Anda di halaman 1dari 11

Gb.

3 Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis


20
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat
alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor
risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi
terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
4
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa
tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan
tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat
penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya
menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama
adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta
adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
4
21
Zat-zat yang sering menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis dapat dibagi atas:
a. Mediator IgE
Protein ( kelapa, ikan, kerang-kerangan, telur )
Antiserum ( tetanus,dan antitoksin dipteri )
Hormon, enzim ( insulin, vasopressin, paratohormone ,ACTH dan TSH )
Enzim (Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase)
Bisa binatang atau Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api
Ekstrak alergen
Vaksin (Antilimsofitik Gamma Globulin)
Bahan-bahan tumbuhan (Alang-alang, rumput, pohon)

Bahan-bahan bukan tumbuhan (Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba laboratorium
Makanan (Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul)
Polisakarida
Dekstran dan ferum dekstran
b. Mediator komplemen
Reaksi transfusi dengan defisiensi IgA dan metrotreksat
c. Mediator arakidonat
Aspirin dan NSAID
d. Yang dibebaskan sel mast secara langsung
Opiad, tubokurarin, radiokontras dan hidralasin serta olah raga
e. Golongan protamin dan antibiotika
Golongan Penisilin, amfotericin B, nitrofurantoin, golongan kuinolon
f. Anastesi lokal
Prokain, lidokain
g. Relaksan otot
Suxamethonium, gallamine, pancuronium
h. Vitamin
Thiamin, asam folat
i. Agen untuk diagnostik
Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
j. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan
Etilen oksida
k. Idiopatik
Melphalan, prokarbazin, klorambusil, hidrokiurea, 5-fluorourasil, busulfan dan mitomisin.

Secara patofisiologis yang memegang peranan penting dalam shock anafilaktik adalah antigen,
sel-T, sel plasma dan produksi IgE, resting sel-B, prostaglandin, leukotrin, dan asam arakidonat.

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (immediate type
reaction) oleh Coomb dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen.
Anafilaksis diperantarai melalui ikatan antigen kepada antibodi IgE pada sel mast jaringan ikat di
seluruh tubuh individu dengan predisposisi genetik, yang menyebabkan terjadinya pelepasan
mediator inflamasi.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:


1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa,
saluran nafas atau saluran pencernaan yang ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T yang akan mensekresikan sitokin (IL-4,
IL-3) yang menginduksi limfosit B berfloriferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Plasmosit akan
memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat padareseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan Basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama dan
sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas selmast.
Sensitisasi yang diikuti oleh reaksi dapat merupakan reaksi sendiri atau kombinasi dengan
hapten, sintesis IgE atau dapat pula terikat pada permukaan sel mast atau bisofil. Pada re-exposure
antigen terikat IgE, dipermukaan sel dapat terjadi degranulasi sel mast sehingga dibebaskan
histamin, slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A), eosinophilic chemotactic factor
anaphylaxis (ECF-A).
Tekanan arteri ditentukan oleh sfingter arteriol. Bila sfingter ini berelaksasi secara sistemik
maka terjadilah shock distributif. Ada empat hal yang menyebabkan relaksasi dari sfingter ini yakni
karena faktor neural, adanya mediator dalam sirkulasi, defek pada autoregulasi dan karena mediator
lokal.
Secara neural, reseptor stimulasi adrenergik alfa menyebabkan vasokontriksi akan tetapi
stimulasi adrenergik beta vasodilatasi. Adanya zat mediator di dalam sirkulasi seperti katekolamin,
angoitensin dan mediator inflamasi menyebabkan tonus vaskuler sistemik menurun. Sementara
hormon glukokortikoid menambah sensitivitas terhadap katekolamin. Autoregulasi terutama
terdapat sebagai mekanisme pembuluh darah ginjal dan otak untuk mempertahankan pengaliran
darah ke kedua organ ini bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Mediator lokal mungkin
sebagai pertahanan terakhir pembuluh darah. Zat-zat seperti kalium, hidrogen, adenosin, karbon
dioksida dan asam laktat yang dihasilkan oleh sel dapat menyebabkan vasodilatasi. Bila terjadi
pengurangan resistensi vaskuler secara sistemik ( SVR ) menyebabkan tekanan darah meningkat.
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE diikat oleh sel
mast dan basofil melalui reseptor Fc. Sel mast banyak ditemukan pada jaringan ikat di bawah

permukaan epitel, termasuk pada jaringan submukosa traktus gastrointestinal, traktus respiratorius,
dan pada lapisan dermis kulit. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka
antigen tesebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan
antigen IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator antara lain histamin,
leukotrien, dan prostaglandin. Respon fisiologis terhadap mediator tersebut antara lain spasme otot
polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vaskular, dan stimulasi ujung saraf sensorik. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala klasik
anafilaksis seperti flushing (kemerahan), urtikaria, pruritus, spasme otot bronkus, dan kram pada
abdomen dengan nausea, vomitus, dan diare. Hipotensi dan syok dapat tejadi sebagai akibat dari
kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas
vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10
menit.
Histamin memperantarai efek tersebut di atas melalui aktivasi resptor histamin 1 (H1) dan
histamin 2 (H2). Vasodilatasi diperantarai oleh baik reseptor H1 maupun H2. reseptor H2
membeikan efek langsung pada otot polos sementara reseptor H1 menstimulasi sel endotel untuk
memproduki NO. Efek pada jantung sebagian besar diperantarai oleh reseptor H2. Resptor H1
secara primer bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos extravaskular (misalnya otot bronkus
dan otot gasrointestinal).
Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah pemaparan alergen;
keterlambatan yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim,
penyuntikan alegen dapat segera menyebabkan keatian atau reaksi subletal dan umumnya reaksireaksi yang paling berat terjadi paling cepat.
Para peneliti secara khusus membedakan anafilaksis dengan reaksi anafilaktoid. Dimana
keduanya memiliki gejala, penatalaksanaan, dan resiko kematian yang sama, tetapi pada anafilaksis
degranulasi sel mast atau basofil selalu diperantarai oleh IgE, sedangkan pada reaksi anafilaktoid
degranulasi sel mast atau basofil tidak diperantarai oleh IgE.

Klinis
Reaksi hipersensitivitas secara klasik dapat menimbulkan tiga bentuk yakni:
1. Reaksi anafilaksis, dimana reaksi terjadi beberapa detik atau beberapa menit baik lokal maupun
sistemik sesudah antigen memasuki tubuh. Bentuk reaksi antigen-antibody ini dapat terjadi
begitu antigen memasuki tubuh atau dapat pula terjadi sesudah 30 menit dan dapat pula terjadi
terlambat sesudah terjadinya re-exposure antigen (sesudah masuk antigen kedu kalinya). Bentuk
reaksi dapat ringan dalam bentuk urtikaria tetapi dapat pula berat dalam bentuk respirasi distres
atau shock.
2. Reaksi artus, yang reaksinya dalam bentuk lokal dapat dalam bentuk nekrosis sesudah masuknya
antigen.
3. Serum sickness, yang merupakan reaksi sistemik dengan manifestasi lokal berupa urtikaria,

demam, artritis, edema dan nefritis.


Secara klinis dapat terjadi delapan gejala, yakni:
1. Gejala permulaan
Berupa sakit kepala, gatal-gatal dan rasa panas.
2. Gejala kulit
Dapat dibagi atas eritematosa, urtikaria yang umum, angiodema, konjungtival, Pallor dan
sianosis.
3. Gejala respirasi
Dapat berupa bronkospasme, rinitis, edema paru, dan batuk. Pernafasan memendek, obstruksi,
tercekik karena adema epiglotis, stridor, serak, hilangnya suara, wheezing dan obstruksi
komplit.
4. Gejala kardiovaskuler
Hipotensi, diaforesis, kabur, sinkope, pada jantung terjadi aritmia dan hipoksia.
5. Gejala gastrointestinal
Mual, muntah, keram abdomen, diare dan disfagia.
6. Gejala susunan saraf pusat
Parastesi, konvulsi, dan koma.
7. Gejala pada darah
Pembekuan yang tidak sempurna.
8. Gejala pada sendi
Dapat berupa artralgia.

Terapi
Yang terpenting adalah prevensi dari setiap pencetus, resusitasi kardiopulmoner, penggantian
cairan dan membebaskan mediator. Dalam keadaan akut diberikan epinefrin, torniket, infus
intravena, cairan antihistamin, intubasi dan trakeostomi; dan pasien harus dirawat di ICU.
Pada prinsipnya terapi dibagi atas :

a. Usaha preventif
b. Usaha pengatasan anafilaksis
Usaha preventif
Hindari faktor alergen seperti makanan. Alergi terhadap makanan 8% pada anak-anak, dan 1-2%
pada dewasa, yakni antara lain terhadap kacang, telur, susu dan ikan. Selain itu beberapa hal
yang dapat memungkinkan terjadinya anafilaksis adalah suntikan penisilin anestesi lokal,
rontgen radio-kontras, latek, idiopatik, angiotensin konverting inhibitor dan sebab lain.
Preparat yang paling sering di rumah sakit mengakibatkan shock anafilaktik adalah beta-laktam
terutama penisilin G. Tetapi antara 5-16,5% pasien yang alergi terhadap penisilin mengalami
alergi pula terhadap sefalosporin. Tes kulit tidak memberikan jaminan karena yang alergi
terhadap penisilin hanya 15-40% yang positif terhadap tes kulit. Pada bisa ular dapat dilakukan
tes desensitasi bila tes alergi positif.
Untuk menghindari reaksi anafilaksis dapat dilakukan dua hal, yaitu mengadakan tes kulit dan
desensitasi, disamping mencari hubungan kausa alergi.
Karena angka mortalitas tinggi maka yang terpenting adalah prevensi. Untuk prevensi dapat
dilakukan :
1. Tes kulit dapat berguna untuk antibiotik beta-laktam, bisa ular, anatesi lokal, insulin,
kimopapin, dan berbagai bahan makanan. Karena reaksi anafilaksis dapat terjadi sekalipun hanya
dengan tes kulit maka harus di bawah pengawasan yang ketat.
2. Riwayat penyakit dan riwayat reaksi terhadap IgE dari pemberian antigen. Dalam riwayat
penyakit ini harus harus dicurigai pula terdapatnya cross sensitif terhadap obat yang lain.
3. Riwayat terdapatnya penggunaan beta-blocker dapat menyebabkan resiko terhadap anafilaksis
lebih tinggi dan refraktor terhadap pengobatan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar histamin yang tinggi, rendahnya serum
komplemen dan berkurangnya kadar kinogen yang mempunyai berat molekul yang tinggi.

Usaha pengatasan
Usaha pengatasan anafilaksis sama dengan shock lainnya, yaitu(2,3,6-9,11,12,14) :
1. Lindungi jalan nafas (airway=A), pernafasan (breathing=B) dan sirkulasi (circulation=C).
2. Gunakan epinefrin yang merupakan drug of choice. Injeksi 0,5 cc epinefrin/1000 segera
mungkin yang dapat diberikan SC, IM atau IV 0,3-0,5 cc (0,3-0,5 mg dalam pengencer 1:1000).

Pemberian epinefrin ini dapat dilanjutkan (1:1000) 0,2-0,5 subkutan atau intramuskuler sampai
dengan 3 dosis dengan interval 1-5 menit. Atau dapat pula diberikan 0.5-1 mg intramuskuler atau
0,5 mg yang diencerkan, diberikan dalam waktu 5 menit yang diikuti dengan infus terutama bila
terjadi hipotensi.
3. Ulangi injeksi epinefrin bila perlu setiap 10-20 menit, disamping itu kalau tempat injeksi dapat
dialokasir dapat diberikan secara subkutan dosis yang sama 0,1-0,2 mg pada tempat injeksi.
Secara umum diberikan (a) difenhidramin 1,25 mg/kg maksimum 50 mg IV atau IM, (b)
hidrokortison 200 mg atau metilprednisolon 50 mg IV setiap 6 jam selam 24-48 jam, dan (c)
simetidin 300 mg IV sesudah 3-5 menit.
4. Bila terjadi hipotensi harus diberikan (a) epinefrin (1:1000) 1 ml dalam 500 ml NaCI 0,9%
0,5-2,0 ml/min atau 1-4 g/min, via vena sentral, (b) NaCI 0,9 %, Ringer laktat atau larutan
osmotik koloid, (c) levarterenol bitartrat 4 mg dalam 100 cc dalam dektrosa 5% dengan dosis 212 g/min IV, (d) glukagon, jika pasien menerima terapi -blocker, 1 mg/ml IV bolus atau
infus 1 mg/liter dektrose 5% dengan kecepatan 5-15 ml/min.
5. Bila shock akibat injeksi di tangan terutama karena vaksinasi, pasang torniket pada daerah
yang proksimal dan berikan epinefrin 0,1-0,3 cc pada tempat injeksi.
6. Bila terjadi adema laring, berikan epinefrin intravena (IV) dan bronkospasme. Dapat pula
berikan 1 cc (0,1 mg) epinefrin dalam larutan 10 cc NaCI 0,9% intravena secara perlahan-lahan
lebih dari 5 menit. Dosis ini dapat diulangi sekali atau dua kali tiap 10 menit. Pertimbangkan
pula pemberian infus dengan dosis permulaan 0,5-10 g/menit bila terjadi hipotensi. Untuk
obstruksi laring dilakukan pula intubasi endotrakeal, krikotiroidotomi, trakeostomi, oksigen dan
ventilasi mekanis.
7. Bila terjadi bronkokontriksi, berikan (a) suplemental oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10
liter /menit bila tidak bia persiapkandari mulut kemulut (b) aminofilin, bila pasien tidak dalam
shock, berikan 5 mg/kg sampai 500 mg IV lebih dari 20 menit kemudian 0,3-0,8 mg/kg/jam IV,
(c) metaproterenol (5%) 0,3 ml dalam 2,5 ml NaCI atau albuteral (0,5%) 0,5 ml dalam 0,2 ml
epinefrin secara nebulizer, dan (d) isoproterenol jika pasien refrakter terhadap semua obat
dengan dosis 0,0375 g/kg/min IV ditambah secara pelan 0,225 g/kg/min.
8. Untuk pasien-pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, tiroid dan
arteriosklerosis serebral dapat diberikan setengah dosis dan harus dievaluasi kemungkinan
terjadinya hipertensi.
9. Pertimbangkan intubasi atau krikotiroidotomi dan berikan oksigen yang tinggi.
10. Harus dihentikan pemberian antigen yang menyebabkan anafilaksis.
11. Pemberian antihistamin dapat menghambat efek mediator dan merupakan pilihan sesudah
epinefrin dan harus dikombinasi antara H1-blocking antihistamin (difenidramin ) 50 mg IV

( kerana H1 saja dapat merugikan reaksi anafilaksis ) dan H2-blocking antihistamin ( simetidin )
300 mg IV tiap 6 jam dan ranitidin 50 mg IV tiap 6-8 jam.
12. Pengatasan hipotensi dapat menurut skema shock 1 liter kristaloid ( NaCI atau Ringer laktat )
tiap 20-30 menit. Di samping itu pertimbangkan pula pemberian kortikosteroid, metilprednisolon
125 mg atau hidrokortison 250 mg IV dan dapat diulangi tiap 6-8 jam.
13. Pada pasien dengan keluhan anafilaksis yang ringan harus diobservasi selama 3-8 jam dan
diberikan difendramin 25-50 mg oral dalam masa 6-8 jam sampai beberapa hari.
Gambar 2. Alogaritma penanganan syok anapilaksis10
Monitoring (2,3,6-9,11,12,14)
Observasi ketat selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi
membaik
Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
Darah : Gas darah
EKG

Prognosis
Anaphylaxis may occur following re-exposure to the inciting agent. Rates of recurrence vary
with the nature of the inciting agent and host factors. Other than the possibility of recurrence or
the occurrence of complications, anaphylaxis carries no long-term effects. 2,3,6-9,11,12,14
Kematian Pada Syok Anafilaktik
Kematian pada syok anafilaktik kebanyakan disebabkan oleh kolapsnya jantung dan edema
laring oleh obat-obatan, makanan, dan gigitan serangga. Gejala yang timbul pada serangan
anafilaksis antara lain pusing, gatal pada kulit, urtikaria, sesak nafas, wheezing, kesulitan dan
kegagalan pernafasan. Pada kematian karena anafilaksis, munculnya gejala biasanya berlangsung
pada 15-20 menit pertama. Saat pasien meninggal sangat dibutuhkan dokumen (medical record)
yang baik tentang perkembangan penyakit pasien mulai dari gejala terjadinya reaksi anafilaksis
sampai pasien meninggal. Kematian biasanya terjadi dalam waktu 1-2 jam. Beberapa serangga
seperti salah satu jenis semut, bisa yang dihasilkan sangat toksik dan kematian terjadi tanpa
berlangsungnya reaksi anafilaktik jika gigitannya banyak. (16)
Reaksi anafilaksis yang fatal menyababkan terjadinya acute respiratory distress atau circulatory
collapse. Obstruksi pada saluran pernafasan bagian atas dapat disebabkan oleh edema laring dan
pharing. Pada saluran pernafasan bagian bawah disebabkan oleh bronkospasme dengan kontraksi

dari otot-otot pernafasan, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Henti jantung
mungkin disebabkan karena terhentinya pernafasan, Efek langsung oleh mediator kimia pada
syok anafilaksis disebabkan oleh hilangnya cairan intravascular oleh edema dan vasodilatasi.(16)
Dalam satu kepustakaan dituliskan Pumphrey dan Roberts melakukan autopsi pada 56 kasus
kematian syok anafilaksis. Didapatkan 16 kasus disebabkan oleh alergi makanan karena
kesulitan bernafas dengan 13 kasus karena henti nafas. Sebaliknya, syok tanpa kesulitan bernafas
ditemukan pada 9 dari 19 kasus karena sengitan serangga dan 12 dari 21 kasus karena reaksi
iatrogenik.(16)
Pada autopsi, hal-hal yang bisa ditemukan tidak spesifik. Seringkali didapatkan edema laring,
tetapi jarang didapatkan obstruksi komplit dari saluran pernafasan. Pumphrey dan Roberts
melaporkan edema laring dan pharing masing-masing didapatkan 8% dan 49%. Emfisema yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi bisa ditemukan. Kongesti pulmonal dan visceral, edema, dan
perdarahan pulmonal bisa didapatkantetapi tidak spesifik. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Pumphrey dan Roberts, 23dari 56 kematian karena anafilasis tidak ditemukan kelainan kelainan
makroskopik pada autopsi.(16)
Untuk membuat diagnosis adanya reaksi anafilaksis ditentukan adanya riwayat alergi atau ada
yang menyaksikan seseorang meninggal karena sengatan serangga, makanan dan obat-obatan.
Kebanyakan kematian yang berhubungan dengan obat-obatanyaitu penggunaan penicillin atau
agen iodine-containing contrast yang digunakan untuk tujuan diagnosis. Petunjuk penggunaan
agen low-osmolar pada radiologi dapat mengurangi jumlah reaksi membahayakan yang bisa
timbul karena agen iodinated contrast.(16)
Pada kematian yang disebabkan oleh gigitan serangga, adanya elevasi dari venom-spesifik IgE
antibody dapat dideteksi pada darah postmortem. Elevasi level dari IgE spesifik antibody tidak
selalu mengindikasikan terjadinya reaksi anafilaktik, kecuali jika seseorang memang sensitif
dengan venom (bisa) tersebut. Ditemukannya antibodi dapat menjelaskan terjadinya reaksi
anafilaksis karena gigitan serangga. Tidak semua kematian karena reaksi anafilaksis
menunjukkan adanya antibodi yang spesifik dengan serangga yang menggigitnya. Pada beberapa
kasus, cross-reaction dengan antigen pada serangga lainnya yang bisa menyebabkan kematian
karena alergi masih memungkinkan.(16)
Aspek Etika dan Medikolegal
Reaksi alergi yang bisa timbul tidak sama pada setiap orang, bisa ringan berupa gatal yang hilang
dengan sendirinya, bisa pula berat hingga fatal. Reaksi alergi terhadap obat muncul tanpa diduga.
Seseorang yang tadinya tidak apa-apa minum Antalgin, suatu ketika gatal sekujur tubuhnya
setelah minum antalgin. Jangka waktu munculnyapun bisa cepat bisa lambat, demikian pula berat
ringannya. Seseorang mungkin langsung syok tak sadarkan diri sesaat setelah minum antalgin,
misalnya.(17) Sementara yang lain hanya gatal, beberapa saat kemudian hilang gatalnya. Berikut
beberapa contoh kasus pasien dengan reaksi alergi :

Seorang penderita mendapatkan obat. Beberapa saat kemudian penderita tersebut datang lagi
dengan keluhan gatal setelah minum obat, yang kemungkinan menandakan reaksi alergi. Pada
kasus ini, seorang dokter wajib memberikan catatan tertulis reaksi alergi obat kepada penderita.
Tidak cukup hanya mengatakan bahwa si penderita alergi terhadap obat A. Catatan diberikan
kepada penderita disertai pesan agar menyerahkan catatan alergi tersebut kepada dokter manapun
jika sewaktu-waktu sakit. Selain memberikan catatan riwayat alergi kepada penderita, dokter
tersebut wajib mencatat dalam rekam medik.(17)
Seorang penderita membawa satu tas berisi obat minum, obat suntik dan suntikan kecil,
disertai surat dari dokter ahli agar penderita diinjeksi obat secara berkala selama waktu tertentu
(kasus penderita TBC berulang). Dalam surat disebutkan agar penderita ditest (test kulit) terlebih
dahulu menggunakan pengenceran tertentu. Siapa sangka, ketika test sedang berlangsung (belum
sampai tuntas test kulit), tiba-tiba penderita syok (anafilaktik syok). Tak sadarkan diri, ngorok,
nadi tak teraba, napas megap-megap. Setelah tindakan darurat penanganan anafilaktik syok
sesuai prosedur tetap (protap), penderita dapat diselamatkan. (17)
Seorang pasien berobat ke dokter kemudian padasaat pasien diterapi dengan suntikan pasien
tiba-tiba kolaps akibat obat suntik yang diberikan atau yang biasa disebut anafilaktik syok.
Dalam hal ini dokter perlu melawan reaksi tersebut dengan memberikan penanganan berupa
pemberian kortikosteroid atau kalau perlu pemberian adrenalin. Namun dokter tersebut tidak
memberikan obat tersebut karena alasan obat tersebut tidak ada sehingga pasien tersebut
meninggal dunia. Maka dokter tersebut dapat dipidana karena kealpaan dan kelalaiannya
menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.(18,19)
Adapun aspek medikolegal pasien dengan anafilaktik yaitu: (1,2,18,19)
Keterlambatan menganggap/madiagnosis pasien tersebut mengalami anafilaktik padahal
sudah terjadi sinkop dan hipotensi sehingga tidak diberikan penanganan yang cepat dan tepat.
Tidak menganamnesa penyakit alergi yang diderita pasien sebelumnya sebelum terapi
diberikan (obat, makanan, atopi)
Kelalaian memeberikan resep injeksi epinefrin dan penjelasan kepada pasien tentang
penyimpanan dan penggunaannya.
Kegagalan mendiagnosis penyebab terjadinya anafilaktik
Tidak mencegah terjadinya reaksi obat pada pasien yang diketahui hampir atau sensitif
dengan melakukan tes terlebih dahulu (cross-reacting drug).
Lalai memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan pada pasien
Tidak memberikan penanganan yang tepat (sesuai prosedur penanganan syok anafilaktik)
Tidak bersiaga dengan menyediakan emergency kit bila melakukan injeksi.

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
Anapilakis merupakan reaski sitemik, yang merupakan reaski alergi tipe I yang sering berakibat
fatal. Reaksi Anapilaksis dapat disebabkan oleh beragam macam sebab, diantaranya makanan,
latex, obata-obatan, reaksi sengatan serangga serta masih banyak penyebab lainnya.
Pemberian epineprin dengan segera merupakan penanganan yang sangat penting dalam
penatalaksanaan syok anapilaksis. Dan beberapa penatalaksanaan tambahan diantaranya H1 dan
H2 reseftor agonis, kortikosteroid, dan bronkodilator, hanya saja pemberiannya tidak dapat
menggantikan epineprin. Pasien dengan riwayat reaski anapilaksis harus di berikan edukasi
tentang kondisi, khususnya dengan memperhatikan untuk mencegah faktor yang sudah diketahui
dapat mencetuskan reaksi anapilaksis pada tubuhnya. Serta dianjurkan setiap pasien untuk
memiliki dan diajarkan cara menggunakan epineprin secara auto injeksi (menginjeksi sendiri)
dan melakukan konsultasi kepada orang lain setiap waktu.

Anda mungkin juga menyukai