Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makanan, obat-obatan, gigitan serangga, maupun kondisi ekstrem dapat


menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitifitas merupakan respon imun
yang berlebihan sehingga dapat merusak jaringan tubuh. Reaksi ini berdasarkan
Gell dan Coombs dibagi menjadi reaksi tipe 1 atau tipe cepat yaitu reaksi yang
muncul segera setelah terpajan alergen, reaksi tipe 2 atau reaski sitotoksik yang
terjadi karena pembentukan IgG dan IgM sehingga dapat mengaktifkan komplemen
dan mengakibatkan lisis, reaksi tipe 3 atau reaksi kompleks imun yang terjadi akibat
pembentukan kompleks antigen antibodi, dan reaksi tipe 4 atau reaksi
hipersensitivitas lambat yang timbul > 24 jam setelah terpajan antigen.
Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles Richet
dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
yang melibatkan lebih dari satu sistem organ. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang
dapat menyebabkan kematian. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya diperkirakan
terdapat 150 kematian akibat reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800
kematian setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP
Sanglah pada tahun 2007-2010, baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko
yang sama untuk mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan
oleh obat sebesar 63,9%. Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak
dipertimbangkan sebagai penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering
tidak terdiagnosis karena tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata,
pemeriksaan laboratorium yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak
spesifik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan syok anafilaktik?
2. Bagaimana konsep dasar penyakit syok anafilaktik?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada syok anafilaktik?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi syok anafilaktik.
2. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit anafilaktik.
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan syok anafilaktik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN SYOK ANAFILAKTIK

2.1 TEORI PENYAKIT


2.1.1 Definisi
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang
disebabkan oleh reaksi alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat
Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan
mendadak terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Syok anafilaktik
adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.

2.1.2 Etiologi
a. Karena obat-obatan terjadi reaksi histamine tak langsung yang berat
biasanya mengikuti suntikan obat, serum, media kontras foto
rontogen.
b. Makanan tertentu, gigitan serangga.
c. Reaksi kadang dapat idiopatik / manifestasi abnormalitas
immunologis.

2.1.3 Tanda Dan Gejala


a. Kardiovaskuler : takipkardi, hipotensi, renjatan, aritmia, palpitasi.
b. Saluran nafas : rhinitis, bersin, gatal di hidung, spasme bronkus,
suara serak, sesak, apnea.
c. Gastrointestinal : nausea, muntah, sakit perut.
d. Kulit : pruritis, urtikaria, angioedema, kulit pucat dan dingin.

3
2.1.4 Patofisiologi

Bila suatu alergen spesifik disuntikkan langsung kedalam


sirkulasi darah maka alergen dapat beraksi pada tempat yang luas
diseluruh tubuh dengan adanya basophil dalam darah dan sel mast yang
segera berlokasi diluar pembuluh darah kecil, jika telah disensitisasi
oleh perlekatan regain Ig E menyebabkan terjadinya anafilaksis.
Histamin yang dilepaskan dalam sirkulasi menimbulkan
vasodilatasi perifer menyeluruh, peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan terjadi kehilangan banyak plasma dari sirkulasi maka
dalam beberapa menit dapat meninggal akibat syok sirkulasi. Histamin
yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi yang menginduksi
timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler
setempat sehingga terjadi pembengkakan pada area yang berbatas jelas
(disebut hives). Urtikaria muncul akibat masuknya antigen kearea kulit
yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat.
Histamin yang dilepaskan sebagai respon terhadap reaksi
menyebabkan dilatasi pembuluh darah setempat terjadi peningkatan
tekanan kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler menimbulkan
kebocoran cairan yang cepat dalam hidung menyebabkan dinding
mukosa hidung bengkak dan bersekresi.

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi


anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT,
LDH, ECG dan foto paru.
a. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat
hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
b. EKG : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia
meningkat, sereum tritaase meningkat.

4
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk
memperkuat diagnosa terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
a. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,
misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-
lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang
diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang
mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya
dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap
alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis
obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

b. Patch Tes (Tes Tempel).


Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru
dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan
timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid
atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau
salep.

c. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).

5
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes
ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah
tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat
diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia
berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.

d. Skin Test (Tes kulit).


Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan
di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit.
Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.

2.1.6 Penatalaksanaan

Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah


ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena
cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat
dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1
:1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3
ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular
(IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5
ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung. Bila pencetusnya
adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan
serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml
di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila
mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan
setiap 10 menit. Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali
diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda.
Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis
berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal
bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai

6
mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20
menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari
awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara
intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat
dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi
epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi
absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari
tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat
dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang
harus segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis
yaitu :

a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan


baik.

b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik


sehingga perfusi jaringan memadai.

Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem


pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak
perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan
bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh
tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering
kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena
edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan
epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi
pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi.
Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema laring tidak saja sulit
tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal
sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya

7
tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang
dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran
krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah
sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun pada kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian
bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat
diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc
dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6
mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.

b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular.
Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan
kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan
kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang
merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan
splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali
ke intravaskular.

2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem


kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolik.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan
CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari
kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang
bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.

8
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para
ahli sependapat untuk memberikan vasopressor melalui cairan infus
intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml
dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit
atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis
dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann


anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan
pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin
1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa
endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas
kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat
yang cepat.

Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada


beberapa hal yang perlu diperhatikan :

a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan


obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi
dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor
adrenergik alfa terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2
atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian
amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH 1 dangan AH 2

bekerja secara kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah.


Tergantung beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2
seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan
20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
gantiya dipakai ranitidin.
c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang
mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang

9
kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat
bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung
lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih
disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau
ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.

2.1.7 Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan.
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian.

10
2.1.8 WOC Syok Anafilaktik

Allergen
(Antibiotik, makanan, bisa binatang, lateks )

Terpapar pada sel plasma

Pembentukan Ig E spesifik terhadap allergen

Reaksi antibody

Lepasnya mediator kimia


(Histamin, serotonin, bradykinin)

SYOK ANAFILAKTIK

Peningkatan Peningkatan Spasme Spasme pembuluh


permeabilitas vaskular mucus pada bronkus darah koroner
jalan napas
Perpindahan cairan dr Penyempitan Penurunan aliran darah
intravascular ke Gangguan jalan napas pada arteri koroner
interstisial pada jalan
napas
Penurunan suplai oksigen
Penurunan tekanan
ke miokard jantung
perfusi jaringan
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
Jaringan kekurangan Miokard kekurangan
suplai darah (oksigen) oksigen (energi)

Peningkatan
Akral dingin pengeluaran Penurunan kekuatan
histamin kontraksi otot jantung
Penurunan perfusi
jaringan perifer Kontraksi otot Penurunan curah
polos jantung

11
Suplai darah
ke organ vital
(lambung)

asam
lambung
meningkat

Mual-
muntah, diare

Dehidrasi

Kekurangan volume
cairan

12
2.2 TINJAUAN TEORI ASUHAN KEPERAWATAN SYOK ANAFILAKTIK
2.2.1 Pengkajian
1. Pengkjian Primer
a. Airway
Jalan nafas dan prenafasan tetap merupakan prioritas pertama,
untuk mendapatkan oksigenasi yang cukup. Tambahan oksigen
diberikan bila perlu untuk menjaga tekanan O2 antara 80 – 100
mmHg.
b. Breathing
frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan,
retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan
paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas tambahan
seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.
c. Sirkulasi dan kontrol perdarahan
Prioritas adalah : kontrol perdarahan luar, dapatkan akses vena
yang cukup besar dan nilai perfusi jaringan. Perdarahan dan luka
eksternal biasanya dapat dikontrol dengan melakukan bebat tekan
pada daerah luka, seperti di kepala, leher dan ekstremitas.
Perdarahan internal dalam rongga toraks dan abdomen pada fase
pra RS biasanya tidak banyak yang dapat dilakukan. PSAG (gurita)
dapat dipakai mengontrol perdaran pelvis dan ekstermitas inferior,
tetapi alat ini tidak boleh mengganggu pemasangan infus.
Pembidaian dan spalk-traksi dapat membantu mengurangi
perdarahan pada tulang panjang.
d. Disability – Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis singkat yang dilakukan adalah
menentukan tingkat kesadaran, pergerakkan bola mata dan reaksi
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Data ini diperlukan untuk
menilai perfusi otak

13
2. Pengkajian Sekunder
a. Identitas pasien
Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga
riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, atau orang
yang mengetahui kejadiannya
b. Keluhan utama
Klien dengan syok mengeluh sulit bernafas, mengeluh muntah dan
mual, kejang-kejang.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Riwayat trauma (banyak perdarahan)
2) Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
3) Riwayat infeksi (suhu tinggi)
4) Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah
memakan obat)
d. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien sbelumnya pernah mengalami penyakit yang sama
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah kelarga ada yang pernah mengalami sakit yang sama
seperti klien sebelumnya.
f. Pemeriksaan Fisik
1) Kulit: suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya
bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi
hipovolemia), Warna pucat (kemerahan pada syok septik,
sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi
terminal)dan Basah pada fase lanjut syok (sering kering
pada syok septik).
2) Tekanan darah: Hipotensi dengan tekanan sistole < 80
mmHg (lebih tinggi pada penderita yang sebelumnya
mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok
septik)
3) Status jantung : Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba

14
4) Status respirasi : Respirasi meningkat, dan dangkal (pada
fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok
septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)

5) Status Mental: Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan.


Kesadaran dan orientasi menurun, sopor sampai koma.
6) Fungsi Ginjal: Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam,
kritis)
7) Fungsi Metabolik: Asidosis akibat timbunan asam laktat di
jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis
metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi
akibat takipnea
8) Sirkulasi: Tekanan vena sentral menurun pada syok
hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik
9) Keseimbangan Asam Basa : Pada awal syok pO2 dan pCO2
menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan
pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar
elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
2) Analisa gas darah
3) EKG

2.2.2 Masalah Keperawatan dan Data Penunjang


No Data subjektif Data objektif Masalah
1 Sesak nafas Nafas dengan bibir, Ketidakefektifan
ada rinitis / mukosa bersihan jalan nafas
hidung bengkak
2 Palpasi Kulit pucat, akral Ketidakefektifan
dingin, hipotensi, perfusi jaringan
angioedema, aritma, perifer
gambaran EKG

15
gelombang T
mendatar dan
terbalik.
3 Mual Muntah - muntah Resiko kekurangan
volume cairan
3 Sesak nafas, Aritmia, takikardi, Penurunan curah
lemas palpitasi, akral jantung
dingin, gambaran
EKG gelombang T
mendatar dan
terbalik

2.2.3 Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d mokus dalam jumlah
berlebihan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d penurunan sirkulasi
darah keperifer
c. Resiko kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan aktif
d. Penurunan curah jantung b/d penurunan irama

2.2.4 Rencana Keperawatan


No Diagnosa Kreteria Hasil Intervensi (NIC)
(NANDA) (NOC)
1 Ketidakefektifan Status pernafasan : Manajemen
bersihan jalan Kepatenan jalan jalan nafas
nafas b/d mokus nafas Aktivitas :
dalam jumlah Status pernafasan : - buka jalan nafas,
berlebihan ventilasi gunakan teknik
Batasan chin lift atau jaw
karakteristik : trust bila perlu.

16
- Suara - Keluarkan secret
nafas dengan batuk
tambahan atau suction
- Sianosis - Auskultasi suara
- Sputum nafas sebelum
dalam dan sesudah
jumlah suctioning.
yang - Informasikan
berlebih pada klien dan
- Gelisah keluarga tentang
- Perubahan suctioning.
frekuensi - Berikan O2
dan irama dengan
nafas menggunakan
- dispneu nasal untuk
memfasilitasi
suction
nasotrakeal.
- Posisi pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi.
- Kolaborasi
pemberian
bronkodilator
bila perlu.
2 Ketidakefektifan Status sirkulasi - Monitor adanya
perfusi jaringan Tissue perfusion : daerah tertentu
perifer b/d cerebral yang hanya peka
penurunan terhadap
sirkulasi darah panas/dingin/taj
keperifer d/d am/tumpul

17
penurunan - Monitor adanya
kardiak output paretese
(penurunan nadi - Instruksikan
dan tekanan keluarga untuk
darah). mengobservasi
kulit jika ada isi
atau laserasi.
- Gunakan sarung
tangan untuk
proteksi
- Batasi gerak
pada kepala,
leher, dan
punggung
- Monitor
kemampuan
BAB
- Kolaborasi
pemberian
analgetik
- Monitor adanya
tromboplebitis
- Diskusikan
mengenai
penyebab
perubahan
sensasi.
3 Resiko - Keseimbang Manajemen
kekurangan an elektrolit cairan
volume cairan b/d dan asam Aktivitas :
kehilangan cairan basa - Timbang BB tiap
aktif hari

