Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SISTEM PERNAPASAN (ASMA)

1. Konsep Penyakit
a. Definis Penyakit
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang
mengakibatkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara (Wahid &
Suprapto, 2013). Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten,
bersifat reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau inflamasi (Padila, 2013)
Menurut Murphy dan Kelly (2011) Asma merupakan penyakit
obstruksi jalan nafas, yang revelsibel dan kronis, dengan karakteristik adanya
mengi. Asma disebabkan oleh spasma saluran bronkial atau pembengkakan
mukosa setelah terpajam berbagai stimulus. Prevelensi, morbiditas dan
martalitas asma meningkat akibat dari peningkatan polusi udara.
Jadi asma atau reactive air way disease (RAD) adalah penyakit
obstruksi pada jalan napas yang bersifat reversible kronis yang ditandai
dengan bronchopasme dengan karakteristik adanya mengi dimana trake a dan
bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami
peradangan atau inflamasi

b. Etiologi
Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh:
a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.
b. Pembengkakan membrane bronkus
c. Bronkus berisi mucus yang kental

Adapun faktor predisposisi pada asma yaitu:


a. Genetik
Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, akibat adanya bakat alergi
ini penderita sangat mudah terkena asma apabila dia terpapar dengan faktor
pencetus.

Adapun faktor pencetus dari asma adalah:


a. Alergen
Merupakan suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang,
serbuk bunga, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan obat-obatan tertentu
seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein, dan sebagainya.
3) Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan aksesoris lainnya
yang masuk melalui kontak dengan kulit.

b. Infeksi saluran pernapasan


Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus Influenza
merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma
bronkhial, diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya
ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (Nurarif & Kusuma, 2015)

c. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan
cuaca menjadi pemicu serangan asma.

d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien
asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu lintas, penyapu
jalanan.

e. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila sedang
bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
asma

f. Stress
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma harus segera diobati penderita asma yang mengalami stres harus diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalahnya.(Wahid & Suprapto, 2013).

c. Tanda dan Gejala


Asma bukan suatu penyakit spesifik tetapi merupakan sindrom yang
dihasilkan mekanisme multiple yang akhirnya menghasilkan kompleks gejala
klinis termasuk obstruksi jalan nafas reversible.
Ciri-ciri yang sangat penting dari sindrom ini, di antaranya dispnea, suara
mengi, obstruksi jalan nafas reversible terhadap bronkodilator, bronkus yang
hiperresponsitif terhadap berbagai stimulasi baik yang spesifik maupun yang
nonspesifik, dan peradangan saluran pernafasan. Semua ciri-ciri tadi tidak harus
terdapat bersamaan. Serangan asma dita ndai dengan batuk, mengi, serta sesak
nafas. Gejala yang sering terlihat jelas adalah penggunaan otot nafas
tambahan, dan timbulnya pulsus paradoksus (Djojodibroto, 2016).
d. Manifestasi Klinis
Menurut (Padila, 2013) adapun manifestasi klinis yang dapat ditemui pada
pasien asma diantaranya ialah:
Stadium Dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
3) Wheezing belum ada
4) Belum ada kelainan bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
6) BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan:
1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parsial O2
b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
7) Sianosis
5) BGA Pa O2 kurang dari 80%
6) Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada Ro paru
7) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
e. Patofisiologi
Patofisiologi dari asma yaitu adanya faktor pencetus seperti debu, asap
rokok, bulu binatang, hawa dingin terpapar pada penderita. Benda benda
tersebut setelah terpapar ternyata tidak dikenali oleh si stem di tubuh 12 penderita
sehingga dianggap sebagai benda asing (antigen). Anggapan itu kemudian memicu
dikeluarkannya antibody yang berperan sebagai respon reaksi hipersensitif seperti
neutropil, basophil, dan immunoglobulin E. masuknya antigen pada tubuh
yang memicu reaksi antigen akan menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang
membentuk ikatan seperti key and lock (gembok dan kunci).
Ikatan antigen dan antibody akan merangsang peningkatan pengeluaran
mediator kimiawi seperti histamine, neutrophil chemotactic show acting,
epinefrin, norepinefrin, dan prostagandin. Peningkatan mediator kimia tersebut
akan merangsang peningkatan permiabilitas kapiler, pembengkakan pada
mukosa saluran pernafasan (terutama bronkus). Pembengkakan yang hampir
merata pada semua bagian bronkus akan menyebabkan penyempitan bronkus
(bronkokontrikis) dan sesak nafas.
Penyempitan bronkus akan menurunkan jumlah oksigen luar yang
masuk saat inspirasi sehingga menurunkan ogsigen yang dari darah. kondisi
ini akan berakibat pada penurunan oksigen jaringan sehingga penderita pucat
dan lemah. Pembengkakan mukosa bronkus juga akan meningkatkan sekres
mucus dan meningkatkan pergerakan sillia pada mukosa. Penderita jadi sering
batuk dengan produksi mucus yang cukup banyak (Harwina Widya Astuti
2010).
f. Pathway

