Anda di halaman 1dari 15

SEPSIS

A. Definisi
Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam nyawa karena
disregulasi respon tubuh pada infeksi (American Medical Association, 2016).
Sepsis merupakan penyebab utama kematian akibat infeksi. Sepsis diawali oleh
SIRS atau Systemic Inflamatory Response. Komplikasi sepsis berupa
kegagalan fungsi organ yang disebut sepsis berat atau severe sepsis yang dapat
berkembang menjadi syok sepsis. Syok sepsis ditandai dengan penurunan
tekanan darah <90 mmHg atau MAP <65 mmHg.

B. Etiologi
a. Non infeksius
Inflamasi akibat dari pankreatitis, iskemik jaringan, trauma berat,
perdarahan berat dan post operasi, luka bakar, tromboemboli, vaskulitis,
reaksi obat, autoimun, penyakit sistemik akut (infark miokard, emboli
pumo), dan proses neoplastik seperti limfoma dan hemofagositik
limfohistiositosis.
b. Infeksi
Sebanyak 40% Gram positif (Staphylococcus aureus 20%); 62% Gram
negatif (20% Pseudomonas sp dan 16% Escherichia coli), dan sebanyak
19% fungal.

C. Klasifikasi dan Manifestasi


Berdasarkan The Third International Consensus Definitions for Sepsis
and Septic Shock, sepsis adalah apabila terdapat infeksi dengan 2 dari 4 kriteria
SIRS, sebagai berikut (Singer et al., 2016):
a. Temperatur >38˚C atau <36 ˚C
b. Laju denyut nadi >90 x/menit
c. Laju pernafasan >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg (4,3 kPa)
d. Leukosit >12000/mm3 atau <4000/mm3 atau >10% immature

Disertai skor disfungsi organ 2 dari 3, meliputi :


a. Laju respiratori >22x/menit
b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Tekanan sistolik <=100 mmHg
Sedangkan kriteria syok sepsis berdasarkan The Third International
Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock, adalah
a. Adanya tanda-tanda sepsis
b. MAP kurang dari 65 mmHg
c. Memerlukan terapi vasopressor

1
d. Peningkatan serum laktat >2 mmol/l

D. Epidemiologi
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar
80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa
selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak
terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-
2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis
atau syok septik per tahun di Amerika Serikat. 13 Dari tahun 1999 sampai 2005
ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616
dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar kematian
terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan
94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebu (Runge, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai sepsis diantaranya yang
dilakukan di Rumah Sakit (RS) Dr. Soetomo pada tahun 2012 mengenai profil
penderita sepsis akibat bakteri penghasil extended-spectrum beta lactamase
(ESBL) mencatat bahwa kematian akibat sepsis karena bakteri penghasil ESBL
adalah sebesar 16,7% dengan rerata kejadian sebesar 47,27 kasus per tahunnya.
Penelitian tersebut melaporkan bahwa 27,08% kasus adalah sepsis berat,
14,58% syok sepsis dan 53,33% kasus adalah kasus sepsis (Irawan et al.,
2012).

E. Faktor Risiko
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
sepsis. Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit
metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan
kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. Penderita diabetes juga memiliki risiko terjadinya luka dan nyeri yang
proses penyembuhannya tidak sempurna. Ketika terdapat perlukaan, penderita
tersebut memiliki risiko tinggi terjadinya infeksi. Infeksi tersebut akan meliputi
kesuluruh tubuh dan tubuh tersebut akan berespon dengan mekanisme sepsis
hingga syok sepsis (ADA, 2012; Koh, 2012).

2
Salah satu infeksi kulit yang umum terjadi pada penderita diabetes adalah
selulitis. Selulitis merupakan infeksi bakteri streptococcus (khususnya
Streptococcus pyogen) dan Staphylococcus aureus pada dermis dan jaringan
subcutaneus. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya selulitis antara lain
predileksi yang potential yaitu ulserasi kaki, interdigitalis intertrigo, luka
traumatik, limfaedema, edema kaki, insufisiensi vena, dan kelebihan berat
badan (Dupuy et al., 1999).

F. Patofisiologi
Sepsis biasanya diawali oleh infeksi dari trauma, pneumonia, kolangitis
superatis, peritonitis superatif, dan pankreatitis akut. Manifestasi berbeda-beda
pada setiap pasien namun memiliki patofisiologi yang sama. Sepsis dimediasi
oleh varian sel imun dan faktor-faktor inflamasi.
Sel imun innate tubuh meningkat, hiperaktivasi, dan mengalami
kegagalan apoptosis sehingga kerusakan pada jaringan terjadi terus-menerus.
Endotoksin yang berasal dari patogen memicu sitokin-sitokin proinflamasi,
hiperaktifikasi dari TNF-α dan IL-10, serta faktor-faktor inflamasi
menyebabkan permeabilitas pembuluh darah membesar dan vasodilatasi
pembuluh-pembuluh darah. Protein keluar dari pembuluh darah menyebabkan
edema seluruh tubuh. Vasodilatasi pembuluh darah sistemik menyebabkan
resistensi perifer berkurang sehingga tekanan darah menjadi turun sehingga
sering terjadi hipotensi.
Jumlah preload dan afterload yang tidak adekuat akibat vasodilatasi
sistemik menyebabkan cardiac output berkurang menyebabkan kurangnya
suplai oksigen dalam tubuh, mekanisme kompensasi tubuh dengan
meningkatkan simpatis menyebabkan takikardi, sebelumnya diawali dengan
takipneu sebagai respon kurangnya oksigen pada jaringan tubuh.
Rusaknya termoregulasi akibat infeksi menyebabkan peningkatan suhu
tubuh, pada beberapa pasien terjadi penurunan suhu tubuh di bawah normal.
Infeksi sistemik menyebabkan meningkatnya sitokin-sitokin proinflamasi
sehingga tubuh memproduksi leukosit yang lebih banyak dan terjadi
leukositosis. Prokoagulan dan platelet teraktivasi menyebabkan
trombositopenia. Pada sepsis yang berat, hipoksia jaringan menyebabkan ATP
berkurang sehingga terjadi proses katabolisme, glukoneogenis terjadi untuk

3
menyuplai proliferasi neutrofil, insulin menjadi resisten sehingga terjadi
hiperglikemik pada pasien sepsis. Kerusakan pada epitel paru menyebabkan
akumulasi protein pada ruangan intertitial sehingga menyebabkan edeme
pulmo dan terjadi ARDS.

G. Penegakkan Diagnosis
Sepsis mempunyai gejala klinis yang tidak spesifik, seperti demam,
menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau
kebigungan. Tempat terjadinya infeksi paling sering adalah: paru, traktus
digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Gejala sepsis
akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, diabetes, kanker, gagal
organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia. Tanda-tanda MODS yang
sering diikuti terjadinya syok septik adalah MODS dengan komplikasi: ARDS,
koagulasi intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati,
disfungsi sistem saraf pusat, dan gagal jantung yang semuanya akan
menimbulkan kematian (Hermawan et al., 2010).
Diagnosis klinis harus dilakukan secara menyeluruh karena memerlukan
indeks dugaan yang tinggi, pengambilan riwayat medis harus cermat,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan tindak lanjut status hemodinamik harus
segera di tegakkan (Hermawan et al., 2010). Beberapa tanda terjadinya sepsis
antara lain (Hermawan et al., 2010):
a. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
b. Hipotensi, oliguria atau anuria
c. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
d. Perdarahan

4
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,
trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial,
penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia,
penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan
jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur,
vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan
infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan
perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan
neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi
dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi (Garna,
2012).

5
6
Tabel 1.1 Indikator Laboratorium Sepsis (La Rosa, 2013).

7
H. Penatalaksanaan
Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock 2012:
Gambar 1.1 Surving Sepsis Campaign Bundles (Dellinger et al., 2012)

1. Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen
jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat
arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup
dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang
standar.
Penanganan Awal (3 jam pertama)
a. Mengukur kadar laktat
b. Memeriksa kultur darah sebelum pemberian antibiotic
c. Memberikan Antibiotik Spectrum Luas
d. Memberikan cairan kristaloid 30 mL/kg untuk hipotensi atau
laktat kadar laktat yang > 4 mmol/L

Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut:


a. Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
b. Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
c. Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%

8
d. Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen
inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi
mekanik).

