Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Demam Neutropenia

2.1.1 Definisi

Demam neutropenia adalah demam dengan suhu oral ≥38,30C (1010F) atau

suhu aksila ≥380C (1000F) selama periode lebih dari 1 jam pada pengukuran

tunggal dengan Absolute Neutrophil Count (ANC) kurang dari 500 sel/mm3 atau

kurang dari 1000 sel/mm3 dengan kecenderungan menurun dalam 48 jam

(Lanzkowsky, 2011).

2.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian demam neutropenia pada anak dengan keganasan di dunia

bervariasi dari 15 hingga 82% (Hughes dkk., 2002). Prevalens demam

neutropenia di Irlandia per tahun adalah 64,2 kasus (Hughes dkk., 2002).

Prevalens demam neutropenia pada anak yang menderita keganasan di RS Cipto

Mangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung dan di RS Prof.dr. R. D

Kandou Menado adalah 34%, 48%, dan 22% (Gunawan dkk., 2009). Didapatkan

68 kejadian demam neutropenia anak dengan keganasan di RSU Dr. Saiful Anwar

Malang selama tahun 2007 hingga 2008 (Nugroho, 2010). Di RSUP Sanglah,

sebanyak 59 episode demam neutropenia terjadi pada anak dengan LLA selama

tahun 2013 hingga 2014 (Indradjaja., 2014). Beberapa studi menjabarkan bahwa

leukemia merupakan keganasan yang paling umum menyebabkan demam

8
9

neutropenia. Penelitian yang dilakukan Sulviani dkk. (2007) mendapatkan

sebanyak 75% demam neutropenia terjadi pada leukemia akut. Sudewi dkk.

(2007) meneliti bahwa episode neutropenia terutama dialami oleh pasien leukemia

akut (leukemia limfoblastik akut maupun leukemia myeloblastik akut), sedangkan

jarang dialami oleh pasien tumor padat. Pasien demam neutropenia yang

mengalami infeksi sebanyak 48 hingga 60%, dimana bakteremia terjadi pada 16

hingga 20% dengan jumlah neutrofil kurang dari 100/mm3 (Lai dkk., 2003). Studi

lain mendapatkan bakteriemia terjadi pada 10%-25% dari semua pasien, terutama

pada neutropenia yang lama atau berat (Palazzi, 2011). Pertumbuhan kuman

didapatkan sebesar 30% pada anak dengan keganasan dengan demam neutropenia

(Lanzkowsky., 2011).

Studi oleh Utami dkk. (2013) di RSUP Sanglah mendapatkan kejadian

bakteremia pada pasien LLA yang menderita demam neutropenia hanya 10%,

sementara bakteriuria sebanyak 23,1%, hal tersebut diduga karena pasien telah

mendapat terapi antibiotika sebelum dilakukan kultur atau demam yang muncul

terjadi karena inflamasi akibat LLA sendiri. Penelitian oleh Indradjaja (2014)

mendapatkan kejadian infeksi pada 28 dari 55 episode demam neutropenia, yaitu

11 episode dengan biakan darah positif (20%), 13 dengan biakan urin positif

(24%), 1 episode dengan biakan jaringan positif dan 3 pasien dengan gejala

infeksi tanpa ditemukan kuman patogen.

Mortalitas akibat demam neutropenia pada tahun 1970 sebanyak 30%

menjadi 1% pada 1990 (Gunawan dkk., 2009). Tingkat mortalitas adalah sekitar

5% pada pasien tumor solid dan 11% pada beberapa keganasan hematologi.
10

Prognosis buruk pada pasien yang terbukti bakteremia, dengan tingkat mortalitas

pada bakteremia akibat gram negatif dan gram positif adalah 18% dan 5%

(Naurois, 2010).

2.1.3 Etiologi

Demam neutropenia pada anak dengan keganasan disebabkan penyakit yang

mendasari atau efek kemoterapi. Neutropenia pada pasien leukemia akut dapat

terjadi akibat infiltrasi sel keganasan secara primer pada sumsum tulang (misalnya

pada pasien yang belum mengalami remisi dan pasien yang mengalami relaps)

maupun akibat dampak mielosupresif kemoterapi (misalnya pasien yang telah

mengalami remisi atau belum mengalami remisi namun sudah berada pada

minggu-minggu terakhir kemoterapi fase induksi). Pasien tumor padat umumnya

baru mengalami neutropenia setelah terjadi metastasis ke sumsum tulang (Sudewi

dkk., 2007). Kemoterapi menekan produksi neutrofil sehingga pasien rentan

mengalami infeksi kuman dan jamur (Crawford dkk., 2003).

Pola jenis mikroorganisme penyebab infeksi pada demam neutropenia

berubah hampir setiap 2-3 tahun dan bervariasi menurut lokasi geografis,

sehingga sangat penting untuk mempelajari pola mikroorganisme penyebab

infeksi, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Marti dkk., 2002). Terjadi

perubahan epidemiologi patogen penyebab bakteremia pada pasien demam

neutropenia selama lebih dari tiga dekade. Pada tahun 1970, 60-70% penyebab

bakteremia pada demam neutropenia adalah kuman gram negatif, sementara pada

tahun 1990-an penyebab bakteremia terbanyak adalah kuman cocci gram positif.

Perubahan ini dipengaruhi berbagai faktor yaitu penggunaan quinolone sebagai


11

profilaksis, penggunaan kateter intravaskular jangka panjang, peningkatan insiden

mukositis berat sebagai akibat kemoterapi, penggunaan antasida dan penghambat

histamin (Baskaran dkk., 2007).

Infeksi kuman gram negatif dan anaerob umumnya berasal dari saluran

cerna, sementara infeksi kuman gram positif umumnya berasal dari kulit dan

saluran pernapasan (Meckler dan Lindemulder, 2009). Kuman gram positif

sebagai penyebab terbanyak bakteremia pada pasien demam neutropenia

didapatkan pada penelitian Koivula dkk. (2011) yaitu sebanyak 52% adalah

kuman gram positif, dan 48% adalah kuman gram negatif. Penelitian retrospektif

oleh Yadegarynia dkk.(2013) di Iran mendapatkan bahwa 67% penyebab infeksi

pada demam neutropenia adalah kuman gram negatif, 29,8% kuman gram positif,

dan 3,2% infeksi polimikrobial. Pada kelompok kuman gram negatif didapatkan

Escherichia coli sebagai mikroorganisme terbanyak sementara pada kelompok

kuman gram positif adalah Staphylococcus koagulase negatif.

Berdasarkan penelitian Rena dkk. (2010), sebagian besar hasil biakan darah

pasien demam neutropenia tanpa pertumbuhan kuman (56,3%), sementara hasil

biakan darah menunjukkan kuman terbanyak adalah Staphylococcus koagulase

negatif (11,1%). Sebagian besar hasil biakan darah tidak didapatkan pertumbuhan

kuman, hal tersebut menunjukkan bahwa penyebab infeksi juga berasal dari jamur

atau virus.

Penelitian Sandoval dkk. (2012) mendapatkan infeksi saluran kencing pada

anak anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia sebesar 8,6%,
12

sementara itu hanya 6,9% yang mengalami bakterimia. Mikroorganisme paling

umum terisolasi di urin adalah Escherichia coli.

Berdasarkan penelitian Gustawan dkk.(2013), kultur darah dan kultur urin

positif pada pasien LLA dengan demam neutropenia yaitu 17%, dan 11%. Bakteri

yang terisolasi dan signifikan sebagai patogen di darah yaitu Pseudomonas

aeruginosa, Streptococcus dysgalactiae, dan Salmonella sp. Sementara itu, bakteri

yang paling banyak terisolasi di urin adalah Escherichia coli.

Infeksi jamur meningkat dalam 30 tahun terakhir. Suatu studi autopsi

internasional oleh Bodey dkk menunjukkan bahwa 50% pasien keganasan

hematologi terbukti mengalami infeksi jamur. Infeksi jamur sistemik terbanyak

(saluran pencernaan dan oral) disebabkan oleh Candida albicans, Candida

tropicalis, Candida glabrata, dan Candida parapsilosis. Suatu pusat medis yang

menggunakan flukonazole sebagai terapi profilaksis mendapatkan bahwa Candida

krusei merupakan patogen penting penyebab infeksi (Bhatt dan Saleem, 2004).

Pada tabel 2.2 dijabarkan patogen penyebab infeksi pada anak dengan keganasan.
13

Tabel 2.1. Patogen penyebab infeksi pada anak dengan keganasan


(Lanzkowsky, 2011)
Kuman gram positif
Staphylococci (coagulase-negative, Staphylococcus aureus meliputi methicilin-
resisten S.aureus)
Streptococci (α-hemolytic), khususnya Streptococcus miti
Enterococci
Corynebacteria
Listeria sp.
Kuman gram negatif
Enterobacteriaceae (Escherichia coli, Klebsiella, Enterobacter, Serratia)
Pseudomonas aeruginosa, Stenotrophomonas maltophilia (dan kuman gram
negatif multi resisten oksidase positif lainnya)
Kuman Anaerobik
Clostridium difficile
Bacteroides sp
Proprionobacterium acnes
Fungi
Candida sp.
Aspergillus sp.
Zygomycetes
Cryptococci
Pneumocytis jiroveci (sebelumnya P.carinii)
Lain-lain
Toxoplasma gondii
Strongyloides stercoralis
Cryptosporidium
Virus
Herpes simplex virus
Varicella-zoster virus
Cytomegalovirus
Epstein-Barr virus
Respiratory syncytial virus
Adenovirus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Papovavirus

2.1.4 Patofisiologi

Neutrofil atau polymorphonuclear neutrophils (PMN) merupakan leukosit

terbanyak dalam darah (60-70% pada orang dewasa) yang berasal dari sumsum

tulang. Neutrofil merupakan sel fagositik paling penting untuk sistem imunitas,
14

selain makrofag. Neutrofil akan menempel pada sel-sel endotelial dan bermigrasi

dari darah kedalam jaringan dan ke lokasi infeksi akibat respon rangsangan

kemotaktil. Neutrofil akan menelan mikroorganisme ke dalam fagosom, kemudian

menyatu dengan lisosom untuk membentuk fagolisosom yang akan

menghancurkan organisme yang telah di cerna (Bhatt dan Saleem, 2004).

Neutropenia dapat diakibatkan karena kegagalan produksi neutrofil di

sumsum tulang atau penghancuran di perifer. Berdasarkan jumlah neutrofil

absolut (ANC), neutropenia dapat dibagi menjadi tiga derajat, yaitu ringan jika

nilai ANC 1000-1500 sel/mm3, sedang jika nilai ANC 500-1000 sel/mm3, dan

berat jika nilai ANC <500 sel/mm3 (Bhatt dan Saleem, 2004).

Penurunan jumlah neutrofil absolut pada pasien demam neutropenia dapat

disebabkan pengaruh langsung keganasan pada sistem hematopoiesis, seperti pada

leukemia atau metastasis pada sumsum tulang. Penyebab lainnya yang paling

umum adalah efek sitotoksik kemoterapi yang menekan sistem hematopoiesis

(Crawford dkk., 2004; Lewis dkk., 2011)

Sebagian besar infeksi yang berhubungan dengan neutropenia dan

sitotoksisitas kemoterapi terjadi karena mikrorganisme flora normal host yang

berkolonisasi di kulit dan membran mukosa saluran pencernaan dan pernapasan.

Obat sitostatika berpengaruh pada seluruh jaringan yang bereplikasi, meliputi

rambut, gonad, sumsum tulang dan sel-sel epitel yang melapisi saluran

pencernaan (Bow dkk., 1998). Pemberian agen sitostatika secara agresif pada

penderita keganasan akan menekan kemampuan proliferasi sel sumsum tulang,

termasuk sel yang berperan pada sistem imunitas yaitu sel granulosit. Sel
15

granulosit mengalami kehancuran paling hebat dikarenakan life span yang sangat

pendek. Penurunan kadar sel granulosit bahkan dapat mencapai nol pada pasien

keganasan menyebabkan terganggunya imunitas nonspesifik dan mempermudah

terjadinya infeksi (Rena dkk., 2010).

2.1.5 Faktor Risiko

Faktor risiko demam neutropenia pada keganasan meliputi faktor pasien

dan terapi. Faktor pasien meliputi jenis keganasan dan derajat penyakit, kondisi

komorbid, usia, jumlah neutrofil absolut, status kesehatan sebelum terapi, dan

status gizi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pasien keganasan hematologi

berisiko 4,5 kali lebih tinggi mengalami demam neutropenia dibandingkan tumor

padat. Risiko demam neutropenia meningkat 1.005 kali pada pasien kemoterapi

dengan jumlah neutrofil absolut <250/mm3. Beberapa studi menunjukkan

hubungan peningkatan usia dengan demam neutropenia (Crawford, 2004;

Sulviani, 2007; Lyman dkk., 2013). Status gizi kurang berhubungan dengan

perubahan sistem imun yaitu penurunan aktivitas fagositosis makrofag,

kemotaksis leukosit, dan perubahan profil sitokin sel T-helper (Chaudhuri dkk.,

2016).

Faktor terapi berhubungan dengan regimen selama kemoterapi. Regimen

kemoterapi merupakan risiko neutropenia utama. Contohnya kombinasi

cyclophosphamide, methotrexate, dan 5-fluorouracil kurang toksik dibandingkan

kombinasi cyclophosphamide, doxorubicin, dan 5-fluorouracil. Risiko


16

neutropenia juga berhubungan dengan fase terapi. Fase induksi berisiko 8,9 kali

lebih tinggi dibandingkan fase lainnya (Crawford, 2004; Sulviani, 2007).

Pada tahun 2002, Infectious Diseases Society of America dan European

Society of Medical Oncology telah mensahkan suatu skor penilaian risiko

komplikasi pasien demam neutropenia yang disebut The Multinational

Association for Supportive Care in Cancer Risk-Index Score (Skor MASCC)

(Klastersky dan Paesmans., 2012; Lyman dkk., 2010).

Skor MASCC menentukan pasien memerlukan rawat inap yang lama,

mendapatkan regimen oral atau intravena sekali sehari dan atau pulang dari rumah

sakit untuk menyelesaikan program antibiotika sebagai pasien rawat jalan

(Freifeld dkk., 2011).

Sistem penilaian MASCC (Tabel 2.2) adalah penjumlahan faktor risiko,

termasuk usia pasien, riwayat, rawat jalan atau rawat inap, gejala klinis akut,

komorbiditas medis, dan tingkat keparahan demam dan neutropenia (Freifeld

dkk., 2011).

Tabel 2.2 Skor indeks risiko MASCC


(Freifeld dkk., 2011)
Karakteristik Berat
Demam neutropenia tanpa gejala atau gejala ringan 5
Tidak ada hipotensi (Tekanan darah sistolik >90 mmHg) 5
Tidak ada penyakit paru obstruksi kronis 4
Tumor solid atau keganasan hematologi tanpa infeksi jamur 4
sebelumnya
Tidak ada dehidrasi yang memerlukan cairan parenteral 3
Demam neutropenia dengan gejala sedang 3
Pasien rawat jalan 3
Umur <60 tahun 2
17

Pasien disebut berisiko rendah mengalami komplikasi dan kematian jika

memiliki skor MASCC > 21, dengan nilai prediksi positif 91%, spesifisitas 68%

dan sensitivitas 71% (Klastersky dan Paesmans, 2012; Lyman dkk., 2010).

2.1.6 Gejala dan Tanda Klinis

Evaluasi anak dengan demam neutropenia harus dilakukan secara cepat dan

menyeluruh. Dua pertimbangan penting dalam evaluasi awal yaitu kondisi

neutropenia mengubah respon inflamasi host, menyebabkan sulitnya mendeteksi

infeksi dan keterlambatan penanganan infeksi akan berakibat fatal pada pasien.

Tanda dan gejala klasik infeksi sering tidak ditemukan, sehingga perlunya

menggali riwayat dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk mencari tanda

inflamasi (Sharma dan Lokeshwar, 2005).

Pertanyaan rutin berhubungan dengan riwayat demam meliputi durasi dan

tipe demam, disertai menggigil, nyeri otot, dan gejala lain seperti sakit kepala,

batuk, pilek, sesak, nyeri telinga maupun tenggorokan, diare, muntah, nyeri saat

berkemih dan lesi kulit. Gejala lain yang mungkin menjadi port de entry infeksi

meliputi nyeri saat buang air besar (abses atau selulitis perirektal), mukositis,

tanda infeksi disekitar akses pembuluh darah, dan keterlambatan penyembuhan

luka pasca operasi akibat kemoterapi (Meckler dan Lindemulder, 2009).

Riwayat penyakit dan pengobatan meliputi jenis keganasan, kemoterapi

yang didapat, pengobatan imunosupresi, antibiotik profilaksis, bukti kolonisasi

patogen, penyebab demam non infeksi seperti transfusi darah, dan penyakit
18

komorbid lain seperti diabetes (Avery, 2007; Meckler dan Lindemulder, 2009;

Freifeld dkk., 2011).

Pemeriksaan fisik menyeluruh, meliputi kulit (khususnya lokasi

pemasangan kateter atau lokasi tindakan seperti aspirasi sumsum tulang), sinus,

orofaring (meliputi periodontium), paru-paru, jantung, abdomen, dan pemeriksaan

perianal eksternal. (Avery, 2007; Freifeld dkk., 2011).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi laboratorium meliputi :

1. Biakan darah

Pengambilan biakan darah dianjurkan sebanyak 2 set yaitu dari lumen

central venous catheter (jika ada), dan dari vena perifer untuk identifikasi

infeksi berkaitan dengan central venous catheter. Jika tidak terpasang

central venous catheter maka biakan darah diambil dari 2 tempat terpisah

(Hakim dan Gaur, 2011; Mendes dkk., 2007).

2. Biakan urin dan urinalisis

Infeksi saluran kemih umum terjadi pada anak demam neutropenia. Biakan

urin diindikasikan jika terdapat gejala dan tanda infeksi saluran kemih,

terpasang kateter urin, atau ditemukan abnormalitas pada urinalisis (Freifeld

dkk., 2011).

3. Biakan feses, cairan serebrospinal

Spesimen diambil jika terdapat gejala klinis yang mendukung (Mendes dkk.,

2007; Freifeld dkk., 2011).


19

4. Aspirasi atau biopsi lesi kulit

Aspirasi atau biposi lesi kulit yang dicurigai terinfeksi harus dilakukan tes

sitologi, pewarnaan gram, dan biakan (Freifeld dkk., 2011).

5. Biakan spesimen pernapasan

Jika pasien mengalami batuk produktif, sampel sputum harus dikirim untuk

biakan kuman. Bronchoalveolar lavage (BAL) untuk mendapatkan

spesimen saluran penapasan bawah direkomendasikan pada pasien yang

menampakkan infiltrat pada foto thoraks dengan penyebab yang tidak pasti

(Freifeld dkk., 2011).

