Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH REFERAT

DIAGNOSIS DAN RESUSITASI SEPSIS

Disusun oleh:
Rasyad Wicaksono 1111103000072
Laras Respati Ardanareswari 1111103000098
Pembimbing :
dr. Santi Sumihar, SpPD
KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

BAB II Tinjauan Pustaka

Definisi

Etiologi

Epidemiologi

Patogenesis

Gejala Klinis

Diagnosis

10

Komplikasi

12

Tatalaksana

16

BAB III Kesimpulan

25

Daftar Pustaka

28

BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis adalah sebuah penyakit sistemik akibat infeksi mikroba pada bagian
tubuh yang dalam kondisi normal bersifat steril. Istilah sepsis digunakan untuk
membedakan antara penyakit dengan etiologi mikrobial dari sebuah sindrom
identik yang dapat ditimbulkan oleh berbagai etiologi non-mikrobial, seperti
pankreatitis. Persamaan dari kedua penyakit terdapat pada peran berbagai macam
sitokin dalam proses patofisiologi keduanya. Oleh karena itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sepsis adalah sebuah respons inflamasi nonspesifik yang
terbukti atau diduga disebabkan oleh etiologi mikrobial. Ketika terjadi hipoperfusi
atau disfungsi pada setidaknya satu sistem organ, kondisi sepsis tersebut
dinyatakan sebagai berat. Ketika sepsis berat berlanjut hingga timbul hipotensi
atau indikasi penggunaan vasokonstriktor meski telah ditangani dengan resusitasi
cairan, kondisi tersebut dinamakan syok sepsis.1
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap
tahunnya. Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi
dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan
penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat. 2
Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar
3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur
(0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun).
Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU.
Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU. 3,4
Risiko mortalitas akibat sepsis dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti umur,
jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal
napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau
jamur sebagai penyebabnya. Diperkirakan angka mortalitas akibat sepsis, sepsis

berat, dan syok sepsis masing-masing mencapai 10-20%, 20-50%, dan 40-80%.
Insiden mortalitas yang lebih tinggi umumnya lebih sering ditemukan di negara
berkembang daripada negara maju. 5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
SIRS ( Systemic Inflammatory Response Syndrome ) adalah suatu
bentuk respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai
oleh dua atau lebih kriteria berikut ini:6

Suhu > 38 C atau <36 C

Denyut jantung > 90x/menit

Respirasi >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg

Hitung leukosit >12,000/mm3 atau >10% sel imatur.

Sepsis adalah SIRS ditambah dengan adanya tempat infeksi yang


ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme di tempat tersebut. 1
Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi yang tidak terbatas hanya pada laktat asidosis, oliguria maupun
perubahan mental akut.6 Sedangkan syok sepsis adalah sepsis dengan
hipotensi yang ditandai dengan penurunan TDS< 90 mmHg atau
penurunan >40 mmHg dari tekanan darah awal tanpa adanya obat-obatan
yang dapat menurunkan tekanan darah.6

Gambar. 1 Definisi SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis1

2.2 Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif dengan
presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator
inflamasi.6
Lipopolisakarida (LPS) merupakan produk yang paling berperan
dalam terjadinya sepsis. LPS merupakan komponen utama membran
terluar bakteri Gram negatif yang merangsang inflamasi jaringan, demam,
dan syok. LPS dapat mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, tidak
mempunyai sifat toksik namun dapat merangsang mediator inflamasi.6
Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri Gram
positif jarang menyebabkan sepsis (20-40%) dari keseluruhan kasus.

Tabel 1. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis 2


Mikroorganisme

Pada infeksi
hematogen, %
(n=436)
35
40
7
11
<5

Gra-negatif
Gram-positif
Jamur
Polimikroba
Patogen klasik

Pada infeksi lokal, %


(n=430)

Total, % (n=866)

44
24
5
21
<5

40
31
6
16
<5

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan melalui suatu sistem


tingkatan Predisposition, Infection, Response,and Organ dysfunction untuk
menentukan pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien
dengan stratifikasi gejala dan resiko individual.

Gambar 2. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis (PIRO) 6

2.3 Epidemiologi
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit
perawatan intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh
dunia setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus

diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya.


Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit
pelayanan intensif di Amerika Serikat.2
Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis
sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat
berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada
kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2
sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di Inggris
berkisar 16% dari total kunjungan ICU. 3,4

2.4 Patogenesis
Bakteri Gram negatif dan Gram positif dapat menimbulkan sepsis.
Pada sebagian besar pasien sepsis ditemukan adanya fokus infeksi jaringan
sebagai sumber bakterimia yang menunjukkan infeksi sekunder. Fokus
primer dari Gram negatif dapat ditemukan di saluran gastrointestinal,
saluran genitourinarium dan saluran empedu. Sepsis Gram positif berasal
dari infeksi kulit, saluruan pernapasan dan luka terbuka.6
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediatormediator inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam
proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti
TNF, IL-1, interferon yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan
mikroorganisme

yang

menyebabkan

infeksi.

Sedangkan

sitokin

antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang


bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk
melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses
penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini
meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan
jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan

sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinflamasi


adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu
satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidakharmonisan
imunologi yang merusak.

Gambar 3. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif.


Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan
mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara
langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga
membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar
didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan
bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.6
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit.
Mereka dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang
kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major
Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan
7

berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan


perantara T-cell Reseptor.6

Gambar 4. Patogenesis sepsis 1

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit


T akan mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi
sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-, IL2 dan M-CSF
(Macrophage

Colony

Stimulating

Factor),

sedangkan

Th2

akan

mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1 dan TNF yang
merupakan sitokin proinflamantori. IL-1 yang merupakan sebagai imuno
regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk
didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E 2) dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan
adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang
menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan
menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan

yang

termasuk

kedalam

radikal

bebas

(nitrat

oksida)

sehingga

mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi


nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya
kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan
hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.6

Gambar 5. Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis 8

2.5 Gejala klinis


Gejala klinis sepsis tidak spesifik dan ditandai oleh gejala demam,
menggigil, lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala sepsis akan
lebih berat pada penderita lanjut usia, diabetes, kanker, gagal organ utama
dan penderita granulosiopenia. Yang akan diikuti gejala MODS (Multiple
Organ Dysfunctions) hingga syok sepsis.6

2.6 Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan kecermatan tinggi dalam menggali


perjalanan penyakit, membutuhkan pemeriksaan fisik yang cermat, uji
laboratorium yang sesuai dan tindak lanjut hemodinamik.6
Tabel 2. Kriteria diagnosis sepsis7
Gambaran umum
Demam (>38,3 C)
Hipotermia (suhu <36 C)
Nadi > 90x/menit
Takipneu
Perubahan status mental
Hipeglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl) tanpa riwayat diabetes
Edema
Gambaran inflamasi
Leukositosis (leukosit > 12,000 uL)
Leukopenia (leukosit < 4,000 uL)
Leukosit normal dengan > 10% sel imatur
Peningkatan C- reaktive protein
Peningkatan prokalsitonin plasma
Hemodinamik
Hipotensi arterial ( TD <90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau penurunan TD > 40 mmHg pada dewasa)
Disgungsi organ
Hipoksemia (PaO2/FiO2 <300)
Oliguria akut ( urin output <0,5 mL/kgBB/jam setelah 2 jam resusitasi cairan yang adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dl
Abnormalitas faktor koagulasi (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik)
Ileus
Trombositopenia ( trombosit < 100,000 ul )
Hiprbilirubinemia ( bilirubin total > 4mg/dL )
Perfusi jaringan
Hiperlactatemia (>1 mmol/L)
Penurunan CRT atau mottling

Tabel 3. Kriteria diagnosis sepsis berat, SSC 2013


Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipotensi
Peningkatan laktat diatas nilai normal
Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia sebagai sumber infeksinya
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai sumber infeksinya
Kreatinin >2,0 mg/dl
Bilirubin >2 mg/dl
Platelet <100,000 uL
Koagulopati (INR >1,5)

10

Data laboratorium meliputi Complete Blood Count, hitung


diferensial, urinalisis, faktor koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, fungsi hati, asam laktat, analisa gas darah. Lalu dapat
dilakukan biakan kultur dari darah, urin, sputum dan tempat lain yang
terinfeksi. Lakukan Gram stain pada daerah steril seperti darah, CSF, dan
ruang pleura.6
Tabel 4. Temuan klinis uji laboratorium pada keadaan sepsis
Uji Laboratorium
Hitung leukosit

Temuan
Leukositosis atau leukopenia

Hitung trombosit

Trombositosis atau
trombositopenia

Kaskade koagulasi

Defisiensi protein C, defisiensi


antitrombin, peningkatan Ddimer, PT & APTT memanjang
Meningkat

Kadar kreatinin

Kadar asam laktat

Kadar fosfat serum

Meningkat >4 mmol/L


(36mg/dL)
Peningkatan alkalin fosfatase,
SGOT, SGPT, bilirubin
Hipofosfatemia

Kadar protein reaktif C (CRP)


Kadar prokalsitonin

Meningkat
Meningkat

Kadar enzim hepar

Keterangan
Endotoksemia dapat menyebabkan
leukopenia dini
Nilai tinggi dapat timbul pada
respons fase akut. Nilai rendah
ditemukan pada KID
Nilai abnormal dapat ditemukan
sebelum onset kegagalan fungsi
organ tanpa disertai perdarahan.
Peningkatan sebesar dua kali lipat
nilai normal menandakan gagal
ginjal akut
Menandakan hipoksia jaringan
Menandakan kerusakan
hepatoselular akibat hipoperfusi
Berbanding terbalik dengan kadar
sitokin proinflamasi
Menandakan respons fase akut
Membedakan antara SIRS
infeksius dan SIRS noninfeksius

2.7 Komplikasi
Insidensi komplikasi yang diakibatkan oleh SIRS dan sepsis adalah
sebagai berikut :6

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sebanyak 8-

18%
Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS) sebanyak 2-8%
Acute Renal Failure (ARF) sekitar 9-23%
Gastrointestinal bleeding
Gagal hati (12%)
Disfungsi sistem saraf pusat (19%)
Gagal jantung
Kematian

11

Sepsis dapat menyebabkan Multiple organ dysfunctions (MODS).


MODS disebabkan oleh adanya gangguan perfusi jaringan yang
mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal
dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam
patogenesis ini.

Gambar 6. MODS yang disebabkan oleh sepsis 10

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi
trombin yang merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya
menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain
mengaktifkan tissue factor juga menggangu proses fibrinolisis melalui
pengaktifan IL-1 dan TNF dan memproduksi suatu plasminogen
activator inhibitor-1 yang kuat menghambat fibrinolisis. Sitokin
proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC) dan
antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang
inaktif tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin, protein C
berubah menjadi enzyme-activated protein C. Sedangkan APC dan cofactor protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan
kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC
juga

menghambat

kerja

plasminogen

12

activator

inhibitor-1

yang

menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang sangat


penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini
menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan
yang dikenal dengan Disseminta Intravascular Coagulation (DIC) yang
merupakan salah satu kegawatan sepsis yang mengancam jiwa. 9
Gambar 7. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi 9

Acute Respiratory Disease Syndrome (ARDS).


Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan
pada aliran darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat
mengakibatkan

edema

interstitial

dan

alveolar.

Neutrofil

yang

terperangkap dalam mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada


membran kapiler alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu
hipoksia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan Adult Respiratory
Disease Syndrome (ARDS).
Gambar 8. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS

Gastrointestinal :
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan

terpasang intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang
dalam saluran pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu
pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis

13

dapat menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan
menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin
lewat saluran limfe).

Gagal ginjal akut


Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus
ginjal, vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses
inflamasi yang menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal. 11

Gambar. 9. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut

Syok septik
Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun
telah dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran
darah karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang

14

bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga


terjadi hipovelemia relatif.
Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya
IL-1, IFN-, dan TNF-) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang
menginduksi influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian
berinteraksi dengan kalmodulin membentuk NO dan melepaskan
Endothelium Derived Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan
hiperpolarisasi, relaksasi dan vasodilatasi otot polos yang diduga
menyebabkan hipotensi.

2.8 Tatalaksana
Berikut tatalaksana awal dan pengobatan terapi antibiotik pada
pasien sepsis menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) 20137 :
a. Resusitasi awal
Resusitasi awal diberikan pada pasien sepsis yang mengalami
hipoperfusi jaringan. Target resusitasi awal pada keadaan ini adalah :

CVP 8-12 mmHg


MAP > 65 mmHg
Urine output > 0,5 mL/KgBB/jam
Saturasi oksigen vena cava superior 70% atau saturasi oksigen vena
gabungan 65%.
Resusitasi awal juga ditujukan untuk mengembalikan nilai laktat ke

batas normal sebagai indikator keberhasilan perfusi pada jaringan.


b. Skrining sepsis
Dilakukan untuk mengevaluasi pasien dalam kondisi sepsis setelah
pemberian resusitasi awal berhasil hingga tidak pasien tidak menjurus ke
keadaan sepsis berat.

15

c. Diagnosis
Kultur diambil sebelum pemberian antibiotik atau kurang dari 45
menit setelah pemberian antibiotik. Setidaknya 2 sampel darah (aerobik
dan anaerobik) didapatkan secara perkutaneus dan 1 sampel dari akses
vaskular.
Bila dicurigai terdapat infeksi kandidiasis maka dapat dilakukan
pemerikasaan 1,3 beta-D-glucan, antibodi mannan dan antimannan. Dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan imaging untuk memastikan sumber
infeksi.
d. Terapi antimikroba
Antimikroba intravena dalam 1 jam pertama dapat diberikan pada
pasien syok sepsis dan sepsis berat tanpa syok.
Diberikan satu obat antimikroba empirik atau lebih untuk
menghambat aktivitas patogen. Terapi antimikroba dapat diberikan dalam
dosis harian dan dapat dideskalasi. Terapi kombinasi antimikroba tidak
boleh diberikan lebih dari 3-5 hari. Deeskalasi harus segera dilakukan
setelah penyebab infeksinya diketahui. Pemberian obat antimikroba lebih
dari 7-10 hari dapat menyebabkan bakteremia dan gangguan imunologik.
Terapi antivirus dapat diberikan pada pasien sepsis berat atau syok
sepsis yang diakibatkan oleh infeksi virus.
Tabel. Pemilihan terapi antibiotik untuk sepsis dari sumber infeksi
Suspek sumber infeksi
Tidak diketahui

Antibiotik yang dianjurkan


Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Ampisilin/ Sulbaktam 3 gr IV per 6 jam
Atau
Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Atau
Metronidazole 500 mg IV per 8 jam ditambah Siprofloksasin
400 mg IV setiap 12 jam
Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam
Atau
Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam

Intraabdominal

Traktus urinarius

16

Atau
Ampisilin 2 gr IV per 6 jam ditambah Gentamisin
Vancomisin
Atau
Linezolid 600 mg IV per 12 jam
Atau
Daptomisin 4mg/kgBB per 24 jam
Atau
Oxacillin 2 gr IV per 4 jam
Penisilin G 6 juta unit IV per 4 jam
Ditambah
Klindamisin 900 mg IV per 8 jam
Direkomendasikan untuk segera melakukan debridement
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Direkomendasikan untuk segera melakukan debridement
Seftriakson 1 gr ( 2 gr jika BB > 80 kg) IV per 24 jam
Kombinasi dengan
Moksifloksasin 400 mg IV per 24 jam
Atau
Azitromisin 500 mg IV per 24 jam
Cefepime 1 g IV per 6 jam atau
piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam
atau
meropenem 500 mg IV per 6 jam
ditambah
siprofloksasin 400 mg IV per 8 jam
atau
Aminoglikosida gentamisin 5-7 mg/kgBB per 24 jam
Dengan
Azitromisin 500 mg PO/IV per 24 jam

