Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anafilaktik merupakan keadaan akut yang berpotensi mengancam jiwa
dan paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Gambaran klinis anafilaktik sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi
awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang
akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak
(Rengganis, 2016).
Reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang
segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Hipersensivitas akut atau
alergi akibat sengatan tawon dapat berupa reaksi lokal maupun sistemik yang
dapat menimbulkan efek ke berbagai organ sampai menyebabkan kematian.
Kematian akibat sengatan tawon dilaporkan 40 sampai 50 kasus per tahun di
Amerika Serikat. Prevalensi reaksi alergi akibat sengatan tawon bervariasi antara
0,4 sampai 4% bahkan lebih, dengan angka mortalitasnya berkisar antara 0,09
sampai 0,45 per sejuta populasi setiap tahun. Untuk di Indonesia sendiri kejadian
tersengat tawon merupakan hal yang cukup sering dijumpai, mengingat
Indonesia merupakan negara tropis dimana serangga dapat berkembang biak dan
tumbuh dengan baik pada area tropis. Namun untuk prevalensi pasti kejadian
tersengat tawon di Indonesia belum diperoleh angka laporan untuk kasus
tersebut. Manifestasi alergi akibat sengatan tawon bergantung pada pembentukan
antibodi terhadap substansi antigen pada bisa tawon. Gambaran klinis dapat
berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat atau reaksi hipersensitifitas tipe cepat
yang dapat mengancam kehidupan dan memerlukan penanganan yang tepat dan
cepat (Sundara H, 2016).
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas
sebesar 1-3 Tiap satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali,

1
angka kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada
tahun 2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006. Oleh sebab
itu penulis tertarik untuk membahas Syok Anafilaktik dalam bentuk referat ini.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah
bagaimana asuhan keperawatan dan cara penanganan pada pasien yang
mengalami syok anakfilasis (sengatan tawon) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui konsep, asuhan keperawatan dan penanganan syok
anafilaktik.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui konsep anafilaksis
b. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami syok anafilaksis
c. Mahasiswa mampu mengetahui analisa PICO VIA anafilaksis

1.4 Manfaat
Manfaat dari segi teoritis mahasiswa mengetahuiasuhan keperawatan dan cara
penanganan pada pasien yang mengalami syok anakfilasis (sengatan tawon).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anafilaksis


2.1.1 Definisi
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari
anafilaksis dan merupakan bagian dari syok distributive yang ditandai oleh
adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh
darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya
sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok anafilaktik merupakan kasus
kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya
hipotensi, dimana obstruksi saluran nafas merupakan gejala utamanya (Stepen
FK, 2016).

2.1.2 Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk,
paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Sementara di
Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000
total pasien anafilaksis. Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada
perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi
sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-

3
anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang
terjadi (Miller RL, 2015).

2.1.3 Faktor Predisposisi dan Etiologi


Menurut Stepen FK (2016) Berikut adalah etiologi terjadinya reaksi
anafilaktik menurut yaitu:
a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)
b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)
c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)
d. Bisa binatang
e. Lateks
Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan
Cryoglobulinemia) dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik.Riwayat
keluarga atopi tidak meningkatkan risiko kejadian anafilaktik, namun dapat
meningkatkan risiko kematian ketika reaksi anafilaktik terjadi. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin,
obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin
B1, asam folat, agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta
agen biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan
oleh obat-obatan herbal.
Alergen Penyebab Anafilaksis
Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang
Ikan Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri Putih
telur Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin

4
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-
paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciproflo
xacin,Am photericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine,
Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam
salisilat dan HCT
Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

2.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada umumnya muncul dalam 15 menit sejak terjadinya
paparan.Gejala dapat melibatkan kulit, saluran nafas atas maupun bawah,
sistem kardiovaskular, dan GI tract.Satu atau lebih area mungkin terkena, dan
gejalanya tidak harus diawali gejala ringan (urtikaria) terlebih dahulu sampai
berat (obstruksi saluran nafas, atau syok) (Anonym, 2015).
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing,
dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan

5
pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut (Neugut AI,
2015).
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat.Pada
sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin,
tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang
menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran
urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut (Suriana, 2017).

2.1.5 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaktik dalam
hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction).Mekanisme anafilaktik
melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.Fase sensitisasi merupakan
waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen
yang sama sampai timbulnya gejala.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi
menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk
terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan
interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast
atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit).

6
Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basophil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaktik) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi.Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos.Platelet activating factor (PAF) Berefek bronkospasme dan
meningkatkanpermeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit.Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil.Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah.Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun
yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.Kemudian terjadi penurunan
tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksi jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

7
2.1.6 Diagnosis
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria diagnosis anafilaktik. Kriteria pertama adalah onset
akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan
terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir,
lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak
nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ
sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara
mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa
kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten
(misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar
pada allergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada
orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awalSedangkan kriteria dari
Syok Anafilaksis sebagai berikut :
a. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala
1. Pasien terlihat baik atau tidak baik

8
2. Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari Onset
3. Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena
akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan
lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral. Pasien biasanya cemas dan
dapat mengalami “sense of impending” Life-threatening Airway and/or
Breathing and/or Circulation Problems

2.1.7 Penatalaksanaan
Menurut Stephan FK (2015) Tindakan pertama yang paling penting
dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen
yang diduga menyebabkan reaksi anafilaktik.Segera baringkan penderita pada
alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan
aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway,
breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk
memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
a. Airway / penilaian jalan napas
Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan
buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
b. Breathing
Support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan

9
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-
obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.
c. Circulation
Support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Selain penanganan
diatas ada juga penanganan umum yang harus di lakukan yaitu :
1. Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi
anafilaksis.
2. Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat
atau sengatan hewan longgarkan 1-2 menit tiap 10 menit.
3. Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari
kepala (posisi shock) dengan alas keras.
4. Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
5. Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak
bia persiapkandari mulut kemulut.
6. Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang
atau Nacl isiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa)
monitoring dengan Tensi dan produksi urine Pertahankan tekanan darah
sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /24 jam Bila<
100mmHg beri Vasopressor (Dopamin) Tensi tak terukur 20 cc/kg
,Apabila sistole < 100 mmHg 500 cc/1/2 jam dan apabila sistole > 100
mmHg 500 cc/ 1 Jam .
7. Bila perlu pasang CVP Medikamentosa
Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi
pada venom .Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit,
Pemberian IV pada stadium terminal / pemberian dengan dosis1 ml
gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali diberikan 1-2 ml
selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB).

10
8. Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB)
sampai 50 mg dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48
jam bila tetap sesak + hipotensi segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV)
maximal 200mg IV.
9. Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan
dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 –
1,2 mg/kg/jam. Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg
selama 4-6 jam, pemberian selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri
cimetidin 300mg setelah 3-5 menit.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SYOK ANAFILAKSIS
SENGATAN TAWON

3.1 Kasus
An. Y umur 14 tahun datang diantar keluagranya dalam keadaan sadar ke RSUP
Sanglah, pada tanggal 24 Agustus 2019 dengan keluhan bengkak pada kelopak
mata kanan. Bengkak dirasakan sejak 2 jam SMRS setelah tersengat tawon di
rumah. Bengkak pada kelopak mata dirasakan tebal, panas, dan mengganggu
lapang pandang. Saat itu pasien sedang solat di pinggir rumahnya dan tiba-tiba
pasien disengat tawon sebelum sempat menghindar. Pasien mengatakan tersengat
di dua lokasi yaitu di kelopak mata kanan bagian atas dan di belakang leher.
Keluhan lainnya adalah pasien merasakan gatal dan bentol kemerahan yang
terasa panas di sekujur tubuhnya yakni di bagian perut, wajah, kedua kaki dan
tangan yang dirasakan beberapa menit setelah tersengat tawon. Pasien
menyatakan hanya mengoleskan minyak pada lokasi bengkak dan kemerahan di
kulitnya, namun karena tidak kunjung membaik pasien memutuskan untuk
datang ke UGD RSUP Sanglah. Hasil TTV saat masuk di RS TD: 120/70 mmHg,
N : 82x/menit, RR : 20x/menit dan S : 36,5℃.

3.2 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama : An. Y
Umur : 14 tahun
b. Keluhan utama
Bengkak dikelopak mata

12
c. Riwatat penyakit sekarang
An. Y datang ke RS diantar Kelurganya dikarenakan sengatan lebah dan
mengalami bengkak pada kelopak mata dirasakan tebal, panas, dan
mengganggu lapang pandang. Saat itu pasien sedang solat di pinggir
rumahnya dan tiba-tiba pasien disengat tawon sebelum sempat menghindar.
Pasien mengatakan tersengat di dua lokasi yaitu di kelopak mata kanan
bagian atas dan di belakang leher. Keluhan lainnya adalah pasien merasakan
gatal dan bentol kemerahan yang terasa panas di sekujur tubuhnya yakni di
bagian perut, wajah, kedua kaki dan tangan yang dirasakan beberapa menit
setelah tersengat tawon
d. Pemeriksaan fisik
Mata an. Y mengalami bengkak di bagian kanan bagian atas, dibengkak di
bagian belakang leher.
Mata an.Y mengali gatal – gatal, kemerahan dan panas di sekujur tubuh
e. Analisa Data
No Symptom Etiologi Problem
1 Ds : Sengatan tawon Hipersensitivitas
a. An. Y mengatakan di
sengat tawon didua lokasi
yaitu di kelopak mata
kanan bagian atas dan di
belakang leher.
b. An. Y mengatakan kelopak
matanya bengkak terasa
panas, tebal dan
menghalangi lapang
pandang.
c. An. Y mengatakan sekujur

13
tubuhnya gatal dan bentol
kemerahan yang terasa
panas yakni di bagian
perut, wajah, kedua kaki
dan tangan yang dirasakan
beberapa menit setelah
tersengat tawon
Do :
a. Kelopak mata dan leher
An. Y tampak bengkak dan
memerah
b. Saat dilakukan palpasi
bagian kelopak mata dan
leher yang bengkak terasa
panas.
c. An. Y terlihat gelisah dan
menggaruk – garuk sekujur
badanya
d. TTV :
1. TD : 120/70 mmHg
2. N : 82x/menit
3. RR : 20x/menit
4. S : 36,5 ℃

3.3 Diagnosa Keperawatan


a. Hipersensitivitas berhubungan dengan sengatan tawon

14
3.4 Jurnal
Judul : World Allergy OrganizationGuidelines for the assessment and
Managementof anaphylaxis.
Penulis : F. Estelle R. Simonsa, Ledit R.F. Ardussob, M. Beatrice Bilo`c,
Vesselin Dimovd, Motohiro Ebisawae, Yehia M. El-Gamalf, Dennis
K. Ledfordg, Richard F. Lockeyg, Johannes Ringh,Mario Sanchez-
Borgesi, Gian Enrico Sennaj, Aziz Sheikhk. Bernard Y. Thongl,
Margitta Worm.
Publikasi :WAO Anaphylaxis Guidelines Simons et al.
Abstrack :
Purpose of review
The World Allergy Organization (WAO) Guidelines for the assessment and
management of anaphylaxispublished in early 2011 provide a global perspective
on patient risk factors, triggers, clinical diagnosis,treatment, and prevention of
anaphylaxis. In this 2012 Update, subsequently published, clinically
relevantresearch in these areas is reviewed.
Recent findings
Patient risk factors and co-factors that amplify anaphylaxis have been
documented in prospective studies.The global perspective on the triggers of
anaphylaxis has expanded. The clinical criteria for the diagnosis
of anaphylaxis that are promulgated in the Guidelines have been validated. Some
aspects of anaphylaxistreatment have been prospectively studied. Novel
investigations of self-injectable epinephrine for treatmentof anaphylaxis
recurrences in the community have been performed. Progress has been made
with regard tomeasurement of specific IgE to allergen components (component-
resolved testing) that might help todistinguish clinical risk of future anaphylactic
episodes to an allergen from asymptomatic sensitization to theallergen. New
strategies for immune modulation to prevent food-induced anaphylaxis and new

15
insights intosubcutaneous immunotherapy to prevent venom-induced anaphylaxis
have been described.
Summary
Research highlighted in this Update strengthens the evidence-based
recommendations for assessment,management, and prevention of anaphylaxis
made in the WAO Anaphylaxis Guidelines.
Keywords
clinical diagnosis of anaphylaxis, epinephrine (adrenaline) in first-line treatment
of anaphylaxis,patient risk factors for anaphylaxis, prevention of anaphylaxis

NO Kreteria Jawab Keterangan


1 P Ya Pada pasien dengan syok anafilaksis diberikan namajemen
syok anafilaksis
2 I Ya Pada pasein dengan syok anafilaksis dengan sengatan
dilakukan 10 manajemen (1) memiliki protokol darurat
tertulis untuk penanganan anafilaksis dan pelatihan.
(2) hapus paparan pemicu jika memungkinkan
memungkinkan, misalnya hentikan agen diagnostik atau
terapi intravena yang tampaknya memicu gejala. (3) Nilai
sirkulasi pasien, jalan napas, pernapasan, status mental,
kulit dan berat badan (massa). (4) Meminta bantuan: tim
resusitasi (rumah sakit) atau layanan medis darurat
(komunitas) jika tersedia. (5) Suntikkan epinefrin
(adrenalin) secara intramuskuler pada aspek pertengahan
anterolateral paha, 0,01 mg / kg larutan 1: 1.000 (1 mg /
mL), maksimal 0,5 mg(dewasa) atau 0,3 mg (anak); catat
waktu dosis dan ulangi dalam 5-15 menit, jika perlu.
Sebagian besar pasien merespons 1 atau 2 dosis. (6)
Tempatkan pasien di punggung atau dalam posisi nyaman

16
jika ada gangguan pernapasan dan / atau muntah;
meninggikan ekstremitas bawah; kematiandapat terjadi
dalam beberapa detik jika pasien berdiri atau duduk tiba-
tiba. (7) berikan oksigen tambahan aliran tinggi (6-8 L /
menit), dengan masker wajah atau jalan napas orofaringeal.
(8) Menetapkan akses intravena menggunakan jarum atau
kateter dengan kanula bor lebar (pengukur 14-16). (9) Bila
ditunjukkan, berikan 1–2 liter salin 0,9%(isotonik) cepat
(misalnya 5-10 ml / kg dalam 5-10 menit pertama) untuk
orang dewasa; 10 ml / kg untuk anak-anak). (10) Bila
diindikasikan, kapan saja, lakukan resusitasi
kardiopulmoner dengan kompresi dada terus menerus dan
penyelamatan pernapasan.
3 C Tidak Dalam jurnal tidak dijelaskan comparasi dalam intervensi
4 O Ya Pada syok anafilaksis gejala hipotensi diberikan terapi
epinefrin untuk meningkatan tekanan darah .

No Kreteria Jawab Keterangan


1 Validitas Seleksi Tidak Penelitain ini menggunakan review dari 500
makalah tentanng syok anafilaksis
2 Importancy Ya Penelitian ini penting bagi dunia kesehatan
dan berkonstribusi besar dalam
penatalaksanaan syok anafilaksis akibat
sengatan.
3 Applicability Ya Penelitian ini perlu diterapkan karena biaya
yang murah dan mudah ditemukan karena
disemua rumah sakit pasti memiliki epinefrin

17
dan NaCL 0,9% tersebut.

3.5 Jurnal

Judul : Hymenoptera Venom Allergy: How Does Venom Immunotherapy


Prevent Anaphylaxis From Bee and Wasp Stings

Penulis : Umit Murat Sahiner and Stephen R. Durham


Abstrak :
Hymenoptera stings may cause both local and systemic allergic reactions and
even life threatening anaphylaxis. Along with pharmaceutical drugs and foods,
hymenoptera venom is one of the most common causes of anaphylaxis in
humans. To date, no parameter has been identified that may predict which
sensitized people will have afuture systemic sting reaction (SSR), however some
risk factors, such as mastocytosis and age >40 years are known. Venom
immunotherapy (VIT) is the most effective method of treatment for people who
had SSR, which is shown to be effective even after discontinuation of the
therapy. Development of peripheral tolerance is the main mechanismduring
immunotherapy. It ismediated by the production of blocking IgG/IgG4 antibodies
that may inhibit IgE dependent reactions through both high affinity (Fc+RI) and
low affinity (Fc+RII) IgE receptors on mast cells, basophils and B cells. The
generation of antigen specific regulatory T cells produces IL-10 and suppresses
Th2 immunity and the immune responses shift toward a Th1-type response. B
regulatory cells are also involved in the production of IL-10 and the development
of long term immune tolerance. During VIT the number of effector cells in target
organs also decreases, such as mast cells, basophils, innate type 2 lymphocytes
and eosinophils. Several meta-analyses and randomized controlled studies have
proved that VIT is effective for preventing SSR to a sting and improves the

18
quality of life. In this review, the risk of SSR in venom allergy and how VIT
changed this risk are discussed.
Keywords :
Allergy, anaphylaxis, venom, immunotherapy, immune tolerance

NO Kreteria Jawab Keterangan


1 P Ya Pada pasien dengan syok anafilaksis diberikan
Imunoterapi Venom
2 I Ya Faktor risiko paling penting yang terkait dengan
reaksi sistemik selama VIT adalah imunoterapi racun
lebah madu, peningkatan dosis cepat selama fase
pembentukan dan mungkin tingkat tryptase basal
yang tinggi pada alergi vespid tetapi tidak pada alergi
racun lebah madu. Keampuhan VIT berkisar dari 77
hingga 84% untuk lebah madu dan dari 91 hingga
96% untuk racun tawon (9-11). Beberapa faktor,
seperti jumlah alergen yang lebih tinggi ditransfer
selama setiap reaksi sengatan, konsistensi sengatan
lebah madu, keragaman pola kepekaan racun lebah
madu adalah di antara faktor-faktor yang diusulkan
yang dapat menjelaskan tingkat keberhasilan yang
lebih rendah terkait dengan VIT lebah madu (9). VIT
ditemukan efektif bahkan setelah fase membangun
dan dalam satu studi dengan racun honebee tingkat
keberhasilan 89% dilaporkan dengan sengatan
tantangan 1 minggu setelah mencapai dosis
pemeliharaan.
Mempertimbangkan imunoterapi racun lebah madu,
penggunaan pola kepekaan komponen yang teratasi

19
dapat membantu meningkatkan keberhasilan
pengobatan. Beberapa pasien peka terutama terhadap
Api m 10, yang merupakan alergen yang kurang
terwakili dalam beberapa persiapan VIT yang dapat
menyebabkan kegagalan pengobatan.

3 C Tidak Dalam jurnal tidak dijelaskan comparasi dalam


intervensi
4 O Ya Dalam syok anafilaksis diberikan terapi venom
imunoterapi.

No Kreteria Jawab Keterangan


1 Validitas Seleksi Ya Venom imunoterapi (VIT) mengarah untuk
menyelesaikan perlindungan dari SSR di
77-84% kasus untuk lebah madu dan 91-
96% untuk racun vespid. Keampuhan VIT
berkisar dari 77 hingga 84% untuk lebah
madu dan dari 91 hingga 96% untuk racun
tawon.
2 Importancy Ya Penelitian ini penting bagi dunia kesehatan
dan berkonstribusi besar dalam
penatalaksanaan syok anafilaksis akibat
sengatan.
3 Applicability Ya Penelitian ini perlu diterapkan karena biaya
yang murah dan mudah ditemukan karena
disemua rumah sakit pasti
memiliki antibodi IgG / IgG4.

20
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Syok anafilatik atau anafilaksis adalah reaksi alergi yang tergolong berat
Karena dapat mengancam nyawa penderitaanya. Reaksi alergi ini berkembang
dengan cepat bisa terjadi dalam hitungan menit setelah penderita terpapar oleh
penyebab alergi (allergen). Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh
merespons allergen yang di anggap berbahaya secara berlebihan, sehingga
mengakibatkan tekanan darah turun secara tiba-tiba (syok). Reaksi
hipersensitivitas atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul
sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Hipersensivitas akut atau alergi akibat
sengatan tawon dapat berupa reaksi lokal maupun sistemik yang dapat
menimbulkan efek ke berbagai organ sampai menyebabkan kematian. Reaksi
alergi yang mempengaruhi seluruh tubuh di anggap sebagai kondisi medis yang
darurat.

4.2 Saran
Menurut kami makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna
kami harap sekiranya pembaca mencari referensi lain bagi acuan pembelajaran.

21
DAFTAR PUSTAKA

Estelle, R. Simonsa. (2012). World Allergy OrganizationGuidelines for the


assessment and Managementof anaphylaxis. Vol 12. No 4

Helni, R.Y. (2018). Kegawatdaruratan Medik Syok Anafilaksis. Fakultas Kedokteran


Gigi Universitas Baiturrahmah Padang

Mona, Mentari. P. (2016). Hipersensitivitas Akut Et Causa Sengatan Tawon. Fakultas


UNUD/RS Sanglah Denpasar

Umit, Murat. (2019). Hymenoptera Venom Allergy: How Does Venom


Immunotherapy Prevent Anaphylaxis From Bee and Wasp Stings

22

Anda mungkin juga menyukai