PENDAHULUAN
Inverted papilloma adalah tumor jinak primer dari hidung dan sinus paranasal
yang jarang terjadi. Inverted papilloma merupakan tumor jinak yang
berasal dari pseudostratified ciliated columnar epithelium regio sinonasal, umumnya
terjadi pada dinding lateral rongga hidung kebanyakan pada meatus media, jarang
dari septum nasi ataupun sinus paranasal.1
Luasnya jaringan yang terlibat, sifatnya yang lokal agresif dan eksisi yang
tidak lengkap berhubungan dengan tingginya tingkat rekurensi, oleh karena itu
reseksi en bloc dengan rinotomi lateral atau degloving menjadi pendekatan standar.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 Anatomi
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
Bagian puncak hidung disebut apeks. Agak ke atas dan belakang dari apeks
disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke belakang ke pangkal
hidung dan menyatu ke dahi. Bagian yang disebut kolumela membranosa mulai dari
apeks, yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari
kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar
hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas
ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kanan dan kiri kolumela adalah nares anterior atau
nostril kanan dan kiri, sebelah laterosuperior dibatasi oleh ala nasi dan di sebelah
inferior oleh dasar hidung.6
2
Gambar 1. Anatomi hidung luar7
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :5
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:5
3
Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung8
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
4
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema disebut juga rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri
yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.5
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus,
hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu
celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior.5
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.5
5
Gambar 3. Anatomi Hidung9
II.1.2 Perdarahan
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal
dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
6
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 5
II.1.3 Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain
memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila,
serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis
dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius.
Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.5
II.2 Histologi
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
7
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.10
II.3 Definisi
Inverted papilloma adalah tumor jinak primer dari hidung dan sinus paranasal
yang jarang terjadi. Inverted papilloma merupakan tumor jinak yang
berasal dari pseudostratified ciliated columnar epithelium regio sinonasal, umumnya
dinding lateral rongga hidung kebanyakan pada meatus media, jarang dari
septum nasi ataupun sinus paranasal.1
II.4 Epidemiologi
8
dengan perbandingan 4 : 1. Orang berkulit putih adalah yang paling berisiko,
dibandingkan dengan orang-orang dari ras lain. Inverted papilloma umumnya
mengenai usia 50-70 tahun, meskipun rentang usia untuk kejadian adalah 6-90 tahun,
inverted papilloma jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.2
II.5 Etiologi
Beberapa virus telah lama dicurigai sebagai penyebab lesi-lesi neoplastik ini,
dikarenakan virus-virus tersebut telah diketahui mempunyai kecenderungan
membentuk papiloma-papiloma di berbagai organ tubuh. Virus Human Papiloma
(HPV) 11, HPV 6, HPV 16, dan HPV 18 telah dapat diidentifikasi pada inverted
papilloma. Beberapa penelitian dengan menggunakan teknik hibridasi dan reaksi
rantai polimerase memperlihatkan bahwa HPV 11 dan HPV 6 berhubungan dengan
banyak kasus papiloma tipe fusiform tetapi sangat jarang pada tipe silindrikal dan
inverted.11
II.6 Histopatologi
Papiloma terbagi atas 3 subtipe histologi, yaitu : tipe inverted, tipe fungiform
(everted) dan tipe silindrikal. Pada inverted papilloma didapatkan pola pertumbuhan
endofitik yang hampir selalu ditemukan pada dinding lateral hidung.12
9
polip dengan tonjolan yang jelas yang berbentuk granular seperti buah mulberi.
Terdapat variasi warna inverted papilloma dari merah, merah muda sampai pucat.1
10
II.7 Manifestasi Klinis
II.8 Diagnosa
a. Pemeriksaan luar13
Perhatikan bentuk dari septum nasi, apakah ditemukan adanya deviasi
septum, apakah ada tanda tanda polip seperti frog nose fenomena, bibir
bagian atas apakah ada tanda maserasi karena sekret dari sinus maksilaris,
cari tanda tanda alergi seperti bayangan gelap di sekitar mata (Shinner), garis
melintang di dorsum nasi (Crease) atau bekas garukan di dorsum nasi karena
gatal (Sallute) dan cari apakah ada edema dan hiperemi pada fossa canina.
Cari tanda krepitasi akibat fraktur septum nasi yang dapat menyebabkan
obstruksi nasi, tekan dinding anterior sinus maksilaris dengan ibu jari ke
11
arah mediosuperior, jika didapatkan perbedaan nilai, sinus yang lebih sakit
adalah sinus yang patologis.
Bila palpasi menimbulkan reaksi yang hebat dapat diganti dengan perkusi
dengan jari telunjuk secara bersamaan tanpa alas jari.
b. Rhinoskopi anterior
Merupakan suatu proses untuk melihat cavum nasi melalui vestibulum nasi. Alat
yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan larutan xylocain
efedrin jika diperlukan untuk melebarkan cavum nasi.14
Pada pemeriksaan biasanya ditemukan massa polipoid unilateral yang
mengisi kavum nasi dan menyebabkan obstruksi. Secara makroskopis
inverted papilloma terlihat ireguler dan rapuh, jika disentuh mudah berdarah.
Warna papiloma merah keabu-abuan dan mengisi kavum nasi, meluas ke
vestibulum juga ke nasofaring. Septum sering terdesak kearah sisi
kontralateral. Proptosis dan pembengkakan muka kadang timbul sekunder
akibat ekspansi lesi tumor.11
Konka media dan dinding medial sinus maksila merupakan tempat asal
tumbuhnya inverted papilloma tersering. Pada kasus-kasus jarang tumor ini
dapat terisolasi di sinus spenoid. Keterlibatan sinus-sinus paranasal dapat
meningkatkan angka rekurensi.11
c. Rhinoskopi posterior
Untuk melihat nasofaring dan bagian belakang kavum nasi dengan kaca
nasofaring lewat orofaring. Diperlukan lampu kepala, lampu spiritus, spatula
lidah dan kaca nasofaring, kadang diperlukan juga spray xylocain untuk
penderita yang amat sensitif. Yang penting diperhatikan sehubungan dengan
sinusitis adalah adanya sekret pada meatus media, adanya edema dan hiperemi
dari konka media dan inferior serta adanya polip pada koane.13
12
II.8.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk mengetahui keadaan tumor, kerusakan
terhadap jaringan sekitarnya yang akan menentukan tindakan yang akan dilakukan
serta evaluasi. Pada pemeriksaan foto polos tampak bayangan radioopak di sinus
paranasal dan destruksi tulang pada sebagian besar kasus.
- Pemeriksaan tomografi computer (CT Scan) lebih bermanfaat, karena dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan tumor, perluasan ke
jaringan sekitarnya, destruksi tulang atau perluasan ke intracranial. Pada
keganasan dapat terlihat gambaran obliterasi, infiltrasi ke struktur sekitarnya.
Pemeriksaan itu juga dapat mendeteksi adanya pembesaran kelenjar limfe leher.
13
b. Pemeriksaan Biopsi
Hasil pemeriksaan biopsi merupakan diagnosis pasti serta menentukan derajat
keganasan. Selain itu untuk menentukan terapi selanjutnya serta meramalkan
prognosis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum operasi dan ketika operasi
berlangsung, biopsi dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi perdarahan.1
II.10 Penatalaksanaan
Terdapat berbagai macam penatalaksanaan pada lesi tumor jinak, mulai dari
terapi medikmentosa, radioterapi dan terapi pembedahan. Namun para klinisi setuju
pilihan terapi pada inverted papilloma adalah dengan pembedahan, tetapi sampai saat
ini belum didapatkan sebuah konsensus untuk menentukan jenis dan sejauh mana
intervensi operasi yang terbaik.4
Terdapat tiga tujuan operasi inverted papilloma, yaitu dapat membuka dengan
cukup sehingga dapat mereseksi tumor keseluruhan, operasi menghasilkan lapangan
pandang yang baik sehingga memudahkan pengawasan pada kavitas pasca operasi
dan meminimalisir deformitas kosmetik dan ketidakmampuan fungsional.4
14
Luasnya jaringan yang terlibat, sifatnya yang lokal agresif dan eksisi yang
tidak lengkap berhubungan dengan tingginya tingkat rekurensi, oleh karena itu
reseksi en bloc dengan rinotomi lateral atau degloving menjadi pendekatan standar. 4
Namun, pembedahan dikontraindikasikan pada kasus-kasus yang telah bermetastasis
jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah mengenai kedua
orbita.5
15
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Inverted papilloma adalah tumor jinak primer dari hidung dan sinus paranasal
yang berasal dari pseudostratified ciliated columnar epithelium regio sinonasal,
umumnya dinding lateral rongga hidung kebanyakan pada meatus media, jarang dari
septum nasi ataupun sinus paranasal.
16
rinorhea dan perdarahan hidung. Kemudian gejala proptosis dan epipora pada kondisi
yang lebih lanjut melibatkan orbita dan duktus lakrimalis.
Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti
radiasi dan kemoterapi sebagai adjuvant sampai saat ini masih merupakan pengobatan
utama untuk tumor pada hidung dan sinus paranasal. Luasnya jaringan yang terlibat,
sifatnya yang lokal agresif dan eksisi yang tidak lengkap berhubungan dengan
tingginya tingkat rekurensi, oleh karena itu reseksi en bloc dengan rinotomi lateral
atau degloving menjadi pendekatan standar.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Carrau LR, Zimmer AL, Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinuses, Bailey
JB, Head and Neck Surgery – Otolaryngology, fourth edition, lippincot – raven,
New York, 2006.
2. Lalwani AK, Paranasal Sinus Neoplasms, in Current Diagnosis and Treatment
Otolaryngology Head and Neck Surgery, second edition, Mac Graw-Hill, 2007.
3. Panje W.R, Allegretti J.P, Schaefer S. Management of Inverting Papilloma. In:
Pensak M, editor. Controversies in otolaryngology. New York: Thieme ; 2001.
4. Francis B. Quinn, Jr, Judul : ‘Inverted Papilloma’, available in :
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/inverted_papil.htm.
5. Hafil, A., Cahyono, A., & Armiyanto., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
6. Ballenger JJ, Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal,
dalam : Ballenger JJ, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher,
Jilid I, edisi 13, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1994,
7. Dhingra PL. Disease of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Disease of Ear, Nose
and Throat. Fourth Edition. Elsevier. India. 2007
8. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th edition. Jakarta: EGC, 2014.
9. Paulsen F., & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Edisi 23.
Jakarta : Penerbit EGC.
10. Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi Difiore: Dengan Korelasi Fungsional
Ed. 11. Jakarta: EGC.
11. Kraft M, Simmen D, Casa R. Significans of human papilloma virus in sinonasal
papilloma. laryngol Otol 2001; 115: 709-14.
12. Cardesa A, Alos L, Franchi A. Benign epithelial neoplasma. In : Cardesa A,
slootweg PJ, editor. Pathology of the head and neck. , Berlin: Springer; 2006.
13. Prof. Dr. dr. H. Soediyono Sp. THT, Tehnik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
Tenggorok, EGC, Jakarta, 2000.
14. Llorente JL, deleyiannis F. Minimally invasive treatment of the nasal inverted
papilloma. American journal of rhinology. 2003; 17: 335-4.
18
15. Sautter BN et al, Comparison of open versus andoscopic resection of inverted
papilloma, in : American Journal of Rhinology, Vol. 21, 3 2007.
19