disusun oleh:
P27220019086
SURAKARTA
2022
BAB I
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi,
baik infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa maupun riketsia dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga
terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis alah salah satu penyebab
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), yang dapat juga
disebabkan oleh kausa non-infeksi seperti gangguan kardiopulmoner,
gangguan metabolik dan endokrin, penyakit gastrointesinal, penyakit
autoimun dan kelainan hematologi. Sepsis dapat berkembang menjadi
sepsis berat, syok septik dan disfungsi organ multipel bahkan kematian
(Soegijanto, 2016).
Sepsis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada
pasien yang dirawat di rumah sakit terutama pada pasien dengan usia
lanjut, pasien dengan keadaan immunocompromized, dan pasien
dengan penyakit kronik (Dharma et al., 2020). Sepsis adalah penyakit
yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang
berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit
misalnya pasien pasca operasi, pasien dengan ventilator di ICU
(Intensive Care Unit) atau penggunaan kateter pada geriatri.
Sepsis merupakan respon host terhadap infeksi yang bersifat
sistemik dan merusak (Simanjuntak & Purnama, 2020). Sepsis
adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi.
Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dimana terjadi
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat
meningkatkan mortalitas. Syok sepsis dapat diidentifikasi dengan
adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan
vasopressor untuk mempertahankan Mean Atrerial Pressure <65
mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) (Irawati &
Widuri, 2022).
B. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis
dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh
jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada
orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan
Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan
suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi
normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70%
kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif,
terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri
gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin,
cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi
spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut
mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.13,14
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah
tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis
dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif
tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan
glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.14
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-
paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering
dihubungkan dengan sepsis yaitu:
a. Infeksi paru-paru (pneumonia)
b. Flu (influenza)
c. Appendiksitis
d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g. Infeksi pasca operasi
h. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi. Sepsis sampai syok sepsik secara klasik telah diakui
penyebabnya adalah bakteri gram negatif, tetappi mungkin juga
disebabkan oleh mikroorganisme lain misalkan gram positif, jamur, virus
bahkan parasit. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein komples
merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif.
Lipopolisakarida merangsang peradanagn jaringan, demam dan syok pada
penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dan LPS bertanggung jawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Sthaphylococci, pneumococci,
streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis,
dengan angka kejadian 20%-40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur
oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum
malariae) dilaporkan juga dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Baik respon imun maupun karakteristik infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan
tingkat morbiditas pada sepsis.
C. Patofisiologi
D. Phatway
E. Manifestasi Klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan
berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Sepsis dimulai
dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia,
takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota
gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan
gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering
ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala
takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta
blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia
yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada
pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang- kurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis. Pasien
yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran
sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada
pemeriksaan.
F. Penatalaksanaan
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Terapi
Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen
jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri.
Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan
dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan
fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut:
a. Drainase abses
b. Drainase urin
c. Drainase bilier
d. Debridemen jaringan ne
e. Pelepasan alat pada tubuh yang dicurigai sumber infeksi
termasuk infus intra vena.
f. Operasi bedah terbuka untuk source control.
6. Vasoaktif
7. Kortikosteroid
I. Komplikasi
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome) Milieu
inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi
respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada
banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat
dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk
opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien
yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi
mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat
yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga
memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan
secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu
diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit
dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien
berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang
lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah
kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi
arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS)
atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut.
Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling
sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-
hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik,
dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali
pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam
waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.
Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan
perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi
diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.
Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis
BAB II
KONSEP ASKEP
A. Pengkajian
1. Identitas.
a. Identitas pasien.
Identitas pasien berisi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
status, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, diagnosa medis dan
nomor registrasi.
b. Identitas penanggung jawab.
Identitas penanggung jawab berisi nama, umur, alamat,
pekerjaan, hubungan dengan pasien.
2. Riwayat Kesehatan.
a. Keluhan utama yaitu keluhan yang paling utama saat itu
dirasakan oleh pasien. Pada umumnya keluhan utama pada kasus
fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bias akut atau kronik
tergantung dari lamanya serangan. Untuk memeperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan :
1) Provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
factor presipitasi nyeri.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari
7. Pengkajian sekunder
a. S (Sign and Symptom) : Tanda dan gejala yang muncul pada
pasien.
Contoh : Demam naik turun sejak 2 hari yang lalu, ada muntah dan
disertai BAB 7 x/hari konsistensi cair, ampas sedikit.
b. A (Alergi) : Adanya alergi makanan, obat dan lingkungan.
Contoh : Riwayat alergi susu sapi
c. M (Medikamentosa) : Obat atau herbal yang saat ini dikonsumsi
rutin oleh pasien.
Contoh : Vitamin curcuma plus
d. P (Pertinent Medical or Surgical History) : Riwayat penyakit dan
pembedahan yang berhubungan dengan gejala pasien.
Contoh : Usia 2 bulan dirawat dengan diare.
e. L (Last Oral Intake) : Asupan makan terakhir.
Contoh : 1 jam yang lalu makan nasi dan sayur sop. 30 menit
kemudian muntah
f. E (Event Leading up to Illness or Injury) : Peristiwa yang
menyebabkan penyakit atau cedera.
Contoh : Pasien sempat kejang dirumah 1 kali kira-kira 5 menit.
B. Diagnosa
1. Gangguan pertukaran gas b.d. ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d.
takikardi dan pH arteri meningkat
2. Risiko jatuh b.d. hipotensi d.d. penurunan kekuatan otot
3. Risiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh d.d. tekanan
darah menurun, hemoglobin menurun.
A. Intervensi
5. Anjurkan memanggil
perawat jika
membutuhkan bantuan
berpindah
3. Setelah dilakukan tindakan Observation
keperawatan selama 3x24 jam
1. Monitoring tanda-tanda
diharapkan masalah risiko infeksi
vital
dengan kriteria hasil:
2. Monitor tanda dan
1. Tekanan darah dalam batas
gejala infeksi lokal dan
normal
sistemik
2. Hemoglobin membaik
Nursing Treatment
3. Leukosit dalam batas
normal 3. Batasi jumlah
mengunjung
4. Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
Education
C. Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat setelah intervensi atau perencanaan
dalam proses keperawatan. Implementasi merupakan fase perawat
melakukan tindakan sesuai intervensi keperawatan (Ali, 2021).
D. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan
untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana
rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan
rencana keperawatan (Manurung, 2011). Untuk memudahkan melakukan
evaluasi kepada klien, terdapat format SOAP/SOAPIER, yaitu:
1. Subjective (Subjektif) atau Data Subjektif
Informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan
diberikan.
2. Objective (Objektif) atau Data Objektif
Informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.
3. Assessment (Penilaian/Analisis)
Membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan
tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa
masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi.
4. Planning (Perencanaan)
Rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil
analisa, apakah perencanaan akan dihentikan (apabila hasil yang
didapat sudah sesuai tujuan), dilanjutkan (apabila masalah masih ada),
atau ada modifikasi/tambahan dari tindakan keperawatan sebelumnya.
a. Implementation (Implementasi)
Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai perencanaan yang
sudah dibuat.
b. Evaluation (Evaluasi)
Respon klien setelah dilakukan tindakan
c. Re-assessment (Penilaian Ulang)
Pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah
diketahui hasil evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Irawati, L., & Widuri, T. (2022). Syok Sepsis Pada Fasitis Nekrotikans Regio
Colli Pasca Servikotomi Debridemen Disertai Gangren Radik Multipel
Pasca Ekstraksi Gigi Multipel : Laporan Kasus Septic Shock in Necrotizing
Fasitis of Colli Region Post Cervicotomy Debridement with Multiple Radi.
36–44. https://doi.org/10.55497/majanestcricar.v40i1