PENDAHULUAN
Reaksi anafilaktik adalah reaksi alergi yang berat, bersifat akut dan sistemik, serta
dapat mengancam nyawa yang terjadi setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus
(Rengganis, 2014 ; Sampson, 2005). Reaksi anafilaktik bersifat sistemik, yaitu dapat
menimbulkan manifestasi klinis pada beberapa organ secara bersamaan seperti gangguan
respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan
Anafilaksis dipicu oleh suatu alergen atau faktor pencetus. Penelitian yang dilakukan
di Amerika pada tahun 2014 menunjukkan bahwa dari 1059 responden, 334 individu pernah
mengalami reaksi anafilaksis. Penyebab yang paling sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah obat-obatan (34%), makanan (30%), gigitan serangga (20%) (Robert et al, 2014). Dari
hasil studi penelitian, prevalensi reaksi anafilaksis yang disebabkan makanan tampaknya
bervariasi dengan kebiasaaan makan suatu daerah. Di Denmark, dilaporkan 3,2 kasus
anafilaksis per 100 000 penduduk per tahun meningkat 5%. Dalam sebuah survei di Amerika
yang lebih baru, melaporkan kejadian tahunan food induced anafilaksis 7,6 kasus per 100.000
penduduk/tahun dan kejadian anafilaksis makanan-induced meningkat 10,8 per 100 000
orang/tahun. Sedangkan di Indonesia, data mengenai dalam insiden dan prevalensi terjadinya
anafilaktik sangatlah kurang. Penelitian terakhir yang dilakukan di Bali pada tahun 2006,
ditemukan bahwa 4 dari 10.000 pasien meninggal akibat anafilaksis (Sampson, 2005).
1
Gambaran klinis anafilaktik sangat heterogen dan tidak spesifik. Gejala yang timbul
dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai pada gagal gagal napas atau syok
anafilaktik. Salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang potensial mematikan adalah
timbulnya syok anafilaktik berupa hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah sehingga
perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat (Rengganis, 2014). Syok anafilaksis
biasanya timbul mendadak dan tiba-tiba, sehingga penting untuk mengetahui penanganan
awal yang cepat, tepat dan adekuat apabila terjadi suatu reaksi anafilaksis sehingga dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2
Reaksi anafilaktik adalah reaksi alergi yang berat, bersifat akut dan sistemik, serta
dapat mengancam nyawa yang terjadi setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus
(Rengganis, 2014 ; Sampson, 2005). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitive masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan kematian
(Longecker, 2008).
2.2 Epidemiologi
Di negara Italia, melaporkan bahwa alergi makanan bertanggung jawab untuk sekitar
satu setengah dari episode anafilaksis parah di anak-anak dirawat di bagian emergency room.
Demikian pula,survei preschool- Australia Selatan dan anak usia sekolah mengungkapkan
orangtua yang melaporkan tingkat anafilaksis makanan yang meningkat 0,43% per 100
sekolah yang menyumbang lebih dari setengah semua kasus anafilaksis.Insidens anafilaksis
diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3 tiap satu juta penduduk 1.
Sementara di Indonesia khususnya di Bali, angka kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000
total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun
3
2.3 Faktor Resiko dan Kofaktor
adalah: jenis kelamin, faktor usia, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, dan beberapa
kofaktor. Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi. Penyakit
penyerta yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis yang lebih berat adalah: asthma dan
penyakit saluran nafas yang lain, penyakit kardiovaskular, mastositosis (penyakit kelainan
cloning sel mast), rhinitis alergica, exzema, dan penyakit psikiatri. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penicillin, obat anestesi intravena, beta
bloker, ACE inhibitor, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan
lain-lain. Media kontras intravena, tranfusi darah, latihan fisik, infeksi akut, stress emosional
2.4 Etiologi
Reaksi anafilaksis dapat terjadi, baik melalui mekanisme IgE (imunologis), maupun
melalui mekanisme non IgE (non imunologis), atau yang sering disebut sebagai reaksi
anafilaktoid (Rengganis dkk, 2014). Hal-hal yang dapat mencetuskan terjadinya reaksi
4
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Aktivasi komplemen
Faktor fisik
a. Olahraga
2.5 Patofisiologi
5
Anafilaksis dan reaksi anafilaktoid merupakan hasil dari pelepasan berbagai mediator
dari sel mast dan basofil. Mediator ini terdiri atas berbagai substansi yang tersimpan di dalam
granula dari sel mast dan basofil, seperti: histamine, tryptase, heparin, chymase dan sitokin,
juga molekul yang disintesis dari metabolisme asam arakidonat, seperti: prostaglandin dan
Banyak tanda-tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamin dengan
bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam memproduksi sakit
Mekanisme terjadinya anafilaksis dapat dilihat pada Gambar 1.1. Mekanisme tersebut
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag
spesifik untuk antigen tersebut.IgE ini kemudian terikat pada reseptor FcεRI pada
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit
dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
6
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ-organ
(Kemp, 2002).
