Anda di halaman 1dari 8

PERAN PEMERIKSAAN PROCALCITONIN PADA INFEKSI

BAKTERI

Abstrak
Infeksi bakteri, pemberian antibotik yang tidak rasional, dan masalah resistensi masih menjadi
masalah yang cukup besar di dunia kesehatan saat ini. Keterlambatan menegakkan diagnosis
dapat terjadi bila diagnosis infeksi bakteri menunggu hasil parameter kultur mikrobiologi.
Penanda infeksi yang ada, termasuk di antaranya jumlah leukosit serta C-reactive protein (CRP)
masih memiliki beberapa keterbatasan, seperti kurang mampu mendeteksi kondisi sepsis. Suatu
biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin terkait kemungkinan penyebab
inflamasi, baik yang disebabkan oleh infeksi bakterial maupun nonbakterial, serta dapat
memberikan informasi tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Procalcitonin dapat menjadi
marker infeksi bakteri yang cukup menjanjikan. Kadar procalcitonin serum efektif digunakan untuk
tujuan diagnostik, prediksi penyakit, serta evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia,
termasuk bayi, dewasa, dan lanjut usia dengan berbagai lokasi infeksi bakteri.

Kata kunci: Procalcitonin, Marker infeksi, Infeksi bakteri

Abstract
Bacterial infections, irrational administration of antibotics, and resistance problems are still
considerable problems in today's health world. Delays in establishing the diagnosis may occur
when the diagnosis of a bacterial infection awaits the results of microbiological culture
parameters. Existing infection markers, including the number of leukocytes and C-reactive protein
(CRP) still have some limitations, such as being less able to detect sepsis conditions. An ideal
biomarker will provide information as early as possible regarding possible inflammatory causes,
both caused by bacterial and nonbacterial infections, and can provide information about the
clinical condition and prognosis of the disease. Procalcitonin can be quite promising markers of
bacterial infection. Serum procalcitonin levels are effectively used for diagnostic purposes,
disease prediction, as well as evaluation of therapeutic efficacy in various age population,
including infants, adults, and the elderly with different locations of bacterial infection