Factotr Antigen yang Mengeluarka n Permia- Edema mu-


pencetus: terkait IGE mediator: kosa, sekresi
bilitas
pada histamin, kapiler produktif,
Allergen
permukaan sel platelet, mening- kat kontriksi otot
Stress
cuaca mast atau bradikinin, dll polos
basofil meningkat

Spasme otot Konsentrasi O2


Hiperkapnea gelisahAn
polos sekresi dalam darah
sietas
kelenjar menurun
bronkus  Hipoksemi
Penyempitan atau
Suplai O2 a
obstruksi proksilal Koma
dan bronkus pada keotak 
tahap ekskresi dan
inspirasi
Tekanan partial Gangguan Asidosis Suplai
Mucus berlebih oksigen pertukara metaboli darah dan
Batuk dialveoli  n gas k O2
Wheezing
Sesak nafas kejantung
berkurang
Suplai O2 Perfusi ja- ringan Penurunan cardiac
kejaringan  perifer output
Ketidakefekti- fan
bersihnya jalan
nafas
Penyempitan Penurunan curah Tekanan da- rah
jalan perna- pasan jantung menurun

Kelemahan dan
Peningkatan kerja Hiperventilasi Kebutuhan O2
keletihan
otot pernafasan 
Retensi O2
Asidosis Intoleransi
respiratorik aktivitas
nafsu m akan  Ketidakefek
ketidakseimbangan tifan pola
nutrisi kurang dari nafas
kebutuhan tubuh
g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan untuk melihat adanya:
a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan kristal
eosinopil.
b) Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
d) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat muscus plug.
b. Pemeriksaan darah
a) Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi.
d) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu serangan
dan menurun pada saat bebas serangan asma.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan berdasarkan
manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium (Sujono riyadi & Sukarmin, 2009). Adapun pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah:
a) Tes Fungsi Paru
Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator
(inhaler atau nebulizer), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Dalam spirometry akan mendeteksi:
1. Penurunan forced expiratory volume (FEV)
2. Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
3. Kehilangan forced vital capacity (FVC)
4. Kehilangan inspiratory capacity (IC) (Wahid & Suprapto, 2013)
b) Pemeriksaan Radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat
gambaran sebagai berikut:
1. Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah
2. Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah
3. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.
4. Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru
5. Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
c) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada
asma secara spesifik
d) Elektrokardiografi
1. Terjadi right axis deviation
2. Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
3. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi depresi
segmen ST negatif
e) Scanning paru
Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
asma tidak menyeluruh pada paru-paru
(Wahid & Suprapto, 2013)
h. Penatalaksanaan Medis
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien asma yaitu:
a. Prinsip umum dalam pengobatan asma:

1) Menghilangkan obstruksi jalan napas.


2) Menghindari faktor yang bisa menimbulkan serangan asma.
3) Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit asma dan
pengobatannya.
b. Pengobatan pada asma
1) Pengobatan farmakologi
a. Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi menjadi
dua golongan, yaitu:
1. Adrenergik (Adrenalin dan Efedrin), misalnya
terbutalin/bricasama.
2. Santin/teofilin (Aminofilin)
b. Kromalin
Bukan bronkhodilator tetapi obat pencegah seranga asma pada penderita anak.
Kromalin biasanya diberikan bersama obat anti asma dan efeknya baru terlihat
setelah satu bulan.

c. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam dosis dua
kali 1mg/hari. Keuntungannya adalah obat diberikan secara oral.

d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada respon maka


segera penderita diberi steroid oral.
2) Pengobatan non farmakologi
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisioterapi napas (senam asma)
e. Pemberian oksigen jika perlu (Wahid & Suprapto, 2013)
3) Pengobatan selama ststus asmathikus
a. Infus D5:RL = 1 : 3 tiap 24 jam
b. Pemberian oksigen nasal kanul 4 L permenit

c. Aminophilin bolus 5mg/ KgBB diberikan pelan-pelan selama 20 menit


dilanjutkan drip RL atau D5 mentenence (20 tpm) dengan dosis 20
mg/kg bb per 24 jam
d. Terbutalin 0.25 mg per 6 jam secara sub kutan
e. Dexametason 10-2- mg per 6 jam secara IV
f. Antibiotik spektrum luas (Padila, 2013)

2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi, dan dokumentasi data
(informasi) yang sistematis dan bersinambungan. Sebenarnya, pengkajian adalah
proses bersinambungan yang dilakukan pada semua fase proses keperawatan.
Misalnya, pada fase evaluasi, pengkajian dilakukan untuk melakukan hasil strategi
keperawatan dan mengevaluasi pencapaian tujuan. Semua fase proses keperawatan
bergantung pada pengumpulan data yang akurat dan lengkap (Kozier, Berman, &
Snyder, 2011).

1. Identitas Klien
a. Usia: asma bronkial dapat menyerang segala usia tetapi lebih sering
dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun
dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
b. Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1 yang
kemudian sama pada usia 30 tahun.(Soemantri, 2009)
c. Tempat tinggal dan jenis pekerjaan: lingkungan kerja diperkirakan
merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2- 15% klien dengan
asma bronkial (Muttaqin, 2012). Kondisi rumah, pajanan alergen
hewan di dalam rumah, pajanan asap rokok tembakau, kelembapan,
dan pemanasan (Francis, 2011).

2. Keluhan Utama
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma bronkial adalah
dispneu (bisa sampai berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk, dan mengi
(Soemantri, 2009).

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang yang biasa timbul pada pasien asma yaitu pasien
mengalami sesak nafas, batuk berdahak, pasien yang sudah menderita
penyakit asma, bahkan keluarga yang sudah menderita penyakit asma/faktor
genetik (Ghofur A, 2008).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Terdapat data yang menyertakan adanya faktor predisposisi timbulnya
penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan riwayat penyakit saluran
nafas bagian bawah (Soemantri, 2009).

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Klien dengan asma bronkial sering kali didapatkan adanya riwayat penyait
keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak ditemukan penyakit
yang sama pada anggota keluarganya (Soemantri, 2009).
e. Pola Hidup
Perempuan lebih rentan terhadap laki-laki. Risiko akan bertam- bah pada
perempuan yang merokok atau tinggal pada daerah yang padat polusi dan
tercemar (Mumpuni & Wulandari, 2013).

f. Faktor Sosial Ekonomi


Pengkajian terhadap faktor-faktor sosial/ekonomi yang berdampak pada
kesehatan (Marrelli, 2008).

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Nutrisi
Terjadi penurunan berat badan yang cukup drastis sebagai akibat dari
hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah
(Padila, 2012).

b. Eliminasi
Penderita asma dilarang menahan buang air besar dan buang air kecil.
Kebiasaan menahan buang air besar akan menyebabkan feses
menghasilkan radikal bebas yang bersifat meracuni tubuh, menyebabkan
sembelit, dan semakin mempersulit pernafasan (Mumpuni & Wulandari,
2013).

c. Aktivitas
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit
bernafas (Wijaya & Putri, 2013).
1. Istirahat/tidur
Susah tidur karena sering batuk atau terbangun akibat dada sesak
(Mumpuni & Wulandari, 2013). Ketidakmampuan untuk tidur, perlu
tidur dalam posisi duduk tinggi (Wijaya & Putri, 2013).
2. Aktivitas
a. Pekerjaan: lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor
pencetus yang menyumbang 2-15% klien dengan asma bronkial
(Muttaqin, 2012).
b. ADL
Perasaan selalu merasa lesu dan lelah akibat kurangnya pasokan
O2ke seluruh tubuh (Mumpuni & Wulandari, 2013).
c. Pemeriksaan ekstermitas (atas dan bawah)
Perasaan selalau merasa lesu dan lelah akibat kurangnya pasokan
O2 ke seluruh tubuh (Mumpuni & Wulandari, 2013).
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum Klien
Keadaan umumpada pasien asma yaitu compas metis, lemah, dan
sesak nafas.
b. Pemeriksaan kepala dan muka
Inspeksi : pemerataan rambut, berubah/tidak, simetris, bentuk wajah.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak rontok, tidak ada oedema.
c. Pemeriksaan telinga
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
d. Pemeriksaan mata
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi, tidak ada oedema, konjungtiva
anemis, reflek cahaya normal.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
e. Pemeriksaan mulut dan farink
Inspeksi : mukosa bibir lemah, tidak ada lesi disekitar mulut,
biasanya ada kesulitan dalam menelan.
Palpasi : tidak ada pembesaran tonsil.
f. Pemeriksaan leher
Inspeksi : simetris, tidak ada peradangan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
g. Pemeriksaan payudara dan ketiak
Inspeksi : ketiak tumbuh rambut/tidak, kebersihan ketiak, ada
lesi/tidak,ada benjolan/tidak.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.

h. Pemeriksaan thorak
1. Pemeriksaan paru
Inspeksi : batuk produktif/nonproduktif, terdapat sputum yang
kental dan sulit dikeluarkan, dengan menggunakan otot-otot
tambahan, sianosis (Somantri, 2009). Mekanika
bernafas,pernafasan cuping hidung, penggunaan oksigen,dan
sulit bicara karena sesak nafas (Marelli, 2008).
Palpasi : bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan
(Somantri, 2009). Takikardi akan timbul diawal serangan,
kemudian diikuti sianosis sentral (Djojodibroto, 2016).
Perkusi : lapang paru yang hipersonor pada perkusi
(kowalak,Welsh, & Mayer, 2012).
Auskultasi : respirasi terdengar kasar dan suara mengi
(wheezing) pada fase respirasi semakin menonjol (Somantri,
2019).
2. Pemeriksaan jantung
Inspeksi : ictuscordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis terdengar di ICS V mid clavicula kiri.
Perkusi : pekak.
Auskultasi : BJ 1dan BJ 2 terdengar tunggal, ada suara
tambaha/tidak.
i. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : bentuk tidak simetris.
Auskultasi : bising usus normal (5-30x/menit). Palpasi : tidak ada
nyeri tekan.
Perkusi : tympani.
j. Pemeriksaan integumen
Inspeksi : kulit berwarna sawo matang, tidak ada lesi, tidak ada
oedema.
Palpas : integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan.
k. Pemeriksaan anggota gerak (ekstermitas)
Inspeksi : otot simetri, tidak ada fraktur.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
l. Pemeriksaan genetalia dan sekitar anus
Inspeksi : tidak terdapat lesi, tidak ada benjolan, rambut pubis
merata.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.

5. Pemeriksaan penunjang
1. Pengukuran Fungsi Paru (spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerososl golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
2. Tes Provokasi Bronkus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan Fev sebesar 20%
atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari
maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 105
atau lebih.
3. Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.

4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup): hanya dilakukan pada serangan
asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis
respiratorik.
b. Sputum: adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan
asma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang
menyebabkan trensudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah
sekelompok sel-sel epitelnya dari perlekatannya. Pewarnaan gram
penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti
kultur dan uji resistensi terhadap antibiotik.

c. Sel eosinofil: pada klien dengan status asmatikus dapat


mencapai 1000-1500/mm3 baik asma instrinsik maupun
ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinosil normal antara 100-
200/mm3.
d. Pemeriksaan darah rutin dan kimia: jumlah sel leukosit yang
lebih dari 15.000/mm3terjadi karena adanya infeksi SGOT dan
SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia dan
hiperkapnea.
5. Pemeriksaan radiologi: hasil pemeriksaan radiologi pada klien asma
bronkial biasanya normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi di paru
atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum,
atelektasis.(Muttaqin, 2012)

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah fase kedua proses keperawatan. Pada fase
ini, perawat menggunakan ketrampilan berfikir kritis untuk
menginterprestasikan data pengkajian dan mengidentifikasi kekuatan serta
masalah klien. Diagnosis adalah langkah yang sangat penting dalam proses
asuhan keperawatan. Semua aktivitas sebelum fase ini ditunjukkan untuk
merumuskan diagnosis keperawatan; semua aktivitas perencanaan asuhan
setelah fase ini didasarkan pada diagnosis keperawatan (Kozier, Berman, & Snyder,
2011).
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien asma menurut (Nurarif dan
Kusuma, 2015) adalah:

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan


dan deformitas dinding dada.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus dalam
jumlah berlebihan peningkatan produksi mucus, eksudat dalam alveoli dan
bronkospasme
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan retensi karbon dioksida.
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakbilitas dan
volume sekuncup jantung.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen (hipoksia) kelemahan.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan laju metabolic, dispnea saat makan, kelemahan otot pengunyahan.
7. Ansietas berhubungan dengan keadaan penyakit yang diderita.
c. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan (Hermand, T. H. 2015) NOC (Moorhead. S, dkk.,
2013) NIC (Bulechek, dkk, 2013)

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektifan NOC: 1. Penghisapan
pola nafas b.d 1. Respiratory status : lendir pada jalan
keletihan otot Ventilation nafas
pernafasan dan 2. Respiratory status : 2. Pengurangan
deformitas dinding Airway patency kecemasan
dada 3. Vital sign status dengan Health
Kriteria Hasil: Education
Definisi : inspirasi 1. Mendemontrasikan 3. Manajemen
dan/ atau ekspirasi batuk efektif dan bantuan dengan
yang memberi suara nafas yang pemasangan alat
ventilasi adekuat bersih, tidak ada jalan nafas
sianosis dan buatan
Batasan dyspneu (mampu 4. Terapi oksigen
karakteristik : mengeluarkan 5. Monitoring
1. Perubahan sputum, mampu pernafasan
kedalaman bernafas dengan 6. Monitoring
pernafasan mudah, tidak ada tanda-tanda vital
2. Penurunan pursed lips) 7. Manajemen
tekanan ekspirasi 2. Menunjukkan jalan batuk
3. Penurunan nafas yang paten 8. Manajemen
ventilasi semenit (klien tidak merasa adanya nyeri
4. Penurunan tercekik, irama dada
kapasitas vital nafas, frekuensi 9. Kolaborasi
5. Pernafasan pernafasan dalam bronkodilator
cuping hidung rentang normal,
Faktor yang berhu- tidak ada suara
bungan : nafas abnormal)
1. Ansietas 3. Tanda-tanda vital
2. Posisi tubuh dalam rentang
normal (tekanan
3. Keletihan
darah, nadi,
4. Hiperventilasi
pernafasan)
5. Obesitas
d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan. Dalam
konteks ini, evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan
terarah ketika klien dan profesional kesehatan menentukan kemajuan klien
menuju pencapaian tujuan/hasil, dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.
(Kozier et al., 2011). Tujuan evaluasi adalah untuk menilai pencapaian tujuan
pada rencana keperawatan yang telah ditetapkan, mengidentifikasi variabel-
variabel yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan, dan mengambil
keoutusan apakah rencana keperawatan diteruskan, modifikasi atau dihentikan
(Manurung, 2011).