Kulit atau jaringan : Staphylococcus sp

Kulit atau jaringan : Clostridium perfringers

Kulit atau jaringan : nekrotik polimikroba


Community Acquired Pneumonia tanpa faktor resiko
pseudomonas

Community Acquired Pneumonia dengan faktor resiko


pseudomonas

Hospital Acquired Pneumonia (HAP)


Ventilator Acquired Pneumonia (CAP)

Vancomisin 15 mg/kg BB per 12 jam ditambah Cefepime 1 g


IV per 6 jam
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Ditambah
Gentamisin 5-7 mg/kg IV perhari atau
Tobramisin 5-7 mg/kgBB perhari atau
Sifrofloksasin 400 mg IV per 8 jam

e. Pengontrolan sumber infeksi


Lakukan intervensi dalam waktu 12 jam setelah diagnosis.

f. Pencegahan infeksi

17

Dekontaminasi oral dan digestif untuk menurunkan angka insidensi

pneumonia karena ventilator.


Klorheksidin glukonat oral dapat digunakan untuk dekontaminasi oral
pada pasien sepsis berat di ICU.

g. Terapi cairan untuk sepsis berat

Pemberian cairan kristaloid.


Albumin diberikan bersamaan dengan resusitasi cairan jika pasien
membutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak.

h. Vasopresor

Merupakan terapi awal untuk mencapai target MAP > 65 mmHg.


Pilihan pertamanya adalah norepinefrin.
Norepinefrin diberikan untuk mengatur tekanan darah yang adekuat.

i. Inotropik
Dobutamin 20 mcg/kgBB/menit diberikan pada pasien dengan
disfungsi miokardium,

terdapat tanda hipoperfusi,

meskipun volume

intravaskularnya adekuat dan tercapainya MAP yang adekuat.


j. Kortikosteroid
Kortikosteroid (hidrokortison) intravena dengan dosis 200 mg/hari
hanya diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan pemberian resusitasi
cairan.

k. Penggunaan Produk Darah

Setelah hipoperfusi tertangani dan tidak ada kondisi penyulit seperti


hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik,
tranfusi sel darah merah diberikan hanya jika konsentrasi hemoglobin
turun hingga <7,0g/dL dengan nilai target 7,0-9,0g/dL.

18

Penggunaan eritropoietin tidak dianjurkan dalam mengatasi anemia

terkait sepsis berat.


Fresh frozen plasma tidak dianjurkan untuk memperbaiki abnormalitas
nilai uji hemostasis laboratorium jika tidak ada perdarahan atau

rencana tindakan invasif.


Pada pasien sepsis berat, pemberian transfusi trombosit profilaktit
dilakukan

pada

kadar

<10.000/mm3

tanpa

perdarahan;

pada

<20.000/mm3 bila terdapat risiko perdarahan signifikan; pada


>=50.000/mm3 bila terdapat perdarahan aktif, pembedahan, atau
tindakan invasif.
l. Immunoglobulin
Penggunaan immunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan sepsis
berat atau syok sepsis tidak dianjurkan.
m. Selenium
Penggunaan selenium dalam penatalaksaan sepsis berat tidak dianjurkan.
n. Ventilasi mekanik pada Acute Respiratory Distress Syndrome terinduksi
Sepsis (ARDS)

Target volume tidal 6mL/kgBB


Tekanan puncak pada paru pasien ARDS yang terinflasi secara pasif

ditargetkan =<30cmH20
Untuk mencegah alveolus kolaps pada akhir ekspirasi, bisa digunakan

pemberikan positive end-expiratory pressure (PEEP).


Penggunaan PEEP dengan nilai yang lebih tinggi digunakan pada

pasien yang mengalami ARDS sedang atau berat akibat sepsis.


Kepala pasien sepsis yang terpasang ventilator diposisikan terangkat
30-45 derajat untuk mengurangi risiko aspirasi dan pneumonia terkait

ventilator.
Ventilasi masker noninvasif digunakan hanya jika diyakini manfaatnya

lebih banyak daripada risikonya.


Protokol penyapihan ventilator dilakukan pada pasien sepsis berat
untuk mengevaluasi kemampuan bernapas spontan, dimulai ketika a)

19

merespons terhadap rangsangan, b) hemodinamik stabil tanpa


vasopressor, b) tidak ada kondisi yang berpotensial mebahayakan, c)
tidak membutuhkan tekanan ventilasi dan akhir ekspirasi yang tinggi,
dan e) kebutuhan FIO2 yang rendah dan dapat dicapai menggunakan
sungkup wajah atau kanul hidung. Bila napas spontan berhasil dicapai,

pertimbangkan untuk ekstubasi.


Kateter arteri pulmoner sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada

pasien yang mengalami ARDS akibat sepsis.


Terapi cairan konservatif dan terencana diutamakan daripada
pemberian cairan secara bebas pada pasien ARDS akibat sepsis yang

tidak mengalami hipoperfusi jaringan.


Bila tidak terdapat indikasi spesifik, seperti bronkospasme, pemberian
beta 2-agonis dalam penanganan ARDS akibat sepsis tidak dianjurkan.

p. Sedasi, Analgesi, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis

Sedasi kontinu atau intermiten dapat dikurangi pada pasien sepsis yang

menggunakan ventilator, dengan target akhir titrasi spesifik.


Obat-obat neuromuscular blocking agents (NMBA) sebaiknya
dihindari pada pasien sepsis tanpa ARDS karena risiko blokade
neuromuskular diperpanjang dapat terjadi setelah pemberhentian

pemberian obat.
Pemberian NMBA tidak lebih dari 48 jam pada pasien dengan ARDS
akibat sepsis dengan Pao2/FIO2 < 150 mmHg.

q. Kontrol Glukosa

Protokol manajemen glukosa pada pasien ICU dengan sepsis berat


menggunakan insulin diberikan ketika ditemukan kadar gula darah
>180mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan konsekutif. Target protokol ini

adalah kadar gula darah <180 mg/dL.


Kadar glukosa darah diawasi setiap 1-2 jam sampai kadar glukosa dan
laju infus insulin mencapai stabil, kemudian dilanjutkan setiap 4 jam
sekali.

20

Kadar glukosa yang didapat dari darah kapiler sebaiknya diinterpretasi


dengan hati-hati karena kemungkinan tidak merepresentasikan kadar
glukosa darah arteri atau plasma secara akurat.

r. Terapi Pengganti Fungsi Ginjal

Terapi pengganti fungsi ginjal kontinu dan hemodialisis intermiten


memiliki efektivitas yang setara bagi pasien sepsis berat dan gagal

ginjal akut.
Penggunaan terapi untuk memfasilitasi manajemen keseimbangan
cairan dianjurkan pada pasien sepsis dengan hemodinamik yang tidak
stabil.

s. Bikarbonat
Penggunaan natrium bikarbonat tidak dianjurkan untuk memperbaiki
hemodinamikk atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien
dengan asidosis laktat (pH>7,15) akibat hipoperfusi jaringan.
t. Profilaksis Trombosis Vena Dalam (DVT)

Pasien dengan sepsis berat menerima farmakofilaksis harian untuk


mencegah tromboembolisme vena. Hal ini dicapai menggunakan
pemberian LMWH subkutan harian. Bila pembersihan kreatinin <30
mL/menit, gunakan dalteparin atau LMWH jenis lain yang memiliki

metabolisme ginjal yang lebih rendah.