Keywords: Procalcitonin, Infection markers, Bacterial infection

PENDAHULUAN
Sampai saat ini, masih terdapat sejumlah keterbatasan pada marker diagnostik
konvensional untuk berbagai kasus infeksi. Akibatnya, pemberian antibiotik yang tidak diperlukan
serta durasi terapi yang tidak tepat dapat memberikan efek yang tidak diinginkan kepada pasien,
baik dalam hal resistensi antibiotik, peningkatan angka mortalitas, lama waktu perawatan,
maupun dari aspek biaya. Namun sebaliknya, keterlambatan menegakkan diagnosis infeksi
bakteri akan terjadi bila harus menunggu hasil parameter kultur mikrobiologi terlebih dahulu.
Hambatan lain berupa sensitivitas metode diagnostik yang relatif rendah (seperti pada kultur
darah), dan spesifitas yang relatif rendah (misalnya karena kontaminasi pada kultur sputum).
Upaya untuk menegakkan diagnosis infeksi bakteri yang akurat dan cepat sangat dibutuhkan
dalam praktik klinis.1,2
Secara tradisional, infeksi berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis seperti hiper atau
hipotermia, takikardi, takipnu, hipotensi ditambah beberapa data laboratorium rutin seperti hitung
leukosit, kadar C-reactive protein. Namun demikian, tidak jarang ditemukan hasil laboratorium
rutin dalam rentang normal. Parameter lain yang digunakan antara lain adalah sitokin
proinflamasi, seperti TNF-D, IL-1E dan IL-6. Sayangnya, kadar sitokin proinflamasi biasanya
hanya meningkat untuk waktu yang relatif singkat.
Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin, dapat
membedakan inflamasi akibat infeksi bakterial atau nonbakterial, serta dapat memberikan
informasi tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Penanda inflamasi seperti C-reactive
protein (CRP) atau penanda infeksi seperti hitung leukosit kurang spesifik untuk infeksi bakteri.
Hal ini disebabkan oleh adanya bermacam-macam penyebab infeksi dan variasi respons
inflamasi pasien yang bergantung pada waktu, jenis, lama, dan lokasi infeksi. 1,3,4
Infeksi yang kemudian dapat berlanjut menjadi kondisi systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dan sepsis, setiap tahun dialami oleh lebih dari 18 juta orang di dunia. Di Uni
Eropa didapatkan 90 kasus sepsis tiap 100.000 populasi dan di Amerika Serikat didapatkan 3
kasus sepsis tiap 1.000 populasi per tahun. Dari jumlah penderita sepsis, sebanyak 0,25–0,38
per 1000 populasi membutuhkan perawatan intensif. Bila tidak diterapi dengan segera, sepsis
dapat dengan cepat berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik, dengan rata-rata angka
kematian sebesar 30-50% atau 5 kali lebih tinggi dari angka kematian akibat penyakit jantung
koroner atau stroke, yaitu sekitar 20.000 kematian per hari di seluruh dunia. Untuk pasien
dengan syok septik, ada peningkatan rata-rata angka kematian sebesar 8% untuk setiap jam
keterlambatan pemberian antibiotik. Sejumlah faktor menjadi penyebab keterlambatan dalam
menemukan kondisi sepsis dan berakibat keterlambatan penanganan pertama, termasuk
keterlambatan pemberian antibiotik.5-9
Kondisi infeksi berhubungan erat dan ditandai dengan peningkatan yang khas dari kadar
prohormon procalcitonin dalam darah. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa procalcitonin
dapat menjadi dasar pemberian antibiotik dan penilaian efikasi terapi antibiotik pada pasien
dengan infeksi. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa kadar procalcitonin serum efektif
digunakan untuk tujuan diagnostik, prediksi penyakit dan evaluasi efikasi terapi pada berbagai
populasi usia, termasuk bayi, dewasa dan lanjut usia dengan berbagai lokasi infeksi. 5,7
Procalcitonin adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino dan merupakan
prohormon calcitonin. Calcitonin terdiri dari 32 asam amino, sedangkan PCT dibentuk oleh
prePCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul 16 kDa. Pemecahan terjadi di
sel C kelenjar tiroid.10,11 Pemeriksaan semikuantitatif PCT sangat praktis dan dapat digunakan
secara bed-side. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi bila terdapat reaksi peradangan
sistemik yang disebabkan oleh endotoxin bakteri, exotoxin, dan beberapa jenis sitokin. 12
Beberapa penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan PCT antara lain malaria penyakit
jamur,13,14 penyakit autoimun,12 bedah jantung,15 pankreatitis,16 luka bakar,17 penyakit Kawasaki,18
dan syok kardiogenik.19

