Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN SYOK SEPSIS

Tugas ini dibuat untuk memenuhi penilaian

Praktik Klinik Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Clinical Teacher : Rendy Aditya Darmawan,S.Kep., Ns.,M.Kep

Clinical Instructur : Febri Irawan, AMK

disusun oleh:

Putri Ayu Setianngrum

P27220019086

PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SURAKARTA

2022
BAB I
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi,
baik infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa maupun riketsia dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga
terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis alah salah satu penyebab
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), yang dapat juga
disebabkan oleh kausa non-infeksi seperti gangguan kardiopulmoner,
gangguan metabolik dan endokrin, penyakit gastrointesinal, penyakit
autoimun dan kelainan hematologi. Sepsis dapat berkembang menjadi
sepsis berat, syok septik dan disfungsi organ multipel bahkan kematian
(Soegijanto, 2016).
Sepsis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada
pasien yang dirawat di rumah sakit terutama pada pasien dengan usia
lanjut, pasien dengan keadaan immunocompromized, dan pasien
dengan penyakit kronik (Dharma et al., 2020). Sepsis adalah penyakit
yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang
berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit
misalnya pasien pasca operasi, pasien dengan ventilator di ICU
(Intensive Care Unit) atau penggunaan kateter pada geriatri.
Sepsis merupakan respon host terhadap infeksi yang bersifat
sistemik dan merusak (Simanjuntak & Purnama, 2020). Sepsis
adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi.
Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dimana terjadi
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat
meningkatkan mortalitas. Syok sepsis dapat diidentifikasi dengan
adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan
vasopressor untuk mempertahankan Mean Atrerial Pressure <65
mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) (Irawati &
Widuri, 2022).

B. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis
dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh
jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada
orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan
Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan
suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi
normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70%
kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif,
terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri
gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin,
cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi
spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut
mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.13,14
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah
tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis
dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif
tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan
glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.14
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-
paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering
dihubungkan dengan sepsis yaitu:
a. Infeksi paru-paru (pneumonia)
b. Flu (influenza)
c. Appendiksitis
d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g. Infeksi pasca operasi
h. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi. Sepsis sampai syok sepsik secara klasik telah diakui
penyebabnya adalah bakteri gram negatif, tetappi mungkin juga
disebabkan oleh mikroorganisme lain misalkan gram positif, jamur, virus
bahkan parasit. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein komples
merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif.
Lipopolisakarida merangsang peradanagn jaringan, demam dan syok pada
penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dan LPS bertanggung jawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Sthaphylococci, pneumococci,
streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis,
dengan angka kejadian 20%-40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur
oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum
malariae) dilaporkan juga dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Baik respon imun maupun karakteristik infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan
tingkat morbiditas pada sepsis.

Sepsis dengan kegagalan fungsi organ primer terjadi ketika respon


tubuh terhadap infeksi tidak cukup kuat. Permasalah sepsis yang paling
besar terletak pada karakteristikmikroorganisme, seperti beratnya infeksi
yang diakibatkannya serta adanya superantigen maupun agen toksis
lainnya yang resisten terhadap antibodi maupun fagositosis (Asmoro AA,
2017).

C. Patofisiologi

Patofisiologi sepsis sangat kompleks yang dipengaruhi oleh dampak


bakteremia dan produk mikroorganisme dalam sirkulasi sistemik termasuk
sitokin serta endotoksin. Selama berlangsungnya sepsis terjadi
peningkatan LPS, berbagai mediator termasuk yang melalui eicosanoid
teraktivasi sehingga terjadi sekresi leukotrines (leukotrine B4, leukotriene
C4 leukotrine D4, leukotrine E4), tromboxane A2, prostaglandi E₂,
prostagladin I₂, pletelet activation factor produksi sitokin terutama IL-1β,
IL-2, IL-4, IL-6,IL-8, IL-10, dan TNF α oleh limfosit, monosit, endotel.
Berbagai mediator dan sitokin tersebut akan berpengaruh terhadap
kerusakan endotel, kerusakan metabolik, gangguan sirkulasi dan sindrom
inflamasi menimbulkan gangguan biokimiawi dan fungsi multiorgan
termasuk paru, hepar, ginjal, jantung, pembuluh darah, otak dan lain-lain
sehingga terjadi disfungsi multiorgan (Nasroudin, 2019).

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau


abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan
perawatan rumah sakit.
2. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah
mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal,
paru-paru atau hati.
3. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan
darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan
organ vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Jika tidak
diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok
septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple
dan kematian.

D. Phatway
E. Manifestasi Klinis

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan
berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Sepsis dimulai
dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia,
takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota
gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan
gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering
ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala
takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta
blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia
yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada
pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang- kurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis. Pasien
yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran
sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada
pemeriksaan.
F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, eliminasi


sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah jika diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila ada renjatan atau kegagalan, vasopresor
dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan
terapi imunologi bila terjadi respons imun dan pejamu terhadap infeksi (Sutjahjo,
2015).

G. Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia,


pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar
fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2
dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil.
Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur, vakuolasi neutrofil,
granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi bakteri.
Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada
stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal
sebelum terjadi suatu respons inflamasi.

H. Terapi

Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen
jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri.
Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan
dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan
fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut:

1. Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg


2. Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3. Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4. Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan
oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).
Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis
1. Terapi cairan
Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary
leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn
tindakan utama.
2. Terapi vasopressor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan
organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine,
dopamine, epinephrine, phenylephrine.
3. Terapi inotropik
Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik mengalami
hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari ejection fraction
mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac output,
sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.
4. Antibiotik
Terapi antibiotik penting dalam terapi sepsis tetapi antibiotika saja tidak
cukup karena antibiotika tidak dapat mengendalikan produk yang
dihasilkan oleh mikroba. Penderita yang tidak segera mendapat antibiotika
yang tepat mortalitasnya lebih tinggi. Sumber infeksi yang sering tidak
jelas resistensi antibiotik, kuman penyebab yang jarang dan infeksi
polimikroba mempersulit ketepatan terapi antibiotik. Langkah yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan antibiotika spektrum luas bila
patogen belum jelas kemudian diubah menjadi antibiotik spektrum sempit
sesuai hasil kultur. Pilihan empirik antibiotik harus mempertimbangkan
faktor-faktor berikut:
a. Lokasi infeksi
b. Penggunaan antibiotik sebelumnya
c. Pola kerentanan patogen lokal
d. Kondisi gangguan sistem imunitas seperti: neutropenia,
spelenektomi, HIV.
e. Faktor risiko untuk organisme resisten
f. Usia dan komorbid pasien (diabetes militus, ggal ginjal, gagal hati)
g. Adanya alat invasif dalam tubuh (kateter urun, kateter CVP,
ventilator)

Pemilihan antibiotik yang bisa untuk kuman gram negatif dan


kuman golongan Methicillin-Resistant Staphyococcus Aureus (MRSA)
harus dipertimbangkan jika dicurigai penyebab infeksinya suatu
kuman multi-drug-resistant seperti pseudomonas atau acinetobacter
maka mempertimbangkan pemberian antibiotik double gram-negative.

Pada terapi inisial harus dipertimbangkan apakah infeksi Candida


sebagai penyebabnya. Faktor risiko untuk infeksi Candida invasif
termasuk status imunocompromised (neutropenia, kemoterapi,
transplantasi, diabetes militus, gagal hati kronis, gagal jantung kronis),
perangkat invasif pada pembuluh darah yang berkepanjangan (kateter
hemodialisis, kateter vena sentral) nutrisi parenteral total, pankreatitis
nekrotikan, baru menjalani operasi mayor (terutama perut) pemberian
antiniotik spektrum luas yang berkepanjangan.

Pada pasien dengan sakit berat terutama dengan kondisi syok


sepsis, antifungal yang dapat digunakan yaitu ethinocandin
(anidulafungin, micafungin, atau caspofungin). Ethinocandin juga
digunakan pada pasien yang sudah pernag menerima antifungsal
lainnya atau infeksi disebabkan Candida glabrata atau Candida krusei.
Amphotericin B dapat digunakan jika golongan ethinocandin
mengalami intoleransi atau toksik. Golongan Triazol dapat digunakan
pada pasein stabil dan sakit ringan.

Jika kombinasi antibiotik saat terapi initial, direkomendasikan


penghentian kombinasi obat jik sudah ada perbaikan secara klinis dan
atau bukti infeksi sudah menurun.
5. Source Control

Source control sangat prnting dalam mengelola sepsis dan source


control yang tidak memadai dapat menyebabkan memburuknya fungsi
organ dan ketidakstabilan hemodinamik meskipun sudah dilakukan
tindakan resusitasi yang tepat. Source control harus segera dilakukan
dalam 6 sampai 12 jam setelah diagnosis ditegakkan dan resusitasi
awal telah tercapai. Prinsip source control pada penanganan sepsis
yaitu diagnosis cepat sumber infeksi penyebab sepsis dan lalukan
tindakan segera pengendalian sumber infeksi yang dapat berupa:krotik
yang terinfeksi

a. Drainase abses
b. Drainase urin
c. Drainase bilier
d. Debridemen jaringan ne
e. Pelepasan alat pada tubuh yang dicurigai sumber infeksi
termasuk infus intra vena.
f. Operasi bedah terbuka untuk source control.

