Anda di halaman 1dari 6

FORMAT LAPORAN PENDAHULUAN

Rumah Sakit Umum Tgl: Nilai: Tgl: Nilai: Rata-rata:


Daerah Cibabat
ParafCI+stempel Paraf
dosen

DRUG ERUPTION

BAB I Konsep Teori


1. Pengertian
Drug Eruption merupakan penyakit kulit yang diinduksi obat dengan karakteristik
makula eritem dan papul, multipel, menyebar luas dan cepat, serta konfluens.
Alergi obat erupsi atau erupsi obat alergi merupakan reaksi alergi pada kulit atau selaput
lendir, yang biasanya terjadi akibat pemberian obat sistemik. Erupsi obat alergi (EOA)
adalah reaksi hipersensitivitas yang ditandai dengan satu atau lebih papula bulat atau
oval yang berbatas tegas, dengan ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga
beberapa sentimeter. Karakteristik EOA adalah kecenderungannya untuk kambuh di
tempat lesi yang sama saat terpapar kembali dengan obat yang sama.
2. Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat beragam dan bervariasi menurut waktu, tempat dan
jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya kejadian alergi obat tampaknya berkaitan
erat dengan frekuensi kecanduan obat. Risiko reaksi alergi diperkirakan sekitar 1-3%
untuk sebagian besar jenis obat. Secara umum, alergi obat yang paling sering dilaporkan
adalah penisilin, sulfonamid, salisilat, dan pirazolon. Obat lain yang sering dilaporkan
termasuk analgesik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (Dilantin, Mesantoin,
Tridion), obat penenang (terutama Luminale), dan obat penenang (fenotiazin, phenergan,
klorpromazin, meprobamat). Namun, alergi obat dengan gejala klinis yang parah paling
sering dikaitkan dengan penisilin dan obat sulfa.
3. Pathway
4. Tanda Dan Gejala/Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala alergi obat dapat diklasifikasikan menurut mekanisme kerusakan
jaringan organ yang terkena atau respon imunologi Gell dan Coombs (tipe I-IV).
a Tipe I (hipersensitivitas tipe cepat)
Manifestasinya adalah aksi mediator kimia yang dihasilkan dari reaksi antigen
dengan IgE yang terbentuk, menyebabkan kontraksi otot polos. Peningkatan
permeabilitas kapiler dan hipersekresi kelenjar mukosa.
1). Bronkospasme ditandai dengan sesak napas, terkadang spasme bronkus disertai
dengan spasme laring. Jika disertai dengan pembengkakan laring, kondisi ini
disebabkan pasien tidak dapat bernapas atau mengalami kesulitan bernapas.
2). urtikaria
3). angioedema
4). pingsan dan hipotensi. Syok anafilaksis dapat terjadi beberapa menit setelah
injeksi seperti penisilin.
Tanda klinis syok anafilaksis dapat muncul dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat karena mempengaruhi banyak organ dan berpotensi
membahayakan. Reaksi ini sering disebut anafilaksis. Penyebab paling umum
adalah penisilin. Beberapa tahapan terjadi pada Tipe I, yaitu:
a) Fase sensitivitas adalah waktu yang diperlukan untuk pembentukan IgE
b) Fase aktivasi adalah fase yang terjadi sebagai hasil penemuan kembali
spesifik antigen. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkankandungan
yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi
c) Fase efektor adalah fase di mana respon imun yang kompleks terjadi karena
pelepasan mediator.

b Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena produksi IgM atau
IgG setelah tantangan antigen. Antibodi ini dapat mengaktifkan sel – sel dengan
reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen
melalui reseptor komplemen Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II biasanya berupa
kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan topenia
granulasi. Nefritis interstitial juga bisa menjadi jenis reaksi alergi ini.

c Tipe III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan terjadi ketika kompleks ini disimpan
dalam jaringan. Antibodi yang berperan dalam hal ini adalah IgM dan IgG.
Kompleks ini mengaktifkan pertahanan tubuh dengan melepaskan komplemen.
Manifestasi klinis dari reaksi alergi tipe III dapat berupa:
1). Demam
2). Limfadenopati
3). Penyakit sendi, nyeri sendi dan efusi sendi;
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi
obat alergi adalah :
a Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifatimunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya.Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena
baru sedikit sekalideterminan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk
ujikulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul
seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untukmikromolekul sejauh ini
hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :
1). Uji Tempel (patch test)
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak.Suatu seri
sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obatditempelkan pada kulit
(biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel
dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa
dengan reaksi. Klinisalergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih
ringan.
2). Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipeI, dengan
adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulitdapat dilakukan dengan
memakai bahan yang bersifat imunogenikyaitu determinan antigen dari obat atau
metabolitnya. Bahan untukuji kulit harus bersifat non iritatif untuk
menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif
untukdiagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergiobat
karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obatyang sudah
diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasialergi terhadap
makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ),sedangkan untuk mikromolekul
sejauh ini hanya dapatmengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil
negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
3). Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapimerupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resikoyang berbahaya yaitu terjadinya
anafilaksis sehingga hanyadianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas
dan tenagayang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan
kontraindikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindromaSteven
Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritemavesiko bulosa. Uji
provokasi dilakukan setelah eliminasi yanglamanya tergantung dari masa paruh
setiap obat.
b Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah
merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit
serta esai sitokin dan reseptorsel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan
spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi
alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit
yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
6. Penatalaksanaan Klinik
a Penatalaksanaan Umum
1). Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebaberupsi kulit
harus dihentikan segera
2). Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasanuntuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parahatau relaps setelah berada pada
fase pemulihan
3). Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya
pada kasus yang disertai purpura yang luas. Padakasus dengan purpura yang luas
dapat pula ditambahkan vitamin C500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik
4). Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairantubuhnya.
Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturankeseimbangan cairan elektrolit dan
nutrisi penting karena pasiensukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut
dan tenggorokserta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus,misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
b Penatalaksanaan Khusus
1). Sistemik
a) Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi
obatsistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison.
Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medika mentosa, purpura, eritema
nodosum, eksantema fikstumdan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis
standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG)
terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48
jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kgselama 4 hari
pertama.
b) Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jikaterdapat rasa
gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jikadibandingkan dengan
kortikosteroid.
2). Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakahkering atau
basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus sepertimentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam
salisilat1%.Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainanmembasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnyahidrokortison 1% – 2 ½ %. Pada
eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami
skuamasi dapatdiberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian – sebagian.
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krimsulfadiazin perak.
7. Komplikasi
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin. Potensi untuk infeksi ada
dalam kasus lesi multipel erosi. Erupsi generaliata telah dilaporkan setelah pengujian
provokasi topikal dan oral.

Laporan Pendahuluan (Asuhan Keperawatan), mencakup :


1. Pengkajian fokus sesuai data fokus (sesuai teori)
2. Analisa data (sesuai teori berdasarkan pengkajian)
3. Diagnosa keperawatan (sesuai teori berdasarkan prioritas masalah)
4. Rencana asuhan keperawatan (sesuai teori)

Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai