Anda di halaman 1dari 5

MEDICAL REVIEW

PERAN
PROCALCITONIN
SEBAGAI MARKER
INFEKSI
Juliani Dewi
Laboratorium Rampal Diagnostika, Malang

ABSTRAK
Infeksi, pemberian antibotik yang tidak rasional, dan masalah resistensi masih menjadi masalah yang cukup besar di dunia kesehatan
saat ini. Keterlambatan menegakkan diagnosis dapat terjadi bila diagnosis infeksi bakteri menunggu hasil parameter kultur mikrobiologi.
Penanda infeksi yang ada, termasuk di antaranya jumlah leukosit serta C-reactive protein (CRP) masih memiliki beberapa keterbatasan,
seperti kurang mampu mendeteksi kondisi sepsis. Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin terkait
kemungkinan penyebab inflamasi, baik yang disebabkan oleh infeksi bakterial maupun nonbakterial, serta dapat memberikan informasi
tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Procalcitonin dapat menjadi marker infeksi yang cukup menjanjikan. Procalcitonin dapat
digunakan sebagai dasar pemberian antibiotik dan menilai efikasi terapi antibiotik pada pasien infeksi. Kadar procalcitonin serum efektif
digunakan untuk tujuan diagnostik, prediksi penyakit, serta evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia, termasuk bayi, dewasa,
dan lanjut usia dengan berbagai lokasi infeksi.

Kata kunci : Antibiotik, infeksi, marker infeksi, procalcitonin

PENDAHULUAN
Sampai saat ini, masih terdapat sejumlah keterbatasan pada marker diagnostik konvensional untuk berbagai kasus infeksi. Akibatnya,
pemberian antibiotik yang tidak diperlukan serta durasi terapi yang tidak tepat dapat memberikan efek yang tidak diinginkan kepada
pasien, baik dalam hal resistensi antibiotik, peningkatan angka mortalitas, lama waktu perawatan, maupun dari aspek biaya. Namun
sebaliknya, keterlambatan menegakkan diagnosis infeksi bakteri akan terjadi bila harus menunggu hasil parameter kultur mikrobiologi
terlebih dahulu. Hambatan lain berupa sensitivitas metode diagnostik yang relatif rendah (seperti pada kultur darah), dan spesifitas yang
relatif rendah (misalnya karena kontaminasi pada kultur sputum). Upaya untuk menegakkan diagnosis infeksi bakteri yang akurat dan
cepat sangat dibutuhkan dalam praktik klinis.1,2

Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin, dapat membedakan inflamasi akibat infeksi bakterial atau
nonbakterial, serta dapat memberikan informasi tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Penanda inflamasi seperti C-reactive
protein (CRP) atau penanda infeksi seperti hitung leukosit kurang spesifik untuk infeksi bakteri. Hal ini disebabkan oleh adanya
bermacam-macam penyebab infeksi dan variasi respons inflamasi pasien yang bergantung pada waktu, jenis, lama, dan lokasi infeksi.1,3,4

Infeksi yang kemudian dapat berlanjut menjadi kondisi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan sepsis, setiap tahun

52 medicinus NOVEMBER 2019 VOL. 32 ISSUE 3


MEDICAL REVIEW

dialami oleh lebih dari 18 juta orang di dunia. Di Uni Eropa didapatkan 90 kasus sepsis tiap 100.000 populasi dan di Amerika Serikat
didapatkan 3 kasus sepsis tiap 1.000 populasi per tahun. Dari jumlah penderita sepsis, sebanyak 0,25–0,38 per 1000 populasi
membutuhkan perawatan intensif. Bila tidak diterapi dengan segera, sepsis dapat dengan cepat berkembang menjadi sepsis berat
dan syok septik, dengan rata-rata angka kematian sebesar 30-50% atau 5 kali lebih tinggi dari angka kematian akibat penyakit jantung
koroner atau stroke, yaitu sekitar 20.000 kematian per hari di seluruh dunia. Untuk pasien dengan syok septik, ada peningkatan rata-rata
angka kematian sebesar 8% untuk setiap jam keterlambatan pemberian antibiotik. Sejumlah faktor menjadi penyebab keterlambatan
dalam menemukan kondisi sepsis dan berakibat keterlambatan penanganan pertama, termasuk keterlambatan pemberian antibiotik.5-9

Kondisi infeksi berhubungan erat dan ditandai dengan peningkatan yang khas dari kadar prohormon procalcitonin dalam darah. Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa procalcitonin dapat menjadi dasar pemberian antibiotik dan penilaian efikasi terapi antibiotik pada
pasien dengan infeksi. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa kadar procalcitonin serum efektif digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediksi penyakit dan evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia, termasuk bayi, dewasa dan lanjut usia dengan berbagai lokasi
infeksi.5,7,8

PERAN PROCALCITONIN DALAM DIAGNOSIS KLINIS


Pada tahun 1993, kadar prohormon procalcitonin yang sangat tinggi ditemukan pada semua pasien dengan sepsis juga pada berbagai
kasus SIRS berat yang disebabkan oleh luka bakar, pankreatitis, pneumonia, pembedahan luas, multitrauma, dan beberapa infeksi
nonbakterial seperti malaria. Peningkatan kadar ini terjadi sebesar puluhan, ratusan bahkan ribuan kali lipat. Sebagai prohormon
calcitonin, procalcitonin memiliki aktivitas hormonal yang minim.4,5,7

Hormon calcitonin disintesis di dalam sel-sel C pada kelenjar tiroid dan paru, serta dalam sel-sel neuroendokrin, sebagai respons
terhadap hiperkalsemia atau pada pasien dengan keganasan tiroid medular. Calcitonin memiliki 33 asam amino dan sebagai bagian
dari protein yang lebih besar, yaitu 116 asam amino prohormon procalcitonin. Di dalam serum orang normal, didapatkan procalcitonin
intak, calcitonin aktif (CT), dan NProCT (aminoterminus 57-amino acid sequence), CCP-1 (21-amino acid carboxyterminus peptide) atau
catacalcin dan CCP-1 yang terikat dengan calcitonin.3,10,11

Procalcitonin adalah 116-asam amino polipeptida yang muncul dari CALC-1 gene. Procalcitonin tersusun oleh sebuah peptida terminal-N
(N-ProCT, aminoprocalcitonin) yang terletak sentral, CT dan CCP-1. Procalcitonin intak bersirkulasi pada kadar yang rendah dalam darah
individu sehat. Procalcitonin didegradasi oleh protease spesifik menjadi calcitonin dan dilepaskan ke sirkulasi dalam jumlah terbatas.
Pada orang normal, kadar procalcitonin plasma kurang dari 0,05 ng/ml. Pada kondisi infeksi bakteri yang berat serta sepsis, kadar
procalcitonin meningkat hingga 10.000 kali lipat. Oleh karena itu, saat ini procalcitonin merupakan penanda utama untuk menegakkan
diagnosis infeksi sistemik berat serta sepsis yang diakibatkan oleh bakteri.5,12,13

Produksi procalcitonin distimulasi oleh cytokine proinflamasi yang dibangkitkan oleh produk yang dihasilkan oleh bakteri. Produk
tersebut di antaranya endotoksin (lipopolisakarida/LPS) yang berasal dari dinding sel bakteri Gram negatif, asam lipoteikoat dari bakteri
Gram positif, serta komponen lain dari mikroorganisme dan sel yang mengalami nekrosis. Substansi ini dapat berasal dari infeksi
eksternal atau dari translokasi endogen toksin bakteri melalui dinding usus. Diketahui bahwa bakteri Gram positif, Gram negatif, atau
jamur mengaktivasi jalur toll-like receptor (TLR) yang berbeda, sehingga memproduksi cytokine proinflamasi yang berbeda pula, yang
kesemuanya menstimulasi produksi procalcitonin. Dengan demikian dapat diduga bahwa patogen yang berbeda dapat mendorong
produksi procalcitonin dengan kadar yang berbeda pula.5,13

Procalcitonin memperlihatkan peningkatan kadar dalam tubuh yang cepat sejalan dengan paparan, cepat mencapai kadar puncak, dan
dengan cepat menurun mengikuti pemberian terapi atau hilangnya pencetus. Waktu paruh procalcitonin sekitar 22 jam.3,13,14

Procalcitonin diharapkan dapat menjadi penanda infeksi bakteri yang lebih spesifik. Kadar procalcitonin meningkat ketika terjadi
infeksi bakteri, jamur, dan parasit. Sebaliknya, procalcitonin hanya sedikit meningkat atau bahkan mengalami peningkatan kadar pada
infeksi virus serta pada kondisi inflamasi berat yang bukan disebabkan oleh infeksi. Procalcitonin diproduksi sebagai respons terhadap
endotoksin atau mediator yang dilepaskan pada saat terjadi infeksi bakteri. Mediator interleukin (IL)-1ß, tumor necrosis factor (TNF)-α,