3. Epidence Base Practice

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam


pertanyaan klinis “Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan dan deformitas dinding dada dengan Gambaran Respiratori Rate (RR)”.
Untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam bentuk PICO seperti pada table
dibawah ini:

Analisis PICO
Unsur PICO Analisis Kata Kunci
(Terapi)
P Asma asma

I Ketidakefektifan pola Ketidak efektifan pola nafas


nafas berhubungan
dengan keletihan otot
pernafasan dan
deformitas dinding
dada
C Gambaran Respiratori Respirasi Rate (RR)
Rate (RR)
O Analitik Observasional Analitik Observasional
No Peneliti Judul penelitian Metode penelitian Jumlah dan criteria intervensi Hasil
(Tahun) (Level) sampel
1 Dian Kartikasari Gambaran Penelitian ini Penelitian ini dilakukan di Pengambilan dta secara Hasi penelitian terdapat
dan Benny Arief Respirasi Rate (RR) merupakan penelitian RSUD Batang. Populasi Observasi pernapasan peningkatan RR pasien asma,
Sulistyanto, 2020 Pasien Asma kuantitatif dalam penelitian ini adalah pasien, apakah ada dengan pasien mengalami
menggunakan metode pasien asma rawat jalan di Ketidak efektifan pola peningkatan RR sebanyak 100%
analitik observasional. RSUD Batang. Kriteria
nafas dan menentukan (30 pasien)
inklusi pada penelitian ini
Respirasi Rate (RR)
adalah pasien asma yang
sedang menjalani pengobatan pasien, dengan hasil
asma. Kriteria inklusi pada Rerata 23,07.
penelitian ini adalah pasien
asma dalam keadaan hamil
dan pasien yang mengalami
serangan asma. Jumlah
sampel dalam penelitian ini
berjumlah 30 responden yang
diambil dengan teknik sampel
accidental sampling (Dahlan,
2010).
Gambaran Respirasi Rate (RR) Pasien Asma
Dian Kartikasari dan Benny Arief Sulistyanto
Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
Email: dian.kartikasari1989@gmail.com dan benny.arief@gmail.com
Diterima: Juli 2020; Dipublikasikan: Juli 2020

ABSTRAK
Penyempitan bronkus pada pasien asma mengakibatkan sesak napas. Tujuan penelitian untuk
mengetahui gambaran resprasi rate (RR) pasien asma. Penelitian kuantitatif menggunakan metode
analitik observasional melibatkan 30 pasien secara accidental sampling. Pengukuran dengan
menggunakan lembar catatan observasi. Hasi penelitian terdapat peningkatan RR pasien asma
dengan pasien mengalami peningkatan RR sebanyak 100% (30 pasien). Hal ini dapat menjadi
pertimbangan bagi perawat untuk menentukan intervensi yang tepat bagi pasien asma baik secara
mandiri ataupun kolaborasi.
Kata Kunci: asma, respirasi rate, analitik observasional

ABSTRACT
Narrowing of the bronchi in asthma patients results in shortness of breath. The aim of this study
was to describe the respiration rate (RR) of asthma patients. This quantitative study using
observational analytical methods involved 30 patients by accidental sampling. Measurements using
observation note sheets. The result of the study was an increase in the RR of asthmatic patients
with patients experiencing an increase in RR by 100% (30 patients). This can be a consideration for
nurses to determine the right intervention for asthma patients either independently or
collaboratively.
Keywords: asthma, respiration rate, observational analytics

PENDAHULUAN
Penyempitan bronkus pada pasien asma diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas terhadap sesuatu perangsangan langsung/fisik ataupun tidak langsung
(Smeltzer, et.al, 2008). Pasien asma memerlukan penanganan yang baik untuk
membantu proses penyembuhan dan rehabilitasi serta upaya pencegahan kekambuhan
yang berulang, sehingga dapat mencegah komplikasi ataupun kematian. Masyarakat
perlu mengetahui asma secara baik bukan hanya sekedar pemahaman bahwa asma
merupakan penyakit yang sederhana serta mudah diobati. Perspektif ini akan mengarah
kepada upaya pengobatan saja untuk mengatasi gejala asma seperti gejala sesak napas
dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukan mengelola asma secara lengkap
(Nugroho, 2009).
Peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas asma di seluruh dunia
terutama terjadi di daerah perkotaan dan industri. Penderita asma ringan dan periodik
tidak menyadari mengidap asma dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau
batuk biasa. Gangguan yang terjadi akan mempengaruhi status respirasi pada pasien
asma, seperti peningkatan upaya pernafasan seperti peningkatan respiratory rate, batuk
dan sesak (Kartikasari, et. al., 2019). Upaya pernafasan ini merupakan upaya
kompensasi bagi pasien asma untuk meningkatkan oksigenasi, namun hal ini akan
mengakibatkan penggunaan otot pernafasan yang berlebih sehingga menyebabkan
kelelahan. Sehingga perlu adanya latihan yang mampu mengatur upaya pernafasan
sehingga tidak terjadi secara berlebihan (Atmoko, Widi, et al., 2011).
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berhasil.
Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu kurang pengetahuan tentang asma,
pelaksanaan pengelolaan yang belum maksimal, upaya pencegahan dan penyuluhan
dalam pengelolaan asma yang masih perlu ditingkatkan. Mengingat hal tersebut
pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat dini dengan
berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma,
terlebih kepada upaya untuk mengembalikan status respirasi normal seperti semula (Zul
Dahlan, 2005).
Penyakit asma merupakan salah satu masalah kesehatan seluruh dunia, yang
mempengaruhi kurang lebih 300 juta jiwa. Angka kematian di dunia akibat asma
sekarang diperkirakan 250.000 orang per tahun (Ikawati, 2017). Kasus di dunia cukup
besar, berdasarkan data World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150
juta penduduk di dunia menderita asma (WHO, 2011). Asma merupakan angka sepuluh
penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, penelitian menemukan prevalensi asma
pada tahun 2001 sebesar 11,5% dan tahun 2008 sebesar 12,2% (Fitriani, 2011). Penyakit
asma menjadi salah satu penyakit utama yang menyebabkan pasien memerlukan
perawatan, baik di Rumah Sakit (RS) maupun dirumah.
WHO (2011) menyatakan bahwa didapatkan pasien asma sebanyak 80% di negara yang
memiliki pendapatan rendah dan menengah, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Data
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia didapatkan angka kematian akibat dari
penyakit asma adalah 63.584 orang (Depkes, 2014 dalam ISMKI, 2016). Berdasarkan data
Riskesdas 2013, pasien asma di Indonesia paling banyak diderita oleh golongan menengah ke
bawah dan tidak mampu dengan persentase golongan menengah ke bawah sebanyak 4,7% dan
persentase golongan tidak mampu sebanyak 5,8% (ISMKI, 2016). Tanda dan gejala pasien asma
yaitu sesak dan batuk. Hal ini disebabkan oleh bronkospasme dan hipersekresi mukus yang
kental bersifat kambuh, berulang dan reversible. Aliran udara yang terbatas dan bersifat
reversible serta gejala pernafasan yang meliputi suara napas wheezing, dispsnue, batuk,
dada merasa sesak, tachypnue dan tachycardia merupakan tanda dari hiperesponsifitas
dari saluran pernapasan (Warsono et al., 2016).
Gina (2016) memaparkan penatalaksanaan asma yang terdiri dari tindakan
farmakologis dan non farmakologis. Tindakan farmakologis dilakukan dengan cara
menggunakan obat asma beclometasone dipropionate, budesonide, ciclesonide,
fluticasone furoate, fluticasone propionate, mometasone furoate dan triamcinolone
acetonide. Terapi farmakologis lain yang bisa diberikan adalah allergen immunotherapy,
vaksinasi, bronchial thermoplasty dan vitamin D. Tindakan non farmakologis yang dapat
dilakukan oleh pasien asma adalah dengan berhenti merokok, diet sehat, menghindari
alergen, mengurangi aktifitas berat, menghindari obat-obatan yang membuat asma
memburuk, menurunkan berat badan, menghindari polusi, vaksinasi, bronchial
thermoplasty, mengurangi stress, allergen immunotherapy, menghindari makanan dan
bahan kimia yang menyebabkan alergi serta menjaga kebugaran seperti physical activity
dan breathing exercise (GINA, 2016). Dari hasil studi wawancara yang dilakukan pada
pasien asma didapatkan bahwa 8 pasien asma mengeluh sesak napas. Selain itu dampak dari
sesak napas, pasien mengeluh kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode analitik
observasional. Penelitian ini dilakukan di RSUD Batang. Populasi dalam penelitian ini
adalah pasien asma rawat jalan di RSUD Batang. Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah pasien asma yang sedang menjalani pengobatan asma. Kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah pasien asma dalam keadaan hamil dan pasien yang mengalami
serangan asma. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 responden yang
diambil dengan teknik sampel accidental sampling (Dahlan, 2010). Variable yang diukur
adalah respirasi rate (RR). Data dalam penelitian ini merupakan data primer yang
diambil langsung dari responden. Teknik pengambilan data dengan mengobservasi
secara langsung dengan menghitung RR. Data dianalisis dengan menggunkan analisa
data univariat yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan setiap variabel
penelitian dengan menghasilkan distribusi frekuensi dan prosentase dari tiap variabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada tabel 1 hasil analisis karakteristik subyek penelitian di dapatkan hasil
rerata usia adalah (48,00±8,88 tahun). Rerata IMT didapatkan (20,50±1,05 kg/m²).
Sebagian besar subyek penelitian dengan jenis kelamin perempuan yaitu 63,3% (19
orang). Seluruh pasien memiliki riwayat keluarga asma yaitu 100 % (30 pasien).

