Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

Anemia Defisiensi Besi

Oleh:
Rudolf Noer Addien Binanda Putra 1710221096

Pembimbing:
dr. Kurniawati Arifah, Sp.A, M.Sc.

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Anemia Defisiensi Besi

Oleh:
Rudolf Noer Addien Binanda Putra 1710221096

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jakarta

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, Maret 2019

Pembimbing

dr. Kurniawati Arifah, Sp.A, M.Sc.

i
ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI

Defisiensi besi dan anemia defisiensi besi adalah masalah kesehatan global
dan kondisi medis tersering yang ditemukan setiap harinya pada praktis klinis.
Meskipun prevalensi dari anemia defisiensi besi baru baru ini menurun karena
beberapa sebab, defisiensi besi terus berada pada rangking teratas sebagai penyebab
anemia di seluruh dunia, dan anemia defisiensi besi memiliki efek substansial
terhadap kehidupan anak-anak usia muda dan wanita pre menopause pada negara
berpendapatan rendah dan negara berkembang, walaupun diagnosis dan terapi dari
kondisi ini sebenarnya dapat ditingkatkan kinerjanya.
Besi adalah komponen penting untuk fungsi biologi, termasuk respirasi,
produksi energi, sintesis DNA, dan ploriferasi DNA. Tubuh manusia telah
berkembang untuk dapat mengolah besi pada berbagai jalan, termasuk mendaur
ulang zat besi setelah kehancuran sel darah merah dan retensi besi bila tidak ada
mekanisme eksresi. Meskipun begitu, karena kadar zat besi yang berlebihan juga
tidak baik untuk tubuh (toksik), absoprsinya terbatas yakni hanya 1-2 mg saja
perharinya, dan sebagian besar kebutuhan zat besi per hari adalah (sekitar 25 mg
per hari) didapat dari proses daur ulang oleh makrofag yang memfagositosis
eritrosit yang sudah tua. Dua mekanisme selanjutnya dikontrol oleh hormon
hepsidin, yang mengontrol jumlah zat besi total pada kadar normal, untuk
mencegah defisiensi zat besi maupun kelebihan zat besi.
Defisiensi besi merujuk pada penurunan jumlah simpananan zat besi yang
memicu terjadinya anemia defisiensi besi atau anemia persisten tanpa adanya
progresifitas. Anemia defisiensi besi adalah kondisi yang lebih berat dimana kadar
zat besi yang rendah berkaitan dengan anemia dan adanya sel darah merah yang
hipokromik mikrositik.
Eritropoiesis dengan zat besi yang kurang dari nomal mengindikasikan
bahwa pengiriman zat besi ke prekusor eritroid sedang terganggu, tidak peduli
seberapa penuh simpanan zat besinya. Simpanan mungkin normal atau meningkat
karena sekuestrasi zat besi pada kasus anemia akibat imflamasi kronik, yang
tampak pada pasien dengan gangguan imunitas, kanker, infeksi, dan gagal ginjal
kronik. Adanya defisiensi zat besi dan anemia akibat penyakit kronik sering terjadi

1
dan mungkin tampak pada pasien yang berusia tua serta pasien dengan gagal ginjal
kronik. Meskipun begitu, fraksi substansial dari anemia yang khususnya terjadi
pada pasien berusia tua terjadi tanpa adanya defisiensi besi atau peningkatan kadar
hepsidin.
Defisiensi besi fungsional adalah suatu keadaan eritropoiesis yang miskin
zat besi, dimana terdapat insufisiensi mobilisasi zat besi dari tempat penyimpanan
dengan adanya peningkatan kebutuhan, seperti yang ditemukan setelah pemberian
terapi obat obatan penstimulasi eritropoiesis (lihat glossarium untuk mengetahui
definisi istilah terkait anemia defisiensi besi).
Kajian ini mempertimbangkan kembali defisiensi besi dan anemia dalam
rangka meningkatan pengetahuan mengenai homeostasis besi sistemik dan
pemeriksaan untuk mengetahui penyebabnya, patofisiologinya, dan pilihan terapi
pada orang dewasa. Pembaca diharap mencari tahu dari sumber lain mengenai
persentasi, gejala, dan diagnosis dari anemia defisiensi besi berdasarkan
pemeriksaan laboratorium dan masalah apabila penyakit ini menyerang anak anak
atau ibu hamil.

GLOSSARIUM
- Anemia pada penyakit kronik atau anemia pada imflamasi : anemia adalah
multifaktorial dan berkaitan deegnan peningkatan produksi sitokin,
upregulasi hepsidin, serta homeostasis besi yang abnormal
- Defisiensi besi fungsional : mobilisasi yang tidak adekuat dari zat besi
eritroid dengan adanya peningkatan kebutuhan akan zat besi, seperti yang
terjadi pada kasus pasien yang baru saja diterapi dengan obat obatan pemicu
eritropoiesis.
- Defisiensi besi : penurunan adar zat besi total, khususnya simpanan zat besi,
dengan terjaganya kadar zat besi eritroid
- Anemia defisiensi besi : penurunan kadar zat besi total pada tubuh dan
adanya anemia
- Eritropoiesis dengan restriksi zat besi : penurunan suplai zat besi untuk
eritropoiesis, tanpa mempertimbangkan kadar simpanan zat besi, yang
biasanya selalu terisi penuh.

2
- IRIDA (iron-refractory iron-deficiency anemia : anemia defisiensi besi
yang tidak respon terhadap terapi zat besi oral, pada sebagian besar kasus
merujuk pada penyakit genetik yang disebabkan karena mutasi pada gen
TMPRSS6, sebuah gen yang mengkode protease transmembran, serin 6,
juga dikenal sebagai matriptase-2.