18
Batasan - Keseimbang - Hitung haluran
karakteristik : an cairan - Pertahankan
- Kehilanga - Hidrasi intake yang
n volume - Status akurat
cairan nutrisi : - Pasang kateter
aktif Asupan urine
- Kerang makanan - Monitor status
pengetahu dan cairan hidrasi (seperti :
an kelembapan
- Berat mukosa
badan membrane, nadi)
extrim - Monitor status
- Penurunan hemodinamik
tekanan termasuk CVP,
darah MAP, PAP
- Penurunan - Monitor hasil lab
volume terkait retensi
nadi cairan
- Penurunan (peningkatan
tekanan BUN, Ht
nadi menurun)
- Penurunan - Monitor TTV
turgor - Monitor adanya
kulit indikasi retensi /
- Penurunan overload cairan
turgor (seperti : edem,
lidah asites, distensi
- Penurunan vena leher)
pengekuar - Manajemen
an urine elektrolit
- Kulit
kering

19
- Membrane
mukosa
kering
4 Penurunan curah - Cardiac Cardiac Care
jantung b/d pump - Evaluasi adanya
penurunan irama effectivenes nyeri dada
Batasan s (intensitas,
karakteristik : - Circulation lokasi, durasi)
- Aritmia status - Catat adanya
- Perubahan - Vital sign disritmia jantung
EKG status - Catat adanya
- Palpitasi tanda dan gejala
- Bradikardi penurunan
, takikardi cardiac output
- Monitor adanya
penurunan
tekanan darah
- Anjurkan untuk
menurunkan
stress
- Kolaborasi
dalam
pemberian terapi
aritmia

2.2.5 Implementasi Keperawatan


Pelaksanaan tindak keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan, sebelum melaksanakan tindakan yang sudah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (here
and now) perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai
kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal yang diperlukan

20
untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah
tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan
keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melakukan tindakan
keperawatan, perawat membuat kontrak dengan klien yang isinya
menjelaskan apa yang akan dilakukan dan peran serta yang diharapkan
klien. Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta
respon klien.

2.2.6 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi
proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus serta umum yang
telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
sebagai pola pikir :
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung
kepada klien tentang tindakan yang telah dilakukan.
O : Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi prilaku klien pada
saat tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah
dilaksanakan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil
observasi.
A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data
kontra indikasi dengan masalah yang ada, dapat juga
membandingkan hasil dengan tujuan.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon
klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.

21
BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan
oleh reaksi alergi. . Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas
yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.
Anafilaksis adalah reaksi alergi yang dapat menyebabkan kematian,
penyebab alergi adalah bisa melalui obat-obatan, makanan, serangga. Timbul
gejala-gejala pada syok anafilaktik seperti sesak, takipkardi, hipotensi,
aritmia, mual muntah, gatal maupun kemerahan pada kulit, dll.
Asuhan keperawatan pada syok anafilaktik melalui proses asuhan
keperawatan yang sama seperti pengkajian, menentukan diagnose
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi keperawatan. Untuk
diagnosa syok anafilaktik yang utama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan
nafas dikarenakan histamin yang dilepaskan sebagai respon terhadap reaksi
menyebabkan dilatasi pembuluh darah setempat terjadi peningkatan tekanan
kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler, menimbulkan kebocoran
cairan yang cepat dalam hidung menyebabkan dinding mukosa hidung
bengkak dan bersekresi.

3. 2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari


kesempurnaan, maka dari itu penulis menyarankan kepada para pembaca
khususnya teman-teman mahasiswa agar mencari reverensi lain selain dari
makalah ini, dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar dapat kami jadikan pedoman dalam membuat makalah yang berikutnya.

22
Daftar Pustaka

Bailey, J.J., Sabbagh, M., Loiselle, C. G., Boileu, J.,& McVey, L. (2010). Intensive
and Critical Care Nursing 2010, Vol.26, Hal. 986.

Nuratif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 3. Jogjakarta:
Mediaction.

23

Anda mungkin juga menyukai