PENDAHULUAN
Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak lama
setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena
yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah
beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama anjing itu mendadak
mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika seseorang
sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen
tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi
anafikaksis yang dapat berujung pada syok anafikaktik.1,2
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
1
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering
dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya
pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling
kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah
satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan
subtropis.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di ndonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara
subkutan atau intramuskular. !isa adalah suatu zat atau substansi yang ber"ungsi
untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan
diri. !isa tersebut merupakan ludah yang termodi"ikasi, yang dihasilkan oleh
kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modi"ikasi
kelenjar ludah
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 DEFENISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1,6
2.1.2. Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka
kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60
menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk
dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia,
3
khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2
kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.2,3
2.1.4. Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe
I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan
mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya
pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.1,4,5,6
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
4
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.1,4,5,6
5
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis
Anafilaksis
↓
Pelebaran Pembuluh Darah
↓
Maldistribusi Volume Sirkulasi
↓
Aliran Darah Balik (Venous Return) ↓
↓
Tekanan Darah ↓
↓
Tekanan Perfusi ↓
↓
Hipoksia Jaringan
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
6
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan
keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok.
Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-
bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.5,6,8
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. 1,4,5
7
polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal,
urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6
8
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran
sel.4,6
2.1.7. Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.5,7
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-
9
duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5,7
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-
lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).5,7
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal.5,7
10
hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,
asma bronkiale, dan rhinitis alergika.1,6
11
buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.1,6
2.1.9. Penatalaksanaan
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.1,2,4,5,6,9
12
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu
pendek.4,10
1 0,1 ml 100
2-3 0,2 ml 200
4-7 0,3 ml 300
8-11 0,4 ml 400
> 11 0,5 ml 500
13
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik) 4,6,10
14
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.4,5,6,11
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.2,9,12
15
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan
plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.2,9,12
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal
mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus
dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap
sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
Terapi tambahan
1. Berikan cairan IV 1-2 L jika tanda-tanda syok tidak ada respon terhadap obat
2. Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
1. Methyl prednisolone 125-250 mg IV
2. Dexamethasone 20 mg IV
3. Hydrocortisone 100-500 mg IV pelan
2. Vasopressor
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.5,6
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
17
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.5,6
2.1.10. Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut
dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu
perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk
mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.5
18
2.2. GIGITAN ULAR
19
• Transportasi ke rumah sakit
Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat
penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,
pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi
neurotoksik (paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus
diperhatikan pada pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular
dibawa untuk diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi
tanpa bukti ular, identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk
luka gigitan, dan sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
• Pemeriksaan laboratorium
20
• Pengobatan antivenom
Envenomasi sistemik
Envenomasi lokal
- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa
tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.
21
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau kaki
dalam beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang
tergigit.
Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan (Warrell 2010):
1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat
(tidak lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5-10 mL cairan isotonik per kg
berat badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang
dewasa) dan diinfus dengan kecepatan konstan diatas sekitar 1 jam.
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1
jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis
antivenom dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin).
Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan anak-anak
adalah sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di
Indonesia, antivenom yang tersedia adalah serum antivenom polivalen
(Calloselasma rhodostoma, B fasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh Bio
Farma dengan sediaan ampul 5 mL. Dosis awal antivenom yang disarankan dapat
diberikan berdasarkan spesies ular.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada
Schwartz dan Way (Djunaedi 2009):
• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.
22
Derajat Beratnya Taring Ukuran zona Gejala Jumlah
envenomasi atau edema/ sistemik vial
gigi eritema kulit venom
(cm)
IV Berat + >30 ++ 15
Tabel 9. Panduan dosis awal antivenom untuk gigitan ular berbisa di regional Asia Tenggara
(Warrell 2010)
23
24
Pada sebagian proporsi pasien, lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap
pemberian antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5
hari atau lebih). Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian
antivenom, pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea,
muntah, kolik abdomen, diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami
anafilaksis berat (hipotensi, bronkospasme, angioedema).
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan,
gejala meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah;
reaksi ini diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi
antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah
pengobatan, gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria,
atralgia, myalgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks
mononeuritis, proteinuria dengan nefritis imun kompleks, dan jarang,
ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan diobati dengan antihistamin dan
kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
Studi oleh Premawardhena tahun 1999 menunjukkan penggunaan 0,25 mL dari
1:1.000 adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian
antivenom terhadap pasien dengan envenomasi setelah gigitan ular mengurangi
kejadian reaksi efek samping akut pada serum. Studi oleh de Silva et al. tahun
2011 menunjukkan pemberian adrenalin dosis rendah memiliki penurunan resiko
reaksi akut berat terhadap antivenom sedangkan prometazin, dan hidrokortison
tidak memberikan efek yang bermakna.
