatan seluruh dunia, yang
mempengaruhi kurang lebih 300 juta jiwa. Angka kematian di dunia akibat asma
sekarang diperkirakan 250.000 orang per tahun (Ikawati, 2017). Kasus di dunia cukup
besar, berdasarkan data World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150
juta penduduk di dunia menderita asma (WHO, 2011). Asma merupakan angka sepuluh
penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, penelitian menemukan prevalensi asma
pada tahun 2001 sebesar 11,5% dan tahun 2008 sebesar 12,2% (Fitriani, 2011). Penyakit
asma menjadi salah satu penyakit utama yang menyebabkan pasien memerlukan
perawatan, baik di Rumah Sakit (RS) maupun dirumah.
WHO (2011) menyatakan bahwa didapatkan pasien asma sebanyak 80% di negara yang
memiliki pendapatan rendah dan menengah, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Data
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia didapatkan angka kematian akibat dari
penyakit asma adalah 63.584 orang (Depkes, 2014 dalam ISMKI, 2016). Berdasarkan data
Riskesdas 2013, pasien asma di Indonesia paling banyak diderita oleh golongan menengah ke
bawah dan tidak mampu dengan persentase golongan menengah ke bawah sebanyak 4,7% dan
persentase golongan tidak mampu sebanyak 5,8% (ISMKI, 2016). Tanda dan gejala pasien asma
yaitu sesak dan batuk. Hal ini disebabkan oleh bronkospasme dan hipersekresi mukus yang
kental bersifat kambuh, berulang dan reversible. Aliran udara yang terbatas dan bersifat
reversible serta gejala pernafasan yang meliputi suara napas wheezing, dispsnue, batuk,
dada merasa sesak, tachypnue dan tachycardia merupakan tanda dari hiperesponsifitas
dari saluran pernapasan (Warsono et al., 2016).
Gina (2016) memaparkan penatalaksanaan asma yang terdiri dari tindakan
farmakologis dan non farmakologis. Tindakan farmakologis dilakukan dengan cara
menggunakan obat asma beclometasone dipropionate, budesonide, ciclesonide,
fluticasone furoate, fluticasone propionate, mometasone furoate dan triamcinolone
acetonide. Terapi farmakologis lain yang bisa diberikan adalah allergen immunotherapy,
vaksinasi, bronchial thermoplasty dan vitamin D. Tindakan non farmakologis yang dapat
dilakukan oleh pasien asma adalah dengan berhenti merokok, diet sehat, menghindari
alergen, mengurangi aktifitas berat, menghindari obat-obatan yang membuat asma
memburuk, menurunkan berat badan, menghindari polusi, vaksinasi, bronchial
thermoplasty, mengurangi stress, allergen immunotherapy, menghindari makanan dan
bahan kimia yang menyebabkan alergi serta menjaga kebugaran seperti physical activity
dan breathing exercise (GINA, 2016). Dari hasil studi wawancara yang dilakukan pada
pasien asma didapatkan bahwa 8 pasien asma mengeluh sesak napas. Selain itu dampak dari
sesak napas, pasien mengeluh kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode analitik
observasional. Penelitian ini dilakukan di RSUD Batang. Populasi dalam penelitian ini
adalah pasien asma rawat jalan di RSUD Batang. Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah pasien asma yang sedang menjalani pengobatan asma. Kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah pasien asma dalam keadaan hamil dan pasien yang mengalami
serangan asma. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 responden yang
diambil dengan teknik sampel accidental sampling (Dahlan, 2010). Variable yang diukur
adalah respirasi rate (RR). Data dalam penelitian ini merupakan data primer yang
diambil langsung dari responden. Teknik pengambilan data dengan mengobservasi
secara langsung dengan menghitung RR. Data dianalisis dengan menggunkan analisa
data univariat yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan setiap variabel
penelitian dengan menghasilkan distribusi frekuensi dan prosentase dari tiap variabel.
Pada table 2. Menunjukkan hasil analisis didapatkan rerata RR 23,07, berarti ada peningkatan RR
pada pasien asma
RR 23,07 23 (21-25)
Pada tabel 3 menunjukkan pasien mengalami peningkatan RR sebanyak 100% (30 pasien).
Tabel 3. Hasil Peningkatan RR
DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih, Denny, Abdul Kafi, and Achmad Djunaidi. (2012). Latihan Pernapasan
dengan Metode Buteyko Meningkatkan Nilai Force Expiratory Volume In 1
Second (% Fev1) Penderita Asma Dewasa Derajat Persisten Sedang. Berita
Kedokteran Masyarakat (BKM) 23.2: 52.
Atmoko, Widi, et al. "Prevalens asma tidak terkontrol dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat kontrol asma di poliklinik asma rumah sakit
persahabatan, jakarta." J Respir Indo 31.2 (2011): 53-60.
Brunner & Suddart. 2007. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 vol 1. Jakarta:
Jakarta.
Depkes. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, diakses pada 15 Desember 2016
dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/ 123456789/756/4/BK2009-
G127.pdf.
Fitriani F, Yunus F, Rasmin M. (2011). Prevalens Asma pada Siswa Usia 13-14 Tahun
dengan Menggunakan Kuesioner ISSAAC dan Uji Provokasi Bronkus di Jakarta
Selatan. J Respir Indo. 2011;31(2):81-89.
Ganong, Wiliam F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22. Jakarta: EGC.
Global Initiative for Asthma. (2016). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, diakses pada 15 Desember 2016 dari www.ginasthma.org.
ISMKI. n.d. “Hari Asma Sedunia You Can Control Your Ashtma.” Diakses 6 Desember
2016 dari http://wilayah1.ismki.org/hari-asma-sedunia-2016/.
Kartikasari, Dian, Ikhlas Muhammad Jenie, and Yanuar Primanda. "Latihan Pernapasan
Diafragma Meningkatkan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma." Jurnal Keperawatan Indonesia 22.1
(2019): 53-64.
Makmuri, MS. dan Supriyanto, B. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak, ed. 1. Jakarta:
IDAI.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, S. 2009. Terapi Pernapasan Pada Penderita Asma. Medikora V (1), hal. 71-
91 Santoso, Fawas Murtadho, Harmayetty, and Abu Bakar (2014). "Perbandingan
Latihan Napas
Buteyko dan Upper Body Exercise terhadap Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien dengan Asma
Bronkial." Critical, Medical, & Surgical Nursing Journal 2.2: 91-98.
Smeltzer, S.C., Bare G.B. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume
1.Jakarta: EGC
Somantri, Iman. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. 2ed. Jakarta: Salemba Medika.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alvabeta
Warsono, Warsono, and Faradisa Yuanita Fahmi. (2016). "Peran latihan pernafasan
terhadap nilai kapasitas vital paru pada pasien asma (literature review)." Care 4.3: 132-
138.
World Health Organization. (2011). The Publich Health Implication of Astma. Bulletin
of The Publich Health Revier