Anda di halaman 1dari 30

Reaksi

Hipersensitivitas
Sistem imun memiliki fungsi penting dalam menjaga kesehatan dan melindungi
tubuh. Namun, sistem yang sama ini dapat menyebabkan respons imun dan peradangan
yang berlebihan yang mengakibatkan hasil yang merugikan yang dikenal dengan reaksi
hipersensitivitas. Terdapat empat klasifikasi pada reaksi hipersensitivitas yaitu
Peran Limfosit dalam Sistem Kekebalan
Struktur immunoglobulin
Antigen binding sites
Faktor Risiko terjadinya Reaksi Hipersensitivitas
• Riwayat keluarga, studi epidemiologi menyatakan bila salah satu orang tua memiliki penyakit alergi, 25-40% anak akan menderita
alergi dan 50-70% jika kedua orangtua memiliki alergi.
• Riwayat atopi, atopi merupakan kecenderungan genetic untuk produksi IgE antibody terpapar allergen.
• Sifat allergen, seperti beberapa zat tertentu: obat gol. Penisilin, pelemas otot, aspirin, latex, kacang-kacangan, kerrang.
• Alur pemberian obat, ppemberian obat parenteral cenderung sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas daripada peroral.
• Kesinambungan paparan allergen, pemakaian obat terputus dapat meningkatkan resiko.
• Pemberian immunoterapi berupa injeksi ekstrak allergen pada penderitayang penyakit alerginya sedang tidak terkendali
Type I: Immediate Hypersensitivity
• Antigen bereaksi dengan IgE yang terikat pada sel • Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat dilihat
mast atau basophil -> aktivasi sel mast -> pada asma bronkial, rinitis alergi, dermatitis
pelepasan zat aktif farmakologis. alergi, alergi makanan, konjungtivitis alergi,
• Reaksi ini terjadi dengan cepat, bila disuntikkan ke dan syok anafilaksis.
kulit maka akan muncul reaksi “wheel and flare”
dalam 5-10 menit.
• Antigen perangsang IgE seringnya karena terhirup
atau tertelan. Misalnya inhalasi serbuk sari
ragweed.
Fase Sensitisasi
Fase Efektor (Degranulasi Sel Mast)

Ab IgE spesifik-> difusi ke seluruh tubuh -> kontak sel mast dan
basophil -> melepas degranulasi mengandung zat farmakologi ->
efek langsung pada pembuluh darah terdekat -> vasodilatasi dan
masuknya eosinophil-> melepas mediator -> reaksi ”late phase”.
Alergi Atopik
Tipe I
a) Skin Prick Test. Tes kulit dilakukan 5 jam (kiri) dan 20 menit
(kanan) sebelum foto diambil, tes (kanan) menunjukkan tipikal
titrasi titik akhir tipe I reaksi wheal and flare.
b) Reaksi eksim atopic dibelakang lutut anak yang alergi nasi dan
telur.

Tipe II
c) Tampilan wajah pada SLE. Lesi onset baru, simetris, merah, dan
edematous.
d) Histologi reaksi inflamasi akut pada polyarteritis nodosa.
Pembentukan thrombus (Thr) dan nekrosis fibrinoid (FN)
dikelilingi infiltrasi inflamasi campuran, Sebagian besar polimorf.
Tipe IV
e) Tes Mantoux, menunjukkan reaksi hipersensitivitas dimediasi sel
terhadap tuberculin, ditandai dengan indurasi dan eritema.
f) Reaksi hipersensitivitas kontak tipe IV terhadap nikel yang
disebabkan oleh jepitan kalung.
Terapi
1. Modulasi respon imun, menurunkan kepekaan pasien secara imunologis -> suntikan
allergen subkutan berulang.
2. Stabilisasi sel mast, mencegah pemicu sel mast seperti isoprenaline dan sodium
cromoglikat-> memblokir aktivitas klorida dan pertahankan sel dalam keadaan
fisiologis-> terhambatnya fungsi seluler seperti degranulasi sel mast, kemotaksis
eosinophil dan neutrophil, refleks bronkokonstriksi.
3. Mediator antagonis, antagonis reseptor histamin H1.
Type II: Cytotoxic Reactions