NOVEMBER 2019 VOL. 32 ISSUE 3 medicinus 53


MEDICAL REVIEW

dan IL-6 berkorelasi sangat kuat dengan berat dan lamanya infeksi bakteri. Karena pengaturan procalcitonin dihambat oleh interferon
(INF)-γ, suatu cytokine yang dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus, maka procalcitonin lebih spesifik mengindikasikan
infeksi bakteri dan dengan demikian dapat membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus.1,4,7

Kadar procalcitonin dalam darah meningkat dalam 6-12 jam setelah infeksi, bahkan terdapat literatur yang menyatakan peningkatan
terjadi dalam 2-4 jam setelah infeksi. Kadar procalcitonin mencapai puncaknya dalam 8 hingga 24 jam setelah infeksi dan bertahan
selama proses inflamasi berlangsung. Kadar procalcitonin cepat menurun hingga separuhnya setelah infeksi terkontrol oleh sistem imun
tubuh pasien atau akibat pemberian terapi antibiotik. Procalcitonin berkorelasi dengan jumlah bakteri dan beratnya infeksi. Sebaliknya,
biomarker terdahulu, yaitu c-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED), keduanya hanya meningkat setelah 24 jam infeksi dan
meningkat juga pada infeksi virus, sementara kadar procalcitonin relatif tetap.1,3,4,7,10

Fluktuasi kadar procalcitonin diduga dipengaruhi juga secara langsung oleh jaringan adiposa melalui sel-sel imun penderita dan
secara tidak langsung melalui pengaturan fungsi imun endokrin dan/atau parakrin. Selama inflamasi, ekspresi TNF-α jaringan adiposa
meningkat dan diduga berefek lokal. TNF-α tidak disekresi ke sirkulasi, sementara adipokin lain seperti IL-6, dilepaskan ke aliran darah.
Peningkatan procalcitonin ini berkorelasi dengan beratnya penyakit dan risiko kematian. 4

Pemeriksaan procalcitonin dikembangkan dengan meningkatkan sensitivitasnya hingga kadar terendah 0,06 ng/ml. Penelitian Kratzsch
dkk. (2011) memperlihatkan bahwa calcitonin dalam serum tidak stabil pada suhu ruang. Konsentrasi calcitonin menurun setelah 2 jam.
Pada suhu beku konsentrasi calcitonin juga mengalami penurunan sebesar 10-30%. Sebaliknya, konsentrasi procalcitonin dalam darah
relatif lebih stabil dibandingkan calcitonin. Procalcitonin tetap stabil selama preparasi sampel, baik ketika dibekukan, maupun pada
penyimpanan dalam jangka waktu lama.1,4,14

Metode pemeriksaan procalcitonin membutuhkan sensitivitas yang tinggi sehingga perubahan kadar procalcitonin yang sangat rendah
dapat terdeteksi. Metode pemeriksaan procalcitonin dapat menggunakan medoa electrochemiluminescence (ECL) dengan lama
pemeriksaan 18 menit dan batas deteksi 0,06 ng/ml. Metode enzyme-linked fluorescence immunoassay (ELFA) membutuhkan waktu
20 menit dengan batas deteksi 0,09 ng/ml. Metode time resolved amplified cryptate emission (TRACE) membutuhkan waktu lebih lama,
yaitu 50 menit dengan batas deteksi 0,06 ng/ml.1,4

Keterbatasan setiap metode pengukuran procalcitonin adalah dapat ditemukannya hasil positif palsu dan negatif palsu. Perbedaan
penyebab infeksi dapat menginduksi respons kadar procalcitonin yang berbeda dalam sirkulasi. Antimikroba dapat menurunkan kadar
procalcitonin, walaupun hubungan langsung dengan dosis antibiotik yang dikonsumsi pasien dengan kadar procalcitonin masih belum
jelas. Pada bayi baru lahir, kadar procalcitonin secara normal meningkat hingga 2–3 ng/ml dalam 24 jam setelah kelahiran dan menjadi
normal kembali setelah 48–72 jam. Peningkatan kadar procalcitonin yang tidak spesifik pada keadaan tanpa infeksi bakteri dapat terjadi
pada keganasan tiroid medular, keganasan paru jenis small cell, komplikasi pascaoperasi, cirrhosis, pankreatitis, ischemic bowel, syok
kardiogenik, juga pada situasi stres berat seperti periode pascatrauma.1,4,10

Charles dkk. pada penelitian retrospektifnya menemukan bahwa kadar procalcitonin ditemukan lebih tinggi pada infeksi bakteri Gram
negatif daripada infeksi bakteri Gram positif, dengan AUC 0,79. Koivula dkk. juga membuktikan bahwa peningkatan kadar procalcitonin
dalam 24 jam setelah onset demam memprediksi adanya bakteremia Gram negatif. Brodsk’a dkk. pada penelitian retrospektifnya juga
menemukan bahwa cut-off kadar procalcitonin 15 ng/ml dapat membedakan sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif, Gram
positif, atau jamur, dengan spesivitas 87,8%. Interaksi bakteri Gram negatif dengan sel host yang berbeda dari sel host yang berinteraksi
dengan bakteri Gram positif diduga menjadi penyebab perbedaan jumlah produksi procalcitonin. Bakteri Gram positif mengaktivasi jalur
TLR2, sedangkan bakteri Gram negatif mengaktivasi jalur TLR4, sehingga menghasilkan produksi cytokine proinflamasi yang berbeda
seperti IL-1β, IL-6, dan TNF-α dan melepaskan procalcitonin dari berbagai jaringan tubuh.1,13 Dengan cut-off <0,1 ng/ml, procalcitonin
mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi untuk menyingkirkan diagnosis infeksi yang sesungguhnya. Sedangkan dengan cut-off
<0,25 ng/ml, procalcitonin dapat sangat membantu untuk menyingkirkan diagnosis bakteremia, dengan nilai prediksi negatif yang
sangat tinggi. Cut-off ≥10,8 ng/ml diharapkan dapat menentukan adanya infeksi bakteri Gram negatif dan cut-off ≤3,1 ng/ml dapat
menyingkirkan adanya infeksi Enterobacteriaceae. Secara umum, dilaporkan akurasi diagnostiknya mempunyai sensitivitas yang tinggi

54 medicinus NOVEMBER 2019 VOL. 32 ISSUE 3


MEDICAL REVIEW

yakni sebesar 74,8–100% dan spesivitas sebesar 70–100%, dengan nilai prediksi positif 55–100% dan nilai prediksi negatif 56,3–100%.
Jika kadar procalcitonin rendah (<0,1 ng/ml), diagnosis bakteremia dan sepsis dapat disingkirkan, dengan nilai prediksi negatif 98,2%,
sensitivitas 75% dan spesifitas 78%.1,4,13

Pada infeksi intraabdominal, penggunaan procalcitonin sangat menjanjikan sebagai penanda untuk menyingkirkan adanya perforasi
dan iskemia pada sindroma obstruksi (obstructive bowel syndrome). Penggunaan procalcitonin terbatas pada appendicitis akut dan
pankreatitis. Procalcitonin lebih membantu sebagai penanda prognosis untuk penyakit berat dan keadaan yang buruk. Infeksi yang
terlokalisasi, seperti pada artritis dan osteomielitis, tidak meningkatkan kadar procalcitonin secara bermakna, terutama bila cut-off yang
digunakan adalah 0,1 ng/ml. Hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa produksi procalcitonin tidak dipengaruhi oleh corticosteroid
atau terapi dengan nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID) serta tidak tergantung pada jumlah leukosit.1,10

Banyak penelitian menunjukkan peran procalcitonin dalam sepsis, seperti induksi efek proinflamasi pada leukosit, penurunan aktivitas
fagositik netrofil, penghambatan migrasi netrofil, peningkatan cytokine proinflamasi lokal, serta peningkatan jumlah Nitric Oxide (NO).
Procalcitonin juga memblokir aktivitas hormon calcitonin gene-related peptide (CGRP). Kadar peptida ini meningkat dalam serum pasien
sepsis dan memiliki efek manfaat seperti fagositosis, penurunan TNF-α, dilatasi arteri koroner, dan lain-lain.5

PERAN PROCALCITONIN DALAM PEMILIHAN ANTIBIOTIK


Beberapa studi meneliti kegunaan procalcitonin untuk membantu membuat keputusan dimulainya terapi antibiotik serta durasi
pemberiannya. Beberapa publikasi telah membandingkan penggunaan antibiotik berdasarkan rekomendasi algoritma klinis dengan
pemberian antibiotik berdasarkan kadar procalcitonin di atas rentang nilai cut-off. Pengulangan evaluasi klinis dan pengukuran ulang
kadar procalcitonin direkomendasikan setelah 6–24 jam jika kondisi klinik tidak membaik secara spontan. Jika kadar procalcitonin
meningkat dan terapi antibiotik sudah dimulai, pengulangan pemeriksaan procalcitonin direkomendasikan setiap 1-2 hari, tergantung
kondisi klinis. Penurunan kadar procalcitonin hingga lebih dari 30% dalam 24 jam pertama mengindikasikan adanya respons terhadap
antibiotik dan infeksi telah terkontrol. Antibiotik dihentikan dengan menggunakan rentang nilai cut-off yang sama atau sampai dijumpai
penurunan sebesar 80-90% jika kadar awal sangat tinggi (contoh >5 ng/ml). Pengukuran kadar procalcitonin ini mengurangi durasi
pemberian antibiotik hingga 65% pada pasien CAP dan mengurangi peresepan antibiotik dari 72% menjadi 40% pada pasien PPOK
eksaserbasi akut. Bila selama pemberian antibiotik kadar procalcitonin mengalami peningkatan, maka antibiotik yang digunakan harus
diganti. Apabila kadar procalcitonin tetap meningkat, artinya respons pasien terhadap terapi sangat buruk dan prognosis pun dapat
diprediksikan buruk. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemeriksaan procalcitonin dapat digunakan untuk menilai progonis
pasien. Pada penelitian Huang dkk. (2014) penggunaan antibiotik dengan menggunakan algoritma procalcitonin mengurangi durasi

penggunaan antibiotik sebesar 13–55% atau sekitar 3 hari, pada berbagai kasus infeksi.1,11,12

DAFTAR PUSTAKA
1.      Schuetz P, Albrich W, Mueller B. 2011. “Procalcitonin for diagnosis of infection and guide to antibiotic decisions: past,

present, and future” in BMC Medicine (9:1-9).

2.      Davidson J, Tong S, Hauck A, Lawson DS, Cruz E, Kaufman J. 2013. “Kinetics of procalcitonin and C-Reactive protein and

the relationship to postoperative infection in young infants undergoing cardiovascular surgery” in Pediatric Research

(74;413-9).

3.      Leli C, Ferranti M, Moretti A, Al Dhahab ZS, Cenci E, Mencacci A. 2015. Procalcitonin levels in gram-positive, gram-

negative and fungal bloodstream infections. Hindawi Publishing Corporation Disease Markers (1-8).

4.     Li H, Luo Y-F, Blackwell TS, Xie C-M. 2011. “Meta-analysis and systematic review of procalcitonin-guided therapy in

NOVEMBER 2019 VOL. 32 ISSUE 3 medicinus 55


respiratory tract infections” in Antimicrobial Agents And Chemotherapy (5;5900-6).

5.      Huang TS, Huang SS, Shyu YC, Lee CH, Jwo SC, Chen PJ, et al. 2014. “A procalcitonin-based algorithm to guide

antibiotic therapy in secondary peritonitis following emergency surgery: a prospective study with propensity score

matching analysis” in Plos One (9:1–7).

6.      Hohn A, Schroeder S, Gehrt A, Bernhardt K, Bein B, Wegscheider K, et al. 2013. “Procalcitonin-guided algorithm to reduce

length of antibiotic therapy in patients with severe sepsis and septic shock” in BMC Infectious Diseases (13:158-72).

7.      Kratzsch J, Petzold A, Raue F, Reinhardt W, Bröcker-Preu M, Görges R, et al. 2011. “Basal and stimulated calcitonin

and procalcitonin by various assays in patients with and without medullary thyroid cancer” in Clinical Chemistry (57:

467-74).

8.      Yap CYF, Aw TC. 2014. “The use of procalcitonin in clinical practice” in Proceedings of Singapore Healthcare (23:33–7).

9.      Yang Y, Xie J, Guo F, Longhini F, Gao Z, Huang Y, et al. 2016. “Combination of c‑reactive protein, procalcitonin and sepsis-

related organ failure score for the diagnosis of sepsis in critical patients” in Ann. Intensive Care (51:1-9).

10.  Gilbert DN. 2011. “Procalcitonin as a Biomarker in respiratory tract infection” in Clinical Infectious Diseases (52:46

–50).

11.  McGregor C. 2014. ‘Improving time to antibiotics and implementing the “Sepsis 6”’ in BMJ.

12.  Huang HL, Nie X, Cai B, Tang JT, He Y, Miao Q, et al. 2013. “Procalcitonin levels predict acute kidney injury and prognosis

in acute pancreatitis: a prospective study” in Plos One (8:1-9).

13.  Daniels R. 2011. “Surviving The First Hours In Sepsis: Getting The Basics Right (An Intensivist’s Perspective)” in J

Antimicrob Chemother (66:11-23).

14.  Becker KL. 2010. “Immunoneutralization of procalcitonin or its component peptides: a promising treatment of  sepsis”

in Clinical Science (119:515-7).

15.  László I, Trásy D, Molnár Z, Fazakas J. 2015. “Sepsis: from pathophysiology to individualized patient care” in Journal

of Immunology Research (1-13).

56 medicinus NOVEMBER 2019 VOL. 32 ISSUE 3

Anda mungkin juga menyukai