PERAN PROCALCITONIN DALAM DIAGNOSIS KLINIS


Pada tahun 1993, kadar prohormon procalcitonin yang sangat tinggi ditemukan pada
semua pasien dengan sepsis juga pada berbagai kasus SIRS berat yang disebabkan oleh luka
bakar, pankreatitis, pneumonia, pembedahan luas, multitrauma, dan beberapa infeksi
nonbakterial seperti malaria. Peningkatan kadar ini terjadi sebesar puluhan, ratusan bahkan
ribuan kali lipat. Sebagai prohormon calcitonin, procalcitonin memiliki aktivitas hormonal yang
minim.4,5,7
Hormon calcitonin disintesis di dalam sel-sel C pada kelenjar tiroid dan paru, serta dalam
sel-sel neuroendokrin, sebagai respons terhadap hiperkalsemia atau pada pasien dengan
keganasan tiroid medular. Calcitonin memiliki 33 asam amino dan sebagai bagian dari protein
yang lebih besar, yaitu 116 asam amino prohormon procalcitonin. Di dalam serum orang normal,
didapatkan procalcitonin intak, calcitonin aktif (CT), dan NProCT (aminoterminus 57-amino acid
sequence), CCP-1 (21-amino acid carboxyterminus peptide) atau catacalcin dan CCP-1 yang
terikat dengan calcitonin. 3,20,21
Procalcitonin adalah 116-asam amino polipeptida yang muncul dari CALC-1 gene.
Procalcitonin tersusun oleh sebuah peptida terminal-N (N-ProCT, aminoprocalcitonin) yang
terletak sentral, CT dan CCP-1. Procalcitonin intak bersirkulasi pada kadar yang rendah dalam
darah individu sehat. Procalcitonin didegradasi oleh protease spesifik menjadi calcitonin dan
dilepaskan ke sirkulasi dalam jumlah terbatas. Pada orang normal, kadar procalcitonin plasma
kurang dari 0,05 ng/ml. Pada kondisi infeksi bakteri yang berat serta sepsis, kadar procalcitonin
meningkat hingga 10.000 kali lipat. Oleh karena itu, saat ini procalcitonin merupakan penanda
utama untuk menegakkan diagnosis infeksi sistemik berat serta sepsis yang diakibatkan oleh
bakteri.5,22,23
Produksi procalcitonin distimulasi oleh cytokine proinflamasi yang dibangkitkan oleh
produk yang dihasilkan oleh bakteri. Produk tersebut di antaranya endotoksin
(lipopolisakarida/LPS) yang berasal dari dinding sel bakteri Gram negatif, asam lipoteikoat dari
bakteri Gram positif, serta komponen lain dari mikroorganisme dan sel yang mengalami nekrosis.
Substansi ini dapat berasal dari infeksi eksternal atau dari translokasi endogen toksin bakteri
melalui dinding usus. Diketahui bahwa bakteri Gram positif, Gram negatif, atau jamur
mengaktivasi jalur toll-like receptor (TLR) yang berbeda, sehingga memproduksi cytokine
proinflamasi yang berbeda pula, yang kesemuanya menstimulasi produksi procalcitonin. Dengan
demikian dapat diduga bahwa patogen yang berbeda dapat mendorong produksi procalcitonin
dengan kadar yang berbeda pula.5,23
Procalcitonin memperlihatkan peningkatan kadar dalam tubuh yang cepat sejalan dengan
paparan, cepat mencapai kadar puncak, dan dengan cepat menurun mengikuti pemberian terapi
atau hilangnya pencetus. Waktu paruh procalcitonin sekitar 22 jam. 3,23,24
Procalcitonin diharapkan dapat menjadi penanda infeksi bakteri yang lebih spesifik.
Kadar procalcitonin meningkat ketika terjadi infeksi bakteri, jamur, dan parasit. Sebaliknya,
procalcitonin hanya sedikit meningkat atau bahkan mengalami peningkatan kadar pada infeksi
virus serta pada kondisi inflamasi berat yang bukan disebabkan oleh infeksi. Procalcitonin
diproduksi sebagai respons terhadap endotoksin atau mediator yang dilepaskan pada saat terjadi
infeksi bakteri. Mediator interleukin (IL)-1ß, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan IL-6 berkorelasi
sangat kuat dengan berat dan lamanya infeksi bakteri. Karena pengaturan procalcitonin dihambat
oleh interferon (INF)-γ, suatu cytokine yang dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus,
maka procalcitonin lebih spesifik mengindikasikan infeksi bakteri dan dengan demikian dapat
membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus.1,4,7
Kadar procalcitonin dalam darah meningkat dalam 6-12 jam setelah infeksi, bahkan
terdapat literatur yang menyatakan peningkatan terjadi dalam 2-4 jam setelah infeksi. Kadar
procalcitonin mencapai puncaknya dalam 8 hingga 24 jam setelah infeksi dan bertahan selama
proses inflamasi berlangsung. Kadar procalcitonin cepat menurun hingga separuhnya setelah
infeksi terkontrol oleh sistem imun tubuh pasien atau akibat pemberian terapi antibiotik.
Procalcitonin berkorelasi dengan jumlah bakteri dan beratnya infeksi. Sebaliknya, biomarker
terdahulu, yaitu c-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED), keduanya hanya
meningkat setelah 24 jam infeksi dan meningkat juga pada infeksi virus, sementara kadar
procalcitonin relatif tetap.1,3,4,7,20
Fluktuasi kadar procalcitonin diduga dipengaruhi juga secara langsung oleh jaringan
adiposa melalui sel-sel imun penderita dan secara tidak langsung melalui pengaturan fungsi imun
endokrin dan/atau parakrin. Selama inflamasi, ekspresi TNF-α jaringan adiposa meningkat dan
diduga berefek lokal. TNF-α tidak disekresi ke sirkulasi, sementara adipokin lain seperti IL-6,
dilepaskan ke aliran darah. Peningkatan procalcitonin ini berkorelasi dengan beratnya penyakit
dan risiko kematian.4
Pemeriksaan procalcitonin dikembangkan dengan meningkatkan sensitivitasnya hingga
kadar terendah 0,06 ng/ml. Penelitian Kratzsch dkk. (2011) memperlihatkan bahwa calcitonin
dalam serum tidak stabil pada suhu ruang. Konsentrasi calcitonin menurun setelah 2 jam. Pada
suhu beku konsentrasi calcitonin juga mengalami penurunan sebesar 10-30%. Sebaliknya,
konsentrasi procalcitonin dalam darah relatif lebih stabil dibandingkan calcitonin. Procalcitonin
tetap stabil selama preparasi sampel, baik ketika dibekukan, maupun pada penyimpanan dalam
jangka waktu lama.1,4,24
Metode pemeriksaan procalcitonin membutuhkan sensitivitas yang tinggi sehingga
perubahan kadar procalcitonin yang sangat rendah dapat terdeteksi. Metode pemeriksaan
procalcitonin dapat menggunakan medoa electrochemiluminescence (ECL) dengan lama
pemeriksaan 18 menit dan batas deteksi 0,06 ng/ml. Metode enzyme-linked fluorescence
immunoassay (ELFA) membutuhkan waktu 20 menit dengan batas deteksi 0,09 ng/ml. Metode
time resolved amplified cryptate emission (TRACE) membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 50
menit dengan batas deteksi 0,06 ng/ml. 1,4
Keterbatasan setiap metode pengukuran procalcitonin adalah dapat ditemukannya hasil
positif palsu dan negatif palsu. Perbedaan penyebab infeksi dapat menginduksi respons kadar
procalcitonin yang berbeda dalam sirkulasi. Antimikroba dapat menurunkan kadar procalcitonin,
walaupun hubungan langsung dengan dosis antibiotik yang dikonsumsi pasien dengan kadar
procalcitonin masih belum jelas. Pada bayi baru lahir, kadar procalcitonin secara normal
meningkat hingga 2–3 ng/ml dalam 24 jam setelah kelahiran dan menjadi normal kembali setelah
48–72 jam. Peningkatan kadar procalcitonin yang tidak spesifik pada keadaan tanpa infeksi
bakteri dapat terjadi pada keganasan tiroid medular, keganasan paru jenis small cell, komplikasi
pascaoperasi, cirrhosis, pankreatitis, ischemic bowel, syok kardiogenik, juga pada situasi stres
berat seperti periode pascatrauma.1,4,20
Charles dkk. pada penelitian retrospektifnya menemukan bahwa kadar procalcitonin
ditemukan lebih tinggi pada infeksi bakteri Gram negatif daripada infeksi bakteri Gram positif,
dengan AUC 0,79. Koivula dkk. juga membuktikan bahwa peningkatan kadar procalcitonin dalam
24 jam setelah onset demam memprediksi adanya bakteremia Gram negatif. Brodsk’a dkk. pada
penelitian retrospektifnya juga menemukan bahwa cut-off kadar procalcitonin 15 ng/ml dapat
membedakan sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif, Gram positif, atau jamur,
dengan spesivitas 87,8%. Interaksi bakteri Gram negatif dengan sel host yang berbeda dari sel
host yang berinteraksi dengan bakteri Gram positif diduga menjadi penyebab perbedaan jumlah
produksi procalcitonin. Bakteri Gram positif mengaktivasi jalur TLR2, sedangkan bakteri Gram
negatif mengaktivasi jalur TLR4, sehingga menghasilkan produksi cytokine proinflamasi yang
berbeda seperti IL-1β, IL-6, dan TNF-α dan melepaskan procalcitonin dari berbagai jaringan
tubuh.1,13 Dengan cut-off yakni sebesar 74,8–100% dan spesivitas sebesar 70–100%, dengan
nilai prediksi positif 55–100% dan nilai prediksi negatif 56,3–100%. Jika kadar procalcitonin
rendah (<0,1 ng/ml) diagnosis bakteremia dan sepsis dapat disingkirkan, dengan nilai prediksi
negatif 98,2%, sensitivitas 75% dan spesifitas 78%. 1,4,23
Pada infeksi intraabdominal, penggunaan procalcitonin sangat menjanjikan sebagai
penanda untuk menyingkirkan adanya perforasi dan iskemia pada sindroma obstruksi
(obstructive bowel syndrome). Penggunaan procalcitonin terbatas pada appendicitis akut dan
pankreatitis. Procalcitonin lebih membantu sebagai penanda prognosis untuk penyakit berat dan
keadaan yang buruk. Infeksi yang terlokalisasi, seperti pada artritis dan osteomielitis, tidak
meningkatkan kadar procalcitonin secara bermakna, terutama bila cut-off yang digunakan adalah
0,1 ng/ml. Hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa produksi procalcitonin tidak
dipengaruhi oleh corticosteroid atau terapi dengan nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID)
serta tidak tergantung pada jumlah leukosit.1,20
Banyak penelitian menunjukkan peran procalcitonin dalam sepsis, seperti induksi efek
proinflamasi pada leukosit, penurunan aktivitas fagositik netrofil, penghambatan migrasi netrofil,
peningkatan cytokine proinflamasi lokal, serta peningkatan jumlah Nitric Oxide (NO).
Procalcitonin juga memblokir aktivitas hormon calcitonin gene-related peptide (CGRP). Kadar
peptida ini meningkat dalam serum pasien sepsis dan memiliki efek manfaat seperti fagositosis,
penurunan TNF-α, dilatasi arteri koroner, dan lain-lain. 5

KETERBATASAN PEMERIKSAAN PROCALCITONIN


Sejumlah keterbatasan ada dalam menggunakan procalcitonin sebagai penanda infeksi dan
sepsis. Peningkatan nonspesifik procalcitonin tanpa adanya infeksi bakteri dapat terjadi dalam
situasi stres besar, seperti setelah trauma parah dan operasi, atau pada pasien dengan syok
kardiogenik.1,25 Inilah alasan mengapa kekuatan procalcitonin untuk membedakan antara sepsis
dan peradangan steril lebih baik untuk medis daripada untuk pasien bedah. Berbagai penyebab
lain dari peradangan sistemik nonbakteri telah dilaporkan, termasuk stres kelahiran pada bayi
baru lahir, heat shock, dan penyakit graft-versus-host akut, serta berbagai jenis imunoterapi,
seperti transfusi granulosit, pemberian globulin antilimfosit atau antibodi anti-CD3, dan terapi
dengan sitokin atau antibodi terkait (IL-2 atau TNF-α). 26 Beberapa penyakit autoimun seperti
penyakit Kawasaki atau berbagai jenis vaskulitis dan sindrom paraneoplastik juga dikaitkan
dengan peningkatan kadar procalcitonin.27

KESIMPULAN
Infeksi berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis seperti hiper atau hipotermia,
takikardi, takipnu, hipotensi ditambah beberapa data laboratorium rutin seperti hitung leukosit,
kadar C-reactive protein. Namun demikian, tidak jarang ditemukan hasil laboratorium rutin dalam
rentang normal. Dibutuhkan biomarker yang ideal yang akan memberikan informasi sedini
mungkin, dapat membedakan inflamasi akibat infeksi bakterial atau nonbakterial, serta dapat
memberikan informasi tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Produksi procalcitonin
distimulasi oleh cytokine proinflamasi yang dibangkitkan oleh produk yang dihasilkan oleh bakteri.
Procalcitonin diharapkan dapat menjadi penanda infeksi bakteri yang lebih spesifik. Kadar
procalcitonin meningkat ketika terjadi infeksi bakteri, jamur, dan parasit. Sebaliknya, procalcitonin
hanya sedikit meningkat atau bahkan mengalami peningkatan kadar pada infeksi virus serta pada
kondisi inflamasi berat yang bukan disebabkan oleh infeksi. Beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa procalcitonin lebih spesifik mengindikasikan infeksi bakteri dan dengan demikian dapat
membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus. Namun, keterbatasan setiap metode
pengukuran procalcitonin adalah dapat ditemukannya hasil positif palsu dan negatif palsu, salah
satunya pada situasi stres besar, seperti setelah trauma parah dan operasi, atau pada pasien
dengan syok kardiogenik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Schuetz P, Albrich W, Mueller B. 2011. “Procalcitonin for diagnosis of infection and guide
to antibiotic decisions: past, present, and future” in BMC Medicine (9:1-9).
2. Davidson J, Tong S, Hauck A, Lawson DS, Cruz E, Kaufman J. 2013. “Kinetics of
procalcitonin and C-Reactive protein and the relationship to postoperative infection in
young infants undergoing cardiovascular surgery” in Pediatric Research (74;413-9).
3. Leli C, Ferranti M, Moretti A, Al Dhahab ZS, Cenci E, Mencacci A. 2015. Procalcitonin
levels in gram-positive, gramnegative and fungal bloodstream infections. Hindawi
Publishing Corporation Disease Markers (1-8).
4. Li H, Luo Y-F, Blackwell TS, Xie C-M. 2011. “Meta-analysis and systematic review of
procalcitonin-guided therapy in respiratory tract infections” in Antimicrobial Agents And
Chemotherapy (5;5900-6).
5. Huang TS, Huang SS, Shyu YC, Lee CH, Jwo SC, Chen PJ, et al. 2014. “A procalcitonin-
based algorithm to guide antibiotic therapy in secondary peritonitis following emergency
surgery: a prospective study with propensity score matching analysis” in Plos One (9:1–
7).
6. Hohn A, Schroeder S, Gehrt A, Bernhardt K, Bein B, Wegscheider K, et al. 2013.
“Procalcitonin-guided algorithm to reduce length of antibiotic therapy in patients with
severe sepsis and septic shock” in BMC Infectious Diseases (13:158-72).
7. Kratzsch J, Petzold A, Raue F, Reinhardt W, Bröcker-Preu M, Görges R, et al. 2011.
“Basal and stimulated calcitonin and procalcitonin by various assays in patients with and
without medullary thyroid cancer” in Clinical Chemistry (57: 467-74).
8. Yap CYF, Aw TC. 2014. “The use of procalcitonin in clinical practice” in Proceedings of
Singapore Healthcare (23:33–7).
9. Yang Y, Xie J, Guo F, Longhini F, Gao Z, Huang Y, et al. 2016. “Combination of
c-reactive protein, procalcitonin and sepsisrelated organ failure score for the diagnosis of
sepsis in critical patients” in Ann. Intensive Care (51:1-9).
10. Meisner M. Pathobiochemistry and clinical use of procalcitonin. Clin Chim Acta 2002;
323: 17-29
11. Ittner L, Born W, Rau B, Steinbach G, Fischer JA. Circulating procalcitonin and cleavage
products in septicaemia compared with medullary thyroid carcinoma. Eur J Endocrinol
2002; 147: 727–31.
12. Claeys R, Vinken S, Spapen H, ver Elst K, Decochez K, Huygenhens L, dkk. Plasma
PCT and CRP in acute septic shock: clinical and biological correlates. Crit Care Med
2002; 30: 757-62.
13. Chiwakata CB, Manegold C, Bonicke L, Julch C, Dietrich M. Procalcitonim as a
parameter of disease severity and risk mortality in patients with Plasmodium falciparum
malaria. J Infect Dis 2001; 183: 161–4.
14. Christofilopoulou S, Charvalos E, Petrikkos G. Could procalcitonin be a predictive
biological marker in systemic fungal infections? Study of 14 cases. Eur J Internal Med
2002; 13: 493-5.
15. Meisner M, Rauschmayer C, Schmidt J, Feyrer R, Cesn- Meisner M, Rauschmayer C,
Schmidt J, Feyrer R, Cesnjevar R, Bredle D, Tschaikowsky K. Early increase PCT after
cardiovascular surgery in patients with post opera- tive complication. Intensive Care Med
2002;28:1094- 102.
16. Kylanpaa-Back ML, Takala A, Kemppainen EA, Puolak- Kylanpaa-Back ML, Takala A,
Kemppainen EA, Puolakkainen PA, Haapiainen R, Repo H. Procalcitonin strip test in the
early detection of severe acute pancreatitis. Br J Surg 2001;88:1–6.
17. Dehne MG, Sablotzki A, Hoffmann A, Mühling J, Dietrich FE, Hempelmann G. Alterations
of acute phase reaction and cytokine production in patients following severe burn injury.
Burns 2002; 28:535-42.
18. Okada Y, Minakami H, Tomomasa T, Kato M, Inoue Y, Kozawa K, dkk. Serum
procalcitonin concentration in patients with Kawasaki disease. J Infect 2004;48:199- 205.
19. Geppert A, Steiner A, Delle-Karth G, Heinz G, Huber K. Usefulness of procalcitonin for
diagnosing complicating sepsis in patients with cardiogenic shock. Intensive Care Med
2003;29: 1384-9.
20. Gilbert DN. 2011. “Procalcitonin as a Biomarker in respiratory tract infection” in Clinical
Infectious Diseases (52:46 –50).
21. McGregor C. 2014. ‘Improving time to antibiotics and implementing the “Sepsis 6”’ in
BMJ.
22. Huang HL, Nie X, Cai B, Tang JT, He Y, Miao Q, et al. 2013. “Procalcitonin levels predict
acute kidney injury and prognosis in acute pancreatitis: a prospective study” in Plos One
(8:1-9).
23. Daniels R. 2011. “Surviving The First Hours In Sepsis: Getting The Basics Right (An
Intensivist’s Perspective)” in J Antimicrob Chemother (66:11-23)
24. Becker KL. 2010. “Immunoneutralization of procalcitonin or its component peptides: a
promising treatment of  sepsis” in Clinical Science (119:515-7).
25. Aabenhus R, Jensen JU. Procalcitonin-guided antibiotic treatment of respiratory tract
infections in a primary care setting: are we there yet? Prim Care Respir J.  2011;20:360–
367.
26. Becker KL, Snider R, Nylen ES. Procalcitonin assay in systemic inflammation, infection,
and sepsis: clinical utility and limitations. Crit Care Med. 2008;36:941–952.
27. Reinhart K, Bauer M, Riedemann NC, Hartog CS. New approaches to sepsis: molecular
diagnostics and biomarkers. Clin Microbiol Rev.  2012;25:609–634.

Anda mungkin juga menyukai