Intervensi source control dapat mengakibatkan komplikasi seperti


pendarahan, fistula atau cedera organ. Pemilihan teknuk source control
harus berdasarkan:

a. Yang paling minimal risiko komplikasi


b. Dapat segera dikerjakan
c. Waktu pelaksanaannya singkat

6. Vasoaktif

Direkomedasikan penggunaan neropinephrine sebagai pilihan


pertama untuk vasopresor. Vasopresor lain yang dapat digunakan yaitu
dopamin, vasopressin dan epinephrine. Penggunaan dopamin
diindikasikan pada pasien dengan low risk of tachyarrhythmias dan
pada pasien absolute atau relative bradycardia. Hindari penggunaan
low-dose dopamine untuk proteksi ginjal. Penambahan dobutamine
dapat dilakukan jika pasien tetap hipotensi walaupun sudah diberikan
cairan yang adekuat dan obat vasopresor.

7. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid dalam sepsis dapat membantu


mengatasi relative adrenal insuffiiiency yang disebabkan adneal
suppression atau glucocorticoid tissue resistance. Pada syok sepsik,
kortikosteroid dapat berperan sebagai vasopressor-sparing dan
mengurangi durasi syok, penggunaan ventilator, dan lama tinggal di
ICU. Kortikosteroid tidak dianjurkan dalam sepsis parah jika resusitasi
cairan dan vasopresor berhasil mengembaikan stabilitas hemodinamik.
Steroid dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk pasien yang
membutuhkan dosis vasopresor yang lebih tinggi atau pada pasien
syok septik yang tidak membaik. Hidrokortison 200 mg perhari secara
intravena drips koninu atau 50 mg bolus dalam 4 dosis dibagi
setidaknya 3 hari, sterois dihentikan setelah penghentian vasopresor.

8. Terapi produk darah


Pemberian produk darah pada pasien dewasa berupa Red blood cell
(RBC) direkomendasikan jika Hb <7.0 g/dL jika tidak ada penyakit
tambahan seperti myocardial ischemia, severe hypoxemia atau
perdarahan akut). Hindari penggunaan erythropietin untuk
penanganan anemia yang berhubungan dengan sepsis. Pemberian
erythropietin berhubungan dengan peningkatan kasus trombosis
terutama pada pasien kritis.
9. Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan meruopakan prioritas untuk pasien sepsis pada


kelompok pediatrik. Pasien pedristik dengan sepsis berat memerlukan
kristalloid hingga 40-60 mL/kg. Inotropik dapat diberikan setelah
pemberian terapi cairan untuk mempertahankan denyut jantung dan
tekanan darah yang normal sesuai usiannya dengan capillary refill time
kurang dari 3 detik. Tekanan darah bukanlah data yang dapat
diandalkan untuk resusitasi. Ukur respon dalam hal waktu pengisian
kapiler (capillary refill time) normalisasi denyut jantung dan evaluasi
denyut nadi central dan perfer. Resusitasi cairan akan memperbaiki
curah jantung, perfusi jaringan, oxygen delivery dan meningkatkan
harapan hidup pasien sepsis. Terapi cairan agresif yang diberikan lebih
awal mengoptimalkan preload, afterload, dan kontraktilitas jantung
pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis, digunakan infus
cairan koloid atau kristaloid, bahan vasoaktif, dan transfusi sel darah
merah untuk meningkatkan oxygen delivery.

I. Komplikasi

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang


mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:

1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome) Milieu
inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi
respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada
banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat
dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk
opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien
yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi
mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat
yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga
memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan
secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu
diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit
dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien
berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang
lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah
kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi
arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS)
atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut.
Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling
sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-
hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik,
dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali
pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam
waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.
Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan
perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi
diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.
Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis
BAB II

KONSEP ASKEP

A. Pengkajian

Menurut Budiono (2016), pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari


proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian keperawatan merupakan
dasar pemikiran dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan klien. Konsep dasar pengkajian yaitu sebagai berikut:

1. Identitas.
a. Identitas pasien.
Identitas pasien berisi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
status, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, diagnosa medis dan
nomor registrasi.
b. Identitas penanggung jawab.
Identitas penanggung jawab berisi nama, umur, alamat,
pekerjaan, hubungan dengan pasien.
2. Riwayat Kesehatan.
a. Keluhan utama yaitu keluhan yang paling utama saat itu
dirasakan oleh pasien. Pada umumnya keluhan utama pada kasus
fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bias akut atau kronik
tergantung dari lamanya serangan. Untuk memeperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan :
1) Provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
factor presipitasi nyeri.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari

3. Riwayat penyakit sekarang.

Data yang akan diambil saat pengkajian berisi tentang perjalanan


penyakit pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan mendapatkan
perawatan di bangsal. Pengumpulan data yang dilakukan untuk menetukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu rencana tindakan terhadap
pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena.
4. Riwayat penyakit dahulu.
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung.
5. Riwayat penyakit keluarga.
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis, yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cendrung diturunkan secara genetik.
6. Pengkajian Primer
a. Airway
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas paten
(longgar) atau mengalami obstruksi total atau partialsambil
mempertahankan tulang servikal. Mengkaji apakah ada
vokalisasi, muncul suara ngorok, apakah ada secret, darah,
muntahan, apakah ada benda asing seperti gigi yang patah,
apakah ada bunyi stridor (obstruksi dari lidah).
b. Breathing
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian

jalan nafas. Pengkajian pernafasan dilakukan dengan cara


inspeksi, palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan perkusi. Inspeksi
dada korban: Jumlah, ritme dan tipe pernafasan;, kesimetrisan
pengembangan dada, jejas atau kerusakan kulit, retraksi
intercostalis. Palpasi dada korban: adakah nyeri tekan, adakah
penurunan ekspansi paru. Auskultasi: bagaimanakah bunyi nafas
(normal atauvesikuler menurun), adakah suara nafas tambahan
seperti ronchi, wheezing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan
di daerah thorak dengan hati hati, beberapa hasil yang akan
diperoleh adalah sebagai berikut: sonor (normal), hipersonor atau
timpani bila ada udara di thorak, pekak atau dullnes bila ada
konsolidasi atau cairan.
c. Circulation
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai
kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam memompa
darah keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi: tekanan
darah, jumlah nadi, keadaan akral: dingin atau hangat, sianosis,
bendungan vena jugularis
d. Disability
Disability menilai tentang tingkat kesadaran, dapat dengan cepat
dinilai menggunakan metode AVPU :
A (alert) : Kewaspadaan
V (voice responsive) : Respon Suara
P (pain responsive) : Respon Rasa Nyeri
U (unresponsive) : Tidak Responsif
e. Exposure
Adanya suatu trauma dapat mempengaruhi exposure, reaksi
kulit, adanya tusukan dan tanda-tanda lain yang harus
diperhatikan. Dalam penilaian exposure dapat diperhatikan hal-
hal sebagai berikut : Eksposur kulit, keadaan suhu tubuh

7. Pengkajian sekunder
a. S (Sign and Symptom) : Tanda dan gejala yang muncul pada
pasien.
Contoh : Demam naik turun sejak 2 hari yang lalu, ada muntah dan
disertai BAB 7 x/hari konsistensi cair, ampas sedikit.
b. A (Alergi) : Adanya alergi makanan, obat dan lingkungan.
Contoh : Riwayat alergi susu sapi
c. M (Medikamentosa) : Obat atau herbal yang saat ini dikonsumsi
rutin oleh pasien.
Contoh : Vitamin curcuma plus
d. P (Pertinent Medical or Surgical History) : Riwayat penyakit dan
pembedahan yang berhubungan dengan gejala pasien.
Contoh : Usia 2 bulan dirawat dengan diare.
e. L (Last Oral Intake) : Asupan makan terakhir.
Contoh : 1 jam yang lalu makan nasi dan sayur sop. 30 menit
kemudian muntah
f. E (Event Leading up to Illness or Injury) : Peristiwa yang
menyebabkan penyakit atau cedera.
Contoh : Pasien sempat kejang dirumah 1 kali kira-kira 5 menit.
B. Diagnosa
1. Gangguan pertukaran gas b.d. ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d.
takikardi dan pH arteri meningkat
2. Risiko jatuh b.d. hipotensi d.d. penurunan kekuatan otot
3. Risiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh d.d. tekanan
darah menurun, hemoglobin menurun.
A. Intervensi

No. Tujuan da Kriteria Hasil Intervensi

1. Setelah dilakukan tindakan Observation


keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitoring (frekuensi,
diharapkan masalah gangguan kedalaman dan upaya
napas)
pertukaran gas dengan kriteria
2. Monitoring pola napas
hasil: (misal, bradipnea,
1. Takikardi membaik takipnea, kussmaul)
2. Gelisah menurun 3. Monitor saturasi
oksigen
3. pH arteri dalam batas 4. Monitor kecepatan
normal aliran oksigen
4. Frekuensi pernapasan Nursing Treatment

dalam batas normal 5. Atur interval


pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Education
6. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Colaboration
7. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
2. Setelah dilakukan tindakan Observation
keperawatan selama 3x24 jam
1. Mengidentifikaksi
diharapkan masalah risiko jatuh
faktor risiko jatuh
dengan kriteria hasil:
(misal. usia >65 tahun,
1. Risiko jatuh dari tempat
penurunan tingkat
tidur berkurang
kesadaran, defisit
2. Tekanan darah dalam batas
kognitif, hipotensi
normal
ortostatik, gangguan
3. Konsentrasi dan perhatian
keseimbangan,
membaik
gangguuan
penglihatan, neuropati)
2. Hitung risiko jatuh
dengan menggunakan
skala (Fall Morse
Scale, Humply
Dumpty)
Nursing Treatment

3. Pasang hendrell tempat


tidur pasien
4. Tempatkan pasien
berisiko tinggi jatuh
dekat dengan pantauan
perawat dari nurse
station
Education

5. Anjurkan memanggil
perawat jika
membutuhkan bantuan
berpindah
3. Setelah dilakukan tindakan Observation
keperawatan selama 3x24 jam
1. Monitoring tanda-tanda
diharapkan masalah risiko infeksi
vital
dengan kriteria hasil:
2. Monitor tanda dan
1. Tekanan darah dalam batas
gejala infeksi lokal dan
normal
sistemik
2. Hemoglobin membaik
Nursing Treatment
3. Leukosit dalam batas
normal 3. Batasi jumlah
mengunjung
4. Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
Education

5. Jelaskan tanda dan


gejala infeksi
6. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar

C. Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat setelah intervensi atau perencanaan
dalam proses keperawatan. Implementasi merupakan fase perawat
melakukan tindakan sesuai intervensi keperawatan (Ali, 2021).
D. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan
untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana
rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan
rencana keperawatan (Manurung, 2011). Untuk memudahkan melakukan
evaluasi kepada klien, terdapat format SOAP/SOAPIER, yaitu:
1. Subjective (Subjektif) atau Data Subjektif
Informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan
diberikan.
2. Objective (Objektif) atau Data Objektif
Informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.
3. Assessment (Penilaian/Analisis)
Membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan
tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa
masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi.
4. Planning (Perencanaan)
Rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil
analisa, apakah perencanaan akan dihentikan (apabila hasil yang
didapat sudah sesuai tujuan), dilanjutkan (apabila masalah masih ada),
atau ada modifikasi/tambahan dari tindakan keperawatan sebelumnya.
a. Implementation (Implementasi)
Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai perencanaan yang
sudah dibuat.
b. Evaluation (Evaluasi)
Respon klien setelah dilakukan tindakan
c. Re-assessment (Penilaian Ulang)
Pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah
diketahui hasil evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Asmoro AA. (2017). Problematika penanganan sepsis (pp. 1–61).

Dharma, B. D. A., Mulyantari, N. K., & Prabawa, I. P. Y. (2020). Analisis


korelasi kadar serum prokalsitonin dengan jumlah leukosit pada penderita
dengan kecurigaan sepsis di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia. Intisari Sains
Medis, 11(1), 179. https://doi.org/10.15562/ism.v11i1.525

Irawati, L., & Widuri, T. (2022). Syok Sepsis Pada Fasitis Nekrotikans Regio
Colli Pasca Servikotomi Debridemen Disertai Gangren Radik Multipel
Pasca Ekstraksi Gigi Multipel : Laporan Kasus Septic Shock in Necrotizing
Fasitis of Colli Region Post Cervicotomy Debridement with Multiple Radi.
36–44. https://doi.org/10.55497/majanestcricar.v40i1

Nasroudin. (2019). Penyakit Infeksi di Indonesia. In Airlangga University Press


(pp. 485–495).

Simanjuntak, T. R., & Purnama, A. (2020). Efektivitas Mobilisasi Miring Kiri


Miring Kanan Dalam Upaya Pencegahan Pressure Injury Pada Pasien Sepsis
Di Ruang Instalasi Pelayanan Intensif. Jurnal Keperawatan Komprehensif
(Comprehensive Nursing Journal), 6(1), 35–44.
https://doi.org/10.33755/jkk.v6i1.160
Soegijanto, S. (2016). Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di
Indonesia Jilid 6 - Soegeng Soegijanto - Google Buku. In Airlangga
University Press.

Sutjahjo, A. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam. In Angewandte Chemie


International Edition, 6(11), 951–952.

Anda mungkin juga menyukai