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
7
pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita.
8
Pelepasan mediator dari sel mast dan basofil akan menimbulkan gejala dan tanda
yang bervariasi pada beberapa organ, antara lain: mukokutaneus, respirasi, kardiovaskular,
Tabel 1. Tanda dan gejala anafilaksis berdasarkan organ sasaran (Rengganis dkk, 2014)
Sistem Gejala dan Tanda
Umum Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan
Prodromal palatum.
Pernapasan
Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.
Lidah Edema
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG:
Kardiovaskuler
gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus
Gastrointestinal
meninggi.
Reaksi anafilaksis hamper selalu melibatkan manifestasi kulit dan membrane mukus.
Lebih dari 90% pasien memiliki manifestasi dari kombinasi urtikaria, eritema, pruritus, atau
angioedema. Pada penelitian yang dilakukan Memphys, 87% pasien memiliki manifestasi
Reaksi sistemik yang terjadi dapat dibagi menjadi 3 derajat, yaitu ringan sedang dan
9
1. Reaksi sistemik ringan
• Rasa gatal, hangat sering disertai rasa penuh di mulut dan tenggorokan
• Kulit gatal
• Serupa reaksi sistemik ringan disertai spasme bronkus &/atau edema saluran
napas
• Spasme bronkus, edema laring, serak, stridor, sesak, sianosis, henti napas
• Kejang
• Terjadi mendadak
2.7 Diagnosis
muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor
10
pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada
gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenali tanda-tanda secara
dini sangat dibutuhkan agar pengobatan dapat segera diberikan (Rengganis dkk, 2014).
Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang berat seperi syok anafilaktik atau gagal napas
dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal. Kumpulan gejala tersebut dapat dilihat pada
tabel 1.
Gejala-gejala tersebut dapat timbul pada satu organ saja, tetapi dapat pula muncul
gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Seringkali gejala yang
muncul melibatkan 2 atau lebih sistem organ: mukokutaneus, saluran pernafasan bagian atas
dan bawah, saluran cerna, sistem kardiovaskular, dan sistem syaraf pusat. Manifestasi pada
kulit terjadi 80-90% pada semua pasien (Simons, 2011). Kombinasi gejala yang sering
dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai dengan gangguan pernapasan baik
karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria
dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat sampai terjadi penurunan kesadaran
(Rengganis dkk, 2014). Pada beberapa keaadan, anafilaksis dapat didiagnosa hanya dengan
keterlibatan 1 sistem organ saja, seperti pada: setelah sengatan serangga, gejala
kardiovaskular yang tiba-tiba mungkin hanyalah satu-satunya gejala yang timbul, dan setelah
imunoterapi allergen, gejala urtikaria mungkin menjadi satu-satunya manifestasi yang timbul
(Simons, 2011). Setiap manifestasi sistem kardiovaskular, respirasi atau kulit juga bisa
disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang berdarah, kejang uterus, atau perdarahan
membuat tiga kriteria klinis seperti yang terlihat pada gambar 2.1 (Simons, 2011).
11
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,
uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala
yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-
anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih
dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
12
Gambar 2.1 Kriteria Klinis untuk Diagnosis Anafilaksis (Simons, 2011)
13
2.8 Diagnosis banding
Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi vasovagal,
infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema herediter
(Rengganis dkk, 2014). Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan.
Pasien tampak mau pingsan, pucat dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafi laksis,
pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya
turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis.
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tatda-tanda obstruksi
saluran napas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan
Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-
kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan
kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis
Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau
vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik.
14
. Sindrom angioedema neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang
menyerupai anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran napas bagian atas
dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps vaskular.
Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai penurunan kadar inhibitor
adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi tidak
serotinin darah meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi indol asam asetat dalam urin
meninggi.
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari alergen penyebab maupun
pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan. Dalam hal ini
anamnesis yang teliti merupakat cara yang paling penting. Dengan demikian diagnosis
anafilaksis terutama berdasarkan reaksi anafilaksis yang timbul segera setelah terpajan oleh
alergen atau faktor pencetus serangan dan menimbulkan gejala klinik pada organ-organ
sasaran seperti yang telah disebutkan tadi. Akan halnya pemeriksaan penunjang seperti uji
kulit hanya bermanfaat bila mekanisme anafi laksis tersebut melalui IgE (imunoglobulin E)
dan obat-obat yang dapat diuji pun terbatas pada penisilin. Hormon dan enzim sangat jarang
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit setelah terpajan
oleh alergen, tetapi adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Obsevasi yang dilakukan
oleh Stark dkk menyatakan bahwa bentuk anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita
temukan, bifasik yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk
15
anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang
2.9 Tatalaksana
Penanganan yang segera saat ditemukan anafilaksis sangat penting, karena kematian
akibat anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan menit hingga jam setelah gejala pertama
2.9.1 Medikamentosa
2.9.1.1Epinefrin
agen α1-adrenergic memiliki efek vasokonstriksi yang kuat di banyak organ di tubuh dan
berperan sebagai bronkodilator disaat yang bersamaan sehingga mengatasi obstruksi laring
dan edema di mukosa. Efek farmakologi dari epinefrin termasuk peningkatan yang cepat dari
Gejala ringan seperti pruritus dan urtika dapat dikontrol menggunakan epinefrin
1:1000 (1mg/mL) sebanyak 0,3-0,5 mL yang diberikan secara subkutan atau intramuskular,
dan bisa diulang dengan interval 5-20 menit pada keadaan yang berat (Boyce et al., 2015).
Bila pencetusnya adalah allergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan
serangga, segera diberikan suntikan ilfiltrasi epinefrin 1:1000 sebanyak 0,1-0,3 mL di bekas
tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi allergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket
proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan tiap 10 menit (Rengganis dkk, 2014).
Infus epinefrin dapat pula diberikan dengan cara 2,5 mL epinefrin dilarutkan
1:10.000 pada interval 5-10 menit dengan diberikan juga normal saline untuk menggantikan
16
cairan intravaskular yang hilang akibat postcapillary venular leakage. Hal ini disebabkan
venular (Boyce et al., 2015). Dosis awalan untuk epinefrin yang direkomendasikan adalah
0,01 mg/kg hingga maksimal 0,5 mg pada orang dewasa dan 0,3 mg pada anak-anak (Ring et
al., 2010).
2.9.1.2 Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan
berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone, tetapi lebih disukai
Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6 jam (Rengganis dkk, 2014). Pemberian
2.9.1.3 Antihistamin
secara sinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada anafilaksis berat,
(300mg) atau ranitidine (150mg) harus diencerkan dengan 20 mL NaCl 0,9% dan diberikan
atau intravena, dan aminofilin 0,25-0,5g intravena dapat diberikan sebagai terapi urtika-
17
2.9.2 Sistem Organ yang Terlibat
Selanjutnya saat terjadi reaksi anafilaksis, terdapat dua hal penting yang harus
lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik, 2) Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi
baik sehingga perfusi jaringan memadai. Prioritas ini berdasarkan bahwa kematian pada
anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis
- Memelihara saluran napas yang memadai sudah bisa diatasi dengan epinefrin pada
edema laring. Bila saluran napas tertutup sama sekali, hanya tersedia waktu 3 menit
untuk bertindak. Tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan
pungsi membrane krikotiroid dengan jarum besar, kemudian pasien segera dirujuk ke
rumah sakit.
- Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti
pada gejala asma atau status asmatikus. Dapat diberikan larutan salbutamol atau
agonis beta-2 lain 0,25-0,5cc dalam 2-4mL NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi
atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20cc dekstrosa 5% atau NaCl
- Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan epinefrin menandakan telah
18
dengan kristaloid atau koloid. Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L
menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dipakai sebagai akses pemberian obat.
- Bila tekanan darah masih belum teratasi, diberikan vasopressor melalui cairan infus
- Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat,
epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa
endotrakeal (dosis anak 5ml epinefrin 1:10.000). Tindakan ini kemudian diikuti
pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat (Rengganis dkk,
2014).
19
20
Gambar 2.2 Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis (Resuscitation Council, 2012)
2.10 Pencegahan
Oleh karena reaksi anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan, berikut ini
21
- Hindari pemakaian intermiten
- Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar agar kejadian tersebut tidak terulang
fasilitas kesehatan yang memadai dan memiliki peralatan untuk stabilisasi ABC. Pasien yang
sudah diberikan terapi dan memberikan respon baik, masih harus diobservasi ketat hingga 24
1. Reaksi berat yang disebabkan dengan onset lambat oleh karena idiopathic
anaphylaxis.
22
5. Pasien yang tidak berespon terhadap pengobatan
Pasien-pasien yang sudah mendapatkan terapi, baru boleh keluar rumah sakit dengan
1. KIE pada pasien dan keluarga apabila muncul gejala yang sama agar segera kembali
23
III
LAPORAN KASUS
Identitas pribadi
Nama : Ny. S
Umur : 26 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pasien datang ke IGD RS. Muhammadiyah Jombang mengeluh gatal- gatal dan ruam merah
diseluruh tubuh yang muncul bersamaan dan rata dalam waktu cepat, 30 menit SMRS,
menurut pasien setelah mandi. Gatal yang dirasakan panas hingga seluruh tubuh , mata
bengkak. Pada siang hari pasien mengaku habis disengat lebah. Pasien juga sempat
mengalami sesak kemudian sudah membaik setelah diberi oksigen saat di IGD. Tidak ada
anggota keluarga yang mengalami hal serupa dengan pasien. Awalnya pasien terlihat sangat
lemas karena suara juga terasa tercekik, dan ada rasa tidak enak di dada dan di perut. Bersin
(-) Demam (-) pingsan (-) kejang (-) BAB BAK dbn .
Riw. Alergi: Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, udara, hewan,
maupun obat.
24
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluarga: (- )
Riwayat sosial:
Pasien seorang ibu rumah tangga, menjalankan aktivitas seharian dirumah, Bersama anak dan
suaminya. Beberapa orang yang tinggal dirumahnya tidak ada yang mengalami hal serupa.
Beberapa jam yang lalu pasien mengaku habis tersengat lebah.
25
Palpasi: Ekspansi dada simetris, D=S
Stem Fremitus N N
N N
N N
Perkusi: Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi: V V Rh - - Wh - -
V V -- --
V V -- --
Rounded, soefl, bising usus (+) normal, liver span 8 cm, Traube’s
Abdomen space tympani, bruit (-), shifting dullness (-c), epigastric
tenderness (-), nyeri tekan suprapubic (-).
D/: Diffused
26
Trombosit 200.000/ul 150.000 – 450.000/ul
Hematokrit 28 % 40.0-47.0
0-4 %/0-1%/50-70%/20-
Hitung jenis -/-/-/74/12/14% 40%/2-8%
2.5 Terapi
O2 NC 3 lpm
IVFD RL
Inj. Metilprednisolon 125 mg
Inj. Diphenhidramin 10mg/ml
Inj. Omeprazole 40 mg
PO: 3x 4 mg
Cetirizine 2 x 10 mg
27
BAB IV
KESIMPULAN
tekanan arteri yang menurun hebat.Reaksi anafilaksis dapat disebabkan oleh mekanisme
imunologis dan non imunologis (reaksi anafilaktoid). Gejala klinis yang timbul dapat
bervariasi pada beberapa organ, antara lain: mukokutaneus, respirasi, kardiovaskular, dan
sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen
penting, karena kematian akibat anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan menit hingga
Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. 2010. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
Boyce, J. A., Austen K. F.. 2015. Allergic, Anaphylaxis, and Systemic Mastocytosis
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Kemp, S., Richard, F., Lockey. 2002. Anaphylaxis: A review of causes and mechanisms.
Journal of Allergy and Clinical Immunology , Volume 110 , Issue 3 , 341 – 348.
Mustafa, SS. 2016. Anaphylaxis (Online ). Medscape Medical News. May 21, 2016.
2016
Rengganis, I., Sundaru, H., Sukmana, N., Mahdi, D.. 2014. Renjatan Anafilaksis dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Jakarta: InternaPublishing. 4130-
4134.
1
Ring, J., Grosber, M., Mohrenschlager, M., Brockow, K.. 2010. Anaphylaxis: Acute
Treatment and Management dalam Chemical Immunology and Allergy. Vol 95.
Sampson, H. A.. 2005. Anaphylaxis and Emergency Treatment dalam Pediatrics. Vol 111
Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J, et al. for the
World Allergy Organization. 2011, World Allergy Organization guidelines for the
Webb LM., Lieberman P. 2006 Jul. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy