Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak lama
setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena
yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah
beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama anjing itu mendadak
mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika seseorang
sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen
tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi
anafikaksis yang dapat berujung pada syok anafikaktik.1,2

Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas


sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka
kematian dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006.2,3

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan


serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak
spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak
mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung,
dan kematian mendadak.4,5

Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat,


tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai
menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan
melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan
suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok
anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat

1
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering
dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya
pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling
kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah
satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan
subtropis.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di ndonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara
subkutan atau intramuskular. !isa adalah suatu zat atau substansi yang ber"ungsi
untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan
diri. !isa tersebut merupakan ludah yang termodi"ikasi, yang dihasilkan oleh
kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modi"ikasi
kelenjar ludah

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SYOK ANAFILAKTIK

2.1.1 DEFENISI

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1,6

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai


oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat
dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama
obstruksi saluran napas.2,5,6

2.1.2. Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka
kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60
menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk
dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia,

3
khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2
kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.2,3

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber


menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan
umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.3,5

2.1.3. Faktor Predisposisi dan Etiologi


Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-
kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.1,4,5

2.1.4. Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe
I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan
mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya
pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.1,4,5,6

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen

4
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.1,4,5,6

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators.1,4,5,6

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari


membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.1,4,5,6

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan


terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.2,6

5
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

Anafilaksis

Pelebaran Pembuluh Darah

Maldistribusi Volume Sirkulasi

Aliran Darah Balik (Venous Return) ↓

Tekanan Darah ↓

Tekanan Perfusi ↓

Hipoksia Jaringan

2.1.5. Manifetasi Klinis


Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam
setelah terpapar dengan alergen.6,7

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga

6
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan
keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok.
Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-
bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.5,6,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. 1,4,5

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang


berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung
bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu
pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah
atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease,
garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri
dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam
hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema,

7
polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal,
urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,


penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah
atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada
suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang
komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas
mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau
edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-
bersin. 4,6

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran


sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan
kandungan elektrolit pada urine.4,6

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis


sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang
kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.4,6

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,


gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.

8
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran
sel.4,6

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik
dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.1,4,5

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen


penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal
(SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain.1,4,5

2.1.7. Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.5,7

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-

9
duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5,7

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-
lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).5,7

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal.5,7

2.1.8. Diagnosis Banding


Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang
tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis
dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi

10
hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,
asma bronkiale, dan rhinitis alergika.1,6

Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.


Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak
terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang
menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.1,6

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau


sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.1,6

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,


nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant
syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut
nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.1,6

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk


berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor
pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada
pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,

11
buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.1,6

2.1.9. Penatalaksanaan
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.1,2,4,5,6,9

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation


dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala
dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu
bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera
lakukan kompresi jantung luar.1,2,4,5,6,9

12
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu
pendek.4,10

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun


sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.4,6,10,11

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak


Usia (tahun) Volume 1/1000 (1 mg/ml) Dosis (μg)

1 0,1 ml 100
2-3 0,2 ml 200
4-7 0,3 ml 300
8-11 0,4 ml 400
> 11 0,5 ml 500

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan


tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama

13
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik) 4,6,10

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-


obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2
seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan
terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai
ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena
50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.4,5,6,10,11

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,


kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg

14
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.4,5,6,11

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin


intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6
mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc
dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl
0,99% diberikan melalui nebulisasi.4,5,6,11

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat


diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin
1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan
dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg
bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%
dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus
dengan dextrosa 5%.4,5,6,11

Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.2,9,12

15
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan
plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.2,9,12

Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal
mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus
dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap
sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit.2,9,12

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis


Riwayat reaksi alergi berat dengan respiratory
compromise atau hipotensi, terutama dengan
perubahan kulit

Identifikasi dan hentikan alergen

Oksigen 100% 8 L/m

Adrenalin / epinephrine (1 : 1000) 0,3 – 0,5 ml IM (0,01 mg/kg BB)


16
Ulangi 5-15 menit jika tidak ada perubahan klinis

Antihistamin 10-20 mg IM atau IV pelan

Terapi tambahan

1. Berikan cairan IV 1-2 L jika tanda-tanda syok tidak ada respon terhadap obat
2. Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
1. Methyl prednisolone 125-250 mg IV
2. Dexamethasone 20 mg IV
3. Hydrocortisone 100-500 mg IV pelan

1. Inhalasi short acting b -2 agonist pada bronkospasme berat

2. Vasopressor

3. Observasi 2 - 3 x 24 jam, untuk kasus ringan cukup 6 jam

4. Berikan kortikosteroid dan antihistamin PO 3 x 24 jam

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.5,6

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

17
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.5,6

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila


pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena
dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.5,6

2.1.10. Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut
dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu
perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk
mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.5

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi


anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.5

18
2.2. GIGITAN ULAR

2.2.1 Penanganan Gigitan Ular


Permasalahan utama penanganan gigitan ular adalah ketidak-tersediaan antivenom
yang spesifik dan pendukung lainnya seperti faktor pembekuan dan krioprecipitat.
Studi oleh Fadare & Afolabi tahun 2012 selama 18 bulan menunjukkan
penanganan gigitan ular di Nigeria masih kurang dan memerlukan antivenom
yang efektif dan aman yang terjangkau untuk memperbaiki hasil akhir pasien.
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai
berikut (Warrell 2010):

• Penanganan bantuan dasar

Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien mencapai


rumah sakit atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh korban gigitan
ular sendiri atau orang lain yang ada dan mampu. Metode bantuan dasar
tradisional, popular, yang tersedia dan terjangkau seringkali tidak bermanfaat atau
bahkan membahayakan. Metode-metode tersebut meliputi: insisi lokal, atau
tusukan pada area gigitan, usaha untuk menghisap bisa dari luka, mengikat erat
tourniquet di sekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan kimiawi atau
topikal, tanaman atau es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha
untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan mencegah
komplikasi sebelum pasien mendapat layanan kesehatan, memantau simptom
awal bisa yang membahayakan, mengatur transportasi pasien ke penyedia
kesehatan, dan diatas semua itu tujuan utama adalah tidak membahayakan/
melukai korban.
Studi oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa untuk
ekstraksi darah dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan darah,
tetapi tidak membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan tidak
menjadi pengobatan efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah gigitan
ular berbisa.

19
• Transportasi ke rumah sakit

Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah sakit, tetapi


dengan sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama pada daerah
gigitan dikurangi hingga seminimal mungkin untuk mencegah peningkatan
absorpsi sistemik bisa. Kontraksi otot dapat meningkatkan penyebaran bisa dari
daerah gigitan. Bila mungkin, pasien ditempatkan pada posisi terlentang, kecuali
kalau muntah.

• Penilaian klinis dan resusitasi segera


Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan oksigen dan
pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti
pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disabilitas sistem saraf,
Exposure dan kontrol lingkungan.

• Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies

Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat
penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,
pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi
neurotoksik (paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus
diperhatikan pada pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular
dibawa untuk diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi
tanpa bukti ular, identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk
luka gigitan, dan sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.

• Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus


gigitan ular berbisa.

20
• Pengobatan antivenom

Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa


ular. Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau
tidaknya memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada
pasien dengan mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom
cukup mahal dan sulit diperoleh dan resiko reaksinya harus turut
dipertimbangkan.
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti
gigitan ular mengalami satu atau lebih tanda berikut (Warrell 2010):

 Envenomasi sistemik

- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati


(20 WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000)
(laboratorium).
- Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal EKG.
- Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/ urea darah
(laboratorium).

- Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine, tanda


lain hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, laboratorium).

- Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.

 Envenomasi lokal

- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa
tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.

21
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau kaki
dalam beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang
tergigit.
Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan (Warrell 2010):
1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat
(tidak lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5-10 mL cairan isotonik per kg
berat badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang
dewasa) dan diinfus dengan kecepatan konstan diatas sekitar 1 jam.
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1
jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis
antivenom dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin).
Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan anak-anak
adalah sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di
Indonesia, antivenom yang tersedia adalah serum antivenom polivalen
(Calloselasma rhodostoma, B fasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh Bio
Farma dengan sediaan ampul 5 mL. Dosis awal antivenom yang disarankan dapat
diberikan berdasarkan spesies ular.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada
Schwartz dan Way (Djunaedi 2009):
• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.

• Derajat II: 3-4 vial antivenom

• Derajat III: 5-15 vial antivenom

• Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom

Tabel 8. Pedoman Terapi Antivenom Ular menurut Luck (Djunaedi 2009)

22
Derajat Beratnya Taring Ukuran zona Gejala Jumlah
envenomasi atau edema/ sistemik vial
gigi eritema kulit venom
(cm)

0 Tidak ada + <2 - 0


I
Minimal + 2-15 - 5
II
III Sedang + 15-30 + 10

IV Berat + >30 ++ 15

Berat + <2 +++ 15

Tabel 9. Panduan dosis awal antivenom untuk gigitan ular berbisa di regional Asia Tenggara
(Warrell 2010)

23
24
Pada sebagian proporsi pasien, lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap
pemberian antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5
hari atau lebih). Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian
antivenom, pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea,
muntah, kolik abdomen, diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami
anafilaksis berat (hipotensi, bronkospasme, angioedema).
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan,
gejala meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah;
reaksi ini diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi
antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah
pengobatan, gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria,
atralgia, myalgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks
mononeuritis, proteinuria dengan nefritis imun kompleks, dan jarang,
ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan diobati dengan antihistamin dan
kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
Studi oleh Premawardhena tahun 1999 menunjukkan penggunaan 0,25 mL dari
1:1.000 adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian
antivenom terhadap pasien dengan envenomasi setelah gigitan ular mengurangi
kejadian reaksi efek samping akut pada serum. Studi oleh de Silva et al. tahun
2011 menunjukkan pemberian adrenalin dosis rendah memiliki penurunan resiko
reaksi akut berat terhadap antivenom sedangkan prometazin, dan hidrokortison
tidak memberikan efek yang bermakna.
• Pemantauan respons antivenom

Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom
dapat dipantau adalah:
a. Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri
menyeluruh berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek
plasebo.

25
b. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.

c. Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.

d. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan
aritmia mengalami perbaikan.

e. Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai


perbaikan dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan
beberapa jam. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak
berespons.

f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan
urine kembali menjadi warna normal.
• Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan

Kriteria pemberian antivenom dosis lanjutan adalah:


- Inkoagulabilitas darah menetap atau timbul setelah 6 jam atau perdarahan setelah
1-2 jam.
- Perburukan tanda-tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-2 jam.
Apabila darah tetap inkoagulasi (diukur dengan 20 WBCT) 6 jam setelah dosis
awal antivenom, dosis yang sama diulangi. Pasien dengan perdarahan yang
berkelanjutan dan tanda-tanda perburukan neurotoksik dan kardiovaskular dapat
diberikan dosis antivenom ulangan dalam 1-2 jam.
• Penanganan supportif/ tambahan

Antivenom dapat menetralkan bisa yang bersirkulasi bebas, mencegah progresi


envenomasi dan memberikan kesembuhan, Namun, proses ini memerlukan waktu
dan pasien envenomasi berat memerlukan sistem pendukung kehidupan seperti

26
pengobatan syok, ventilator, dan dialisis ginjal hingga kerusakan berat organ dan
jaringan mendapat waktu untuk penyembuhan.
• Penanganan daerah gigitan

Infeksi bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik berupa antibiotik


spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin
ditambah metronidazol) dan profilaksis tetanus apabila dijumpai bukti adanya
infeksi sekunder bakteri, namun profilaksis antibiotik tidak terbukti bermanfaat.
Daerah gigitan dapat membengkak dan nyeri, dan harus ditempatkan dengan
posisi nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan karena dapat
mengurangi tekanan perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan
meningkatkan resiko iskemia intrakompartemen. Kondisi tungkai yang imobile,
membengkak tegang, dingin, dan tanpa denyut dapat merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakompartemen yang mengakibatkan iskemia jaringan,
yang memerlukan penanganan fasiotomi yang diindikasikan apabila:

- Abnormalitas hemostatik telah dikoreksi (antivenom dengan atau tanpa faktor


pembekuan).
- Bukti klinis adanya sindroma intrakompartemen.
- Tekanan intrakompartemen >40 mmHg (pada dewasa).
Studi oleh Hall tahun 2001 terhadap intervensi bedah pada envenomasi Crotaline
merekomendasikan insisi area gigitan sebagai bantuan dasar, eksisi atau
debridemen area gigitan tidak direkomendasikan, fasiotomi hanya dilakukan pada
kondisi sindrom kompartemen terdokumentasi dengan peningkatan tekanan
kompartemen yang gagal respons terhadap pemberian antivenom adekuat
sebelumnya, serta rehabilitasi awal yang agresif dengan pergerakan pasif dan aktif
pada gigitan di tangan dan jari-jari direkomendasikan.
• Rehabilitasi

• Penanganan komplikasi kronik

27
KESIMPULAN
• Envenomasi gigitan ular memiliki banyak efek potensial, namun hanya beberapa
kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu flasid paralisis,
miolisis sistemik, koagulopati dan perdarahan, kerusakan dan gangguan ginjal,
kardiotoksisitas, kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.

• Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa, ekstensi awal yang
cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan, pembesaran awal kelenjar getah
bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem limfatik simptom sistemik
awal. perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi), dan adanya
urine berwarna coklat-gelap.

• Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah


penanganan bantuan dasar, transportasi ke rumah sakit, penilaian klinis dan
resusitasi segera, penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies, pemeriksaan
laboratorium, pengobatan antivenom, pemantauan respons antivenom,
menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan, penanganan supportif/
tambahan, penanganan daerah gigitan, rehabilitasi, dan penanganan komplikasi
kronik.

28
BAB III

KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E


yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok
anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang
sangat tinggi.

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis,


yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga
dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis
dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan
aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai


dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung
berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan dan sangat membantu menentukan diagnosis, memantau
keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu
syok anafilaktik.

Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan
allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung
paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring
keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena,
observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.

29
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara
cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.

30
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M

Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Agama : Islam

Suku : Batak

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : IRT

Alamat : DSN VI Namo Serit DS Sumbul

No. RM : 262489

Tgl Masuk : 21 Mei 2018

II. ANAMNESA

Keluhan Utama : Sesak Nafas


Telaah : Seorang perempuan datang ke IGD RSUD Deli Serdang
dengan keluhan sesak nafas. Hal ini dialami pasien sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan hilang
timbul. Sesak tidak dipengaruhi aktifvitas dan cuaca. Os
juga mengeluhkan nyeri pada kaki sebelah kanan sejak 1
hari ini. Mual (+) muntah (+) sejak 1 hari ini. Menurut
pengakuan os tergigit ular pada saat bersih-bersih
dibelakang rumah.
RPT : DM (-), Hipertensi (-)

31
RPK : Tidak ada
RPO : Obat alternatif
R. Alergi : Tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present
Kesan Keadaan Sakit : Tampak lemah
Sensorium : Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitatif : GCS 15
Tekanan Darah : 50/lemah sekali
Nadi : 56 x /i
Pernafasan : 29 x/i
o
Temperatur : 37 C
Status Lokalisata
 Kulit
a. Sianosis : +
b. Ikterus : tidak ditemukan
c. Pucat : tidak ditemukan
d. Turgor : kembali cepat ( < 2 detik)
e. Edema : Ekstremitas bawah sebelah kanan
f. Lainnya : tidak ditemukan
 Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

 Kepala : √ Normal Mikrosefali Makrosefali Lainnya:

a. Wajah

 Dismorfik: Ya √ Tidak Lainnya: -


b.Mata

 Palpebra


32
 Edema : Ya Tidak

 Lainnya : -

 Konjungtiva
v
 Pucat : Ya Tidak

 Hyperemis : √ Ya Tidak

 Sekret : Ya √ Tidak

 Lainnya :-

 Sklera

 Ikterus : Ya √ Tidak

 Lainnya : -

 Pupil

 Isokor : √ Ya Tidak

 Refleks Cahaya : +/+

 Lainnya :-

c. Hidung : DBN

d.Mulut

 Bibir : tidak ditemukan kelainan

 Gusi : tidak ditemukan kelainan

 Palatum : tidak ditemukan kelainan

 Lidah : tidak ditemukan kelainan

 Tonsil : T1 / T1

 Faring : tidak ditemukan kelainan

 Lainnya :-

33
e. Telinga : tidak ditemukan kelainan

f. Leher

a. Kelenjar Getah Bening

 Pembesaran : Ya √ Tidak

 Jumlah : √ Tunggal Multipel

 Ukuran √
: ............ cm

 Konsistensi : Lunak Keras

b. Kaku Kuduk : Positif √ Negatif

c. Lainnya :-

 Thoraks

a. Paru

 Inspeksi : Simetris kanan = kiri,

 Palpasi : Stem fremitus dextra = kiri

 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

 Auskultasi : vesikuler kanan = kiri, suara tambahan : -

b. Jantung

 Auskultasi : BJ I = BJ II Gallop Murmur

 Abdomen

a. Inspeksi : Soepel

b. Palpasi

 Nyeri Tekan : √ Ya Tidak Lokasi: ulu hati

 Turgor : kembali lambat

 Ascites : tidak ditemukan

34
 Hepar : tidak teraba

 Lien : tidak teraba

 Massa : tidak ditemukan

c. Perkusi : timpani

d. Auskultasi : peristaltik (+) normal

 Ekstremitas : √ dingin √ Oedema : extremitas bawah

sebelah kanan. Bengkak(+), hiperemis (+).

√ CRT < 2

 Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

 Anus/ Rectum : tidak dilakukan pemeriksaan

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Syok Anafilaktik
2. Rhinitis Alergika
3. Asma Bronkial
V. DIAGNOSIS SEMENTARA
Syok Anafilaktik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HASIL LABORATORIUM
Tanggal 21 – Mei – 2018
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi :

Darah Rutin

1. Haemoglobin 13,1 g/dl 12,5 – 16,0

2. Hitung Eritrosit

35
3. Hitung Leukosit 4,34 10∩6/µL 4,2 – 5,4

4. Haematokrit
27,8 /µL 4,0 - 10,5
5. Hitung Trombosit
38,3 % 37 – 47

240,0 /µL 150.000-450.000

Index Eritrosit

1. MCV 88, 4 fL 78 – 100

2. MH
30, 3 pg 27 -31
3. MCHC
34, 2 % 31, 5 – 35, 0

Hitung Jenis Leukosit

1. Eosinofil 0, 2 % 1–4
2. Basofil %
0,1 0–1
3. N. Seg %
95,5 60 – 7
4. Limfosit %

5. Monosit 2,2 % 20 – 40

6. Laju Endap darah 2,0 % 2–8

10 0 – 20

36
IIV. DIAGNOSIS KERJA

Syok Anafilaktik

IIIV. TERAPI

1. IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i

2. Adrenalin dilarutkan dalam NaCl 0,9% menjadi 2cc

3. Inj. Esomeprazole 1 vial/24 jam

4. Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 24 jam

5. Sucralfat 3 x C1

37
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal Follow Up Pasien

21/05/2018 S : Sesak, kaki kanan bengkak, pusing, BAK menurun.

Riwayat digigit ular (+).

O: Sens : CM

TD : 50/lemah sekali

HR : 56x/i

RR : 29 x/i

T : 37 o C

A : Syok Anafilaktik

P :

1. Bed Rest

2. IVFD NaCl 20 gtt/mic

3. Adrenalin 1 amp yang dilarutkan dalam NaCl 0,9 %

menjadi 2cc

4. Pindah ke ruang ICU

22/05/2018 S : Sesak (+), pusing (+), mual (+), muntah (+), nyeri ulu

hati (+)

O : Sens : CM

38
TD : 120/80 mmHg

HR : 80 x/i

RR : 24 x/i

T : 36, 9 o C

A : Syok anafilaktik

P:

1. Bed Rest

2. NaCl 0,9% 20 gtt/i

3. Inj. Esomeprazole 1 vial/ 24 jam

4. Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

5. Ventolin + flexotide / 12 jam

6. Sucralfat 3 x C1

7. Kompres luka dengan NaCl 0,9 %

23/05/2018 S : Sesak (-), Nyeri ulu hati (+), pusing berkurang, mual

berkurang.

O:

Sens : CM

TD :140/100 mmHg

HR : 61 x/i

39
RR : 24 x/i

T : 36, 8 o C

A : Syok anafilaktik

P:

1. Bed Rest

2. NaCl 0,9 % 20 gtt/i

3. Inj. Esomeprazole 1 vial / 24 jam

4. Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 24 jam

5. Sucralfat 3 x C1

6. Metronidazol 500 mg/ 8 jam

Pindah Ruangan

40
RESUME

KASUS TEORI

Anamnea Anamnesa

1. Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. 1. Derajat ringan sering dengan
2. Nyeri pada kaki sebelah kanan keluhan kesemutan perifer,
3. Mual dan muntah (+) sensasi hangat, rasa sesak
4. Riwayat digigit ular (+) dimulut, dan tenggorok. Dapat
juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital,
pruritus, bersin-bersin, dan mata
berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan.
2. Derajat sedang dapat mencakup
semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring
dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal
juga sering terjadi. Awitan
dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan.
3. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala
yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah

41
bronkospame, edema laring,
dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram
pada abdomen, muntah, diare,
dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi.
Kematian dapat disebabkan oleh
gagal napas, aritmia ventrikel
atau renjatan yang irreversible.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik

Status present 1. Pada mata terdapat hiperemi


konjungtiva, edema, sekret mata
Sens : CM
yang berlebihan. Pada rhinitis
TD : 50/ lemah sekali alergi dapat dijumpai allergic

HR :56 x/i shiners, yaitu daerah di bawah


palpebra inferior yang menjadi
RR : 29 x/i
gelap dan bengkak.
o
T : 37 C 2. Pada kulit terdapat eritema,
edema, gatal, urtikaria, kulit
Status lokalisata
terasa hangat atau dingin,
1. Konjungtiva hiperemis (+),
lembab/basah, dan diaphoresis
2. Edema pada ekstremitas bawah
sebelah kanan. Bengkak (+) eritema
(+)

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan darah Lengkap 1. Hitung eosinofil darah tepi


Darah Rutin (21-05-18) dapat normal atau meningkat.
2. IgE total sering kali
1. Haemoglobin 13,1g/dl
menunjukkan nilai normal

42
2. Hitung Eritrosit 4,34 3. Pemeriksaan lain yang lebih
10∩6/µL bermakna yaitu IgE spesifik
3. Hitung Leukosit 27,8 dengan RAST (radio-
/µL immunosorbent test) atau ELISA
4. Haematokrit 38,3 % (Enzym Linked Immunosorbent
5. Hitung Trombosit Assay test), namun memerlukan
240,0 /µL biaya yang mahal.
4. Pemeriksaan secara invivo
dengan uji kulit untuk mencari
alergen penyebab yaitu dengan
uji cukit (prick test), uji gores
(scratch test), dan uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point
titration/SET).
5. Pemeriksaan lain sperti analisa
gas darah, elektrolit, dan gula
darah, tes fungsi hati, tes fungsi
ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen
thorak, dan lain-lain
Terapi Terapi

1. Bed Rest 1. adrenalin secara intramuskuler


2. IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i pada lengan atas, paha, ataupun
3. Adrenalin dilarutkan dalam NaCl sekitar lesi pada sengatan
0,9% menjadi 2cc serangga. Berikan 0,5 ml larutan
4. Inj. Esomeprazole 1 vial/24 jam 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk
5. Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 24 jam orang dewasa dan 0,01 ml/kg
6. Sucralfat 3 x C1 BB untuk anak. Dosis diatas
dapat diulang beberapa kali tiap

43
5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan
perbaikan.
2. ranitidin (150 mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl
0,9% dalam waktu 5 menit.
3. Dapat diberikan dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-
pelan (5-10 menit), diulang tiap
6 jam selama 48 jam.
4. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6
jam sampai kondisi pasien stabil
5. Apabila terjadi bronkospasme
yang menetap diberikan
aminofilin intravena 4-7 mg/Kg
BB selama 10-20 menit, dapat
diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg
BB/jam, atau aminofilin 5-6
mg/Kg BB yang diencerkan
dalam 20 cc dextrosa 5% atau
NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam


Anesthesiology. 2008; Chapter 88, hal 1948-1963.

2. Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi


FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar. 2007.
3. Anonim. Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20
Maret 2009]. Available from: URL: www.emedicine.com.
4. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316.
Hal 1442-1445

5. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi


Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah;
2003, Denpasar.
6. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available
from: URL: www. duniakedokteran.cq.bz.
7. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret
and Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis.
Allergy Clinical Immunology”. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376.
9. Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55;
57-58.
10. Anonim. Penggunaan Adrenalin dalam Pengobatan Anafilaksis. 2009
[cited: 20 Maret 2009]. Available from: URL: www.farmakoterapi-
info.htm.
11. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaksis dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi Penyakit Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; 1994. hal 77-80.

45
12. Anonim. Syok dan Penanggulangannya. 2009 [cited: 20 Maret 2009].
Available from: URL: www.shineupyourlife.com.
13. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J.
(2008) Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer
Trauma Shock 1(2):97-105.
14. Alberts MB, Shalit M & Logalbo F. (2004) Suction for venomous
snakebite: A study of ”mock venom” extraction in a human model. Ann
Emerg Med 43:181-186.
15. de Silva HA, Pathmeswaran A, Ranasinha CD, Jayamanne S, Samarakoon
SB & Hittharage A. (2011) Low dose adrenaline, promethazine, and
hydrocortisone in the prevention of acute adverse reactions to antivenom
following snakebite: A randomised, double-blind, placebo-controlled trial.
PLoS Med 8(5):e1000435.
16. Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-
283.
17. Fadare JO & Afolabi OA. (2012) Management of snake bite in resource-
challenged setting: A review of 18 months experience in a Nigerian
hospital. J Clin Med Res 4(3):39-43.
18. Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl
J Med 347(5):347-356.
19. Hall EL. (2001) Role of surgical intervention in the management of
crotaline snake envenomation. Ann Emerg Med 35:175-180.
20. Isbister GK, Maduwage K, Shahmy S, Mohamed F, Abeysinghe C,
Karunathilake H, et al. (2013) Diagnostic 20-min whole blood clotting test
in Russell`s viper envenoming delays antivenom administration. Q J Med.
doi:10.1093/qjmed/hct102.
21. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,
Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global burden of
snakebite: A literature analysis and modelling based on regional estimates
of envenoming and deaths. PLoS Med 5(11):e218.
22. Premawardhena AP, de Silva CE, Fonseka MMD, Gunatilake SB & de
Silva HJ. (1999) Low dose subcutaneous adrenaline to prevent acute
adverse reactions to antivenom serum in people bitten by snake:
randomised, placebo controlled trial. BMJ 318:1041-3.
23. Punguyire D, Iserson KV, Stotz U & Apanga S. (2012) Bedside whole
blood clotting times: Validity after snakebites. J Emerg Med 44(3):663-
667.

46
24. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins
in snake venoms. Toxicon 57:627-645.
25. Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World
Health Organization Regional Office for South-East Asia. India. Cited
2013 October 14. Available from:
26. White J. (2005) Snake venoms and coagulopathy. Toxicon 45:951-967.

47

Anda mungkin juga menyukai