Antibiotik
Pemberian antibiotic diberikan sesuai dengan etiologi dan hasil
kultur darah, sambil menunggu hasil kultur, dapat diberikan antibiotic
intravena secara empiris dalam jam pertama, sesuai dengan lokasi atau
sumber infeksi

2. Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis.

Terapi yang digunakan untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis


antara lain (Leksana, 2006):

a. Terapi cairan

Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary


leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn
tindakan utama.

b. Terapi vasopressor

Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure


dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine,
dopamine, epinephrine, phenylephrine.

c. Terapi inotropik

Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik


mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang
dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien
mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropik:
dobutamin, dopamin, dan epinefrin.

I. Komplikasi

9
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi (Soenarjo, 2010):

1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome).
Inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan
hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/
ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis
yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk
opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang
septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya
mungkin memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah
resusitasi cairan.
2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi
secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem
fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade
pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana
kedua system diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru
terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan
trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien
berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih
buruk.
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung
molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama
pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna
berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.

10
4) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi
sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status
hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.

5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya
gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria,
azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal
berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai,
maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis)
diindikasikan.
6) Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
a. Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
b. Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis.

J. Prognosis
Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada pasien
dengan infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan potensi tinggi
untuk menjadi kritis. Meskipun pasien telah memenuhi kriteria SIRS, ini
sendiri hanya mampu memberikan sedikit prediksi dalam menentukan tingkat
keparahan penyakit dan mortalitas. Angka Mortalitas di Emergency
Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai metode untuk
mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat
digunakan untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor
risiko, semakin besar kemungkinan pasien meninggal selama di ICU/UPI
(Shapiro et.al, 2010).

11
12
III. KESIMPULAN

1. Sepsis adalah keadaan disfungsi organ akibat disregulasi respon tubuh pada
infeksi yang diawali oleh Systemic Inflamatory Response (SIRS) dan bisa
menyebabkan kegagalan fungsi organ (severe sepsis) yang dapat berkembang
menjadi syok sepsis, ditandai dengan penurunan tekanan darah <90 mmHg
atau MAP <65 mmHg.
2. Penegakan diagnosis sepsis ditegakkan melalui anamnesis adanya riwayat
infeksi, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium.
3. Penatalaksanaan sepsis pada umumnya berfokus pada terapi resusitasi dan
stabilisasi hemodinamik.
4. Sepsis dapat menyebabkan komplikasi berbagai disfungsi organ, disfungsi
organ multipel, hingga berujung kematian.
5. Prognosis pada pasien sepsis ditentukan oleh banyaknya faktor risiko
kematian yang dimiliki oleh pasien.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. 2012.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock.

Dupuy, A. , Benchikhi, H. , Roujeau, J-C. , et al. 1999. Risk factors for erysipelas
of the leg: case control study. Br. Med. J , 318 1591-4.

Garna HH. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis Universitas Padjajaran.
Jakarta: Sagung Seto. 2012.

Hermawan AG. Sepsis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, KMS, Setiani S
(eds.) Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
p2889-2895.

Irawan D, Hamidah, Purwati, Triyono, Bramanto, Afianto V, et al. Profil


penderita sepsis akibat bakteri penghasil ESBL. J Peny Dalam. 2012;
13(1):63-8.

LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet].


[updated 2013; cited 2014 Feb 7]. Available from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/in
fectious-disease/sepsis/

Leksana E. 2006. SIRS, sepsis, keseimbangan asam-basa, shock, dan terapi


cairan. Semarang: SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Dr.
Kariadi/Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro.

Mervyn Singer, Clifford S. Deutschman, ChristopherWarren Seymour, et. al 2016.


The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock
(Sepsis-3)

Runge MS, Greganti MA. 2009. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia
USA: Saunders Elsevier. p. 644-9

14
Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z., 2010. Sepsis Syndromes. In: Marx
et al., ed. Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice.
7th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, pg.1869-1879.

Soenarjo, Jatmiko HD, Marwoto, Witjaksono, Satoto H, Harahap MS, et al. 2010.
Anestesiologi. 1st ed. Semarang. IDSAI Jateng.

15

Anda mungkin juga menyukai