• Pemantauan respons antivenom
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom
dapat dipantau adalah:
a. Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri
menyeluruh berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek
plasebo.
25
b. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.
c. Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
d. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan
aritmia mengalami perbaikan.
f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan
urine kembali menjadi warna normal.
• Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan
26
pengobatan syok, ventilator, dan dialisis ginjal hingga kerusakan berat organ dan
jaringan mendapat waktu untuk penyembuhan.
• Penanganan daerah gigitan
27
KESIMPULAN
• Envenomasi gigitan ular memiliki banyak efek potensial, namun hanya beberapa
kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu flasid paralisis,
miolisis sistemik, koagulopati dan perdarahan, kerusakan dan gangguan ginjal,
kardiotoksisitas, kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.
• Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa, ekstensi awal yang
cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan, pembesaran awal kelenjar getah
bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem limfatik simptom sistemik
awal. perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi), dan adanya
urine berwarna coklat-gelap.
28
BAB III
KESIMPULAN
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan
allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung
paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring
keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena,
observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
29
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara
cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.
30
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 48 tahun
Agama : Islam
Suku : Batak
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
No. RM : 262489
II. ANAMNESA
31
RPK : Tidak ada
RPO : Obat alternatif
R. Alergi : Tidak ada
Status Present
Kesan Keadaan Sakit : Tampak lemah
Sensorium : Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitatif : GCS 15
Tekanan Darah : 50/lemah sekali
Nadi : 56 x /i
Pernafasan : 29 x/i
o
Temperatur : 37 C
Status Lokalisata
Kulit
a. Sianosis : +
b. Ikterus : tidak ditemukan
c. Pucat : tidak ditemukan
d. Turgor : kembali cepat ( < 2 detik)
e. Edema : Ekstremitas bawah sebelah kanan
f. Lainnya : tidak ditemukan
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
a. Wajah
b.Mata
Palpebra
√
32
Edema : Ya Tidak
Lainnya : -
Konjungtiva
v
Pucat : Ya Tidak
Hyperemis : √ Ya Tidak
Sekret : Ya √ Tidak
Lainnya :-
Sklera
Ikterus : Ya √ Tidak
Lainnya : -
Pupil
Isokor : √ Ya Tidak
Lainnya :-
c. Hidung : DBN
d.Mulut
Tonsil : T1 / T1
Lainnya :-
33
e. Telinga : tidak ditemukan kelainan
f. Leher
Pembesaran : Ya √ Tidak
Ukuran √
: ............ cm
c. Lainnya :-
Thoraks
a. Paru
b. Jantung
Abdomen
a. Inspeksi : Soepel
b. Palpasi
34
Hepar : tidak teraba
c. Perkusi : timpani
√ CRT < 2
Hematologi :
Darah Rutin
2. Hitung Eritrosit
35
3. Hitung Leukosit 4,34 10∩6/µL 4,2 – 5,4
4. Haematokrit
27,8 /µL 4,0 - 10,5
5. Hitung Trombosit
38,3 % 37 – 47
Index Eritrosit
2. MH
30, 3 pg 27 -31
3. MCHC
34, 2 % 31, 5 – 35, 0
1. Eosinofil 0, 2 % 1–4
2. Basofil %
0,1 0–1
3. N. Seg %
95,5 60 – 7
4. Limfosit %
5. Monosit 2,2 % 20 – 40
10 0 – 20
36
IIV. DIAGNOSIS KERJA
Syok Anafilaktik
IIIV. TERAPI
5. Sucralfat 3 x C1
37
FOLLOW UP PASIEN
O: Sens : CM
TD : 50/lemah sekali
HR : 56x/i
RR : 29 x/i
T : 37 o C
A : Syok Anafilaktik
P :
1. Bed Rest
menjadi 2cc
22/05/2018 S : Sesak (+), pusing (+), mual (+), muntah (+), nyeri ulu
hati (+)
O : Sens : CM
38
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 24 x/i
T : 36, 9 o C
A : Syok anafilaktik
P:
1. Bed Rest
6. Sucralfat 3 x C1
23/05/2018 S : Sesak (-), Nyeri ulu hati (+), pusing berkurang, mual
berkurang.
O:
Sens : CM
TD :140/100 mmHg
HR : 61 x/i
39
RR : 24 x/i
T : 36, 8 o C
A : Syok anafilaktik
P:
1. Bed Rest
5. Sucralfat 3 x C1
Pindah Ruangan
40
RESUME
KASUS TEORI
Anamnea Anamnesa
1. Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. 1. Derajat ringan sering dengan
2. Nyeri pada kaki sebelah kanan keluhan kesemutan perifer,
3. Mual dan muntah (+) sensasi hangat, rasa sesak
4. Riwayat digigit ular (+) dimulut, dan tenggorok. Dapat
juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital,
pruritus, bersin-bersin, dan mata
berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan.
2. Derajat sedang dapat mencakup
semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring
dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal
juga sering terjadi. Awitan
dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan.
3. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala
yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah
41
bronkospame, edema laring,
dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram
pada abdomen, muntah, diare,
dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi.
Kematian dapat disebabkan oleh
gagal napas, aritmia ventrikel
atau renjatan yang irreversible.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik
42
2. Hitung Eritrosit 4,34 3. Pemeriksaan lain yang lebih
10∩6/µL bermakna yaitu IgE spesifik
3. Hitung Leukosit 27,8 dengan RAST (radio-
/µL immunosorbent test) atau ELISA
4. Haematokrit 38,3 % (Enzym Linked Immunosorbent
5. Hitung Trombosit Assay test), namun memerlukan
240,0 /µL biaya yang mahal.
4. Pemeriksaan secara invivo
dengan uji kulit untuk mencari
alergen penyebab yaitu dengan
uji cukit (prick test), uji gores
(scratch test), dan uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point
titration/SET).
5. Pemeriksaan lain sperti analisa
gas darah, elektrolit, dan gula
darah, tes fungsi hati, tes fungsi
ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen
thorak, dan lain-lain
Terapi Terapi
43
5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan
perbaikan.
2. ranitidin (150 mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl
0,9% dalam waktu 5 menit.
3. Dapat diberikan dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-
pelan (5-10 menit), diulang tiap
6 jam selama 48 jam.
4. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6
jam sampai kondisi pasien stabil
5. Apabila terjadi bronkospasme
yang menetap diberikan
aminofilin intravena 4-7 mg/Kg
BB selama 10-20 menit, dapat
diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg
BB/jam, atau aminofilin 5-6
mg/Kg BB yang diencerkan
dalam 20 cc dextrosa 5% atau
NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit
44
DAFTAR PUSTAKA
45
12. Anonim. Syok dan Penanggulangannya. 2009 [cited: 20 Maret 2009].
Available from: URL: www.shineupyourlife.com.
13. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J.
(2008) Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer
Trauma Shock 1(2):97-105.
14. Alberts MB, Shalit M & Logalbo F. (2004) Suction for venomous
snakebite: A study of ”mock venom” extraction in a human model. Ann
Emerg Med 43:181-186.
15. de Silva HA, Pathmeswaran A, Ranasinha CD, Jayamanne S, Samarakoon
SB & Hittharage A. (2011) Low dose adrenaline, promethazine, and
hydrocortisone in the prevention of acute adverse reactions to antivenom
following snakebite: A randomised, double-blind, placebo-controlled trial.
PLoS Med 8(5):e1000435.
16. Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-
283.
17. Fadare JO & Afolabi OA. (2012) Management of snake bite in resource-
challenged setting: A review of 18 months experience in a Nigerian
hospital. J Clin Med Res 4(3):39-43.
18. Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl
J Med 347(5):347-356.
19. Hall EL. (2001) Role of surgical intervention in the management of
crotaline snake envenomation. Ann Emerg Med 35:175-180.
20. Isbister GK, Maduwage K, Shahmy S, Mohamed F, Abeysinghe C,
Karunathilake H, et al. (2013) Diagnostic 20-min whole blood clotting test
in Russell`s viper envenoming delays antivenom administration. Q J Med.
doi:10.1093/qjmed/hct102.
21. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,
Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global burden of
snakebite: A literature analysis and modelling based on regional estimates
of envenoming and deaths. PLoS Med 5(11):e218.
22. Premawardhena AP, de Silva CE, Fonseka MMD, Gunatilake SB & de
Silva HJ. (1999) Low dose subcutaneous adrenaline to prevent acute
adverse reactions to antivenom serum in people bitten by snake:
randomised, placebo controlled trial. BMJ 318:1041-3.
23. Punguyire D, Iserson KV, Stotz U & Apanga S. (2012) Bedside whole
blood clotting times: Validity after snakebites. J Emerg Med 44(3):663-
667.
46
24. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins
in snake venoms. Toxicon 57:627-645.
25. Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World
Health Organization Regional Office for South-East Asia. India. Cited
2013 October 14. Available from:
26. White J. (2005) Snake venoms and coagulopathy. Toxicon 45:951-967.
47