6. Radiografi

Pemeriksaan foto torak harus dipertimbangkan untuk semua pasien untuk

menyingkirkan pneumonia (Freifeld dkk., 2011). Sebanyak 17% hingga

25% ditemukan abnormalitas pada foto torak pasien demam neutropenia,

meskipun tanpa disertai gejala atau tanda klinis (Husni dkk., 2002). Jika

terdapat indikasi dapat dilakukan CT scan thorak (Avery, 2007).

CT scan abdomen dapat dilakukan pada pasien nyeri abdomen, dimana

pemeriksaan fisik mungkin kurang menunjukkan gejala klasik. CT scan

abdomen dapat menunjukkan abses, adenopati, penebalan dinding intestinal,

lesi candidiasis hepatosplenik, dan kondisi lainnya (Avery, 2007).

7. Analisis laboratorium lainnya

Pemeriksaan darah lengkap, serum kreatinin, bilirubin, elektrolit dan serum

urea diperlukan untuk rencana terapi penunjang dan memonitor

kemungkinan terjadinya toksisitas obat. Tes tersebut dilakukan minimal


20

setiap tiga hari selama terapi antibiotik intensif. Serum transaminase

diperiksa setidaknya tiap minggu pada pasien dengan komplikasi atau

dicurigai mengalami cedera hepatoseluler atau kolestasis (Freifeld dkk.,

2011).

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal anak demam neutropenia dipengaruhi oleh banyak faktor,

seperti karakteristik pasien, presentasi klinis, ketersediaan infrastruktur,

ketersediaan obat dan biaya, dan epidemiologi lokal, termasuk pola resistensi

kuman (Lehrnbecher dkk., 2012).

Rekomendasi dari Infectious Diseases Society of America Fever and

Neutropenia Guideline tahun 2010 menyatakan langkah awal evaluasi dan terapi

pasien demam neutropenia yaitu penilaian risiko komplikasi. Penilaian risiko

nantinya menentukan tipe terapi antibiotik empiris (oral atau intravena), lokasi

perawatan (rawat jalan atau opname) dan durasi terapi antibiotik (Freifeld dkk.,

2011).

Panduan penggunaan antibiotik tatalaksana demam neutropenia yang

berlaku di RSUP Sanglah membagi kelompok risiko infeksi menjadi risiko tinggi

dan rendah. Risiko tinggi jika memiliki nilai ANC <100 sel/mm3, gambaran

rontgen abnormal, adanya perbaikan neutropenia dalam >10 hari, klinis toksik,

dan tidak terjadi remisi pada keganasan. Risiko rendah bila jika memiliki nilai

ANC >100 sel/mm3, gambaran rontgen normal, adanya perbaikan neutropenia

dalam <10 hari, klinis tidak toksik, dan terjadi remisi pada keganasan.
21

Demam (>38,3OC) dan neutropenia (ANC<500 sel/mm3)

Risiko rendah

Pasien rawat jalan Pasien rawat inap


Antibiotika oral: (Ruang Imunocompromise)
- Amoxicillin clavulanic (oral), atau
- Cefixime(oral)
Cek Procalcitonin
Observasi 4-24 jam di klinik

Procalcitonin normal Procalcitonin >0,5ng/ml

Observasi 3 hari
Cek DL Biakan darah
Biakan urine
Antibiotika lini pertama
Klinis membaik  Ceftazidime
Klinis memburuk dan atau
neutrofil meningkat neutrofil menurun
- Terapi kemoterapi Evaluasi 3 hari (72 jam)
lanjut - Cefotaxime Cek DL dan procalcitonin

Respon baik Respon buruk


Procalcitonin turun atau normal Procalcitonin tetap atau meningkat
Febris (-) neutrofil meningkat Febris (+) neutrofil tetap atau
menurun

Ceftazidime Antibiotik lini kedua


lanjut sampai dengan 7 hari  Ceftazidime
 Amikacin

Evaluasi 3 hari (72 jam)

Biakan (+), respon baik Biakan (+), respon buruk Biakan (-), respon baik Biakan (-), respon
- Lanjutkan antibiotik 14 - Ganti antibiotik sesuai biakan - Hentikan antibiotik buruk
hari - Konsul infeksi tropis untuk - Antijamur
pemilihan antibiotik (Fluconazole-
Amphotericin B)
- Atau cari penyebab
lain
- Konsul infeksi tropis
Gambar 2.1 Panduan antibiotik pasien onkologi anak dengan demam neutropenia

risiko rendah (Anonim, 2014)


22

Demam (>38,3OC) dan neutropenia (ANC<500 sel/mm3)

Risiko tinggi

Pasien rawat inap (Ruang Imunocompromise)


Cek Procalcitonin

Procalcitonin normal Procalcitonin> 0,5ng/ml

Observasi 3 hari Biakandarah


Biakan urine
Cek DL Antibiotika lini pertama
- Ceftazidime
Klinis membaik neutrofil Klinis memburuk dan/ atau
meningkat neutrofil menurun Evaluasi 3 hari (72 jam)
- Kemoterapi lanjut - Cefotaxime Cek DL dan Procalcitonin
- Cari penyebab lain

Respon baik Responburuk


Procalcitonin turun atau normal Procalcitonin tetap atau
Febris (-) neutrofil meningkat meningkat
Febris(+)
neutrofil tetap atau menurun

Ceftazidime lanjut sampai dengan 7


hari Antibiotik lini kedua
- Ceftazidime
- Amikacin

Evaluasi 3 hari (72 jam)

Biakan (+), responbaik Biakan (+), respon buruk Biakan (-), respon baik Biakan (-), respon buruk
- Lanjutkan antibiotik 14 - Ganti antibiotik sesuai biakan - Hentikan antibiotik - Antijamur (Fluconazole-
hari - Konsul infeksi tropis untuk Amphotericin B)
pemilihan antibiotik - Atau cari penyebab lain
- Konsul infeksi tropis

Gambar 2.2 Panduan antibiotik pasien onkologi anak dengan demam neutropenia

risiko tinggi (Anonim, 2014).


23

2.2 Prokalsitonin

2.2.1 Struktur

Prokalsitonin tersusun atas 116 asam amino dengan berat molekul 13kDa.

Prokalsitonin memiliki 33 asam amino imatur kalsitonin (CT) yang tidak

teramidase, 57 asam amino aminoterminus (NproCT) dan 21 asam amino CT

carboboxypeptide 1 (CCP1) yang disebut katakalsin pada carboxyl terminus

(Becker dkk., 2010).

Gambar 2.3 Struktur prokalsitonin (Kosanke R dkk., 2008)

2.2.2 Biologi

Prokalsitonin merupakan prohormon kalsitonin. Prokalsitonin dan kalsitonin

merupakan protein yang berbeda. Kalsitonin secara ekslusif diproduksi oleh sel C

kelenjar tiroid sebagai respon rangsangan hormonal, sementara prokalsitonin

dapat diproduksi oleh beberapa tipe sel dan banyak organ sebagai respon

rangsangan pro inflamasi (Pugin dkk., 2008). Mitokondria RNA prokalsitonin


24

disintesis oleh gen calcitonin I (CALC-1) pada kromosom-11 selama sepsis dan

inflamasi. Gen CALC-1 juga merupakan sumber kalsitonin matur pada individu

sehat, yang diproduksi oleh sel C tiroid (Meisner, 2002). Prokalsitonin yang

terbentuk di sel C tiroid akan diubah menjadi kalsitonin, sehingga tidak ada

prokalsitonin yang beredar disirkulasi. Prokalsitonin tidak terdeteksi pada

individu sehat karena kadarnya berada dibawah nilai ambang batas deteksi

(Nakamura dkk., 2013).

Peningkatan prokalsitonin nampak pada dua hingga empat jam saat

inflamasi sistemik berat atau infeksi kuman, dan kadarnya menetap hingga

pemulihan. Kadar prokalsitonin bisa tetap berada diatas nilai normal hingga 7 hari

setelah paparan endotoksin (Nakamura dkk., 2013). Waktu paruh prokalsitonin

dalam serum adalah 22 hingga 26 jam (Lee, 2013).

2.2.3 Mekanisme Sekresi

Induksi sekresi prokalsitonin melalui dua cara yaitu langsung dan tak

langsung. Induksi secara langsung akibat endotoksin lipopolisakarida (LPS) atau

toksin lain yang dilepaskan mikroba (Nakamura dkk., 2013). Endotoksin LPS dari

kuman gram negatif atau produk kuman lainnya seperti lipotechoic acid (LTA)

dari kuman gram positif akan berinteraksi dengan sel imun melalui toll-like

receptors (TLRs) untuk memulai respon sitokin pro inflamasi yang akan

menginduksi hipersekresi prokalsitonin sistemik dari sel parenkim (Lee, 2013).

Induksi secara tidak langsung melalui respon host terhadap sitokin inflamasi

(interleukin-1β, interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α) (Nakamura dkk.,


25

2013). Melalui suatu proses umpan balik, produksi prokalsitonin akan

merangsang sitokin pro inflamasi lainnya. Kadar prokalsitonin meningkat secara

selektif terhadap proses inflamasi bakteri, sebaliknya kadar sitokin tidak spesifik

terhadap inflamasi tertentu. Prokalsitonin jarang mengalami peningkatan pada

infeksi virus, karena pengaruh interferon-γ (IFN γ). Interferon-γ (IFN γ)

merupakan respon pertahanan tubuh terhadap infeksi virus, yang akan

menghambat induksi kalsitonin mRNA sehingga mengurangi pembentukan

prokalsitonin (Becker dkk., 2010; Lee, 2013; Nakamura dkk., 2013).

Gambar 2.4 Hiperprokalsitonaemia meningkatkan sitokin pro inflamasi

(Becker dkk., 2010)

2.2.4 Peranan Diagnostik

Prokalsitonin memiliki peranan penting dalam mendiagnosis infeksi pada

pasien imunosupresi (Hatzistilianou, 2010). Prokalsitonin mampu membedakan

infeksi bakteri yang memiliki kultur darah positif dengan infeksi virus dengan

sensitivitas tinggi (95%) (Nelson dkk., 2014).


26

Suatu studi pada anak-anak yang menjalani kemoterapi intensif,

menyebutkan bahwa titik potong prokalsitonin 2 ng/mL pada kelompok infeksi

kuman menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yaitu 94% dan 96,5% untuk

memprediksi bakteremia. Dengan perbandingan penanda infeksi lainnya seperti

CRP, IL-6, IL-8, IL-1b, sTNFR1, TNF-α, dan molekul adesi terlarut,

prokalsitonin merupakan penanda infeksi yang lebih baik dengan

mempertimbangkan sensitivitas dan spesifisitasnya (Hatzistilianou, 2010).

Sebuah meta analisis membandingkan 25 studi yang terdiri dari 2966

pasien. Analisis tersebut menemukan sebuah odd ratio (OR) akurasi diagnostik

prokalsitonin yaitu 15,7 (95% confidence interval (CI) 9.1-27.1) dibandingkan 5.4

untuk CRP (95% CI, 3,2-9,2). Pada sebuah tinjauan sistematis yang sama dari 18

studi didapatkan, rerata sensitivitas dan spesifisitas prokalsitonin sebagai penanda

diagnostik untuk infeksi kuman didapatkan 71% (95% CI, 67-76) dengan Q value

0,72 (Chaudhury dkk., 2013). Tabel 2.3 menjabarkan referensi nilai prokalsitonin

beserta intepretasinya.

Tabel 2.3 Referensi Nilai Prokalsitonin


Chaudhury dkk., 2013
Referensi nilai (ng/mL) Intepretasi
<0,05 Normal
<0,5 Mungkin infeksi lokal. Tes ulang
setelah 6-24 jam
>0,5 - <2 Mungkin infeksi kuman sistemik. Tes
ulang setelah 6-24 jam
>2 - <10 Mungkin sekali infeksi kuman sistemik.
Risiko tinggi untuk sepsis berat
>10 Sepsis kuman berat, syok sepsis

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan

prokalsitonin untuk mendiagnosis banding inflamasi akibat bakteri dan bukan


27

akibat bakteri. Produksi prokalsitonin dapat distimulasi oleh penyebab non-

infeksius. Dengan mempertimbangkan kinetika dan kadar prokalsitonin rendah

pada inflamasi non-infeksius terutama jika dibandingkan dengan parameter

inflamasi lain, sehingga dibutuhkan monitoring kadar prokalsitonin selama

periode follow-up. Peningkatan atau kadar prokalsitonin yang tetap tinggi

menandakan respon inflamasi sistemik atau sepsis (Meisner, 2002).

Penelitian di beberapa pusat pendidikan mendapatkan kadar prokalsitonin

>5ng/ml berhubungan kuat dengan sepsis berat, 1-5ng/ml dengan bakterimia, 0,5-

1ng/ml dengan infeksi lokal pada penderita keganasan dengan demam

neutropenia(Giamarellou dkk., 2004).

Penelitian mengenai nilai prokalsitonin pada penderita dengan biakan

positif cairan tubuh lain telah dilakukan. Nilai AUC prokalsitonin untuk

membedakan biakan positif adalah 0,661 dengan nilai titik potong optimal 1,32

ng/ml (sensitivitas 63,4%, spesifisitas 63,3%, rasio kemungkinan positif 1,728 dan

rasio kemungkinan negatif 0,578) (Yu dkk., 2015).

2.2.5 Peranan Prognostik

Telah diketahui bahwa terdapat peningkatan kadar prokalsitonin yang

diikuti peningkatan derajat sepsis dan disfungsi organ. Prokalsitonin juga sebagai

prediktor mortalitas pada studi yang terdiri dari 472 pasien kritis (Chaudhury

dkk., 2013).

Saat ini, prokalsitonin dipertimbangkan sebagai salah satu penanda infeksi

awal dan paling spesifik terhadap infeksi kuman. Prokalsitonin tidak hanya
28

sebagai penanda infeksi namun juga berguna dalam memonitor respon host

terhadap infeksi dan terapi. Kadar prokalsitonin harus dimonitor secara serial. Jika

kadar prokalsitonin menurun lebih dari 30% terhadap nilai awal setelah 24 jam

pertama dari onset terapi antibiotika, mengindikasikan bahwa terapi yang

diberikan sudah tepat dan infeksi terkontrol. Jika kadar prokalsitonin meningkat

menandakan respon host terhadap infeksi sangat buruk, imunitas host harus

diperkuat dan terapi antibiotik harus diganti (Hatzistilianou, 2010).

2.2.6 Peranan Dalam Pemberian Antibiotik

Diketahui bahwa prokalsitonin mampu membantu membedakan infeksi

karena kuman dan virus, sehingga dapat digunakan sebagai panduan dalam

pemberian antibiotik (Nelson dkk., 2014).

Pada tahun 2004, Christ-Crain dkk, mempublikasi data sebuah studi

intervensi kegunaan prokalsitonin sebagai panduan terapi antibiotik pada pasien

dengan infeksi kuman lokal. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa terdapat

penurunan sangat signifikan dalam penggunaan antibiotik dan biaya sekitar 50%

(Kosanke R,2008).

Suatu studi meta-analisis dari 14 uji kontrol acak yang terdiri dari 4211

pasien, tentang peranan prokalsitonin dalam memandu terapi antibiotik pada

infeksi pernapasan akut, terlihat bahwa prokalsitonin menurunkan kegagalan

terapi namun tidak untuk mortalitas, jika dibandingkan dengan perawatan biasa.

Kelompok yang dipandu prokalsitonin memiliki paparan antibiotik lebih sedikit


29

dibandingkan kelompok perawatan biasa (median 4 hari dibandingkan 8 hari)

(Chaudhury dkk., 2013).

2.2.7 Nilai Dalam Kondisi Infeksi dan Non-Infeksi pada Demam Neutropenia

Kadar prokalsitonin cukup meningkat setelah onset demam pada pasien

neutropenia, terutama akibat infeksi. Engel, dkk menemukan peningkatan kadar

prokalsitonin dalam 32 jam dari onset demam pada pasien neutropenia dengan

infeksi yang terbukti secara klinis atau mikrobiologi dibandingkan dengan pasien

dengan demam tanpa sebab yang jelas (median 0,51 berbanding 0,26 ng/ml).

Peningkatan kadar prokalsitonin lebih nyata pada pasien bakteremia

dibandingkan pasien dengan infeksi lokal, virus atau jamur. Kadar paling tinggi

prokalsitonin dalam plasma diamati pada infeksi kuman akut, terutama sepsis

(Durnas dkk., 2016). Beberapa studi melaporkan titik potong serum prokalsitonin

untuk membedakan infeksi kuman dan non kuman dengan rentang dari 0,5 hingga

1,3 ng/ml dengan sensitivitas pada rentang 44 hingga 88% dan spesifisitas dari 61

hingga 88%. Namun, de Bont dkk. (2000) menemukan kesamaan kadar

prokalsitonin pasien dengan dan tanpa bakteremia pada studi kohort dari 66

pasien demam neutropenia yang diinduksi kemoterapi.

Pasien demam akibat penyebab yang tidak diketahui mungkin memiliki

kadar prokalsitonin dalam rentang normal atau sedikit meningkat, namun biasanya

bernilai jauh dibawah pasien akibat infeksi kuman. Ruokonen dkk melaporkan

kadar prokalsitonin lebih tinggi pada pasien terinfeksi dibandingkan pasien

dengan demam tanpa penyebab yang diketahui saat delapan jam setelah onset
30

demam pada 28 anak-anak dengan demam neutropenia. Von Lilienfeld-Toal dkk,

menjabarkan kadar prokalsitonin lebih tinggi pada pasien dengan bakteremia

dibandingkan non-bakteremia pada pasien demam setelah menjalani kemoterapi,

menderita demam tanpa penyebab yang diketahui, demam non mikrobial, dan

pneumonia. Secmeer dkk menemukan pada pasien pediatri dengan demam

neutropenia setelah kemoterapi intensif, tidak ada perbedaan pada kadar

prokalsitonin atau CRP saat onset demam, atau tingkat sedimentasi eritrosit antara

infeksi yang tercatat secara klinis atau mikrobiologi dan demam tanpa penyebab

yang diketahui. Namun, kadar prokalsitonin menurun lebih cepat pada pasien tak

terinfeksi dibandingkan dengan pasien terinfeksi (Sakr dkk., 2008).

2.2.8 Nilai Berdasarkan Jenis Mikroorganisme

Kadar prokalsitonin dilaporkan sering lebih tinggi pada pasien demam

neutropenia dengan infeksi kuman dibandingkan infeksi virus atau jamur. Namun,

perbedaan berdasarkan tipe kuman secara spesifik kurang jelas. Fleischhack dkk,

melaporkan kadar prokalsitonin lebih tinggi pada 76 anak-anak demam

neutropenia terinfeksi kuman gram negatif dibandingkan pasien terinfeksi kuman

gram positif. Demikian pula, Svaldi dkk, menemukan kadar prokalsitonin lebih

tinggi pada 73 pasien demam dewasa dengan infeksi kuman gram negatif

dibandingkan infeksi gram positif. Namun, beberapa studi melaporkan kesamaan

kadar prokalsitonin antara pasien terinfeksi kuman gram negatif dan kuman gram

positif pada sepsis dan imunodefisiensi, demam neutropenia setelah kemoterapi


31

sitotoksik, dan pasien neutropenia dewasa dengan keganasan hematologi, atau

tumor solid (Sakr dkk., 2008).

Prokalsitonin juga diperuntukan sebagai penanda candidiasis. Titik potong

<6,08 ng/mL untuk menyingkirkan Candida spp memiliki nilai prediktif negatif

yang tinggi. Prokalsitonin dapat dipertimbangkan sebagai alat diagnostik untuk

menyingkirkan Candida spp. pada pasien sepsis dan membantu membatasi

penggunaan agen antijamur yang tidak perlu. Namun penelitian lain oleh

Montagna dkk menyimpulkan bahwa kadar prokalsitonin 0,5-1 ng/mL tidak

dipertimbangkan sebagai indikator sepsis akibat jamur (Durnas dkk., 2016).

Perbandingan kadar prokalsitonin pada penderita imunosupresi tanpa infeksi,

penderita keganasan yang baru terdiagnosis, penderita demam neutropenia karena

kemoterapi intensif, mukositis akibat kemoterapi, beratnya leukopenia,

neutropenia, limfopenia dan monositopenia tidak meyebabkan peningkatan

prokalsitonin yang bermakna. Tingginya kadar prokalsitonin pada penderita

demam neutropenia dan mukositis berat tidak disebabkan karena mukositis saja

namun karena infeksi terutama infeksi gram-negatif (26,7%) (Fleischhack dkk.,

2000). Charles dkk, mendapatkan kadar prokalsitonin penderita candidemia yang

lebih rendah secara signifikan (median 0,65 ng/ml) dibandingkan bakteremia

(media 9,75 ng/ml). Kadar prokalsitonin lebih dari 5,5 ng/ml pada sepsis akibat

Candida spp memiliki nilai duga negatif yaitu 100%, dan nilai duga positif yaitu

65%. Terganggunya imunitas (hipoergik) sering melibatkan Candida spp,

sehingga merupakan salah satu alasan yang menjelaskan rendahnya kadar

prokalsitonin pada penderita candidemia (Raineri dkk, 2017).


32

2.3 Keganasan pada Anak

2.3.1 Definisi Anak

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak bab 1 pasal 1 menyatakan seorang anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan (Anonim., 2002).

2.3.2 Definisi Keganasan

Keganasan sering diistilahkan sebagai neoplasia. Istilah neoplasia pertama

kali diperkenalkan pada awal 1950 oleh ahli patologi Inggris bernama Rupert

Willis. Neoplasia dikatakan sebagai massa jaringan abnormal dengan

pertumbuhan yang berlebihan dan tidak terkoordinasi, yang menetap walaupun

stimulan yang menyebabkan perubahan tersebut telah berhenti (Chandrasoma dan

Taylor., 1998).

Berdasarkan WHO, keganasan merupakan pertumbuhan sel-sel abnormal

secara cepat dan melampaui batas normal, serta dapat menyebar ke bagian tubuh

lain. Keganasan anak merupakan istilah yang dipakai untuk menamai keganasan

yang muncul pada anak sebelum usia 15 tahun (WHO., 2015).

2.4 Faktor-Faktor Non Infeksi yang Meningkatkan Kadar Prokalsitonin

Selain akibat suatu infeksi, peningkatan kadar prokalsitonin juga diamati

pada beberapa kondisi non infeksi. Kondisi non infeksi tersebut antara lain

keganasan, neonatus, pembedahan, luka bakar, penyakit Kawasaki, pemberian


33

antibodi sel T atau alemtuzumab, pemberian interleukin-2, graft-versus-host-

disease (GvHD), transfusi granulosit profilaksis, dan penyakit tiroid.

2.4.1 Terapi Antibodi Sel-T, Alemtuzumab dan Interleukin-2

Peningkatan prokalsitonin diikuti demam setelah terapi antibodi sel-T,

alemtuzumab atau interleukin-2 menandakan pelepasan sitokin terjadi akibat

rusaknya atau aktivasi sel-T dengan gejala seperti sepsis. Peningkatan tersebut

terjadi bertahap dalam satu hingga 3 hari (Dornbusch dkk., 2008; Chaftari dkk.,

2015).

2.4.2 Transfusi Granulosit

Penggunaan transfusi granulosit pada pasien keganasan makin meningkat,

baik sebagai profilaksis maupun terapi suportif terhadap sepsis atau jamur pada

pasien neutropenia. Transfusi granulosit profilaksis biasanya diikuti respon

demam dan peningkatan tidak spesifik prokalsitonin. Prokalsitonin memiliki

keterbatasan nilai sebagai penanda diagnostik infeksi bakteri selama terapi

imunomodulator sel T, transfusi granulosit atau GvHD (Dornbusch dkk., 2008).

2.4.3 Graft-versus-host-disease (GvHD)

Graft-versus-host-disease (GvHD) adalah komplikasi yang terjadi sebelum

hari ke-100 setelah transplantasi allogenic hematopoietic stem cell (HSCT)

dengan gejala terutama pada kulit, hati, dan gastrointestinal. Patofisiologi GvHD

yaitu meliputi kerusakan jaringan akibat inflamasi yang berasal dari regimen

kemoterapi atau radioterapi, selanjutnya sitokin pro inflamasi mengaktifkan donor

berasal dari sel T yang akan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Sel efektor akan

memediasi sitotoksisitas terhadap sel host melalui interaksi ligan Fas-Fas,


34

perforin-granzyme B dan sitokin lain seperti TNF-α (Jacobsohn, 2007). Studi

mendapatkan peningkatan kadar prokalsitonin pada GvHD. Prokalsitonin dapat

membedakan GvHD dari infeksi meski dengan terapi steroid (Dornbusch dkk.,

2008; Sjoqvist, 2013).

2.4.4 Penyakit Kawasaki

Vaskulitis generalisata yang mendasari penyakit Kawasaki berhubungan

dengan peningkatan konsentrasi serum TNF-α. Prokalsitonin bekerja menghambat

pelepasan TNF-α yang diinduksi lipopolisakarida. Peningkatan prokalsitonin pada

penyakit Kawasaki akut mungkin berperan secara fisiologis dalam menekan

vaskulitis yang disebabkan penyakit Kawasaki. Studi mendapatkan kadar

prokalsitonin lebih tinggi secara signifikan pada penyakit Kawasaki (2,3 + 3

ng/ml) dan infeksi bakteri (2,2 + 2,9 ng/ml) dibandingkan penyakit autoimun (0,4

+ 0,4 ng/ml) atau infeksi virus (0,4 + 0,3 ng/ml) atau anak sehat (0,2 + 0,1 ng/ml)

(Okada dkk., 2003).

2.4.5 Luka Bakar dan Pembedahan

Prokalsitonin juga meningkat pada kondisi seperti luka bakar, trauma,

pembedahan dan kegagalan multi organ. Beberapa studi melaporkan prokalsitonin

berguna sebagai penanda sepsis yang berasal dari systemic inflammatory response

syndrome (SIRS) non infeksius pada luka bakar berat. Studi mendapatkan titik

potong optimal prokalsitonin dalam 48 jam pertama setelah luka bakar yang

berhubungan dengan mortalitas tinggi yaitu 1,7 ng/ml (Kim dkk., 2012).
35

2.4.6 Keganasan

Intepretasi peningkatan kadar prokalsitonin pada pasien keganasan

merupakan suatu tantangan, karena kadar prokalsitonin juga dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti metastasis dan fungsi neuroendokrin jaringan

keganasan (Durnas dkk., 2016). Pada beberapa keganasan didapatkan nilai

prokalsitonin yang lebih tinggi. Suatu studi mendapatkan bahwa median

prokalsitonin pada keganasan hematologi lebih tinggi dibandingkan tumor padat

(0,23 ng/ml dan 0,156 ng/ml) dengan p<0,0001. Nilai median prokalsitonin

berturut-turut dimulai dari nilai paling tinggi yaitu keganasan kolon (0,4 ng/ml),

leukemia (0,265 ng/ml), tiroid (0,231 ng/ml), limfoma (0,165 ng/ml), prostat

(0,164 ng/ml) dan sarkoma (0,147 ng/ml). Studi lain menyatakan beberapa tumor

lain juga berhubungan dengan peningkatan prokalsitonin yaitu small cell lung

cancer, karsinoid, pheochromocytoma, pancreatic islet, kanker payudara, dan

tumor urogenital.

Pasien keganasan dengan stadium IV memiliki nilai median prokalsitonin

lebih tinggi dibandingkan stadium I-III yaitu 0,19 ng/ml dan 0,127 ng/ml. Kadar

prokalsitonin pasien keganasan dengan demam lebih tinggi dibandingkan tanpa

demam yaitu 0,3 ng/ml dan 0,1 ng/ml. Pasien keganasan dengan demam dan

kultur darah negatif memiliki nilai prokalsitonin lebih rendah dibandingkan saat

terjadi sepsis atau bakteremia dengan nilai median prokalsitonin (0,49 ng/ml)

(Chaftari dkk., 2015).

Studi kohort pasien keganasan kepala dan leher mendapatkan kadar

prokalsitonin lebih tinggi secara signifikan pada terjadinya infeksi dibandingkan


36

demam yang berhubungan dengan tumor (Schuttrumpf dkk., 2006). Kadar

prokalsitonin yang tinggi pada keganasan yang mengalami demam akibat

bakteremia maupun infeksi bakteri lokal lebih cepat mengalami penurunan

dibandingkan demam akibat keganasan (Shomali dkk., 2012). Telah diamati

terjadinya peningkatan kadar prokalsitonin sangat tinggi pada pasien dengan

keganasan yang mengalami lisis tumor dan dengan terapi antibodi monoklonal

(Durnas dkk., 2016).

2.4.7 Neonatus

Prokalsitonin pada neonatus meningkat secara fisiologis pada hari ke-3

kehidupan dan menurun pada hari ke-7 kehidupan baik pada bayi aterm maupun

preterm. Terdapat pernyataan berbeda dari beberapa studi, salah satu studi

menyebutkan prematuritas tidak mempengaruhi kadar prokalsitonin, namun di

studi lain menyatakan kadar prokalsitonin lebih tinggi secara signifikan pada bayi

prematur pada hari pertama, ketiga, dan ke-7 setelah lahir. Studi lain menyatakan

peningkatan puncak secara fisiologis terjadi dalam 2 hari pertama kehidupan

akibat reaksi kelahiran dengan aktivasi sistem imun non spesifik. Studi

mendapatkan rerata kadar prokalsitonin pada bayi aterm dan prematur saat hari

pertama kehidupan adalah 0,14 ng/ml, hari ke-3 kehidupan adalah 1,14 ng/ml dan

hari ke-7 kehidupan adalah 0,155 ng/ml. Faktor-faktor lain yang berhubungan

dengan peningkatan prokalsitonin pada neonatus tanpa infeksi bakteri yaitu usia

gestasi rendah dan distress napas selama satu minggu pertama kehidupan (Lee

dkk., 2017).
37

2.4.8 Penyakit Tiroid

Disfungsi tiroid baik yang berhubungan dengan proses autoimun seperti

tiroiditis Hashimoto, penyakit Grave dan non-autoimun dapat meningkatkan

reaktan fase akut salah satunya yaitu prokalsitonin. Studi mendapatkan

prokalsitonin meningkat secara signifikan pada penderita disfungsi tiroid

(p<0,001). Nijsten dkk melaporkan perilaku prokalsitonin sebagai reaktan fase

akut dihasilkan melalui TNF-α dan IL-6 selama inflamasi dan infeksi.

Peningkatan prokalsitonin pada disfungsi tiroid kemungkinan pada proses

autoimun diakibatkan destruksi jaringan tiroid tempat prokalsitonin disintesis

yaitu parafolikular C, kemungkinan lain akibat peningkatan gen CALC-1 yang

menginduksi produksi prokalsitonin melalui sintesis sitokin pro inflamasi oleh

limfosit. Sinyal yang dibutuhkan dalam peningkatan CALC-1 belum diketahui

secara pasti dan diperkirakan berasal langsung melalui toksin atau tidak langsung

melalui imunitas humoral dan seluler (Savas dkk., 2016; Oncul dkk., 2017).

Anda mungkin juga menyukai