Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI SEPSIS

Sepsis adalah sindrom klinik oleh karena reaksi yang berlebihan dari respon
imun tubuh yang distimulasi mikroba/bakteri baik dari dalam dan luar tubuh.
Dipandang dari imunologi sepsis adalah reaksi hipereaktivitas. Definisi untuk sepsis
dan gagal organ serta petunjuk penggunaan terapi inovatif pada sepsis berdasarkan
Bone et al.

Systemic Inflammatory Response Syndrome adalah pasien yang memiliki


dua atau lebih kriteria sebagai berikut:

1. Suhu > 38°C atau < 36°C.

2. Denyut jantung > 90 denyut/menit.

3. Respirasi >20/menit atau Pa CO^ < 32 mmHg.

4. Hitung leukosit > 12.000/mm^ atau > 10% sel imatur

{band).

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan


dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak
harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan
infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan
bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti
biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi
teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskular atau
ekstravaskular.
2.2 DERAJAT SEPSIS

1. SIRS,

ditandai dengan > 2 gejala sbb: Hipertermia/hipotermia (> 38,3 °C/< 35,6 °C )
Takipneu (resp > 20/mnt) Takikardia( pulse > 100/mnt) Leukositosis > 12000/mm
atau Leukopenia < 4000/mm - Sel imatur > 10%

2. SEPSIS

Infeksi disertai SIRS

3. SEPSIS BERAT

Sepsis yg disertai MODS/MOF {Multi Organ Dysfunction Syndrome/Multl Organ


Failure), hipotensi, oligouri bahkan anuri.

4. Sepsis dengan hipotensi

Sepsis dengan hipotensi (tek. sistolik < 90 mmHg atau penurunan tek. sistolik > 40
mmHg).

5. Syok Septik

Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi
yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan
disertai hipoperfusi jaringan.

Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas )
pada :

1. Asidosis laktat.

2. Oliguria.

3. Atau perubahan akut pada status mental.


Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah
dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcltonin (PCT) dan C-
reactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi
yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult
Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan
secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan
risiko yang individual.

2.3 ETIOLOGI SEPSIS

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram (-) dengan prosentase 60%
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun.
Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan
penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri
Gram negatif . LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita
yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita.Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri Gram positif
lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai 40% dari
keseluruhan kasus.^^ Selain itu jamur oportunistik, virus {Dengue dan Herpes) atau
protozoa {Falciparum malarlae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun
jarang. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman,
pemberian infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian
endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macamn kuman, misalnya a-hemolisin (S.
aureus), E. coli haemolisin (E. coli) dapat merusak integritas membran sel imun secara
langsung.

Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin
Gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan
perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis.
Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor [Tumor
necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-I), IL-6dan IL-8yang merupakan mediator
kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC)
yang mengalami sepsis.

2.4 PATOGENESIS SEPSIS

Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai


sumber bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis Gram
negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian
menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi
appendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain
itu sepsis Gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarium,
saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis Gram positif biasanya timbul
dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbuka, misalnya
pada luka bakar. Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai
macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh
untuk menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan
teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Mediator inflamasi sangat kompiek karena melibatkan banyak sel dan
mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain. Sitokin sebagai mediator inflamasi
tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat
berperanan dalam menentukan perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap
suatu patogen melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai
macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, Interferon (IFN-g) yang bekerja membantu sel untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi
adalah interleukin 1 reseptorantagonis (IL-Ira), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respons yang berlebihan. Apabila
keseimbangan kerja antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai
dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh.

Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin,
baik dari endotoksin Gram (-) maupun eksotoksin Gram (+). Endotoksin dapat secara
langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah
penderita membentuk LPSab (LipoPoll Sakarida Antibodi). LPSab yang berada dalam
darah penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui TLRs4 [Toll Like Receptors
4) sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan reseptor CD 14+ dan makrofag
mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri Gram
negatif yang mempunyai LPS dalam dindingnya.Pada bakteri Gram positif eksotoksin
dapat merangsang langsung terhadap makrofag dengan melalui TLRs2 [Toll Like
Receptors 2) tetapi ada juga eksotoksinBsebagai superantigen. Padahal sepsis dapat
terjadi pada rangsangan endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme
tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan patogenesis sepsis
dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T
dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik.

Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh Gram
negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh Gram positif yang mengeluarkaneksotoksin.
Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen setelah di
fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Processing Cell
dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility
Complex [MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas II akan berikatan
dengan CD4" (limfosit Thi dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor).

Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Thi yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFN-
g, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-y merangsang makrofag
mengeluarkan IL-ip dan TNF-a. IFN-g, IL-1p dan TNF-a merupakan sitokin
proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-ip dan
TNF-a serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama tidak terjadisepsis
tingkat IL-ip dan TNF-a berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian,
tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-a selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat
pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini
belum jelas <20'3o^9>. IL-ip sebagai imuno-regulator utama juga mempunyai efek
pada sel endotelial termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PG-E.,) dan
merangsang ekspresi Intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya
ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi
endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu :

1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-


selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif

2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-I8, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.

3. Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga
membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi
oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel
menjadi nekrosis,^^ sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata
kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan
vaskular (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel sesuai
dengan pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi
tetapi akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator. Pendapat
tersebut diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena
trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik
yang berakhir dengan kematian. Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai
dengan sindroma sepsis disertai dengan hipotensi (tekanan darah turun < 90 mmHg)
atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg dari tekanan darah
sebelumnya. Organ yang paling penting adalah hati, paru dan ginjal, angka kematian
sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih dari tiga organ tersebut. Dalam suatu
penelitian disebutkan angka kematian syok septik adalah 72% dan 50% penderita
meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 30 - 80%penderita dengan syok septik
menderita ARDS.

Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes melitus, sirosis hati, gagal
ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita
sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat
yaitu syok septik dan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis
yang berkelanjutan, Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin anti inflamasi yang
akan menghambat ekspresi IFN-y, TNF-a dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki
jaringan yang rusak akibat paradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi,
kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah. Dengan mengetahui
konsep patogenesis sepsis dan syok septik, maka kita dapat mengetahui, sitokin yang
berperan dalam syok septik dan dapat diketahui apakah terdapat perbedaan peran
sitokin pada beberapa penyakit dasar yang berbeda.

2.5 KOMPLIKASI SEPSIS

Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi
dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat
infeksi yang paling sering : paru, traktur digestifus, traktus urinaris, kulit, jaringan
lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya
berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat
pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien
dengan granulositopenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya
syok sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

 sindroma distress pernapasan pada dewasa


 koagulasi intravaskular
 gagal ginjal akut
 perdarahan usus
 gagal hati
 disfungsi sistem saraf pusat
 gagal jantung
 kematian

2.6 DIAGNOSIS SEPSIS

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat


medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut
status hemodinamik.

Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau


nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui
meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja,
penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.

Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi.

2. Hipotensi, oliguria atau anuria.

3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas.

4. Perdarahan.
2.6.1 PEMERIKSAAN FISIK

Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien


neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
meliputi pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, perirektal, dan atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis, atau prostatitis.

2.6.2 LABOLATORIUM

Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung


diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin,
elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan
foto dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan. Lakukan pengecatan Gram di tempat yang biasanya steril (darah, CSF,
cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap
3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering
terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (pada anak lebih tinggi). Ambil
10-20 ml per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan
tryptlcase soy broth dan thloglycolate soy broth. Waktu sampel untuk puncak
demam intermiten, bakteremia dominan 0,5 jam sebelum puncak demam. Jika terapi
antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di
laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan risiko terkait,
penelitian dapat juga mengunakan foto abdomen, CT Scanning, MRI,
ekokardiografi, dan/atau punksi lumbal.

2.7 PENATALAKSANAAN

Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:

1. Stabilisasi Pasien Langsung


Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation).
Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan
kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan
status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk
memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan
oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna
pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan
cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotrop/vasopresor (dopamin,
dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan
pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mm Hg; Mean arterial pressure > 65mm
Hg; Urine output > 0.5 mL/kg Vjam \- Central venous (superior vena cava)
oxygen saturation > 70% atau maed venous > 65%. (Sepsis Campaign, 2008).
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukan dalam ICU. Tanda vital
pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus
dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk
membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensi
dengan obat vasoaktif, misal, dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.

2. Pemberian antibiotik yang adequat.


Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa
antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga
menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak
menyebabkan pasien memburuk adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida, dan kuinolon. Perlu segera diberikan terapi empirik
dengan antimikrobial, artinya bahwa diberikan antibiotika sebelum hasil kultur
dan sensivitas tes terhadap kuman didapatkan. Pemberian antimikrobial secara
dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah
hasil kultur dan sensivitas didapatkan maka terapi empirik dirubah menjadi terapi
rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensivitas, pengobatan tersebut akan
mengurangi jumlah antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi).
Diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan
hasil kultur. Hal ini karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum
organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis:

a. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.


Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim)
diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).

b. Pneumonia nosokomial: Sefepim atau imipenemsilastatin dan aminoglikosida

c. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dan


aminoglikosida

d. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau


piperasilin-tazobaktam dan amfoterisin B.

e. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenemsilastatin atau piperasilin-


tazobaktam.

f. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefepim.

g. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida

h. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefepim

i. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem

j. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin

Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk
menunjukkan bahwa bahan antimikrobial yang berbeda dipilih tergantung pada
penyebab sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila
organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik
menunjukkan macam antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki
sensitivitas.

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi.


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi
anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
gangren.
4. Pemberian Nutrisi yang adekuat
Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa makro
dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan golongan nukluetida
yaitu glutamin sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.

5. Terapi suportif
Eli Lilly and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III
menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)
menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut
terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan
antikoagulan.

2.7.1 KORTIKOSTEROID
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang mengunakan
pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid seusai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa
kadar steroid pada saat itu (pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada
yang menganjurkan setelah terjadi syok septik. Penggunaan kortikosteroid yang
direkomendasikan adalah dengan low doses corticosteroid < 300 mg
hydrocotisone per hari dalam keadaan septic shock. Penggunaan high dose
corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan septic shock.
2.7.2 GLUKOSA KONTROL
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami
dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan
sampai dengan <150nng/dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah
setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Mencegah
terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan blocker
proton pump Inhibitor. Apabila terjadi kesulitan pernapasan penderita
memerlukan ventilator dimana tersedia di ICU.

Anda mungkin juga menyukai