Tabel 1: Hasil Statistik Deskriptif


Karakteristik Kelompok Intervensi (n=14)
Usia
Rerata±SD 48±8,88
Min-Max 22–53
IMT
Rerata±SD 20,50±1,05
Min-Max 19–24
Jenis kelamin
Laki-laki 11 (36,7%)
Perempuan 19 (63,3%)
Riwayat keluarga asma
Ya 30 (100%)
Tidak 0 (0%)
Riwayat merokok
Ya 9 (30%)
Tidak 21 (70%)

Pada table 2. Menunjukkan hasil analisis didapatkan rerata RR 23,07, berarti ada peningkatan RR
pada pasien asma

Tabel 2. Hasil Dari Rerata RR


Variabel Rerata Median (Min-Maks)

RR 23,07 23 (21-25)
Pada tabel 3 menunjukkan pasien mengalami peningkatan RR sebanyak 100% (30 pasien).
Tabel 3. Hasil Peningkatan RR

Variabel Jumlah (Orang) Prosentase


RR
Tidak Ada Perubahan 0 0%
Ada Perubahan 30 100%
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa
sebagian besar pasien asma mengalami peningkatan RR. Mekanisme proses respirasi terdiri
dari keluar masuknya udara antara atmosfer dan alveoli paru-paru (ventilasi pulmonal).
Pada proses ventilasi ini, adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dan alveolus serta
dibantu oleh kerja mekanik otot-otot pernapasan, sehingga udara bergerak masuk dan
keluar dari paru-paru (Somantri, 2009). Mekanisme selanjutnya adalah difusi O₂ dan
CO₂ antara alveoli dan darah. Proses difusi terjadi ketika adanya inspirasi O₂ sampai ke
alveolus. Tekanan parsial menurun kurang lebih 103 mmHg akibat pencampuran udara
dan uap air di saluran udara (Muttaqin, 2008).
Mekanisme yang terakhir adalah transportasi O₂ dan CO₂ dalam darah dan
cairan tubuh dari sel ke sel. Transportasi O₂ dari paru-paru ke jaringan melalui dua jalan,
yaitu secara fisik larut di dalam plasma atau secara kimia dengan berikatan hemoglobin
sebagai oksihemoglobin (HbO₂). Transport CO₂ dari jaringan ke paru-paru dilakukan
melalui tiga cara, yaitu 10% secara fisik larut dalam plasma, 20% berikatan dengan
gugus amino pada hemoglobin dalam sel darah merah dan kurang lebih 70% ditranspor
sebagai bikarbonat plasma (Somantri, 2009). Berdasarkan penurunan gejala pernapasan pada
pasien asma didapatkan bahwa semua pasien mengalami gejala yang berbeda. Dari data juga
didapatkan bahwa gejala asma pasien bervariasi dari adanya retraksi dada, wheezing, pernapasan
cuping hidung, sianosis dan frekwensi pernapasan (respiration rite) (Fithriana, 2017). Hal ini
sesuai pendapat Brunner & Suddart (2007) yang menyebutkan bahwa gejala-gejala asma tersebut
tidak selalu dijumpai bersamaan, pada serangan asma berat, gejala-gejala yang timbul makin
banyak dan serangan asma sering kali terjadi pada malam hari.
Pada pasien asma proses inspirasi terjadi ketika adanya kontraksi yang minimal
dari otot pernapasan yang mengakibatkan diafragma terdorong ke atas sehingga
membutuhkan energi yang tinggi untuk mengangkat rongga dada dan pengembangan
paru menjadi minimal. Hal tersebut menyebabkan oksigen yang masuk ke paru-paru
menjadi minimal (Rhoades, 2011 dalam Santoso, 2014). Selain itu, dampak dari
permeabilitas kapiler yang ditimbulkan dari asma adalah kontraksi otot polos, edema
mukosa dan hipersekresi. Hal tersebut mengakibatkan obstruksi jalan napas dan terjadi
asma. Obstruksi menyebabkan bronkospasme sehingga terjadi hipoventilasi.
Hipoventilasi mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia (Ganong, 2008). Penyakit
asma yang sering kambuh dapat terjadi dari ringan sampai berat. Dampak dari serangan
asma menyebabkan penderita tidak masuk sekolah bahkan kerja, aktivitas fisik menjadi
terbatas, tidak bisa tidur, sehingga dirawat di rumah sakit. Pada beberapa kasus, asma
dapat mengakibatkan kematian (Agustiningsih et al., 2012). Meskipun demikian, perlu
ditekankan bahwa serangan asma dapat dicegah atau dapat dikurangi dengan cara
melakukan identifikasi dini dan terapi intensif (Makmuri dan Supriyanto, 2008).
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada pasien asma proses inspirasi terjadi ketika adanya kontraksi yang minimal
dari otot pernapasan yang mengakibatkan diafragma terdorong ke atas sehingga
membutuhkan energi yang tinggi untuk mengangkat rongga dada dan pengembangan
paru menjadi minimal. Dampak dari permeabilitas kapiler yang ditimbulkan dari asma
adalah kontraksi otot polos, edema mukosa dan hipersekresi. Hal tersebut
mengakibatkan obstruksi jalan napas dan terjadi asma. Penyakit asma yang sering
kambuh dapat terjadi dari ringan sampai berat. Dampak dari serangan asma
menyebabkan penderita tidak masuk sekolah bahkan kerja, aktivitas fisik menjadi
terbatas, tidak bisa tidur, sehingga dirawat di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih, Denny, Abdul Kafi, and Achmad Djunaidi. (2012). Latihan Pernapasan
dengan Metode Buteyko Meningkatkan Nilai Force Expiratory Volume In 1
Second (% Fev1) Penderita Asma Dewasa Derajat Persisten Sedang. Berita
Kedokteran Masyarakat (BKM) 23.2: 52.