Pasien dengan sepsis berat ditangani dengan kombinasi terapi
farmakologis

dan

alat

kompresi

pneumatik

intermiten

bila

memungkinkan.
Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi penggunaan heparin tidak
diberikan farmakofilaksis namun diberikan tatalaksana profilaktik
mekanik, seperti stocking kompresi atau alat kompresi intermiten,
kecuali terdapat kontraindikasi. Ketika risiko berukurang, gunakan
farmakofilaksis.

u. Profilaksis Stress Ulcer

21

Profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau proton pump


inhibitor diberikan pada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang

memiliki faktor risiko perdarahan.


Penggunaan proton pump inhibitor sebagai profilaksis stress ulcer

lebih diutamakan daripada H2RA.


Pasien tanpa faktor risiko tidak perlu diberikan profilaksis.

v. Nutrisi

Nutrisi diberikan secara oral atau enteral sebisa mungkin daripada


membiarkan puasa total atau pemberian glukosa intravena dalam 38

jam pertama setelah penegakan diagnosis sepsis berat atau syok septik.
Dalam pekan pertama perawatan, asupan kalori harian diberikan dalam

kadar rendah, ditingkatkan hanya ketika dapat ditoleransi.


Pemberian glukosa intravena disertai nutrisi enteral atau nutrisi
parenteral disertai enteral pada 7 hari pertama setelah penegakan
diagnosis sepsis berat/syok septik lebih diutamakan dari pada

pemberian nutrisi parenteral total.


Berikan nutrisi tanpa suplementasi immunomodulasi spesifik daripada
nutrisi yang memiliki efek immunomodulasi spesifik pada pasien
sepsis berat.

w. Menentukan Target Pencapaian Perawatan

Diskusikan target perawatan dan prognosis dengan pasien dan

keluarganya.
Gabungkan target pencapaian perawatan dalam penatalaksanaan dan
perawatan menjelang kematian, disertai prinsip-prinsip tatalaksana

paliatif ketika memungkinkan.


Tentukan target pencapaian perawatan sesegera mungkin, tidak lebih
dari 72 jam setelah masuk ICU.

22

Gambar 10. Algoritma tatalaksana sepsis.12


BAB III
KESIMPULAN

Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang dicetuskan oleh infeksi.


Sepsis merupakan penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit
pelayanan intensif di Amerika Serikat. Tatalaksana terhadap sepsis dan
penyulitnya harus dilakukan secara terencana dan sesegera mungkin untuk
menghindari terjadinya penyulit maupun kematian.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrew L. Sepsis: Definition, Epidemiology,and Diagnosis. BMJ. 2007


Oct 27; 335(7625): 879-883.
2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of Severe Sepsis In The
United States. Crit Care Med. 2001;20:1303-31.
3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of Sepsis and
Multiple Organ Dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.
Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005.
p.1249-57.
24

4. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep.
2001;49:1-6
5. Martin GS. Sepsis, Severe Sepsis and Septic Shock: Changes In Incidence,
Pathogens and Outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther. 2012 Jun; 10(6):
701-706.
6. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbit IPD FKUI. 2009: 1862-65
7. Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine Februari
2013; 41(2): 585-636
8. Al-Khafaji AH et al. Multiple Organ Dysfunction Syndrome in Sepsis.
http://emedicine.medscape.com/article/169640-overview#showall.
Diunduh 24 Januari 2016
9. LaRosa SP. Sepsis.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/i
nfectious-disease/sepsis/. Diunduh 24 Januari 2016
10. Effects of Sepsis. http://www.medicalexhibits.com/medical_exhibits.php?
exhibit=06907_07W&query=effect%20sepsis%20bacteria%20blood
%20poison%20immunologic%20shock. Diunduh 24 Januari 2016
11. Schrier RW. Need to Intervene in Established Acute Renal Failure. JASN
October 2005; 15(10): 2756-2758.
12. American College of Chest Physicians. Early Goal-Directed Therapy in

Severe Sepsis and Septic Shock REvisited: Concepts, Controversies, and


Contemporary Findings. Chest 2006; 130: 1579-1595

25

Anda mungkin juga menyukai