Masalah Kesehatan Global

Defisiensi besi mempengaruhi lebih dari 2 juta orang di dunia, dan anemia
defisiensi besi masih menjadi penyebab utama anemia, setelah dikonfirmasi
berdasarkan analisis pada sejumlah besar laporan penyakit ini dari 187 negara mulai
tahun 1990 hingga tahun 2010 dan berdasarkan survey pada beban anemia pada
orang orang beresiko, seperti anak anak pre sekolah dan wanita muda. Program
pencegahan ternyata mampu menurunkan angka anemia defisiensi besi secara
global; prevalensinya sekarang lebih tinggi di pusat dan barat afrika serta asia
selatan, prevalensi estimasi dari defisiensi besi di seluruh dunia adalah dua kali
lipatnya seperti pada anemia defisiensi besi.
Prevalensi yang dilaporkan dari kasus defisiensi besi tanpa adanya
fortifikasi pada bahan makanan adalah sekitar 40% pada anak anak usia sebelum
sekolah, 30% pada anak perempuan dan wanita yang menstruasi, serta 38% pada
wanita hamil. Berbagai angka ini mencerminkan adanya peningkatan kebutuhan
fisiologis dari makanan yang mengandung zat besi selama fase kehidupan yang
berdasarkan jenis kelamin. Dorongan pertumbuhan pada remaja adalah periode
kritis lain yang perlu menjadi perhatian. Untuk pasien pada berbagai kategori ini,
penyebab patologi dari anemia defisiensi besi sering kali tidak ada dan langkah
diagnostik yang lebih canggih juga tidak dilakukan. Meskipun begitu, seperti yang
didiskusikan diatas, ketika respon terhadap terapi tampak tidak memuaskan,
pemeriksa harus mencari tahu penyebab anemianya, meskipun pada pasien di
berbagai grup beresiko tinggi ini.
Pada negara berkembang, defisiensi besi dan anemia defisiensi besi
biasanya terjadi akibat insufisiensi makanan yang mengandung zat besi, kehilangan
darah akibat kolonisasi cacing parasit pada usus, atau keduanya. Pada negara

3
berpendapatan tinggi, pola makan tertentu (misalnya, diet vegetarian atau tidak
mengkonsumsi daging merah) dan kondisi patologi (misalnya kehilangan darah
kronik atau malabsorpsi) adalah penyebab terseringnya. Secara paradoksal, akan
lebih sulit lagi untuk menurunkan prevalensi anemia defisiensi besi pada negara
berpendapatan tinggi dari pada negara berpendapatan rendah. Satu alasan dari
adanya paradox ini adalah karena tingginya angka defisiensi zat besi pada populasi
usia tua.

Modifikasi Homeostasis Zat Besi Pada Defisiensi Zat Besi

Mekanisme dari perolehan zat besi secara ketat diregulasi oleh kontrol
homeostasis berdasarkan hepsidin. Hepsidin adalah hormon peptida yang utamanya
disintesis oleh hepar. Fungsinya sebagai reaktan pada fase akut yang berfluktuasi
pada kadar zat besi plasma akibat enterosit yang mengabsorpsi zat besi serta
makrofag di limpa dengan cara berikatan serta menginduksi degradasi ferroportin,
yang mengeksport zat besi dari sel. ekspresi hepsidin meningkat sebagai respon
terhadap tingginya kadar zat besi di jaringan dan di sirkulasi dan pada orang orang
dengan imflamasi sistemik serta infeksi. Produksinya dihambat dengan cara
memperluas eritropoiesis, defisiensi zat besi, dan hipoksia jaringan sebagai respon
terhadap sinyal yang berasal dari sumsum tulang, hepar, dan mungkin jaringan otot
serta adiposit. Peningkatan kadar hepsidin yang diinduksi sitokin imflamasi,
khususnya interleukin-6, dapat menjelaskan sekuestrasi zat besi serta penurunan
suplai zat besi untuk eritropoiesis yang terjadi pada anemia di penyakit kronik.
Pada populasi umum, kadar hepsidin tergolong rendah di wanita usia muda dan
anak perempuan, namun lebih tinggi pada pria, dan pada wanita yang post
menopause. Adanya fluktuasi pada kadar hepsidin memiliki hubungan langsung
yang kuat dengan kadar ferritin serum. Pada defisiensi besi, transkripsi hepsidin
menurun. Mekanisme adaptif ini memfasilitasi proses absorpsi zat besi (gambar 1),
dan proses pelepasan zat besi dari tempat penyimpanan tubuh. Uptake zat besi dari
usus di lumen usus melalui DMT1 (transporter zat besi divalent) meningkat karena
adanya aktivasi dari faktor 2α yang diinduksi hipoksia. Derajat penyimpanan zat
besi menentukan kecepatan dimana defisiensi zat besi berkembang pada kasus

4
kehilangan darah serta penurunan drastis pada absorpsi zat besi. Hepatosit
tampaknya bekerja sebagai reservoir zat besi jangka panjang dan akan melepas zat
besinya lebih lambat dari pada kecepatan pelepasan oleh makrofag.

Keterangan : siklus besi—mekanisme adaptasi terhadap defisiensi zat besi


Mekanisme dari adaptasi terhadap defisiensi zat besi terpusat pada supresi hormon
hepsidin hepar dan hipoksia jaringan yang terjadi setelah adanya anemia. Produksi
eritropoietin (EPO) oleh ginjal pun meningkatan sebagian respon terhadap
peningkatan kadar faktor 2α yang dipicu hipoksia. Sebagai akibat adanya stimulasi
dari eritropoietin, eritropoiesis pun meningkat dan terbentuklah sel darah merah
yang mikrositik hipokromik karena rendahnya simpanan zat besi. Sel darah merah
yang sudah tua kemudian dihancurkan oleh makrofag, dan zat besinya didaur ulang
lagi. Peningkatan proses eritropoiesis kemudian mensupresi produksi dari hepsidin.
Pada tikus percobaan, fungsi ini dimdiasi oleh eritroferrone (ERFE), yang
disekresikan oleh eritroblas. Untuk menjaga absorpsi zat besi yang adekuat dan
efisiensi dari eritropoiesis. HIF-2 α meningkatkan ekspresi DMT1 di permukaan

5
apikal enterosit untuk meningkatkan transfer zat besi pada makanan dari lumen ke
enterosit. Kadar hepsidin kemudian menurun sebagai respon terhadap penurunan
sinyal fisiologi yang menjaga produksinya (misalnya, peningkatan kadar transferin
yang berikatan dengan zat besi/TMPRSS6, untuk menurunkan kadar aktivator dari
BMP6 (bone morphogenetic protein 6), dan untuk meningkatkan penghambatan
dari eritropoiesis akibat stumulasi eritropoietin. Ferroprotein (FPN), yang tidak lagi
didegradasi karena rendahnya kadar hepsidin, kemudian mengekspor ketersediaan
zat besi melalui membran basal enterosit dan dari penyimpanan zat besi oleh
makrofag ke sirkulasi darah. Apabila simpanannya sudah habis, kadar zat besi di
sirkulasi pun menurun, meskipun absorpsinya dari lumen sudah ditingkatkan.
Penuruanan kadar zat besi di hepar memicu peningkatan sintesis transferin
pembawa zat besi (merujuk pada apotransferin apabila tidak berikatan dengan zat
besi), penurunan kadar transferin yang berikatan dengan zat besi, dan ligan dari
reseptor transferin. Akibatnya, terjadi penurunan uptake zat besi dari reseptor
trasnferin pada semua sel dan organ (misalnya otot skeltal dan otot jantung).

Penyebab Anemia Defisiensi Zat Besi

Kemiskinan, malnutrisi, dan kelaparan adalah penyebab yang bisa


dijelaskan dari anemia pada orang orang yang tinggal dengan keadaan defisiensi zat
pada di negara berkembang, khususnya anak anak dan wanita hamil. Selain itu, diet
yang mengandung sereal dapat menurunkan bioavailabilitas zat besi karena fitat
pada gandum dapat mensekuestrasi zat besi pada kompleks dengan penyerapan
yang buruk. Penyebab tersering lainnya dari anemia di negara berkembang adalah
infeksi cacing tambang dan schistosomiasis, yang sebabkan kehilangan darah
kronik. Diet vegetarian atau vegan yang ketat, malabsoprsi, kehilangan darah
kronik akibat perdarahan menstruasi berat sebagai penyebab utama dari anemia
defisiensi besi di negara berkembang (tabel 1). Kehilangan darah kronik dari traktus
saluran pencernaan, termasuk kehilangan darah yang tidak disadari, pada pasien
pria dan pasien usia tua, yang mungkin mengungkapkan adanya lesi jinak,
angiodisplasia, atau kanker. Kehilangan darah yang berasal dari kehilangan darah
dari sistem pencernaan yang terjadi perlahan dan tidak terdeteksi, khususnya di usus

6
kecil, dan dapat dibuktikan menggunakan pemeriksaan endoskopi kapsul
menggunakan video, yang semakin meningkat penggunaannya apabila
pemeriksaan konvensional untuk mendeteksi anemia defisiensi besi memberikan
hasil yang negatif. Orang orang yang mendonasikan darahnya secara rutin juga
beresiko alami defisiensi besi, dan kadar zat besinya harus terus dimonitor secara
rutin. Pada kasus hemolisis intravaskular yang jarang, Zat besi hilang bersama
urine, dan defisiensi besi kemudian memicu anemia (misalnya hemoglobinuria
nokturnal paroksismal). Anemia pada atlet mungkin terjadi akibat hemolisis,
kehilangan darah, dan sering kali akibat imflamasi ringan. Obat obatan NSAID dan
antikoagulan mungkin turut berperan dalam kehilangan darah, PPI yang sering kali
dianggap sebagai penyebab gangguan absoprsi zat besi (tabel 1).
Tabel 1. Penyebab defisiensi zat besi
Penyebab Contoh
FISIOLOGI
Peningkatan kebutuhan Bayi, pertumbuhan cepat (remaja), kehilangan darah
akibat menstruasi, kehamilan (trisemester kedua dan
ketiga), donor darah
Lingkungan Insufisiensi bahan makanan, karena kemiskinan,
malnutrisi, diet (vegetarian, vegan, rendah zat besi)
PATOLOGI
Penurunan absorpsi Gastrektomi, bypass usus, operasi bariatrik, infeksi
helicobacter pylori, celiac sprue, gastritis atrofi, IBD
(imflammatory bowel disease, misalnya kolitis
ulseratif, chrone disease)
Kehilangan darah kronik Traktus pencernaan, termasuk esofagitis, gastritis
erosiv, ulkus peptikum, divertikulitis, tumor jinak,
kanker usus, IBD, angiodiplasti, hemoroid, infeksi
cacing tambang, dan tempat penyimpanan yang tidak
jelas.
Sistem genitourinaria, termasuk mens yang berat,
menoragia, hemolisis intravaskular (hemoglobinuria
nokturnal paroksimal, anemia hemolitik autoimun

7
dengan antibodi dingin, hemoglobinuria march,
kerusakan katup jantung, hemolisis mikroangiopati)
Perdarahan sistemik, termasuk perdarahan akibat
tengaiektasia, skistosoomiasis kronik, sindrom
muchausen (misalnya hemoragia dengan sendirinya)
Terkait obat Glukokortikoid, salisilat, NSAID, obat PPI
Genetik Anemia defisiensi besi, refratori besi
Eritropoieisis dengan Pengobatan menggunakan obat obatan penstimulaisi
kadar zat besi yang erutropoiesis, anemia penyakit kronik, penyakit ginjal
rendah kronik
*kondisi imflamasi mungkin berhubungan dengan defisiensi zat besi. NSAID ;
antiimflamasi non steroid

Kejadian berulang dari berbagai hal yang sebabkan defisiensi besi sering kali
terjadi. Pada negara berkembang, intake zat besi yang rendah bersamaan dengan
infeksi usus akibat nematoda mungkin dapat sebabkan anemia berat, khususnya
pada anak muda. Keparahan defisiensi zat besi juga berkaitan dengan jumlah
ancylostoma duodenale (cacing tambang), berdasarkan hasil reaksi pemeriksaan
PRC dari sampel feses. Pada schistosomiasis kronik, kehilangan darah bersamaan
denga anemia akibat imflamasi. Pasien dengan hipermenorrhea mungkin juga dapat
alami malabsorpsi zat besi. Pada penyakit ginjal stadium lanjut, anemia defisiensi
besi berasal dari kehilangan darah selama proses dialisis, penurunan bersihan
hepsidin, imflamasi, dan berbagai obat obatan (misalnya obat PPI dan
antikoagulan). Pada orang berusia tua, prevalensi anemia berkaitan dengan
pertambahan usia dan berbagai kondisi multiple, termasuk defisiensi besi, penyakit
imflamasi, penurunan kadar eritropoietin dan kanker. Obesitas mungkin berkaitan
dengan defisiensi besi ringan karena imflamasi subklinis, peningkatan kadar
hepsidin, dan penurunan absorpsi besi. Beberapa studi melaporkan tingginya
prevalensi dari defisiensi zat besi (30-50%) pada pasien dengan gagal jantung
kongestif, mungkin akibat gangguan absoprsi zat besi dan imflamasi :
meningkatkan kadar hepsidin darah seperti yang dilaporkan pada fase awal
penyakit namun tidak selama progresifitas penyakit.

8
Anemia Defisiensi Besi-Refraktori Besi

Anemia defisiensi besi biasanya selalu didapat. Meskipun begitu,


penjelasan mengenai homeostasis besi sistemik membuat pengenalan akan adanya
suatu kondisi autosomal resesif jarang, yakni IRIDA (iron refractory-defisiensi
anemia. Anemia defisiensi besi didefinisikan sebagai keadaan “refraktori” ketika
tidak ada respon hematologi (sebuah peningkatan yang <1gram dari hemoglobin)
setelah 4-6 minggu pengobatan menggunakan obat obatan yang mengandung zat
besi. IRIDA disebabkan oleh mutasi pada gen TMPRSS6, sebuah gen yang
mengkode protease transmembran, serine 6, juga dikenal juga sebagai matriptase2,
yang menghambat jalur sinyal yang mengaktivasi hepsidin (gambar 1). Tidak
adanya fungsi mutasi TMPRSS6 sering dilaporkan pada lebih dari 50 famili yang
telah menyebabkan produksi hepsidin yang tinggi, sehingga memblok absorpsi zat
besi. Jenis anemia ini bervariasi, lebih berat pada anak anak, dan terapi yang tidak
responsif dengan zat besi oral. Temuan khas nya termasuk adanya mikrositosis dan
rendahnya saturasi transfesin dengan kadar feritin dalam batas normal atau batas
bawah dan tingginya kadar hepsidin. Diagnosisnya membutuhkan proses
pengurutan TMPRSS6. IRIDA ada pada kurang 1% dari kasus anemia defisiensi
besi pada praktis klinisnya. Meskipun begitu, pengetahuan mengenai hal ini sangat
bernilai bagi dokter, karena temuannya menentukan seberapa penting pengaruh dari
supresi hepsidin (gambar 1) terhadap respon tubuh untuk farmakologi zat besi.
IRIDA juga mengisyaratkan bahwa adanya kerentanan genetik terhadap defisiensi
besi. Variasi dari TMPRSS6 berkaitan dengan modulasi kadar hepsidin darah pada
populasi penelitian, dan meskipun pada wanita ras cina yang berusia tua dengan
anemia defisiensi besi. Ada kemungkinan bahwa faktor didapat yang ada dapat
menjelaskan spesifitas etnis terkait hubungan ini.
Pada sebagian besar kasus resistensi zat besi terjadi akibat gangguan pada
sistem pencernaan (tabel 1) sebagain atau gastrektomi total atau prosedur operasi
apapun yang ada tindakan bypass usus dudoenum sehingga sebabkan resistensi
terhadap pemberian obat yang mengandung zat besi. Operasi bariatrik, seperti
laparoskopi roux-en-Y bypass lambung, yang dilakukan secara selektif pada pasien
obesitas untuk menurunkan intake kalori dan memperbaiki diabetes, terjadi dan

9
sebabkan defisiensi zat besi serta anemia karena prosedurnya secara efektif
menyingkirkan lokasi untuk mereabsorpsi zat besi dari proses pencernaan dan
meingkatkan pH lambung. Keterbatasan data follow up terhadap pasien pasien yang
menjalani prosedur ini mengindikansikan bahwa defisiensi besi berkembang pada
sekitar 45%, khususnya wanita; monitoring nutrisi jangka panjang dan
suplementasi besi juga dianjurkan. Infeksi helicobacter pylori dapat menurunkan
absoprsi zat besi (tabel 1) karena mikroorganisme berkompetisi dengan host
manusia untuk ketersediaan dan stok besi, menurunkan bioavailabilitas vitamin C,
dan mungkin memicu terjadinya mikroerosi yang sebabkan perdarahan. Karena
diperkirakan hampur separoh dari seluruh penduduk dunia terinfeksi H.Pylori,
dokter harus waspada akan kemungkinan infeksi ini dan memberikan terapi untuk
mengeradikasi sumber dari apapun yang sebabkan anemia defisiensi besi-resistensi
besi. Prevalensi penyakit seliac dan gejalanya yang atipikal, termasuk anemia
defisiensi bsi, semakin menigkat prevalensinya di seluruh dunia. Pada suatu
penelitian, skrining terhadap prevalensi sensitifitas gluten dengan penggunaan
antibodi anti-transglutaminase menemukan insidensi yang cenderung dapat
diabaikan dari seluruh peserta peneltiian yang dipenuhi zat besi, dimana 2.5%
pesertanya dengan defisiensi zat besi memiliki sensitifitas terhadap gluten. Pada
studi lain yang terdiri dari penelitian degnan anemia defisiensi besi akibat refraktori
besi, 5% peserta penelitian alami sensitifitas terhadap gluten. Berbagai temuan ini
mengisyaratkan bahwa sensitifitas gluten mungkin berkaitan dengan anemia
defisiensi besi akibat refraktori besi. Mirip dengan hal ini, gastritis atrofi autoimun,
peristiwa yang lebih jarang dari anemia defisiensi besi refraktori besi, yang terjadi
akibat reaksi imun terhadap sel parietal lambung dan faktor instrinsik, yang harus
dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebabnya meskipun tidak mungkin
sebbakan anemia mikrositik refraktori besi. Pada pasien dengan IBD
(imflammatory bowel disease), anemia mungkin bersifat resisten besi, namun hal
ini dapat multifaktorial, sering diakibatkan karena kombinasi defisiensi zat besi,
folat, vitamin B12, imflammasi, dan efek samping terapi obat-obatan.

10
Temuan Klinis

Anemia defisiensi besi adalah suatu keadaan kronik dan sering kali tidak
bergejala sehingga sering kali juga tidak terdiagnosis. Kelemahan, fatigue, sulit
berkosentrasi, dan produktifitas kerja yang buruk adalah gejala yang tidak spesifik
yang mewakili adanya keadaan prose pengiriman oksigen ke jaringan tubuh yang
rendah serta penurunana aktifitas enzim yang mengandung zat besi. Sejauh mana
efek non hematologis dari defisiensi besi bergejala sebelum berkembang suatu
keadaan anemia juga masih belum dapat dijelaskan. Tanda dari defisiensi besi pada
jaringan tergolong tidak jelas dan mungkin tidak berespon terhadap terapi zat besi.
Defisiensi besi dilaporkan dapat menurunkan kemampuan kognitif dan
memperlambat perkembangan mental serta motorik pada anak anak.
Anemia defisiensi besi yang berat pada kehamilan berkaitan dengan peningkatan
resiko persalinan prematur, rendahnya berat lahir janin, dan peningkatan angka
mortalitas bayi dan ibu. Defisiensi besi mungkin membuat orang mudah terinfeksi,
memicu kegagalan jantung, dan sebabkan sindrom retless leg. Pada pasien dengan
gagal jantung, defisiensi besi memiliki efek yang negatif terhadap kualitas hidup,
terlepas dari adanya anemia.

Penentuan Status Besi

Penilaian laboratorium tradisional dan hasil nya dapat menentukan status


besi serta defisiensi besi dan kondisi terkait hal ini (defisiensi zat besi fungsional,
anemia defisiensi besi, IRIDA, dan anemia pada penyakit kronik), dijelaskan di
tabel 2. Kadar feritin serum adalah pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk
mengidentifikasi defisiensi zat besi (diindikasikan bila kadarnya <30 ug per liter).
Kadar nya akan lebih rendah lagi pada pasien dengan anemia defisiensi besi, kadar
saturasi transferin yang kurang dari 16% mengindikasikan bahwa suplai zat besi
yang tidak cukup mendukung eritropoiesis normal. Meskipun begitu, dalam
menentukan stastus besi, penting untuk mengambil keseluruhan hasil pemeriksaan
laboratorium dibandingkan hanya 1 jenis pemeriksaan saja. Pedoman untuk
menentukan diagnosis banding dari anemia mikrositik baru baru ini diperkenalkan.

11
Diagnosis anemia defisiensi besi dalam konteks imflamasi sangatlah menantang
dan tidak dapat ditentukan berdasarkan 1 jenis pemeriksaan saja (tabel 2); nilai cut
off yang lebih tinggi secara signifikan untuk feritin digunakan untuk
mendefinisikan kadar feritin yang kurang dari 100 ug per liter. Nilai cutoff yang
lebih tinggi untuk feritin digunakan dalam mendiagnosis defisiensi besi dan kondisi
lainnya (misalnya, <300 ug per liter untuk gagal jantung dan untuk gagal ginjal
kronik bila ada nilai saturasi transferin yang kurang dari 30%). Penilaian kadar
penyimpanan zat besi berdasarkan pewarnaan zat besi dari sumsumtulang
dilakukan menggunakan biopsi, sebagai pilihan yang biasanya tidak dilakukan
secara rutin pemeriksaannya. Bila ada, tidak ada pemeriksaan yang reliabel untuk
menilai kadar hepsidin yang tersedia.

Terapi
Perhatian dan Pedoman Umum

Pasien dengan anemia defisiensi besi harus mendapatkan suplementasi zat


besi. Perhatian harus digunakan pada area dimana malaria ditetapkan sebagai
penyakit endemik karena suplementasi mungkin dapat mengembalikan efek yang
bersifat protektif terhadap keadaan defisiensi zat besi atau malah meningkatkan
kecendrungan untuk mendapaktan koinfeksi. Studi invitro menunjukkan bahwa
parasit malaria yakni plasmodium falsiparum cederung kurang efisien dalam
menginfeksi eritrosit yang kekurangan zat besi dari pada menginfeksi eritorisit
dengan keadaan zat besi yang tinggi, proteksinya yang terbalik dengan
suplementasi zat besi. Beberapa penelitian mendukung pandangan bahwa penilaian
kadar hepsidin dapat membantu menentukan waktu yang paling tepat (fase akhir
infeksi malaria) untuk dilakukan pada anak anak diberbagai regio yang cenderung
kurang mendapatkan suplementasi zat besi. Data yang ada mengisyaratkan bahwa
zat besi yang tidak diserap dapat membahayakan pasien karena hal ini dapat
memodifikasi mikrobiota usus, meningkatkan konsentrasi patogen usus.
Manfaat dari mengobati defisiensi zat besi sebelum berkembangkan suatu
keadaan anemia masih belum dapat dijelaskan. Beberapa penelitian kecil
menunjukkan bahwa pemberian zat besi secara intravena dapat memperbaiki

12
keadaan fatigue pada wanita tanpa anemia yang kadar feritinya mengandung sedikit
zat besi. Beberapa studi juga menyarankan bahwa suplementasi zat besi oral
memiliki manfaat terhadap peforma fisik wanita di usia reproduktif, namun
sebagian penelitian tersebut hanya meneliti sedikit peserta penelitian saja dan
penelitiannya sangatlah bersifat heterogen.
Pasien dengan keadaan anemia defisiensi besi dapat sebabkan gejala pada
jantung, seperti gagal jantung atau angina, yang harus mendapatkan transfusi sel
darah merah. Pendekatan ini bukan hanya harus memperbaiki keadaan hipoksianya
saja tapi juga defisiensi zat besi, karena 1 unit sel paket sel darah merah terdiri dari
200 mg zat besi.

Terapi Zat Besi Oral

Pemberian terapi zat besi oral adalah cara yang nyaman, murah, dan efektif
untuk merawat pasien yang stabil. Di antara berbagai persiapan di pasaran, besi
sulfat adalah yang paling sering digunakan; glukonat dan fumarat juga merupakan
garam besi yang efektif. Dosis harian yang direkomendasikan untuk orang dewasa
dengan kekurangan zat besi adalah 100 hingga 200 mg zat besi dasar dan untuk
anak-anak adalah 3 hingga 6 mg per kilogram berat badan menggunakan
sediaancair; untuk kedua kelompok suplemen harus diberikan dalam dosis terbagi
tanpa makanan. Penambahan vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi
ini. kadar hepcidin yang rendah pada pasien dengan anemia defisiensi besi
memastikan penyerapan zat besi yang efektif dan pemulihan kadar hemoglobin
yang cepat; Namun, durasi pengobatan selama 3 sampai 6 bulan pengobatan
diperlukan untuk replesi simpanan zat besi dan menormalkan kembali kadar feritin
serum. Penggunaan zat besi oral jangka panjang terbatas oleh efek sampingnya,
termasuk mual, muntah, konstipasi, dan seperti ada rasa logam; efek samping ini
sering dan, meskipun tidak parah, sering membuat pasien khawatir dan tidak
nyaman. Walaupun zat besi oral dapat menyebabkan feses berwarna gelap, zat ini
tidak menghasilkan hasil positif palsu pada tes darah occult. Jika pengobatan
dengan zat besi oral gagal, alasan dibalik ini mungkin termasuk penghentian terapi
zat besi oral yang terlalu cepat, tidak adanya kepatuhan terhadap pengobatan

13
maupun pemberhentian terapi atas keputusan pasien sendiri, atau respon
pengobatan dan terapi yang refrakter. Pada kasus lain, pengobatan khusus, seperti
eradikasi infeksi H.pylori atau diperkenalkannya diet yang gluten-free pada pasien
dengan penyakit celiac, mungkin mampu mengembalikan kapasitas reabsoprsi zat
besi dan mengeliminasi kebutuhkan akan suplementasi ini pada sebagian pasien.
tidak ada penanda yang dikethaui dapat digunakan untuk memprediksi pasien mana
yang akan atau tidak akan respon terhadap terapi zat besi oral. Uji tantangan
pemberian zat besi oral (dimana zat besi sebesar 60 mg diberikan dan kadar zat besi
dinilai 1-2 jam kemudian), jarang sekali digunakan karena belum tervalidasi. Studi
pilot menunjukkan bahwa penilaian kadar hepsidin serum dapat membantu
mengidentifikasi pasien yang kemungikan respon terhadap terapi zat besi oral
(mereka yang kadar hepsidinnya rendah) dan mereka yang kemungkinan tidak
respon terhadap terapi zat besi oral (kadar hepsidin normal atau meningkat).
Meskipun begitu, uji hepsidin tidak secara rutin tersedia untuk penggunaan klinis.
Penilaian respon dini terhadap terapi zat besi oral mungkin bermanfaat pada terapi
anemia defisiensi besi pada pasien dengan anemia di penyakit kronik. Satu studi
pada pasien dengan penyakit reumatik dan anemia defisiensi besi menunjukkan
adany perubahan pada isi hemoglobin pada retikulosit (dan pada kadar zat besi
darah serta saturasi transferin) yang mungkin dapat digunakan untuk memprediksi
respon pemberian zat besi oral setelah 1 minggu terapi.

Terapi Besi Parenteral

Kemungkinan adanya reaksi hipersensitifitas (termasuk anafilaksis)


terhadap dekstran besi berberat molekul rendah membatasi indikasi pemberian zat
besi menggunakan jalur intravena. Formulasi zat besi yang baru telah disetujui dan
lebih aman untuk memodifikasi praktik klinis ini (Tabel 3). Karena penggunaan zat
besi intravena bertujuan untuk menghindari masalah penyerapan zat besi, cara ini
cenderung lebih efektif dan meningkatkan kadar hemoglobin lebih cepat daripada
zat besi oral. Keuntungan lainnya adalah bahwa pada beberapa pasien total dosis
yang diperlukan (hingga 1000 mg) dapat diberikan dalam satu infus (Tabel 4).
Dosis yang dibutuhkan dihitung dengan rumus ini : berat badan dalam kilogram ×

14
2,3 × defisiensi hemoglobin (level target hemoglobin - level hemoglobin pasien) +
500 hingga 1000 mg zat besi untuk replesi simpanan zat besi. Biaya terapi besi
parenteral termasuk mahal, tetapi kunjungan ke dokter dan rumah sakit untuk
kebutuhan ini menjadi menurun.
Pasien dengan gangguan absorpsi dan IRIDA genetik, mungkin
membutuhkan terapi besi via intravena. Pemberian intravena juga cenderung
diberikan ketika dibutuhkan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat atau ketika
ada anemia defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik yang tidak dapat
dikontrol menggunakan zat besi oral, pada Kasus pasien dengan telangiektasia
hemoragi herediter. IBD adalah indikasi untuk pemberian terapi zat besi intravena
(tabel 3). Zat besi oral bukan saja tidak efektif, tapi juga meningkatkan
kecenderungan didapatnya imflamasi lokal.
Zat besi intravena penting dalam menatalaksana anemia pada pasien dengan
gagal ginjal kronik yang menjalani dialisis atau terapi menggunakan obat obatan
yang mengandun zat penstimulasi eritropoiesis. Penambahan suplementasi zart besi
mungkin dapat mengeliminasi atau memperlambat kebutuhan akan berbagi obat ini
pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang tidak menjalani dialisis. Obat
penstimulasi eritropoiesis juga digunakan pada pasien selektif dengan sindrom
mielodispasitik resiko rendah yang menjalani kemoterapi; pada berbagai keadaan
ini, suplementasi zat besi biasanya terbatas pada pasien dengan defisiensi besi
secara bersamaan atau pada mereka yang tidak ada respons terhadap obat yang
merangsang erythropoiesis; zat besi intravena lebih disukai ketika kadar hepcidin
yang tinggi menciptakan kondisi yang sulit disembuhkan apabila diberikan
suplementasi zat besi oral. Cara bagaimana zat besi dapat ditingkatkan
menggunakan obat obatan pemicu eritropoisis juga masih dipertanyakan. Satu
kemungkinannya adalah peningkatan Zat besi di makrofag yag memicu ekspresi
berlebihan ferroprotein melalui sistem elemen besi yang responsif terhadap sistem
reguasi zat, meningkatkan mobilisasi zat besi untuk digunakan dalam
erythropoiesis. Zat besi intravena harus dihindari pada trimester pertama kehamilan
karena kurangnya data tentang keamanan; memiliki profil efek samping yang dapat
diterima ketika digunakan pada kehamilan.

15
Studi mengenai penggunaan terapi zat besi oral untuk kondisi selain yang
disebutkan diatas masih terbatas atau tidak terkontrol. Sebuah percobaan muticenter
dari eropa terhadap pasien dengan defisiensi zat besi dan gagal jantung kronik
menunjukkan bahwa penggunaan zat besi intravena dengan suplementasi dalam
meperbaiki kemampuan fisik, kelas fungsional NYHA (new york heart association
functional class), dan kualitas hidup secara independen setelah pengokoreksian
anemia. Yang lebih baru lagi, terapi selama 1 tahun berkaitan dengan penurunan
resiko rawat inap. Meskipun begitu, karena berbagai hasil ini sebagian besar
didasarkan pada evaluasi subjektif, studi yang lebih besar dan jangka panjang
dibutuhkan untuk menilai manfaat nyata dari pemberian zat besi pada pasien
dengan gagal jantung.
Efek samping sementara dari suplementasi besi intravena termasuk mual,
muntah, pruritus, sakit kepala, dan memerah; mialgia, artralgia, dan nyeri punggung
dan dada , yang biasanya sembuh dalam waktu 48 jam, bahkan setelah pemberian
dosis total. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi, seperti reaksi yang parah atau
mengancam jiwa; fitur patofisiologis dari reaksi ini tidak pasti dan mungkin
diperburuk oleh besi bebas yang dilepaskan, sebuah fenomena yang tidak terjadi
dengan formulasi yang saat ini digunakan. Kondisi predisposisi untuk kejadian ini
adalah infus cepat, riwayat atopi, dan alergi obat. Rekomendasi praktis untuk
meminimalkan risiko ini termasuk laju infus yang lambat, pengamatan pasien yang
cermat, dan pemberian oleh tenaga kesehatan terlatih di lingkungan dengan akses
yang jelas ke fasilitas resusitasi bila terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Dosis
uji bisa saja memeberikan hasil palsu, sehingga premedikasi menggunakan obat
antihistamin tidak lagi dianjurkan karena malah akan sebabkan hipotensi serta
takikardi.
Percobaan klinis meyakinkan kembali perihal efikasi serta profil efek
samping pemberian zat besi intravena. Beberapa hal penting yang masih bertahan
terkait efek biologi jangka panjang dari zat besi dan efeknya terhadap
generasi/pembentukan oksigen radikal, kecendrungan pasien untuk terinfeksi, dan
pengobatan tertentu yang dapat memperburuk suatu keadaan diabetes melitus tipe
2 dan kondisi metabolik lain. Percobaan terkontrol, berdesain baik dan jelas, serta
acak sangatlah dibutuhkan untuk memverifikasi efek jangka panjang dari

16
pemberian suplementasi zat besi intravena. Sementara itu, zat besi intravena harus
digunakan hanya ketika manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya.

Tabel 2 uji laboratorium untuk penilaian status zat besi pada orang dewasa

INDIKASI PEMBERIAN TERAPI PARENTERAL


Indikasi yang mutlak
Gagal saat menggunakan terapi zat besi oral
Intoleransi zat besi dengan kadar zat besi yang rendah serta refrater terhadap
terapi zat besi (misalnya setelah gastrektomi atau bypass duodenum, karena
infeksi h.pylori, atau penyakit celiac, gastritis atrofi, IBD, atau keadaan genetik
yang menginduksi terjadinya IRIDA)
Kebutuhan revovery yang cepat (misalnya, defisiensi zat besi berat pada
trisemester kedua dan tiga kehamilan atau perdarahan kronik yang tidak bisa
ditatalaksana menggunakan zat besi oral, seperti pada pasien dengan gangguan
koagulasi kongenital)

17
Subsitusi untuk transfusi darah ketika diharamkan penggunaanya oleh pasien
karena alasan agama
Penggunaan obat obatan yang menstimulasi proses eritorpoiesis pada gagal ginjal
kronik
Indikasi potensial
Anemia pada gagal ginjal kronik (tanpa terapi obat obatan yang memicu
eritropoiesis)
Anemia yang menetap setelah penggunaan obat obatan mestimulasi eritorpoiesis
pada pasien dengan kanker yang mendapatkan kemoterapi
Anemia pada keadaan kronik yang tidak respon terhadap terapi dengan obat
obatan pemicu eritropoiesis saja
Indikasi pontesila dengan data yang mendukung
Gagal jantung pada keadaan defisiensi zat besi
Strategi hemat transfusi pada pasien yang menjalani operasi

Catatan : penyakit celiac atau infeksi h pylori harus diperhatikan jika anemia nya
refrakter terhadap pengobatan. IRIDA artinya anemia defisiensi besi karena
refrakter besi

Tabel 4. Preparat besi untuk penggunaan intravena

18
DAFTAR PUSTAKA

1. McLean E, Cogswell M, Egli I, Wojdyla D, de Benoist B. Worldwide prevalence


of anaemia, WHO Vitamin and Mineral Nutrition Information System, 1993-2005.
Public Health Nutr 2009; 12:444-54.
2. Hentze MW, Muckenthaler MU, Galy B, Camaschella C. Two to tango:
regulation of mammalian iron metabolism. Cell 2010; 142: 24-38.
3. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med 2005;
352:1011-23.
4. Goodnough LT, Nemeth E, Ganz T. Detection, evaluation, and management of
iron-restricted erythropoiesis. Blood 2010; 116: 4754-61.
5. Goodnough LT, Schrier SL. Evaluation and management of anemia in the
elderly. Am J Hematol 2014; 89: 88-96.
6. Macdougall IC. Iron supplementation in nephrology and oncology: what do we
have in common? Oncologist 2011; 16:Suppl 3: 25-34.
7. Ferrucci L, Semba RD, Guralnik JM, et al. Proinflammatory state, hepcidin, and
anemia in older persons. Blood 2010; 115:3810-6.
8. Marković M, Majkić-Singh N, Ignjatović S, Singh S. Reticulocyte haemoglobin
content vs. soluble transferrin receptor and ferritin index in iron deficiency anaemia
accompanied with inflammation. Int J Lab Hematol 2007; 29: 341-6.
9. Thomas DW, Hinchliffe RF, Briggs C, Macdougall IC, Littlewood T, Cavill I.
Guideline for the laboratory diagnosis of functional iron deficiency. Br J Haematol
2013; 161: 639-48.
10. Schrier SL. Causes and diagnosis of iron deficiency anemia in the adults. 2014
(http://www .uptodate .com/ contents/causes-and-diagnosis-of-iron-deficiency-
anemia-in-the-adult).
11. DeLoughery TG. Microcytic anemia. N Engl J Med 2014; 371: 1324-31.
12. Pavord S, Myers B, Robinson S, Allard S, Strong J, Oppenheimer C. UK
guidelines on the management of iron deficiency in pregnancy. Br J Haematol 2012;
156: 588-600.
13. Powers JM, Buchanan GR. Diagnosis and management of iron deficiency
anemia. Hematol Oncol Clin North Am 2014;28: 729-45.

19
14. Kassebaum NJ, Jasrasaria R, Naghavi M, et al. A systematic analysis of global
anemia burden from 1990 to 2010. Blood 2014; 123: 615-24.
15. Stevens GA, Finucane MM, De-Regil LM, et al. Global, regional, and national
trends in haemoglobin concentration and prevalence of total and severe anaemia in
children and pregnant and non-pregnant women for 1995-2011: a systematic
analysis of population-representative data. Lancet Global Health 2013; 1(1):
e16e25.
16. Pasricha SR, Drakesmith H, Black J, Hipgrave D, Biggs BA. Control of iron
deficiency anemia in low- and middle-income countries. Blood 2013; 121: 260717.
17. Nemeth E, Tuttle MS, Powelson J, et al. Hepcidin regulates cellular iron efflux
by binding to ferroportin and inducing its internalization. Science 2004; 306: 20903.
18. Camaschella C. Iron and hepcidin: a story of recycling and balance. Hematology
Am Soc Hematol Educ Program 2013;2013: 1-8.
19. Galesloot TE, Vermeulen SH, Geurts-Moespot AJ, et al. Serum hepcidin:
reference ranges and biochemical correlates in the general population. Blood
2011;117(25): e218-e225.
20. Traglia M, Girelli D, Biino G, et al. Association of HFE and TMPRSS6 genetic
variants with iron and erythrocyte parameters is only in part dependent on serum
hepcidin concentrations. J Med Genet 2011; 48: 629-34.
21. Kautz L, Jung G, Valore EV, Rivella S, Nemeth E, Ganz T. Identification of
erythroferrone as an erythroid regulator of iron metabolism. Nat Genet 2014;
46:678-84.
22. Mastrogiannaki MMP, Matak P, Peyssonnaux C. The gut in iron homeostasis:
role of HIF-2 under normal and pathological conditions. Blood 2013; 122: 885-92.
23. Zhang AS, Anderson SA, Wang J, et al. Suppression of hepatic hepcidin
expression in response to acute iron deprivation is associated with an increase of
matriptase-2 protein. Blood 2011; 117: 1687-99.
24. Goenka MK, Majumder S, Goenka U. Capsule endoscopy: present status and
future expectation. World J Gastroenterol 2014; 20: 10024-37.
25. Mustafa BF, Samaan M, Langmead L, Khasraw M. Small bowel video capsule
endoscopy: an overview. Expert Rev Gastroenterol Hepatol 2013; 7: 323-9.

20
26. Heidelbaugh JJ. Proton pump inhibitors and risk of vitamin and mineral
deficiency: evidence and clinical implications. Ther Adv Drug Saf 2013; 4: 125-33.
27. Jonker FA, Calis JC, Phiri K, et al. Real-time PCR demonstrates Ancylostoma
duodenale is a key factor in the etiology of severe anemia and iron deficiency in
Malawian pre-school children. PLoS Negl Trop Dis 2012; 6(3): e1555.
28. Friedman JF, Kanzaria HK, McGarvey ST. Human schistosomiasis and anemia:
the relationship and potential mechanisms. Trends Parasitol 2005; 21: 386-92.
29. Hershko C, Camaschella C. How I treat unexplained refractory iron deficiency
anemia. Blood 2014; 123: 326-33.
30. Bach V, Schruckmayer G, Sam I, Kemmler G, Stauder R. Prevalence and
possible causes of anemia in the elderly: a crosssectional analysis of a large
European university hospital cohort. Clin Interv Aging 2014; 9: 1187-96.
31. Aigner E, Feldman A, Datz C. Obesity as an emerging risk factor for iron
deficiency. Nutrients 2014; 6: 3587-600.
32. van Veldhuisen DJ, Anker SD, Ponikowski P, Macdougall IC. Anemia and iron
deficiency in heart failure: mechanisms and therapeutic approaches. NatRev
Cardiol 2011; 8: 485-93.
33. Cohen-Solal A, Damy T, Terbah M, et al. High prevalence of iron deficiency in
patients with acute decompensated heart failure. Eur J Heart Fail 2014; 16: 984-91.
34. Jankowska EA, Malyszko J, Ardehali H, et al. Iron status in patients with
chronic heart failure. Eur Heart J 2013; 34: 827-34.
35. Finberg KE, Heeney MM, Campagna DR, et al. Mutations in TMPRSS6 cause
iron-refractory iron deficiency anemia (IRIDA). Nat Genet 2008; 40: 569-71.
36. Du X, She E, Gelbart T, et al. The serine protease TMPRSS6 is required to sense
iron deficiency. Science 2008; 320: 1088-92.
37. Silvestri L, Pagani A, Nai A, De Domenico I, Kaplan J, Camaschella C. The
serine protease matriptase-2 (TMPRSS6) inhibits hepcidin activation by cleaving
membrane hemojuvelin. Cell Metab 2008;8: 502-11.
38. De Falco L, Sanchez M, Silvestri L, et al. Iron refractory iron deficiency anemia.
Haematologica 2013; 98: 845-53.
39. Heeney MM, Finberg KE. Iron-refractory iron deficiency anemia (IRIDA).
HematolOncol Clin North Am 2014; 28: 637-52.

21

Anda mungkin juga menyukai