Anda di halaman 1dari 29

Smoking and

incidence of
glaucoma
Disusun Oleh :
Aulia Khairunnissa 1710221067

Pembimbing:
dr. YB. Hari Trilunggono, Sp.M
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA
PERIODE 19 NOVEMBER - 21 NOVEMBER
2018
Identitas Jurnal
Judul :
Smoking and incidence of glaucoma
Penulis:
Mónica Pérez-de-Arcelus, Estefanía Toledo, Miguel Á,
Martínez-González, Nerea Martín-Calvo, Alejandro Fernández-
Montero, Javier Moreno-Montañés.

Dipublikasikan Oleh:
Pérez-de-Arcelus et al. Medicine. Pada tanggal 1 Desember
2016
Abstract:
 Rokok merupakan masalah serius bagi kesehatan
masyarakat global dan berkaitan dengan banyak penyakit
kronis. Namun, studi mengenai efek merokok pada
gangguan mata masih kurang.
Abstract:
 Tujuan
studi kohort ini adalah untuk menilai hubungan
antara perokok tembakau aktif dengan resiko
pengembangan glaucoma dan kemudian
mengevaluasi hubungan antara perokok pasif
atau mantan perokok dengan glaucoma.
Abstract:
 Desain : studi kohort prospektif
 Peserta : Dalam studi kohort prospektif dan dinamis ini,
16. 797 peserta yang awal nya tidak memiliki glaucoma di
follow-up selama rata-rata 8.5 tahun. Data yang divalidasi
pada baseline (data awal) adalah mengenai gaya hidup,
termasuk konsumsi tembakau. Informasi diagnosa baru
glaucoma dikumpulkan setiap 2 tahun menggunakan
kuesionar pada saat follow up.
Abstract:
 Hasil : Menunjukan adanya hubungan langsung
antara perokok aktif dengan insidensi
glaucoma. Khususnya dalam jumlah pak yang
dikonsumsi per tahun, dimana hal ini tidak
ditemukan pada mantan perokok atau perokok
pasif
PENDAHULUAN
 Menurut World Health Organization, rokok telah menjadi masalah
serius bagi kesehatan masyarakat. 1.3 milyar perokok didunia, lebih
dari 6 juta meninggal setiap tahunnya karena paparan tembakau.
Meski efek rokok pada gangguan mata masih kurang dipelajari,
dibanding efeknya pada penyakit mayor tidak menular (seperti
kanker, kardiovaskular, dan lainnya), dalam beberapa penelitian
rokok telah dikaitkan dengan beberapa penyakit mata, seperti
glaucoma.
 Glaucoma merupakan sekelompok gangguan yang ditandai dengan
kerusakan progresif dari saraf optic yang berkaitan dengan
hilangnya daya lihat. Primary Open-Angle Glaucoma (POAG) adalah
bentuk lazim dari glaucoma dan mempengaruhi 60 juta orang
diseluruh dunia.
 POAG merupakan penyebab utama kedua kebutaan diseluruh dunia
dan penyebab kebutaan permanen. Saat ini, satu-satunya faktor
resiko yang dapat diubah adalah peningkatan tekanan intraocular
(TIO), namun sifat patogenisnya masih kurang dipahami.
Pendahuluan
 Banyak peneliti percaya POAG terdapat pada pangkal vascular, akibat dari
terganggunya aliran darah ke saraf optik di kepala. Rokok dapat
menyebabkan tingginya oxidative stress akibat dari oxidizing agents yang
memproduksi radikal bebas. Oleh karena itu, rokok mungkin berkaitan
dengan pathogenesis POAG, bersamaan dengan faktor resiko lainnya.
 Faktor resiko yang telah diketahui pada POAG, seperti usia lanjut, riwayat
keluarga dengan glaucoma dan etnis Afrika; rokok tembakau merupakan
faktor resiko yang dapat diubah. Hal ini penting untuk mengendalikan
penyakit, setidaknya sebagian, dengan mengubah kebiasaan
Pendahuluan
 Tinjauan sistemis baru-baru ini menyimpulkan, merokok
berat dapat meningkatkan resiko POAG.
 Oleh sebab itu, tujuan kami adalah mengevaluasi
hubungan antara rokok tembakau dengan resiko
berkembangnya glaucoma pada kelompok Seguimiento
Universidad de Navarra (SUN).
BAHAN DAN METODE

 Populasi Penelitian
 Studi SUN adalah studi universitas dinamis dan
serba guna yang berbasis populasi (kohort).
 Secara singkat, informasi mengenai paparan dan hasil
dikumpulkan dengan mengirimkan kuesioner setiap 2 tahun
sekali.
 Rekrutmen peserta dimulai bulan Desember 1999 dan masih
berlangsung sampai sekarang. Tingkat keseluruhan follow-up
adalah 89.2%. 20.878 peserta telah menjawab kuesioner baseline
sebelum September 2011, dan telah dimasukan kedalam sampel.
4081 peserta tidak diikutsertakan karena alasan yang berbeda:
1742 peserta hilang kontak sebelum follow-up; 1749 peserta
memiliki total asupan energi dibawah batas yang ditentukan (<
800 atau >4000 kkal/hari untuk pria, dan <500 atau> 3500
kkal/hari untuk wanita), 442 peserta tidak memiliki informasi
merokok tembakau, dan 103 peserta lazim dengan glaucoma.
Dengan demikian, jumlah akhir peserta untuk sampel analisis
ini adalah 16.797 (Gambar 1).
 Rekrutmen peserta dimulai bulan
Desember 1999 dan masih
berlangsung sampai sekarang.
Tingkat keseluruhan follow-up
adalah 89.2%. Jumlah akhir peserta
untuk sampel analisis ini adalah
16.797 (Gambar 1).
Penilaian Merokok
 Informasi status merokok dinilai menggunakan kuesioner baseline.
Informasi tersebut dikumpulkan dengan menanyakan: “Apakah anda
pernah merokok sebanyak 100 batang atau lebih selama hidup anda?”,
dari sini sudah dapat dipastikan apakah peserta adalah mantan
perokok, perokok aktif, atau bukan perokok.
 Para peserta yang menjawab positif diminta untuk merata-ratakan
jumlah rokok yang dikonsumsi per hari pada beberapa periode tertentu
dalam hidup mereka. Selain itu, untuk mantan perokok ditanyai sejak
kapan mereka berhenti merokok. Dari informasi tersebut, jumlah pak
yang dikonsumsi perokok per tahunnya dapat diperkirakan.
Penilaian Merokok

 Peneliti menggunakan packyears (pak-tahunan) yang


didefinisikan oleh National Cancer Institute Dictionary of Cancer
Term; packyears dihitung dengan mengalikan jumlah bungkus
rokok yang dihisap per hari dengan jumlah tahun si individu
tersebut merokok.
 Sebagai contoh, 1 packyears sama dengan konsumsi 1 bungkus
per hari selama 1 tahun, atau 2 bungkus per hari selama
setengah tahun, dan seterusnya.
 Karakteristik tembakau lainnya, seperti jenis, kualitas, filter,
atau konten nikotin, tidak dievaluasi. Perokok pasif
didefinisikan sebagai peserta yang menjawab positif pada
pertanyaan: “Apakah Anda tinggal atau bekerja dengan seorang
perokok di ruangan yang sama selama lebih dari satu tahun?”.
Instrumen Dietary Exposure
(Paparan Diet)
 Paparan diet diketahui melalui 136-item kuesioner
semikuantitatif, yang telah divalidasi di Spanyol.
 Konsumsi makanan dihitung melalui (selfreported) dari
frekuensi item makanan dikalikan dengan komposisi nutrisi,
dimana frekuensi ukuran porsi dibagi:
 Tidak pernah atau hampir tidak pernah,
 1 – 3 kali/bulan, satu kali/minggu
 2 – 4/minggu, 5 – 6 kali/minggu, 1 kali/hari,
 2 – 3 kali/7 hari,
 4 – 6 kali/hari,
 > 6 kali.hari untuk masing masing item makanan
Penilaian Kovariat Lain

 Sosiodemografi (misalnya jenis kelamin, usia, status perkawinan,dan


status pekerjaan);
 Antropometrik (misalnya aktivitas fisik yang dilakukan pada waktu
luang);
 Karakteristik psikologis (misalnya persepsi diri mengenai sifat dan
kepribadian);
 riwayat medis (misalnya prevalansi penyakit kronis dan penggunaan
obat). Pertanyaan mengenai aktivitas fisik yang divalidasi mencakup
informasi kira-kira 17 kegiatan.
 Untuk mengukur volume aktivitas yang dilakukan pada waktu
senggang, index metabolic equivalent (MET) dihitung dengan
menetapkan hasil perkalian resting metabolic rate (skor MET) untuk
tiap-tiap aktivitas; waktu yang dihabiskan untuk setiap kegiatan
dikalikan dengan skor MET untuk masing-masing aktivitas, kemudian
hasil dari semua kegiatan dijumlahkan untuk mendapatkan nilai
keseluruhan MET-h per minggu.
Hasil Penilaian

 Glaucoma dinilai dari hasil jawaban kuesioner, termasuk


kuesioner pada follow-up. Peserta merespon pertanyaan
“Apakah Anda pernah didiagnosa menderita glaucoma
oleh ahli medis professional?”. Pertanyaan tersebut juga
disertai dengan kapan tanggal diagnosis.
 Lebih dari 50% dari peserta studi kohort ini merupakan
ahli kesehatan professional dengan pengetahuan medis
yang baik.
 Diagnosis glaucoma tersebut dievaluasi oleh dokter mata
berpengalaman tanpa pernah melihat jawaban dari
kuesioner peserta.
 Validasi infomasi diagnosa glaucoma dari peserta
menunjukan hasil validitas yang cukup: nilai Kappa
adalah 0.85 (95% interval koefisien [CI] 0.834 – 0.7272).
Nilai sensitivitas dan spesifitasnya adalah 0.83 dan 0.99.
Analisis Statistik

 Model regresi Cox cocok untuk menilai hubungan antara


status perokok (tidak pernah/mantan/aktif) atau nilai
packyears rokok dengan insidensi glaucoma.
 Peserta berkontribusi dalam follow up sampai tanggal
kembalinya kuesioner terakhir mereka, baik itu mengenai
kematian, atau diagnosis glaucoma, manapun yang
muncul terlebih dahulu.
 Faktor perancu yang termasuk
sebagai kovariat dalam model
multiple Cox adalah umur, jenis
kelamin, indeks masa tubuh
(kg/m2), omega 3: rasio omega
6 (kuintil), hipertensi, diabetes
tipe 2, aktivitas fisik (tertiles),
konsumsi kopi (4 kategori),
konsumsi alkohol (quintiles),
dan ketertiban terhadap
Mediterranean diet. Semua nilai
P yang ditampilkan merupakan
hasil hipotesis 2 arah (2-tailed);
HASIL
 Selama masa follow up (waktu rata-rata 8.5 tahun),
terindentifikasi insidensi glaucoma pada 184 peserta dari
jumlah total 144.313 peserta. Karakteristik baseline para
peserta berdasarkan status rokok ditampilkan pada tabel
1. Usia rata-rata peserta adalah 39 tahun.
 Dalam analisis ini, kami memasukan 7920 peserta bukan
perokok, 3729 peserta mantan perokok, dan 5160
peserta perokok aktif. Perokok aktif cenderung
mengkonsumsi kopi dan alkohol, mengikuti pola
Mediterranean dietary dengan ketertiban yang tinggi, dan
juga lebih beresiko menderita hipertensi dan diabetes.
Mantan perokok rata-rata lebih tua dan sebagian besar
pria.
Hasil
 Perokok aktif menunjukan resiko yang lebih tinggi
terhadap perkembangan glaucoma dibandingkan dengan
bukan perokok, [95% CI: 1.26 – 2.81]; P = 0.002).
 Selain itu, pada model multiple-adjusted, mantan perokok
juga memiliki resiko tinggi mengembangkan glaucoma
namun tidak signifikan, dibandingkan dengan bukan
perokok (HR 1.27 [95% CI: 0.88 – 1.82]; P = 0.198) (Tabel
2).
Hasil
Hasil
 Hubungan ini dibuat berdasarkan jumlah konsumsi pak per tahun,
hubungan dosis-respons yang mendukung peningkatan resiko
glaucoma seiring dengan meningkatnya jumlah pak yang
dikonsumsi per tahun. Seperti pada tabel 3, peserta pada kuintil
kelima yang terkena banyak paparan rokok (>20.5 packyears)
menunjukan resiko 70% lebih tinggi mengembangkan glaucoma
dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok (95% CI:1.10 –
2.64; tren P = 0.009).
 Perokok pasif, bukan perokok aktif ataupun mantan perokok (n =
2879), dibandingkan dengan peserta non pasif, bukan perokok
aktif, maupun mantan perokok (n = 4958). Hasilnya tidak ada
perbedaan statistik yang signifikan antara kedua kelompok tersebut
(HR = 0.65 [95% CI: 0.35 – 1.18], P = 0.15).
Hasil
Pembahasan
 Dalam penelitian ini, menemukan bahwa perokok yang
masih aktif sangat berhubungan secara signifikan dengan
resiko mengembangkan glaucoma, bahkan hubungan
tersebut lebih kuat dibandingkan dengan perokok berat.
 Pada populasi Afrika-Amerika, Wise dkk. melaporkan
rokok kemungkinan terkait dengan resiko peningkatan
POAG dini, namun hasilnya tidak mencapai signifikansi
statistik (statistical signifance) (P = 0.28). Bonovas dkk.
menemukan bahwa perokok yang masih aktif mengalami
peningkatan resiko POAG yang signifikan (selisih rasion
[OR] = 1.37, 95% CI: 1.00 – 1.870.
 Studi eksperimental menganalisis aqueous humour dan
sampel plasma pada 120 wanita dengan POAG, menunjukan
bahwa rokok dapat memicu inflamasi dan apoptosis pada
pasien glaucoma. Penanda aptosis – secara signifikan lebih
tinggi pada perokok yang masih aktif dibandingkan dengan
mantan dan bukan perokok (P < 0.05). Sel trabecular
meshwork dan sel retinal ganglion, mati karena apoprosis
pada glaucoma.\
 Zanon-Moreno dkk. menyatakan rokok menghasilkan radikal
bebas yang menyebabkan kerusakan pada trabecular
meshwork, akibatnya mengurangi aliran keluar aqueous
humour. Ditambah lagi, mekanisme yang berhubungan
dengan vasoconstriction pada episcleral veins dapat
mengurangi aliran aqueous.
Kelebihan Penelitian

1. Design prospektifnya  informasi tentang merokok dan


faktor resiko lain untuk glaucoma diperoleh sebelum
diagnosis penyakit. Selain itu, kontrol dari berbagai faktor
perancu (confounders) dianggap prospektif, menghindari
kemungkinan bias pada invers causation,
2. Diagnosa glaucoma pada sub-sampel peserta, sampel
yang besar dan periode follow-up (waktu rata-rata 8.5
tahun).
3. Faktor resiko, paparan dan hasil, dipastikan melalui
kuesioner yang sudah divalidasi.
Keterbasan Penelitian
 Keterbatasan
spesifik lainnya adalah kami tidak
dapat menentukan jenis glaucoma. Namun,
dalam subsample yang divalidasi dari peserta,
semua kasus glaucoma adalah open-angle
glaucoma
Kesimpulan

 Studi prospektif ini peneliti menemukan hubungan antara


perokok yang masih aktif dengan meningkatnya resiko
berkembangnya glaucoma, walaupun hubungan yang sama
pada mantan perokok atau perokok pasif masih belum jelas.
 Hubungan dosis-respons yang membuktikan resiko
glaucoma meningkat seiring dengan jumlah pak yang
dikonsumsi per tahun. Namun demikian, diperlukan studi
kohort lebih lanjut dengan sampel lebih besar dan peserta
yang usianya lebih tua, untuk mengkonfirmasi hubungan ini.

Anda mungkin juga menyukai