Atmoko, Widi, et al. "Prevalens asma tidak terkontrol dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat kontrol asma di poliklinik asma rumah sakit
persahabatan, jakarta." J Respir Indo 31.2 (2011): 53-60.

Brunner & Suddart. 2007. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 vol 1. Jakarta:
Jakarta.

Depkes. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, diakses pada 15 Desember 2016
dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/ 123456789/756/4/BK2009-
G127.pdf.

Fithriana, Dina. "Efektifitas Pemberian Tehnik Relaksasi Napas Dalam Terhadap


Penurunan Gejala Pernapasan Pada Pasien Asma Di IGD RSUD Patut Patuh Patju
Gerung Lombok Barat." PrimA: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan 3.1 (2017).

Fitriani F, Yunus F, Rasmin M. (2011). Prevalens Asma pada Siswa Usia 13-14 Tahun
dengan Menggunakan Kuesioner ISSAAC dan Uji Provokasi Bronkus di Jakarta
Selatan. J Respir Indo. 2011;31(2):81-89.

Ganong, Wiliam F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22. Jakarta: EGC.
Global Initiative for Asthma. (2016). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, diakses pada 15 Desember 2016 dari www.ginasthma.org.

ISMKI. n.d. “Hari Asma Sedunia You Can Control Your Ashtma.” Diakses 6 Desember
2016 dari http://wilayah1.ismki.org/hari-asma-sedunia-2016/.

Kartikasari, Dian, Ikhlas Muhammad Jenie, and Yanuar Primanda. "Latihan Pernapasan
Diafragma Meningkatkan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma." Jurnal Keperawatan Indonesia 22.1
(2019): 53-64.

Makmuri, MS. dan Supriyanto, B. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak, ed. 1. Jakarta:
IDAI.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho, S. 2009. Terapi Pernapasan Pada Penderita Asma. Medikora V (1), hal. 71-
91 Santoso, Fawas Murtadho, Harmayetty, and Abu Bakar (2014). "Perbandingan
Latihan Napas

Buteyko dan Upper Body Exercise terhadap Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien dengan Asma
Bronkial." Critical, Medical, & Surgical Nursing Journal 2.2: 91-98.

Smeltzer, S.C., Bare G.B. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume
1.Jakarta: EGC

Somantri, Iman. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. 2ed. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alvabeta

Warsono, Warsono, and Faradisa Yuanita Fahmi. (2016). "Peran latihan pernafasan
terhadap nilai kapasitas vital paru pada pasien asma (literature review)." Care 4.3: 132-
138.

World Health Organization. (2011). The Publich Health Implication of Astma. Bulletin
of The Publich Health Revier

Zul, D. 2005. Masalah asma di Indonesia dan Penanggulangannya. Bandung: Fakultas


kedokteran Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai