Anda di halaman 1dari 49

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk dalam tubuh
manusia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan memicu timbulnya reaksi inflamasi.
Sindrom sepsis merupakan respon tubuh host terhadap infeksi. Agen penyebab dan aktivasi kaskade
inflamasi host menyebabkan sistem imun dan regulasi tubuh menjadi kewalahan, sehingga
menyebabkan gangguan dalam homeostasis.1,2
Insiden sepsis berat tergantung pada bagaimana disfungsi organ akut didefinisikan dan apakah
disfungsi tersebut disebabkan oleh infeksi. Di Amerika Serikat, sepsis berat ditemukansebanyak 2%
dari jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari jumlah ini, setengahnya dirawat di intensive care
unit (ICU), yang mewakili 10% dari seluruh penerimaan ICU. Jumlah kasus di Amerika Serikat
melebihi 750.000 kasus per tahun dan baru-baru ini dilaporkan meningkat.4
Di Indonesia sendiri, belum dilakukan surveilans kasus sepsis skala nasional. Namun, studi
epidemiologi di RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2009 mencatat angka kejadian sepsis sebanyak 597
kasus dari total pasien rawat inap sebanyak 28.385 orang (2,1%). Adapun angka kematian pada
populasi pasien sepsis mencapai angka 409 (dewasa 384 dan anak 25) atau mortality rate 68,5%.
Sepsis dapat mengakibatkan berbagai komplikasi bergantung pada etiologi yang mendasari, seperti
Acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS), Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), gagal jantung dan gangguan fungsi hati. 1
Kelainan hipertensif merupakan komplikasi obstetrik yang terjadi pada 5-10% kehamilan dan
bersama dengan kejadian infeksi dan perdarahan membentuk deadly triad yang meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas maternal. World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 melakukan
studi systematic review mengenai mortalitas maternal di seluruh dunia. Di negara maju, 16% kematian
maternal disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan, persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan
tiga penyebab kematian maternal lainnya, yaitu perdarahan (13%), aborsi (8%), dan sepsis (2%). Studi
lain yang dibuat oleh Berg dkk tentang hipertensi dalam kehamilan ini, menyatakan bahwa setengah
kasus kematian ibu dan janin terkait hipertensi sebenarnya dapat dicegah.8
Eklampsia merupakan komplikasi serius dari kehamilan ditandai dengan timbulnya satu atau
lebih kejang yang berhubungan dengan sindrom pre-eklampsia. Eklampsia, ialah kejadian akut pada
wanita hamil, dalam persalinan, atau nifas yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda pre-eklampsia
disertai dengan kejang atau koma. Eklampsia sering timbul pada trimester terakhir kehamilan dan
semakin sering terjadi apabila kehamilan mendekati aterm. Tanda khas eklampsia yaitu adanya kejang
tonik-klonik yang timbul pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan. Pada kondisi seperti ini
resiko kematian maternal dan perinatal meningkat.9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk dalam tubuh
manusia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan memicu timbulnya reaksi inflamasi.
Meskipun pada dasarnya proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya dapat berbeda, dapat
bersifat akut dan terbatas di lokasi infeksi, maupun meluas dan menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut systemic inflammation response syndrome
(SIRS).1

2.1.1. Definisi
Sindrom sepsis merupakan respon tubuh host terhadap infeksi. Agen penyebab dan aktivasi
kaskade inflamasi host menyebabkan sistem imun dan regulasi tubuh menjadi kewalahan, sehingga
menyebabkan gangguan dalam homeostasis.2

Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah
definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest Physician dan Society of Critical
Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik
(SIRS), sepsis berat, dan syok septik.3

 SIRS: Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih


keadaan berikut:
 suhu >38°C atau <36°C
 frekuensi jantung >90 kali/menit
 frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
 leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau batang >10%

 Sepsis: Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS.


 Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi,
termasuk asidosis laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran.

 Ranjatan septik
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahaankan tekanan
darah dan perfusi organ.

2.1.2. Epidemiologi
Insiden sepsis berat tergantung pada bagaimana disfungsi organ akut didefinisikan dan apakah
disfungsi tersebut disebabkan oleh infeksi. Organ disfungsi sering didefinisikan dengan pemberian
terapi suportif (misalnya, ventilasi mekanik). Di Amerika Serikat, sepsis berat ditemukansebanyak 2%
dari jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari jumlah ini, setengahnya dirawat di intensive care
unit (ICU), yang mewakili 10% dari seluruh penerimaan ICU. Jumlah kasus diAmerika Serikat
melebihi 750.000 kasus per tahun dan baru-baru ini dilaporkan meningkat.4

Di Indonesia sendiri, belum dilakukan surveilans kasus sepsis skala nasional. Namun, studi
epidemiologi di RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2009 mencatat angka kejadian sepsis sebanyak 597
kasus dari total pasien rawat inap sebanyak 28.385 orang (2,1%). Adapun angka kematian pada
populasi pasien sepsis mencapai angka 409 (dewasa 384 dan anak 25) atau mortality rate 68,5%.1

2.1.3. Etiologi
Setiap respon inflamasi terhadap infeksi mikroorganisme dapat berbahaya. Septikemia atau
masuknya patogen ke dalam peredaran darah tidaklah esensial, karena infeksi lokal pun dapat memicu
sepsis. Hal tersebut dibuktikan dengan temuan kultur darah positif hanya ditemukan pada 20-40%
kasus sepsis dan + 70% kasus sepsis berat3. Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan
sumber lokasi saluran respiratori dan urogenital adalah penyebab paling umum dari sepsis. 2 Adapun
mikroorganisme yang paling sering memicu sepsis dituliskan dalam tabel 1.5

Tabel 1. Tipe Organisme yang dijumpai pada Kultur Pasien Sepsis dan Risiko Mortalitasnya di
Rumah Sakit5
2.1.4. Patogenesis
Bakteri merupakan patogen
yang sering dikaitkan dengan
perkembangan sepsis.
Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh
komponen membran luar
organisme gram negatif (misalnya,
lipopolisakarida, lipid A,
endotoksin) atau organisme gram
positif (misalnya, asam lipoteichoic,
peptidoglikan), serta jamur, virus,
dan komponen parasit.1

Gambar 1. Patofisiologi reaksi


inflamasi dan sepsis4

Umumnya, respons imun


terhadap infeksi mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (eutrofil,
limfosit, dan makrofag) untuk
meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Sinyal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah
reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB
(NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-
α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk
prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan
endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan
produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan
cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi
melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan
mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.1,4
Gambar 2. Patofisiologi terjadinya kegagalan organ multipel4
Meskipun mekanisme yang mendasari kegagalan organ di sepsis hanya dapat dijelaskan
sebagian, gangguan oksigenasi jaringan memainkan peran kunci dalam proses ini. Beberapa faktor,
termasuk hipotensi, mengurangi deformabilitas eritrosit, dan trombosis mikrovaskuler berkontribusi
dalam berkurangnya pengiriman oksigen pada kejadian syok septik. Inflamasi dapat menyebabkan
disfungsi endotel vaskular, disertai dengan kematian sel dan hilangnya integritas sawar sel, sehingga
menimbulkan edema pada kavitas tubuh dan subkutan. Selain itu, kerusakan mitokondria yang
disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lainnya mengganggu penggunaan oksigen seluler.
Selain itu, mitokondria yang rusakn akan melepaskan alarmins ke lingkungan ekstraseluler, termasuk
mitokondria DNA dan formil peptida, yang dapat mengaktifkan neutrofil dan menyebabkan cedera
jaringan lebih lanjut.1,4

2.1.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-tanda penyakit yang
mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan gejala berkembang mungkin berbeda dari
pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa
pasien dengan sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam. Ini paling sering terjadi pada
neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme.3
Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan takipnea. Tanda-
tanda dari sepsis sangat bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%),
ruam makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan
meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3 bulan dan pada
orang dewasa diatas 65 tahun. Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan juga merupakan
tanda dan gejala pada sepsis.6

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan berdasarkan bukti adanya infeksi disertai dengan > 2 gejala
SIRS (lihat subbab definisi). Selain gejala SIRS, Sepsis Surviving Campaign (SSC) guideline
merumuskan beberapa manifestasi klinis dan temuan lab lain yang dapat dijadikan penegak diagnosis.7

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Sepsis7


Infeksi, diduga atau telah dibuktikan, disertai salah satu dari gejala
berikut
Variabel Umum
 Demam (> 38.3°C)
 Hypothermia (core temperature < 36°C)
 Denyut jantung> 90/min–
 Takipnoe
 Perubahan status mental
 Edema yang signifikan atau balans cairan positif (> 20 mL/kg
selama 24 jam)
 Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7.7 mmol/L)
pada pasien non diabetes
Variabel Inflamasi
 Leukositosis (WBC count> 12,000 μL–1)
 Leukopenia (WBC count< 4000 μL–1)
 Normal WBC countdengan > 10% bentuk imatur
 Plasma C-reactive protein> 2 SD normal
 Plasma procalcitonin > 2 SD normal
Variabel Hemodinamik
 Hipotensi (TDS< 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, atau TDS
menurun> 40 mm Hg pada orang dewasa
Variabel disfungsi organ
 Arterial hipoksemia (Pao2/Fio2 < 300)
 Akut oliguria (urine output< 0.5 mL/kg/hr selama 2 jam meski
telah diresusitasi)
 Kreatinin meningkat> 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L
 Koagulasi abnormal (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)
 Ileus
 Trombositopenia (platelet count < 100,000 μL–1)
 Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL atau 70
μmol/L)
Variabel Perfusi Jaringan
 Hiperlaktat (> 1 mmol/L)
 Penurunan capillary refill

Adapun kondisi sepsis berat adalah kasus sepsis disertai organ disfungsi, yang dapat diprediksi
dengan menggunakan penghitungan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang
dirumuskan dalam gambar berikut.1

Gambar 3. SOFA (prediktif kerusakan organ akibat sepsis)8


Untuk menyederhanakan prediksi kerusakan organ atau kemungkinan jatuhnya pasien dalam
kondisi sepsis berat dan syok sepsis, skor SOFA tersebut dapat dirumuskan dalam quick SOFA
(qSOFA) yang dianggap positif jika memenuhi > 2 kriteria di bawah ini:8
 Laju pernapasan > 22 kali/menit
 Perubahan status mental
 TD sistolik < 100 mmHg

2.1.7. Manajemen Sepsis1,2,7


Dalam guideline SSC, manajemen kasus sepsis berat dirumuskan dalam early goal directed
therapy (EGDT). EGDT berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan yang diukur dengan
saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang
standar.
 Inisial Resusitasi
Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama inisial resusitasi sebagai berikut:
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen tambahan
dengan atau tanpa ventilasi mekanik)
 Diagnosis (lihat subbab diagnosis)
 Terapi Antimikroba
Tujuan: Memulai pemberian antimikroba intravena dalam 1 jam pertama setelah penegakan
diagnosis sepsis berat atau syok sepsis.
1) Pemberian antimikroba empiris broad spectrum atau dengan kombinasi > 1 obat yang dapat
menghambat segala patogen yang mungkin.Regimen antimikroba ini harud dinilai ulang
setiap hari.
2) Gunakan procalcitonin atau biomarker lain untuk menjadi acuan diskontinuasi antimikroba
empiris.
3) Pada pasien neutropenia dengan sepsis berat, atau patogen dicurigai MDR, berikan
kombinasi antibiotik empiris (dapat berupa kombinasi beta laktam + aminoglikosida, beta
laktam + florokuinolon)
4) Antimikroba diberikan 7-10 hari, penggunaan antimikroba perkepanjangan dapat memicu
resistensi dan defisit imun neutropenia.
 Source Control
Diagnosis anatomis mengenai lokasi sumber infeksi harus dilakukan sesegera mungkin dan
source control dilakukan dalam 12 jam sejak sumber infeksi ditemukan. Source control dapat
dilakukan dengan tindakan asepsis pada lokasi infeksi, menutup rute administrasi agen infeksius
(kateter, IV line, dan lain-lain), drainase, atau tindakan bedah.
 Pencegahan Infeksi
Dekontaminasi oral dan digestif dilakukan secara selektif. Hindari infeksi akibat tindakan
pelayanan kesehatan dengan hand hygiene dan sterilisasi alat. Pada pasien-pasien ICU, dapat
diberikan chlorhexidine glukonat sebagai dekontaminan oral dan mencegah pneumonia akibat
ventilator.

Terapi Suportif pada Sepsis1,4,7


 Terapi cairan
Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary leakage, preload menjadi
inadekuat sehingga terapi cairan merupakan tindakan utama. Cairan resusitasi pilihan adalah kristaloid
dengan target volume minimum 30 mL/kg. Pada pasien sepsis berat atau syok juga dapat diberikan
albumin
 Terapi vasopresor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (tekanan arteri dan perfusi organ adekuat),
perlu diberi vasopresor. Target pemberian vasopresor adalah mean arterial pressure (MAP) > 65
mmHg. Vasopressor pilihan adalah norepinephrine (NE). Epinephrine 0,03 U/menit dapat
dikombinasikan dengan NE untuk mempercepat tercapainya target MAP. Sedangkan dopamin hanya
diberi pada pasien tertentu (misal, pasien dengan baradikardi absolut atau relatif)
 Terapi inotropik
Diberikan bila resusitasi cairan adekuat, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari
ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac output,
sehingga diperlukan inotropik: dobutamine, dopamine, dan epinephrine. Dobutamin diberikan
sebanyak 20 mcg/kg/menit.
 Kortikosteroid
Kortikosteroid hanya diberikan jika tindakan resusitasi inisial dan vasopresor gagal
menstabilkan hemodinamik. Diberikan hidrokortison dengan dosis 200 mg/hari melalui syringe pump
atau infus kontinyu. Jika hemodinamik telah stabil, dapat segera di-tappering off.
 Kontrol Glukosa
Kontrol glukosa darah dengan insulin dengan target KGD < 180 mg/dl yang diperiksa berkala setiap 1-
2 jam dan dipertahankan selama 4 hari.
 Transfusi Darah
Target Hb pada pasien sepsis adalah 7-9 g/dl. Transfusi diberikan jika Hb < 7g/dl. Sedangkan transfusi
trombosit dilakukan jika kadar trombosit < 10.000/mm3, atau < 20.000/mm3 disertai risiko perdarahan,
atau < 50.000/mm3 dengan perdarahan aktif.
 Nutrisi dan Proteksi Saluran Cerna
Nutrisi enteral dan parenteral diberikan sesegera mungkin dalam 48 jam. Pada minggu pertama
disarankan pemberian nutrisi low dose feeding (500 kkal per hari). Untuk melindungi saluran cerna dari
stress ulcer dapat diberikan proton pump inhibitor atau antagonis reseptor histamin.

2.1.8. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin
terjadi meliputi:9
 Acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan
inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia.
 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai
bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua
sistemdiaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar
faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien
berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
 Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang
diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi
arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut.
 Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya bermanifestasi sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan
bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali
pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
2.1.9. Prognosis
Angka Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai
metode untuk mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan
untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar kemungkinan
pasien meninggal selama di ICU/UPI.2

Tabel 3. Skor Prognosis Penderita Sepsis2


Prognosis Mortalitas di Emergency Skor MEDS
Department Sepsis (MEDS) Faktor resiko
Penyakit terminal (kemungkinan kematian 6 poin
dalam 30 hari)
Takipnea dan hipoksia 3 poin
Syok Sepsis 3 poin
Trombosit <150.000/min3 3 poin
Bands >5% 3 poin
Umur >65 tahun 3 poin
Pneumoniae 2 poin
Pasien panti jompo 2 poin
Perubahan status mental 2 poin
Resiko Kematian Total skor MEDS (% dari
kematian akibat sepsis)
Sangat rendah 0-4 (1,1%)
Rendah 5-7 (4,4%)
Sedang 8-12 (9,3%)
Tinggi 13-15 (16,1%)
Sangat tinggi >15 (39%)

2.2. Eklamsia
2.2.1. Definisi dan Epidemiologi
Kelainan hipertensif merupakan komplikasi obstetrik yang terjadi pada 5-10% kehamilan dan
bersama dengan kejadian infeksi dan perdarahan membentuk deadly triad yang meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas maternal. World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 melakukan
studi systematic review mengenai mortalitas maternal di seluruh dunia. Di negara maju, 16% kematian
maternal disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan, persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan
tiga penyebab kematian maternal lainnya, yaitu perdarahan (13%), aborsi (8%), dan sepsis (2%). Studi
lain yang dibuat oleh Berg dkk tentang hipertensi dalam kehamilan ini, menyatakan bahwa setengah
kasus kematian ibu dan janin terkait hipertensi sebenarnya dapat dicegah.10
Eklampsia merupakan komplikasi serius dari kehamilan ditandai dengan timbulnya satu atau
lebih kejang yang berhubungan dengan sindrom pre-eklampsia. Eklampsia, ialah kejadian akut pada
wanita hamil, dalam persalinan, atau nifas yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda pre-eklampsia
disertai dengan kejang atau koma. Eklampsia sering timbul pada trimester terakhir kehamilan dan
semakin sering terjadi apabila kehamilan mendekati aterm. Tanda khas eklampsia yaitu adanya kejang
tonik-klonik yang timbul pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan. Pada kondisi seperti ini
resiko kematian maternal dan perinatal meningkat.10
Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita eklampsia
dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun
atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.10
2.2.2. Faktor Risiko
Teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia/eklampsia belum ada,
tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:11,12
 Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil
berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun,
dapat terjadi hipertensi yang menetap.
 Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih
tinggi untuk preeklampsia berat.
 Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat
sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti
bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada
anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam
keluarga.
 Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain :
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi
pada ibu hamil yang obese/overweight.
 Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil
memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik
selama hamil atau istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens
hipertensi dalam kehamilan.
 Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih
tinggi daripada monozigotik.
 Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola,
hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan
patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.
 Kehamilan multipel
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus
kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada
kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung
Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai
jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah
janin lebih dari satu.
2.2.3. Klasifikasi
The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) Task Force on
Hypertension in Pregnancy mengklasifikasikan hipertensi dalam kehamilan menjadi empat kategori,
yaitu:13
 Preeklampsia-eklamsia
 Hipertensi kronis
 Super imposed preeklamsia
 Hipertensi gestasional
2.2.4. Etiologi dan Patogenesis
Hipertensi gestasional/preeklamsia adalah penyakit vasospastik yang penyebabnya tidak
diketahui dan khusus terjadi pada wanita hamil. Vasospasme, iskemi, dan trombosis terkait dengan
perubahan dalam preeklampsia yang menyebabkan cedera pada organ ibu, infark dan abrupsio plasenta,
serta kematian janin akibat hipoksia dan prematuritas. Penyebab eklampsia belum diketahui, tetapi
penelitian terbaru telah memusatkan perhatian pada pada respon pembuluh darah terhadap vasopressor
endogen yang diproduksi wanita dengan preeklampsia. Hipertensi gestasional ditandai dengan elevasi
curah jantung, diikuti oleh peningkatan resistensi perifer seiring perkembangan penyakit. Pada pasien
dengan preeklamsia, cardiac output akhirnya turun, sementara resistensi perifer tetap meningkat.
Penyebab perubahan ini tidak diketahui, tetapi disfungsi endotel diduga melepaskan mediator vasoaktif
dan mengakibatkan vasokonstriksi. Agen antiplatelet selama kehamilan telah dilaporkan dapat
mengurangi risiko perkembangan preeklamsia, hal ini mendukung premis ketidakseimbangan antara
tingkat tromboksan dan prostasiklin pada preeklampsia.14
Preeklamsia nampaknya merupakan kulminasi dari beberapa faktor risiko maternal, plasental,
dan fetal. Interaksi ketiga faktor tersebut dianggap penting, terutama saat:10
 Implantasi plasenta dengan invasi trofoblast. abnormal terhadap pembuluh darah uterus.

Gambar 4. Invasi trofoblast normal dan abnormal10

Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dkk meneliti arteri pada lokasi implantasi
plasenta. Mereka melaporkan bahwa pada pasien preeklamsia terbentuk arteri spiralis yang disertai
kerusakan endothelial, proliferasi sel-sel myointimal, dan nekrosis tunika media. Sehingga diduga
lumen arteri spiralis yang sempit tersebut mengganggu aliran darah plasental. Kurangnya perfusi dan
lingkungan yang hipoksik nantinya memicu pelepasan placental debris yang memicu respon inflamasi
sistemik.
 Maladaptasi toleransi imun antara tubuh maternal, plasental (paternal), dan jaringan janin
(fetal).
 Maladapatasi maternal terhadap perubahan-perubahan kardiovaskuler dan inflamatori yang
seharusnya normal dalam kehamilan.
 Faktor-faktor genetik, termasuk gen yang mempredisposisi perubahan epigenetik vaskuler.

Gambar 5. Polimorfisme gen pada kasus preeklamsia10


2.2.5. Diagnosis
Kriteria yang spesifik dibutuhkan dalam mendiagnosis kejadian preeklamsia-eklamsia, serta
pengkategoriannya menjadi kasus ringan dan berat. ACOG pada tahun 2013 menjabarkan kriteria
diagnosis preeklamsia sebagai berikut:13
Tabel 2. Kriteria diagnostik Preeklamsia Ringan dan Berat13
Tekanan darah  TD sistolik > 140 mmHg atau TD diastolik
> 90 mmHg pada dua waktu pemeriksaan dengan rentang
waktu 4 jam saat usia kehamilan > 20 minggu dan
didapati pada wanita hamil yang TD sebelumnya normal.
 TD sistolik > 160 mmHg atau TD diastolik
> 110 mmHg (pada dua waktu pemeriksaan dengan
rentang waktu 4 jam (kecuali dijumpai riwayat pemberian
agen antihipertensi sebelumnya)
Dan
Proteinuria  Proteinuria > 300 mg/urin 24 jam
atau
 Rasio protein/kreatinin > 0,3
 Dipstik minimal +1
atau pada saat tidak ditemui poteinuria, namun didapati hipertensi onset baru disertai
onset baru dari salah satu gejala di bawah ini:
Trombositopenia Hitung platelet < 100.000/mm3
Insufisiensi ginjal Konsentrasi serum kreatinin > 1,1 mg/dL atau
peningkatan dua kali lipat konsentrasi kreatinin tanpa
ditemui penyakit ginjal penyerta.
Gangguan fungsi hati Elevasi konsentrasi enzim transaminase dua kali
lipat nilai normal
Nyeri epigastrik atau perut kanan atas yang berat
dan tidak respon terhadap pemberian medikasi atau tidak
ditemui penyebab lain.
Edema pulmoner
Gejala-gejala
serebral atau visual
Catatan: bila ditemui >1 gejala yang ditulis dalam warna merah, maka digolongkan dalam
preeklamsia berat

2.2.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya preeklampsia berat atau
eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah
perdarahan intrakranial serta mencegah gangguan fungsi organ vital (save mother, save baby, save
uterus).15
Preeklampsia Ringan
 Manajemen Antepartum13,15

Pada saat ibu hamil pertama kali didiagnosis dengan preeklamsia, maka harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap, protein urin dalam 24 jam fungsi hati, fungsi ginjal, serta pemeriksaan lain
yang berkaitan dengan keluhan/klinis pasien. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan janin berupa USG,
estimasi berat janin, indeks cairan amnion, nonstress test (NST), dan biophysical profile (BPP).
Selanjutnya dilakukan evaluasi kontinyu, baik rawat inap atau rawat jalan, sesuai kebutuhan pasien.
Istirahat di tempat tidur (bed rest) dulunya merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Bed rest pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah
ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di
daerah tersebut juga bertambah. Akan tetapi, empat studi RCT Cochrane dalam ACOG 2013
menemukan bahwa terapi bed rest tidak signifikan menurunkan derajat morbiditas dan mortalitas
akibat preeklamsia, justru bed rest berkepanjangan meningkatkan risiko tromboemboli. Sehingga kini
bed rest tidak lagi dianjurkan kecuali terdapat indikasi lain.

Gambar 6. Manajemen tata laksana preeklamsia ringan13


Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal.
Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak
perlu restriksi garam. Diet yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah
cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru
membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya
diimbangi dengan komsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal.
Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi (kecuali pada kasus hipertensi berat dengan
TD sistolik > 160 mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg), dan sedatif. Preparat magnesium sulfat
(MgSO4) juga tidak diberikan pada kasus ringan, kecuali dijumpai perburukan klinis berupa tanda dan
gejala gangguan serebral atau penglihatan.

 Manajemen Intrapartum10,13
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu sampai ≤ 37 minggu.
Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah mencapai normal, selama perawatan,
persalinannya ditunggu sampai aterm, karena dapat menyebabkan banyak komplikasi berupa HELLP
syndrome, eklamsia, abrupsio plasenta, hingga kematian janin. Sementara itu, pada kehamilan aterm
(>37 minggu), dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, hal itu didukung studi di Belanda
dengan 756 sampel ibu hamil dengan preeklamsia. Ditemukan penurunan kejadian komplikasi maternal
hingga 0,71%.13
Preeklamsia Berat13,15
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi,
pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat
untuk persalinan. Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan,
dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi
medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi)
setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.
Gambar 7. Manajemen tata laksana preeklamsia berat13
 Medikamentosa15
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan
tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah
pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor
yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure.
Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin)
menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang
dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa:
a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
b) infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi bila produksi urin <
30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung
sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.
Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
 Pemberian obat anti kejang MgSO414,15
Pemberian magnesium sulfat sebagai anti kejang lebih efektif dibanding fenitoin, berdasar
Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897 penderita eklampsia. Magnesium sulfat
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat
transmisi neuromuskular. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4:
1) Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit.
2) Maintenance dose : Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5
gram IM Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap4-6 jam.
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk
antikejang yaitu diazepam atau fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital.

 Diuretikum14
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung
kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemid. Pemberian diuretikum dapat
merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.
 Antihipertensi15
Antihipertensi lini pertama:
Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua:
1) Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5 menit.
2) Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
 Kortikosteroid14,15
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel
kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah
paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria. Pemberian
glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34
minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
 Perawatan aktif (Agresif)13,14,15
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
2.2.8. Tata laksana Anestesia16
Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang obstetri sama, kecuali pelaksanaan
tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklampsia berat persalinan harus dilakukan dalam 24 jam,
sedangkan pada eklampsia persalinan harus terjadi dalam waktu 12 jam setelah timbul gejala
eklampsia. Jika ada gawat janin atau dalam 12 jam tidak terjadi persalinan dan janin masih ada tanda-
tanda kehidupan harus dilakukan bedah Caesar. Masalah koagulopati merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan sebelum tindakan operasi pada pasien preeklampsia/eklampsia.
Bedah Caesar pada eklampsia merupakan tindakan darurat, anestesi umum merupakan pilihan
pertama kecuali bila pasien sudah terpasang kateter epidural.Waktu persiapan untuk tindakan anestesi
sangat pendek.Persiapan yang dilakukan untuk anestesi umum dan regional tidak jauh berbeda pada
pasien dengan kehamilan.Pencegahan aspirasi dengan mengosongkan lambung, netralisasi asam
lambung dan mengurangi produksi asam lambung dilakukan sebelum tindakan anestesi dilakukan.
Persiapan dimulai dari pemeriksaan jalan nafas, ada tidaknya distress pernafasan, tekanan darah,
kesadaran pasien dan pemeriksaan darah.
Edema dari jalan nafas yang mungkin terjadi pada pasien tersebut menyebabkan kesulitan untuk
intubasi.Intubasi sadar dapat dilakukan pada edema jalan nafas dandistress yang mungkin disebabkan
aspirasi pada saat kejang.Jalan nafas orotrakeal yang disediakan lebih kecil dari ukuran wanita dewasa.
Dengan pemberian anestesi topikal yang baik, intubasi sadar dapat dilakukan dengan baik. Dilakukan
pemberian anestesi topical dengan lidokain spray.
Tekanan darah pasien preeklampsia/eklampsia diturunkan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak. Penyulit saat intubasi yang paling berbahaya
adalah meningkatnya tekanan darah yang berakibat terjadinya edema paru dan perdarahan
otak.Pemberian obat antihipertensi sangat diperlukan sebelum dilakukan anestesi umum. Pada anestesi
umum, pemberian lidokain 1,5 mg/kg BB secara intravena dapat mengendalikan respons hemodinamik
saat intubasi. Efek farmakologi enflurane yang dianggap merugikan ginjal dan menurunkan nilai
ambang terhadap kejang dan pengaruh halotan terhadap hepar, menjadikan isoflurane sebagai pilihan
pertama obat anestesi inhalasi.Pemakaian magnesium sulfat sebagai anti konvulsan dapat terjadi
potensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi, sehingga pemberian suksinil kolin
harus dikurangi. Lambung dikosongkan secara aktif terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi dan diberikan antasida.
Setelah dilakukan pemasangan infus dan disiapkan peralatan intubasi dengan ukuran jalan nafas
orotrakeal yang lebih kecil dari ukuran wanita normal, pasien ditidurkan left tilt position 15 dan
dilakukan preoksigenasi dengan O2 100%. Saat intubasi posisi head up 45 dan dilakukan maneuver
Sellick. Induksi dapat dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kg BB, thiopental 4 mg/kg BB, suksinil kolin
1 mg/kg BB yang kemudian dilanjutkan dengan N2O/O2 50% dan isoflurane. Pembedahan Caesar
tidak mutlak membutuhkan relaksasi dan apabila diperlukan dapat dipikirkan pemberian
atracurium.Setelah anak lahir pada pemberian anestesi umum dan anestesi regional, oksitosin diberikan
secara kontinyu, hal ini untuk mengantisipasi akibat efek tokolitik dari magnesium.
Monitoring yang dilakukan selama anestesi diteruskan hingga pasca bedah.Pemberian cairan
pasca bedah harus memperhitungkan adanya mobilisasi cairan yang terjadi mulai dalam 24 jam.Jika
tidak terjadi diuresis yang memadai akibat belum kembalinya fungsi ginjal kemungkinan dapat terjadi
peningkatan cairan intravaskuler yang beresiko terjadinya edema paru. Jumlah trombosit dan fungsinya
akan kembali 4 hari setelah persalinan. Kejang pasca bedah terjadi pada 27% pasien.Obat anti
hipertensi masih dibutuhkan selama pasca bedah.Pemberian cairan selama masa antenatal harus
dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kelebihan cairan. Total cairan intravena harus dibatasi
sebanyak 1 ml/kg/jam.
2.2.9. Monitoring Post Partum15,16
Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan diursesis spontan
yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan. Total cairan intravena yang diberikan 80
ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen. Pemberian cairan oral dapat diberikan secara lebih bebas.
Urin output harus dimonitor setiap jam dan tiap 4 jam dijumlahkan dan dicatat. Jika total cairan yang
masuk lebih dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan furosemid 20 mg
iv. Kemudian dapat diberikan gelofusine jika sudah terjadi diuresis. Jika total cairan yang masuk
kurang dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu24 jam, maka diberikan 250 ml gelofusine. Jika
urin output masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.
Terminasi kehamilan pada pre-eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar memerlukan
kerjasama dan komunikasi yang baik dari berbagai keahlian terkait agar dapat tercapai hasil yang
optimal. Diperlukan monitoring yang ketat serta terapi, tindakan dan pilihan cara anestesi yang tepat,
diawali sejak pra pembedahan sampai pasca bedah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Status Orang Sakit
3.1.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. SW

Usia : 22 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Marelan V Lingkungan 15 Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan

3.1.2 Anamnesis

KU : Penurunan kesadaran

T (Alloanamnesis) : Penurunan kesadaran dialami pasien sejak ± 5 hari SMRS. 8 hari yang lalu
pasien menjalani operasi sectio caesaria atas indikasi preeklampsia berat, kehamilan pertama, dan
melahirkan 2 orang anak kembar hidup. Riwayat kejang (-), riwayat trauma (-), riwayat nyeri kepala
(-). Sesak nafas dialami pasien sejak ± 8 hari SMRS. Demam (+) dan tidak ada minum obat, menggigil
(-). Riwayat tekanan darah tinggi (-), riwayat DM (-). Buang air besar normal, buang air kecil ±70 cc
dalam 6 jam terakhir, warna kuning kemerahan. Pasien telah dirawat di ICU RS luar selama 8 hari lalu,
sejak menjalani sectio caesaria dan akhirnya dirujuk ke RSHAM untuk penanganan lebih lanjut.

RPT : Preeklampsi berat

RPO : Tidak Jelas


Time Sequence

14 Mei 2016 14 Mei 2016


14.45 WIB 19.30 WIB
14 Mei 2016
Pasien dikonsul ke Pasien dirawat di
14.15 WIB
Anestesi, dilakukan ICU Dewasa
Pasien tiba di blue
aff ETT dan
line IGD RSUP
intubasi ulang
HAM

3.1.3. Primary Survey

Tanda dan Gejala Kesimpulan Penanganan Hasil


A (airway) • Airway unclear Aff ETT (Terdapat Airway clear
• Pasien terintubasi (terdapat plak yg menyumbat
dari rumah sakit tahanan sewaktu ujung ETT), inform
luar dilakukan consent pada
• Snoring (-) bagging) keluarga, dan
• Gargling (-) dilakukan intubasi

• Crowing (-) ulang dengan ETT

• C-spine stabil no. 7

• Maxillofacial
injury (-)
B (breathing) Ada nafas spontan Oksigenasi yang SaO2: 98-99%
Inspeksi lemah adekuat 10 liter per
RR: 16 kali/
• Thorax simetris, menit, dilakukan
menit
tidak ada dengan ventilasi
ketinggalan manual 16 kali/menit,
bernafas monitoring breathing
• Jejas (-)
Perkusi:
• Sonor pada kedua
lapangan paru
Palpasi:
• Sulit dilakukan
Auskultasi:
• SP/ST:
Bronkial/Ronki
(+/+)
SaO2: 82-87%
RR: 26 kali/menit
C (circulation) Produksi urin - Pasang IV line 18G, - Capillary
• Capillary Refill sangat sedikit ambil sampel darah, Refill Time <
Time <2 detik cek laboratorium 2 detik
• Akral H/M/K - Akral
- IVFD NaCl 0.9%
• T/V: Cukup/kuat H/M/K
20 gtt/menit
• TD: 110/80mmHg - T/V: cukup

• HR = 110 x/i, - TD:

regular 110/80mmHg
- HR = 116
• UOP ±70 cc dalam
kali/menit,
6 jam terakhir,
regular
Kateter terpasang,
urin bewarna
kuning kemerahan
D (disability) Penurunan
• Kesadaran: Apatis kesadaran
• GCS : 9T
(E4M5Vt)
• Pupil isokor, D ± 3
mm, RC +/+
E (exposure) Pasien demam dan
• Luka bekas operasi oedem
tertutup perban (+)
• Temperature 380C
• Oedem (+)

3.1.4. Secondary Survey


B1 : Airway clear, S/G/C : -/-/-, terintubasi dengan ETT, RR: 26x/menit, SP : bronkial, ST: ronki
(+/+) , Riw. asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-
B2 : CRT: < 2 detik, Akral: H/M/K, TD: 110/80 mmHg, HR: 110x/menit, reg, T/V: cukup/kuat
B3 : Sens: Apatis GCS 9T (E4M5Vt), pupil: isokor, diameter kiri 3 mm/kanan 3 mm, RC: +/+
B4 : BAK (+), kateter urine (+) vol: ±70 cc dalam 6 jam terakhir, wana urine kuning kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, luka bekas operasi tertutup perban (+), peristaltik (+)
B6 : Oedem (+), fraktur (-)

History:
A : Allergies : Tidak dijumpai
M : Medications : Tidak Jelas
P : Past Illness : Preeklampsi berat
L : Last Meal : Tidak jelas
E : Events/ Environment : Tidak Dijumpai

3.1.5. Tatalaksana IGD :


- Elevasi kepala 30°

- Beri O2 10 L/mnt terintubasi dengan ventilasi manual 16 kali/ menit

- Pasang IV Line 18G + transfusi set + three way + IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/mnt pastikan lancar.

- Pasang NGT  diet sonde via NGT

- Inj. Meropenem 1 gr/ 8 jam

- Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam

- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam


- Periksa Lab DL, HST, RFT, elektrolit, KGDS, AGDA

- Pendampingan untuk Foto Thorax dan transport ke ruang rawat ICU

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium IGD

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 6,9 g% 12-16
Leukosit (WBC) 29,5x 103/mm3 4–11x103
Hematokrit 23 % 36–47%
Trombosit (PLT) 382 x103 150–450x103
Procalsitonin 8,24 ng/mL < 0,05 ng/mL
FAAL HEMOSTASIS
PT 23,6 (14,3) detik
APTT 27,6 (34,0) detik
TT 29,6 (17,0) detik
INR 1,59
GINJAL
Ureum 268 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 8.06 mg/dL 0,6-1,1 mg/dL
Blood Urea Nitrogen 125 mg/dL 7-19 mg/dL
ANALISA GAS DARAH
PH 7.11 7.35-7.45
pCO2 30,0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 183,0 mmHg 85-100 mmHg
Total CO2 10,4 mmol/L 19-25 mmol/L
Bikarbonat (HCO3) 9,5 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -18,7 mmol/L (-2)- (+2) mmol/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 136 mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 6,6 mEq/L 3,6–5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 107 mEq/L 96–106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 136 mg/dL <200 mg/dL

Foto Thorax

Kesimpulan:

- Suspek Kardiomegali dengan LVH, curiga disertai hipertensi pulmonal

- Bronkopneumonia

- ETT terpasang

3.1.7 Diagnosis
Sepsis berat + Post Sectio Caesaria 8 hari lalu a/i Preeklampsia Berat + Acute Kidney Injury
stadium failure + Anemia + Asidosis metabolik + Hiperkalemia

3.1.8 Tindakan Lanjutan


Tindakan : Pemasangan CVC
Anestesi : Lokal
Sifat Operasi : Elektif
Indikasi Operasi : Pemantauan cairan dan pengukuran tekanan vena central
Posisi : Supine

3.2. Follow Up Pasien

15 Mei 2016 (ICU)


S :-
O :

B1 : Airway clear terintubasi (+) ETT no.7 cuff (+), MV: SIMV, TV: 400
ml PEEP 5 cmH2O, RR: 12x/i, FiO2: 30%, SaO2: 99%, SP: Bronkhial,
ST: Rhonki Basah (+/+)
B2 : CRT: <2 detik, akral: H/M/K, TD: 108/74 mmHg, T/V: kuat/cukup,
HR: 116 x/i reg
B3 : Sens DPO, pupil isokor, diameter kiri/kanan 3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) , kateter urin (+) vol urin 267 cc, warna kuning kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, normoperistaltik, (+) luka bekas operasi SC tertutup
verban
B6 : Oedem (+) pada ekstremitas superior inferior dextra dan sinistra,
fraktur (-)
A : Post SC a/i PEB + Sepsis ec pneumonia dd TB Paru, Mikosis Paru + AKI
Stad Failure on CKD Stage V + Anemia ec Renal Failure + Hiperkalemia
sedang + Asidosis Metabolik + Leukositosis
o o
P : Bed Rest + Head up 30 - 45

Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein


IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i (makro)
Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
Inj Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% à 4cc/jam
Inj Paracetamol 1 gr/8 jam
Chest Fisiotherapy
R : Foto thorax post pemasangan CVC
Cek Lab laktat, AGDA, GDS, Elektrolit EKG 12 lead,

USG Ginjal Buli:

Ginjal (R): Kontur ginjal kesan normal, panjang 10.2 cm, hidronefrosis (-), acoustic shadow (-)

Ginjal (L): Kontur ginjal kesan normal, panjang 10.9 cm, hidronefrosis (-), acoustic shadow (-)

Buli: Tampak balon folley catheter

HASIL LAB

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


ANALISA GAS DARAH
PH 7.390 7.35-7.45
pCO2 20.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 177.0 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 12.1 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -10,7 mmol/L (-2)- (2) mmol/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 138 mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 6.6 mEq/L 3.6–5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 100 mEq/L 96–106 mEq/L
Kalsium (Ca) 6.00 mEq/L 8.4–10.2 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 132 mg/dL <200 mg/dL
LAIN-LAIN
Asam Laktat, Arteri 3.8 mmol/L 1.0-1.8 mmol/L
16 Mei 2016 (ICU Dewasa)
S :-
O :

B1 : Airway clear, terintubasi (+) MV=SIMV, TV: 400 ml, FiO2 60%
RR: 20 x/i, SP/ST: Bronkhial/ Ronkhi(+)
B2 : Akral: H/M/K, CRT: <2 detik, TD: 122/86 mmHg, HR: 118 x/i,
T/V: kuat/cukup
B3 : Sens: DPO, pupil isokor, diameter kiri/kanan 3mm, RC +/+
B4 : UOP (+), kateter urin (+) vol 200 cc, urine kuning kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, normoperistaltik, (+) luka bekas operasi SC
tertutup verban
B6 : Oedem (+) pada ekstremitas superior inferior dextra dan sinistra,
fraktur (-)
A : Post SC a/i PEB + Sepsis ec urosepsis, pneumonia CAP + AKI Stad
Failure dd CKD Stage V+ Anemia ec perdarahan dd renal disease +
Asidosis Metabolik + Edema Paru + Leukositosis
o
P : Bed Rest + Head up 30

IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i


Inj meropenem 1 gr/8jam
Inj omeprazole 40 mg/12 jam
Inj Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% à 4cc/jam
Inj Paracetamol 1gr/8jam
Chest Fisiotherapy
R : Transfusi darah PRC 3 bag (dari sejawat neuro)
Koreksi Albumin: ∆Albumin x BB x 0.8= (3-2.2)x80x0.8=51.2
Pemasangan double lumen  untuk Hemodialisis reguler
Foto thorax post pemasangan double lumen
Hemodialisa selama 2 jam (anjuran divisi nefrologi) lalu cek ulang
darah lengkap, RFT, elektrolit post hemodialisa I
Cek ulang procalcitonin 48 jam setelah pemberian injeksi meropenem
Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan
KIMIA KLINIK
ANALISA GAS DARAH
PH 7.360 7.35-7.45
pCO2 24.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 174.0 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 13.6 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -10,1 mmol/L (-2)- (2) mmol/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 141 mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 6.1 mEq/L 3.6–5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 100 mEq/L 96–106 mEq/L
HATI
Albumin 2.2 g/dL 3.5-5.0

17 Mei 2016 (ICU Dewasa)


S :-
O :

B1 : Airway clear terintubasi, 20 x/i, MV SIMV, TV: 400 ml, PEEP 5,


FiO2 80%, SP: bronkhial, ST: ronkhi (+/+)
B2 : Akral: H/M/K, TD: 130/80 mmHg, HR: 115 x/i, T/V: kuat/cukup,
CRT: <2 detik,
B3 : Sens DPO, pupil isokor, diameter kiri/kanan 3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) , kateter urin (+) dengan vol 100 cc/8 jam wana kuning
kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, normoperistaltik, luka bekas operasi tertutup
verban
B6 : Oedem (+) pada ekstremitas superior inferior dextra dan sinistra,
fraktur (-)
A : Post SC a/i PEB + Sepsis ec pneumonia dd urosepsis + AKI stad failure
dd CKD Stage V+ Anemia ec perdarahan dd renal disease + Asidosis
Metabolik + Hipoalbumin + Edema Paru + Leukositosis
o
P : Bed Rest + Head up30

Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein


IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i
Inj Meropenem 1 gr/8jam
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
Inj Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% à 4cc/jam
Inj Paracetamol 1gr/8jam
Nebule Ventolin 1 fls/8jam
Nebule Fulmicort 1 fls/12 jam
Chest Fisiotherapy

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 7.1 g/dL 12-16
Eritrosit (RBC) 2.88 juta//μL 4.10-5.10
Leukosit (WBC) 25.830/μL 4.000-11.000
Hematokrit 24 % 36-47
Trombosit (PLT) 292.000/μL 150.000-450.000

HITUNG JENIS
Neutrofil 91.50 % 50.00-70.00
Neutrofil Absolut 23.65 x 103/μL 2.7-6.5
MORFOLOGI
Eritrosit : anisonakilositosis, tear drops (+), stromatocyte (+)
Trombosit : Big thrombocyte (+)
Kesimpulan : Anemia normokrom normositer + Leukositosis
FAAL HEMOSTASIS
PT 17.2 (14.0) detik
APTT >120.0 (33.5) detik
TT >80.0 (17.2) detik
INR 1.19
ANALISA GAS DARAH
pH 7.260 7.35-7.45
pCO2 34.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 95.0 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 15.3 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -10.8 mmol/L (-2)- (2) mmol/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 135 mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 5.7 mEq/L 3.6–5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 105 mEq/L 96–106 mEq/L
HATI
Albumin 2.8 g/dL 3.5-5.0 g/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 103 mg/dL <200 mg/dL
GINJAL
Blood Urea Nitrogen (BUN) 109 mg/dL 7-19 mg/dL
Ureum 233 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 6.37 mg/dL 0.6-1.1 mg/dL

17 Mei 2016, Pukul 11:52:07

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 6.7 g/dL 12-16
Eritrosit (RBC) 2.61 juta//μL 4.10-5.10
Leukosit (WBC) 24.810/μL 4.000-11.000
Hematokrit 22 % 36-47
Trombosit (PLT) 274.000/μL 150.000-450.000
HITUNG JENIS
Neutrofil 92.30 % 50.00-70.00
Neutrofil Absolut 22.90 x 103/μL 2.7-6.5
MORFOLOGI
Eritrosit : Normokrom, anisositosis, burr cell (+),
Leukosit : Immature granulocyte (+) <5%
Trombosit : Big thrombocyte (+)
Kesimpulan : Anemia normokrom + Leukositosis (Neutrofilia)
FAAL HEMOSTASIS
Fibrinogen 86.0 mg/dL 150-400 mg/dL
D-dimer >7500 ng/mL <500 ng/mL
ANALISA GAS DARAH
pH 7.200 7.35-7.45
pCO2 29.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 150.0 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 11.3 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -15,4 mmol/L (-2)- (2) mmol/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 133 mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 5.5 mEq/L 3.6–5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 96 mEq/L 96–106 mEq/L
HATI
Albumin 2.7 g/dL 3.5-5.0 g/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 127 mg/dL <200 mg/dL
GINJAL
Blood Urea Nitrogen (BUN) 93 mg/dL 7-19 mg/dL
Ureum 199 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 7.44 mg/dL 0.6-1.1 mg/dL
LAIN-LAIN
Asam Laktat, Arteri 1.1 mmol/L 1.0-1.8 mmol/L
IMUNOSEROLOGI
Procalcitonin 6.82 ng/mL <0.05 ng/mL

18 Mei 2016 (ICU Dewasa)


S :-
O :

B1 : Airway clear terintubasi ETT no 7 cuff (+), MV SIMV, TV: 400 ml,
PEEP 5, RR 20 x/i, SP: bonkial, ST: ronkhi (+/+)
B2 : Akral: H/M/K, TD: 120/70 mmHg, HR: 80 x/i reg, T/V: kuat/cukup,
CRT: <2 detik, SpO2: 98%
B3 : Sens DPO, pupil isokor, diameter kiri/kanan 3 mm, RC +/+
B4 : UOP (+) , kateter urin (+), 100 cc warna kuning kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, normoperistaltik, luka bekas operasi tertutup
verban
B6 : Oedem (+) pada ekstremitas superior inferior dextra dan sinistra,
fraktur (-)
A : Post SC a/i PEB + Sepsis ec pneumonia + Acute on CKD Stage V+
Anemia ec renal disease dd perdarahan + Asidosis Metabolik + Edema
Paru + Leukositosis
o o
P : Bed Rest + Head up 15 -45

Diet SV 1800 kkal + 60 gr protein (Diet ginjal)


IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i (makro)
MV: SIMV, TV= 380 ml, PEEP: 5 cmH2O, RR: 12x/I, FiO2: 40%
Inj Meropenem 1 gr/8jam
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
Inj Paracetamol 1 gr/8 jam
Inj Furosemide 1 cc/jam
Inj Lovenox 0.4 cc/24 jam/sc
Inj Mecobolamin 500 mg/8jam
IVFD Albumin 1 fls/hari
Inj Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% à 4cc/jam
Nebulizer Ventolin 2.5 mg/8jam
Nebulizer Fulmicort 0.5 mg/12 jam
Chest Fisiotherapy

R : Head CT-scan, rencana HD tgl 19 mei 2016, konsul kardiologi untuk hasil
pemeriksaan EKG

Jawaban Konsul Kardiologi


Kesimpulan: kesan EKG Sinus takikardi + iskemik infero anterolateral dengan hasil CTR kardiomegali
(CTR ±60%) dengan infiltrate (foto dengan inspirasi tidak maksimal). Iskemik relatif karena anemia
(Hb: 6.7 g/dL)

ANALISA GAS DARAH


pH 7.170 7.35-7.45
pCO2 38.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 163.0 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 13.9 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -13.8 mmol/L (-2)- (2) mmol/L
19 Mei 2016
Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 9.2 g/dL 12-16
Eritrosit (RBC) 3.47 juta//μL 4.10-5.10
Leukosit (WBC) 14.620/μL 4.000-11.000
Hematokrit 31 % 36-47
Trombosit (PLT) 272.000/μL 150.000-450.000
MORFOLOGI
Eritrosit : Normokrom normositer, anisopoikilositosis
Kesimpulan: Anemia normokrom + Leukositosis
FAAL HEMOSTASIS
PT 19.9 (14.5) detik
APTT 35.9 (34.3) detik
TT 19.9 (14.5) detik
INR 1.38
ANALISA GAS DARAH
pH 7.150 7.35-7.45
pCO2 37.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 165.0 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 12.9 mmol/L 22-26 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -15.1 mmol/L (-2)- (2) mmol/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 127 mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 5.0 mEq/L 3.6–5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96–106 mEq/L
HATI
Albumin 3.2 g/dL 3.5-5.0 g/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 226 mg/dL <200 mg/dL
GINJAL
Blood Urea Nitrogen (BUN) 102 mg/dL 7-19 mg/dL
Ureum 218 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 6.86 mg/dL 0.6-1.1 mg/dL

19 Mei 2016 (ICU Dewasa)


S :-
O :

B1 : Airway clear terintubasi ETT no 7 cuff (+),MV: SIMV, TV: 380 ml,
PEEP 5 RR 18 x/i, SP: vesikuler, ST: ronkhi (+/+)
B2 : Akral: H/M/K, TD: 110/70 mmHg, HR: 110 x/i reg, T/V: kuat/cukup,
CRT: <2 detik, SpO2: 99%
B3 : Sens DPO, pupil isokor, diameter kiri/kanan 3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) , kateter urin (+) dengan vol 400cc warna kuning
kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, normoperistaltik, luka bekas operasi tertutup
verban
B6 : Oedem (+) pada ekstremitas superior inferior dextra dan sinistra,
fraktur (-)
A : Post SC a/i PEB + Sepsis ec pneumonia + Acute on CKD Stage V+
Anemia ec renal disease dd perdarahan + Asidosis Metabolik + Edema Paru +
Leukositosis
o o
P : Bed Rest + Head up 15 -45

Diet SV 1800 kkal + 60 gr protein (Diet ginjal)


IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i (makro)
MV: SIMV, TV= 380 ml, PEEP: 5 cmH2O, RR: 12x/I, FiO2:
40%
Inj meropenem 1 gr/8jam
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
Inj Paracetamol 1 gr/8 jam
Inj Furosemide 1 cc/jam (aff oleh sejawat paru)
Inj Lovenox 0.4 cc/24 jam/sc (aff sementara oleh sejawat
interna)
Inj Mecobolamin 500 mg/8jam
IVFD Albumin 1 fls/hari
Inj Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% à 4cc/jam
IVFD Clinimix 1000 ml + 100 cc iv drip 10 gtt/i (makro)
Nebulizer Ventolin 1 fls/8jam
Nebulizer Fulmicort 1 fls/12 jam
Chest Fisiotherapy
R : Hemodialisis II,
PRC 2 bag @175 cc durante HD dan pemberian meylon 5 flacon meylon
dalam 100 cc NaCl 0.9% (anjuran TS interna)

20 Mei 2016 (ICU Dewasa)


S :-
O :

B1 : Airway clear terintubasi ETT no 7 cuff (+), MV: SIMV, TV= 380
ml, PEEP: 5 cmH2O RR 14 x/i, SP: vesikuler, ST: ronkhi (+/+)
B2 : Akral: H/M/K, TD: 110/70 mmHg, HR: 118 x/i reg, T/V: kuat/cukup,
CRT: <2 detik, SpO2: 97%
B3 : Sens DPO, pupil isokor, diameter kiri/kanan 3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) , kateter urin (+) dengan volume ±200 cc/10 jam, urine
kuning kemerahan
B5 : Abdomen: soepel, normoperistaltik, luka bekas operasi tertutup
verban
B6 : Oedem (+) pada ekstremitas superior inferior dextra dan sinistra,
fraktur (-)
A : Post SC a/i PEB + Sepsis ec pneumonia + Acute on CKD Stage V+
Anemia ec renal disease dd perdarahan + Asidosis Metabolik + Edema Paru
o o
P : Bed Rest + Head up 15 -45

Diet SV 1800 kkal + 60 gr protein (Diet ginjal)


IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i (makro)
MV: SIMV, TV= 400 ml, PEEP: 5 cmH 2O, RR: 12x/I, FiO2:
40%
Inj Meropenem 1 gr/8jam
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
Inj Paracetamol 1 gr/8 jam
Inj Furosemide 1 cc/jam
Inj Lovenox 0.4 cc/24 jam/sc (aff oleh sejawat interna)
Inj Mecobolamin 500 mg/8jam
IVFD Albumin 1 fls/hari
Inj Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% à 4cc/jam
Inj Dinimix 1000 ml + 100 ml iv drip 10 gtt/i (makro)
Nebulizer Ventolin 2.5 mg/8jam
Nebulizer Fulmicort 0.5 mg/12 jam
Chest Fisiotherapy

R : Head CT-scan
Koreksi natrium infusat: (513-127)/(60 + 4)= (6.32/10)x1000= 632 cc=
IVFD NaCl 3% 500 ml= 7 gtt/i (makro)
Koreksi insulin berdasarkan Tefas algorithm= insulin 50/50 2 cc/jam via
syringe pump, cek KGD tiap jam hingga <200 g/dL (KGD pasien= 226 g/dL)
BAB 4
DISKUSI

TEORI KASUS

Epidemiologi
Pada ibu hamil primigravida lebih sering Pasien hamil primigravida
menderita preeklampsi/ eklampsi dibandingkan
dengan multigravida.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun, Pasien berusia 22 tahun
insidens preeklampsia/ eklampsi > 3 kali lipat.
Preeklampsia/eklampsia 3 kali lebih sering
terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus Pasien melahirkan anak kembar (kehamilan
kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan ganda)
satu kematian ibu karena eklampsia. Penelitian
lainnya menyebutkan kasus preeklampsia berat
mempunyai jumlah janin lebih dari satu
Manifestasi Klinis
SIRS: Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik Pasein dengan SIRS
mencakup 2 atau lebih keadaan berikut: suhu >38°C, frekuensi nafas 26 kali/ menit,
 suhu >38°C atau <36°C frekuensi jantung 110 kali/ menit, PaCO2 30
 frekuensi jantung >90 kali/menit mmHg, dan leukosit 29.500/ mm3
 frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO 2 <32
mmHg
Pasien dengan Acute Kidney Injury stadium
 leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau
failure, oliguria, dan penurunan kesadaran
batang >10%
sehingga pasien termasuk dalam keadaan sepsis
berat.
Sepsis: Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi
dengan manifestasi SIRS.
Sepsis berat:
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis
laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran.

Tata Laksana
Pada penanganan awal pasien gawat darurat Pada pasien dilakukan primary survey di IGD
dilakukan primary survey. yang meliputi pembebasan jalan nafas, penilaian
sirkulasi, resusitasi dan tata laksana awal segera
yang bertujuan menyelamatkan pasien dan
mencegah perburukan pada pasien.
Pada pasien telah dilakukan dengan cara
Early goal directed therapy (EGDT) berfokus pemasangan ETT dan pemberian suplay oksigen
pada optimalisasi pengiriman oksigen ke yang adekuat.
jaringan. Pada pasien telah dilakukan resusitasi cairan
Dilakukan resusitasi cairan dan pemeliharaan sesuai dengan rumus penentuan total kebutuhan
tekanan darah yang standar. cairan dan pemeliharaan tekanan darah.
Pasien mendapat injeksi meropenem (antibiotic
Pemberian antimikroba intravena dalam 1 jam broad spectrum)
pertama setelah penegakan diagnosis sepsis berat
atau syok sepsis.
Pemberian antimikroba empiris broad spectrum
atau dengan kombinasi > 1 obat yang dapat
menghambat segala patogen yang mungkin.
Tata laksana kehamilan dengan preeclampsia/ Pada pasien dilakukan tata laksana berupa sectio
eklampsia adalah dengan terminasi kehamilan caesaria di rumah sakit luar sebelumnya
segera setelah pasien mengalami tanda-tanda
eklampsia dengan riwayat preeklampsia
BAB 5
KESIMPULAN

Ibu SW berusia 22 tahun datang ke IGD RS HAM dengan penurunan kesadaran didiagnosis
dengan Sepsis berat + Post Sectio Caesaria 8 hari lalu atas indikasi Preeklampsia berat + Acute Kidney
Injury stadium failure + Anemia + Asidosis metabolik + Hiperkalemia. Pasien ditata laksana awal oleh
bagian anestesi, obstetric dan ginekologi, serta penyakit dalam, kemudian dirawat di ruang ICU.
DAFTAR PUSTAKA

1. A. G. Hermawan, "Sepsis," in Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, Jakarta, PABDI , 2014, pp. 692-
699.
2. N. I. Saphiro, G. D. Zimmer and A. Z. Barkin,
"Sepsis Syndromes," in Rosen's Emergency
Medicine: Concepts and Clinical Practice,
Philadelphia, Mosby Elsevier, 2010, pp. 1848-
1858.
3. R. S. Munford, "Severe Sepsis and Septic Shock,"
in Harrison's Principles of Internal Medicine, New
York, McGraw-Hill Education, 2015, pp. 1751-
1759.
4. S. R. Finfer and J.-L. Vincent, "Critical Care
Medicine: Severe Sepsis and Septic Shock," The
New England Journal of Medicine, vol. 369, no. 9,
pp. 840-851, 2013.
5. F. B. Mayr, S. Yende and D. C. Angus,
"Epidemiology of severe sepsis," Landes
Bioscience, vol. 5, no. 1, pp. 4-11, 2014.
6. S. H. Plantz and W. Gossman, "Sepsis and
Emergency," in Emergency Medicine Oral Board
Review, New York, McGraw-Hill Professional
Publishing, 2008, pp. 235-243.
7. Surviving Sepsis Campaign Committee,
"International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012," Critical
Care Medicine, vol. 41, no. 2, pp. 580-637, 2013.
8. The Sepsis Definitions Task Force, "The Third
International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock," Journal of American Medical
Association, vol. 315, no. 8, pp. 801-810, 2016.
9. A. Kalil and K. L. Bailey, "Septic Shock,"
MedScape, 17 May 2016. [Online]. Available:
emedicine.medscape.com/article/168402-overview.
[Accessed 25 May 2016].
10. F. G. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, J.
C. Hauth, D. J. Rouse and C. Y. Spong, "Pregnancy
Hypertension," in William's Obstetrics, New York,
McGraw-Hills Professional Publishing, 2010, pp.
781-823.
11. E. Noritz and J. Schorge, "Kematian Janin Intra
Uterin," in At a Glance Obstetri & Ginekologi,
Jakarta, Erlangga Medical Press, 2007, pp. 113-
118.
12. D. Rahajuningsih, N. Wibowo and H. Raranta,
"Disfungsi Endotel pada Preeklamsia," in Buku
Ajar Ilmu Kebidanan dan Kandungan, Jakarta, FK
UI Press, 2005.
13. ACOG Task Force on Hypertension in Pregnancy,
"Classification of Hypertensive Disorders," in
Hypertension in Pregnancy, Washington DC, The
American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2013, pp. 13-15.
14. D. E. Houry and B. A. Salhi, "Acute Complications
of Pregnancy," in Rosen's Emergency Medicine:
Concepts and Clinical Practices, Philadelphia,
Mosby Elsevier, 2010, pp. 2287-2289.
15. S. Prawirohardjo, "Hipertensi dalam Kehamilan,"
in Ilmu Kebidanan, Jakarta, PT Bina Pustaka,
2010, pp. 542-550.
16. M. Frolich, "Obstetric Anesthesia," in Morgan &
Mikhail's Clinical Anesthesiology, 5th ed., New
York, McGraw-Hill Professional Publishing, 2013,
pp. 843-876.

Anda mungkin juga menyukai