• Terjadi Ketika antibody IgG dan IgM berikatan dengan molekul permukaan sel pasien
sendiri-> membentuk kompleks-> aktivasi komplemen -> opsonisasi, aglutinasi sel darah
merah (proses aglutinasi atau "penggumpalan"), lisis sel dan kematian.
• Beberapa contoh reaksi hipersensitivitas tipe II meliputi: Immune Thrombocytopenia (ITP),
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), erythroblastosis fetalis, Goodpasture’s syndrome
Goodpasture’s Syndrome

• Penyakit antibody yang merusak membrane dasar paru-paru dan ginjal.


• Reaksi hipersensitivitas tipe II-> IgG antibody berikatan dengan rantai alpha-3 -> aktivasi
sistem komplemen-> merusak serat kolagen dari membrane dasar.
• Klinis yang dapat dijumpai pada alveolus paru yang rusak seperti batu, hemoptisis, dan
dispnea. Serta kelainan filtrasi pada ginjal seperti hematuria, proteinuria yang dapat
menjadi sindrom nefritik.
Hemolytic Disease of Newborn

Ketika seorang ibu Rh-negatif yang peka mengandung janin Rh-positif kedua atau berikutnya, antibodi anti-Rh ibu melewati plasenta dan
menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe 2 pada janin.
Terapi
• Kortikosteroid, siklofosfamid, plasmafaresis untuk filtrasi plasma/cairan dari darah
(mengurnagi resiko gagal ginjal).
• Terapi tambahan lain meliputi oksigenasi tambahan, cairan IV untuk resusitasi volume,
glukagon atau vasopresor untuk hipotensi refrakter, dan/atau atropin untuk bradikardia.
• Hal-hal berikut harus dipantau secara ideal: tekanan darah, status pernapasan,
oksigenasi, keluaran urin, fungsi jantung, dan detak jantung secara berkala atau sering.
Type III: Immune Complex Reaction

• Antibodi IgG dan IgM berikatan dengan protein terlarut (bukan molekul permukaan sel
seperti pada reaksi hipersensitivitas tipe II) -> membentuk kompleks imun yang dapat
disimpan dalam jaringan, -> menyebabkan aktivasi komplemen, peradangan, masuknya
neutrofil dan degranulasi sel mast.
• Jenis reaksi ini dapat memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan berminggu-
minggu untuk berkembang dan pengobatan umumnya melibatkan agen anti-inflamasi dan
kortikosteroid.
• Contoh reaksi hipersensitivitas tipe III termasuk lupus eritematosus sistemik (SLE), serum
sickness, dan Arthus reaction.
Serum Sickness
• Reaksi terhadap antibody asing dalam serum
• Paparan pada serum asing-> memicu sel B menjadi sel plasma,
memproduksi IgG melawan antibodi asing-> kompleks imun
terbentuk, diendapkan dalam membrane basal-> aktivasi
komplemen, rekrutmen sel imun-> produksi enzim lisosom,
sitokin-> respon inflamasi sistemik lokal
• Initial exposure: 4-10 hari, second exposure: lebih cepat
Arthus Reaction
Terapi
• Terapi simptomatik dengan antihistamin dan analgesi
• Glukokortikoid pada pasien yang memiliki manifestasi klinis berat seperti demam tinggi,
severe arthritis, extensive rashes.
Type IV: Delayed Hipersensitivity

• Reaksi hipersensitivitas tidak tergantung antibody.


• Stimulasi sel T berlebih-> pelepasan sitokin-> peradangan, kematian sel,
dan kerusakan jaringan
• Dapat dilihat pada dermatitis kontak, hipersensitivitas tuberculin dan
hipersensitivitas granulomatosa
1. Delayed Type Hipersensitivity (DTH)

• Sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag sebagai sel efektor-> CD4 Th1 melepas sitokin-> aktivasi makrofag dan induksi
inflamasi.
• Kerusakan jaringan pada DTH disebabkan oleh produk seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, nitrit
oxide, dan sitokin proinflamasi.
• Dapat juga terjadi sebagai respon terhadap bahan tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang
menimbulkan dermatitis kontak
2. T Cell Mediated Cytolisis

• Kerusakan terjadi melalui sel CD8 yang langsung membunuh sel sasaran.
• Enyakit yang ditimbulkan cenderung terbatas beberapa organ saja dan biasanya tidak
sistemik
Contact Dermatitis
• Sensitisasi-> molekul sangat kecil melewati
kulit-> reaksi imunitas-> menjadi antigen
dengan mengikat protein pada sel Langerhans->
membawa molekul MHC II-> migrasi ke KGB.
• Dalam 4-8 jam setelah paparan berikutnya,
reaksi hipersensitivitas dimulai dan eksim
terjadi dalam 48 jam.
Terapi Anafilaksis
Epinefrin
• Dosis epinefrin berdasarkan BB dapat diulang 5-15 menit.

• Bayi dengan BB<10kg harus diberikan dosis berdasarkan BB yang tepat (tidak diperkirakan). Jika penentuan dosis yang tepat cenderung menyebabkan penundaan yang
signifikan dengan pasien gejala parah atau memburuk dengan cepat-> dosis 0,1mg diberikan melalui autoinjector. Jika 0,1 tidak tersedia dapat diberikan autoinjector
0,15mg

• BB 10-25kg: dosis 0,15 mh epinefrin IM paha anterolateral

• BB>25kg: dosis 0,3mg epinefrin IM paha anterolateral

Bronkodilator
• Beta-Agonis: Albuterol sebagai metered dose inhaler (MDI), dry-powder inhaler (DPI), atau larutan nebulisasi.

• Dosis albuterol MDI atau DPI (90mcg/aktuasi): dewasa diberikan 2-3 inhalasi untuk meredakan gejala. Pada eksaserbasi parah, dosis hingga 8 inhalasi setiap 20 menit.

• Dosis pediatrik 4-8 isapan setiap 20 menit hingga 3 dosis.

• Laritan nebulisasi albuterol: 2,5-5mg sesuai kebutuhan. Dapat diberikan terus menerus larutan nebulisasi hingga 14 mg selama 1 jam pada pasien dewasa dan anak
yang sakit kritis.
Antihistamin
• Dosis difenhidramin IV: 25-50mg/dosis pada pasien dewasa dan 1-2mg/kg/dosis oada pediatri (maksimum 50mg/dosis). Dosis dapat
diulang setiap 6 jam.
• Ranitidin oral (PO) atau IV: 1-2mg/kg/dosis, maksimal 75-150mg oral dan IV pad aorang dewasa dan maksimal 50mg/dosis pada pediatri.
• Femotidine IV: 20mg diencerkan menjadi 5mL 0,9% salin normal dan didorong selama dua menit pada orang dewasa dan 0,25mg/kg
(maksimum 20mg/dosis) pada pediatri.
Glukokortikoid
• Tidak memiliki peran akut dalam pengobatan anafilaksis karena onset kerja yang lambat. Penggunaannya untuk mengurangi reaksi bifasik
atau berlarut-larut yang mungkin akan terjadi pada anafilaksis.
• Metilprednisolon: 1-2mg/kg/hari (maksimum 125 mg/dosis) selama 1-2 hari perlu pengurangan dosis
Pencegahan
• Sebelum pemberian obat pada pasien, dokter mencatat dengan teliti riwayat atopi, alergi, jenis obat yang
menimbulkan reaksi alergi, manifestasi alergi, dan jenis obat yang sedang dikonsumsi saat ini
• Pemberian obat pada pasien dengan riwayat alergi jika memungkinkan lebih disarankan pemberian obat secara
oral
• Hindari uji paparan allergen yang mengandung makanan dan obat-obatan atau pemberian vaksin imunoterapi.
• Tes diagnostic sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi.
• Pada pasien yang sensitive media kontras radiografis diperlukan Langkah-langkah profilaksis dan pemilihan media
kontras dengan osmolalitas rendah.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai