Anda di halaman 1dari 65

REAKSI ANAFILAKSIS DAN

ANAFILAKTOID
Meilano
Alpian
Rizki D
Arbangi K
Imelda V
Yudi Y
Aziz
 Anafilaksis  hipersensitivitas akut dan sistemik,
ditimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I

 Terjadi dalam beberapa menit sampai 30 menit

 Reaksi serupa yang lebih jarang dapat terjadi


atas dasar imun lainnya atau mekanisme
nonimun  reaksi anafilaktoid atau
pseudoalergi  aktivasi sel mast direk atas
pengaruh aktivasi komplemen.
 Untuk tujuan diagnosis dan pengobatan akut 
anafilaksis tidak perlu dibedakan dari anafilaktoid

 Membedakannya  perlu untuk mengerti mekanisme


efektor yang terlibat dalam patogenesisnya,
mengembangkan cara menurunkan risikonya
yang optimal dan mencegah terjadinya reaksi ulang.
II. Etiologi
II. Faktor resiko

 Faktor risiko  usia, kelamin, rute pajanan dan riwayat


atopi.
 Anafilaksis terjadi sering pada dewasa, lebih sering
pada wanita dan 60% pada usia < 39 tahun
 Penderita alergi telur dapat memberikan reaksi
terhadap vaksin influenza yang mengandung telur
 tidak diberikan vaksin influenza, kecuali dengan
pengawasan di RS.
 Anak dengan alergi telur tidak menunjukkan risiko
lebih tinggi terhadap vaksin MMR; sensitivitas
terhadap vaksin tersebut dipacu oleh gelatin.
III. MEKANISME

A. Reaksi hipersensitivitas Tipe I


 Sel Th2 yang diaktifkan berbagai antigen,
memproduksi sitokin IL-4 merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma dan memproduksi
IgE, selanjutnya diikat oleh FcεR yang diekspresikan
sel mast/basofil.

 Degranulasi sel mast yang diaktifkan  melepas


mediator yang rnengaktifkan berbagai sel efektor
dan terjadinya anafilaksis.
 Pada pajanan ulang dengan antigen spesifik, IgE
baru yang diproduksi akan berikatan silang dengan
antigen tersebut  memacu sel mast dan basofil
melepas berbagai mediator farmakologis aktif (amin
vasoaktif)  kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas vaskular, vasodilatasi, kerusakan
jaringan dan anafilaksis.
B. Penglepasan mediator direk o/ sel mast -
basofil

 Selain melalui jalur IgE (alergi), sel mast


dapat juga dirangsang scr direk (non alergi)
oleh berbagai bahan dan juga melepas
mediator yg sama spt histamin, LT, PG yg
menimbulkan rx serupa  rx anafilaktoid

Selain faktor imun dan nonimun, sebab anafilaksis


kadang tidak dapat ditentukan atau idiopatik 
Anafilaksis idiopatik  diagnosis per eksklusionum.
C. Aktivasi komplemen kompleks Imun-perubahan
metabolisme AA

 Selain mengaktifkan sel mast secara direk, aktivasi


komplemen dan perubahan metabolisme asam
arakidonat  memacu reaksi anafilaktoid.
 Komplemen yang diaktifkan kompleks imun 
melepas C3a dan C5a (anafilatoksin)  memacu
degranulasi sel mast  kontraksi otot polos.
 Kelainan metabolisma AA dpt ditimbulkan
intoleransi asam salisilat  meningkatkan kadar
leukotrin.
D. Aktivasi jalur lain
reaksi anafilaktoid dapat tjd mel berbagai jalur
E. Peran reseptor H1 dan H2
Histamin  mediator terpenting 
efek mel reseptor H, H1-R dan H2-R.
Hipotensi, kemerahan , sakit kepala
dan sekresi mukus >>>  th/
kombinasi antagonis H1 dan H2
F. Peran sitokin

 Sitokin yang diproduksi sel Th2 


menginduksi reaksi alergi.
 1L-4  mengalihkan IgM ke IgE.
 1L-13. IL-5, 1L-6, IL-9  merangsang
sintesis IgE atas pengaruh IL-4
 IFN-y, TGF‑B, 1L-2, IL-8, IL-10 , IL-12 
mencegah sintesis IgE
G. Perbedaan rx anafilaksis dan anafilaktoid

 Reaksi anafilaksis dan anafilaktoid 


penglepasan mediator yang sarna dan
menimbulkan gejala sama.
H. Ringkasan patogenesis anafilaksis-
anafilaktoid

 Disamping IgE, mekanisme imun potensial


lainnya IgG, IgM, trombosit dan sel T,
pergeseran metabolisme eikosanoid ke
pembentukan leukotrin dan aktivasi
komplemen atau sistem koagulasi 
berperan dlm rx anafilaksis-anafilaktoid
IV. Gambaran klinis

 Menurut kekerapannya, gejala klinis 


manifestasi kulit (urtikaria, angioedem,
kemerahan, gatal, sensasi panas), sesak, mengi,
pusing, sinkop dan hipotensi, gangguan
gastrointestinal (nausea, muntah, diare, kram
perut), edem saluran napas atas, sakit kepala,
rinitis, sakit substernal dan pingsan.
 Perjalanan klinis anafilaksis  ditentukan oleh
sistem organ yang terlibat  berdasarkan
respons imun dan lokasi otot polos yang
diserang oleh penglepasan mediator kimiawi.
 Organ utama yang diserang  jantung dan paru
V. Diagnosis

A. Pemeriksaan klinis
 R/ pajanan dengan antigen atau bahan tertentu
 perlu u/ diagnosis dan difokuskan ke bahan
yang diduga merupakan sebab segera sebelum
reaksi terjadi.
 Pertimbangkan R/ asma, peny jantung dan B-
bloker adrenergik  konsisten menimbulkan
anafilaksis.
 Singkirkan penyakit lain yang menyerupai
anafilaksis.
 Bila tersedia, dokumentasi provokasi antigen
anti –
IgE spesifik yang relevan (provokasi, tes kulit

Awitan dan perjalanan reaksi anafilaksis/anafilaktoid


 variabel.
 Tanda dan gejala  terjadi dalam beberapa detik
sampai menit setelah pajanan dengan bahan
penyebab, tetapi dapat timbul sampai 2 jam.
 Respons dapat bifasik, tanda dan gejala terjadi pada
awal, menghilang beberapa jam sebelum respons
timbul kembali.
 Tanda dan gejala dapat menetap beberapa jam
meskipun diberikan pengobatan.
B. Pemeriksaan triptase serum
 Triptase  protease netral yang kadarnya
terkonsentrasi dalam granul sel mast  dilepas 
petanda penting aktivasi sel mast dalam anafilaksis.

 Selama anafilaksis  triptase dilepas ke dalam darah


dan kadarnya berhubungan dengan derajat berat
anafilaksis.
 Triptase p disimpan dalam granul sekretori sel dan bila
dilepas dianggap lebih spesifik dibanding dengan
triptase x, protriptase yang tidak disimpan dalam
granul, tetapi dilepas secara terus menerus.
 Kadamya dalam serum meningkat  satu jam paska
reaksi dan dapat ditemukan sampai 6 jam.
 Kadarnya perlu dibandingkan dengan kadar dasar jika
os sudah tanpa gejala.
C. Pemeriksaan histamin

 Pemeriksaan histamin dalam serum dan urin



menentukan diagnosis anafilaksis.
 Histamin plasma meningkat dalam menit
setelah awal anafilaksis, menurun dalam 30-
60 menit.
 Spesimen urin 24 jam untuk pemeriksaan
N‑metil-histamin  berguna dlm konteks
reaksi akut
D.Memastikan diagnosis anafilakasis
 Algoritme diagnosis pasti  pemicu
anafilaksis adalah mendapatkan kembali
riwayat dan meninjau catatan
medis yang relevan (ambulans, UGD
dan atau perawatan di rurnah sakit) serta
meninjau hasil laboratorium
E. Menentukan pencetus anafilaksis

 Konfirmasi pencetus anafilaksis  R/ episode,


R/ medis lengkap
 IgE terlibat menentukan sensitasi dengan
alergen spesifik melalui tes kulit.
 Kadang dilakukan tes uji dengan makanan
atau obat yang kadang berisiko.
 Anafilaksis idiopatik  ditegakkan per
eksklusionum.
 Perlu pula mengukur triptase serum dan
evaluasi u/ peny autoimun.
E. Diagnosis banding

Reaksi vasopresor  sindrom tersering yang


menyerupai reaksi anafilaksis  pucat, lemas,
keringatan,hipotensi, nausea, rnuntah, bradikardi
(<60 detak/mnt)
 Penting lain  tidak ada gejala kulit (urtikaria,
kemerahan, gatal, angioedem) selama
reaksi vasopresor  kulit pucat dan keringat dingin (-)
VI. Rx anafilaksis-anafilaktoid
pada keadaan khusus

A. Anafilaksis perioperatif

Mengevaluasi anafilaksis di kamar bedah  sulit 


penderita dengan intubasi dan sedasi  sulit
anamnesis dan sering terpajan bahan spt antibiotik,
relaksan otot, opiat, pelemas otot, lateks, ekspander
plasma dan protamin  petanda awal rx klinis tidak
dapat diperoleh.
Tanda pertama  hipotensi a.tau kesulitan ventilasi
(penderita tidak sadar).
 Riwayat reaksi selama prosedur operasi perlu
diperiksa dan dievaluasi sebelum prosedur
dilanjutkan.
 Memilih kelas obat untuk intervensi
selanjutnya  esensial  mengurangi risiko
terulangnya anafilaksis
B. Exercise Induced Anaphylaxis

 Latihan jasmani  memacu anafilaksis (EIA).


 EIA  bentuk alergi fisis yang terjadi setelah
latihan jasmani yang lama  rasa panas,
gatal, urtikaria, angioedem, mual, kram
perut, diare, sesak dan kolaps vaskular.
 Pemberian antihistarnin dan KS 
pencegahan EIA  tidak efektif
C. Anafilaksis idiopatik

 Rx anafilaksis tjd tanpa sebab yg jelas


D. Kasus refrakter o/ penggunaan
penyekat β- adrenergik

 Penderita yang mendapat penyekat β- adrenergik 


intoleran terhadap dosis epinefrin biasa yang digunakan
untuk mengobati reaksi alergi  hendaknya diberikan
1-2 mg glukagon IV  memperbaiki respons β-reseptor
 selanjutnya infus glukagon 1-5 mg /jam bila perlu.
 Epinefrin  bukan merupakan garansi sukses, dan
anafilaksis yg berakhir fatal  dpt terjadi.
 Epinefrin  menginduksi aritmia jantung berat sp
fibrilasi ventrikuler ttu usia lanjut.
 Hipotensi berat  infus cepat kristaloid atau hidroksietil
kanji (starch) sampai 1000 ml
VII. Penanganan rx anafilaksis-
anafilaktoid
 Dibagi  pencegahan dan pengobatan
kejadian akut.
 Pengobatan kejadian akut  mengikuti
ptotokol
A. Pengobatan
 Disesuaikan  derajat berat reaksi dan dengan
individu.
 Diberikan cepat.
 Bila reaksi hanya urtikaria tanpa keterlibatan sistem
kardiovaskular  antihistamin biasanya cukup.
 Pemasangan infus
 Reaksi berlanjut  KS dan epinefrin (0,3 mg IM,
pada anak 0,1mgr/kg BB)
 Sesak (+)  teofilin 0,24-0,48 mg dengan β- 2
adrenergik.
Pada anafilaksis yang disertai syok  terapi syok.
Epinefrin  IV (1 ml ) dilarutkan dalam 10 ml larutan garam
fisiologis  diberikan dengan infus
perlahan (1-3 ml dengan kontrol nadi. bila perlu sampai 10
ml atau lebih) atau subkutan.

Raksi derajat IV (henti jantung)  resusitasi cepat.


 KS  kontroversial.
 KS  perlu waktu 15 menit untuk bekerja,
efeknya tidak sebaik monoterapi antihistamin pada
pengobatan reaksi derajat I dan II.
 Anafilaksis berat  KS dosis tinggi (1 gram
prednison)  mencegah komplikasi lambat.
 Anafilaksis derajat III dan IV  MRS  mencegah
syok yang timbul lambat atau anafilaksis kedua
setelah 6 – 12 jam  komplikasi berbahaya.
 Penderita beresiko utk tes kulit  bila sangat
diperlukan  dilakukan dlm lingkungan darurat
medis
B. Anafilaksis- anafilaktoid yg mengancam
nyawa

 Penilaian risiko anafilaksis pada seseorang 


strategi untuk mencegah kejadian ulang
anafilaksis di masa mendatang penyuluhan.
 Strategi untuk mengurangi risiko  informasi
cara-cara menghindari pemicu spesifik. Bila
mungkin ajarkan penderita dan keluarga
untuk dapat menyuntikkan epinefrin.
Penyuluhan

 Meliputi  identifikasi alergen, strategi


menghindari pencetus reaksi dan mengenal
gejala, berbagai hal yg mengancam jiwa perlu
diawasi dan diketahui apa yg harus dilakukan,
diajarkan cara memberikan suntikan epinefrin
sendiri.
 Anak-anak  perlu keterlibatan orang tua,
petugas kesehatan dan personalia sekolah
 TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai