Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

Iron Deficiency in Chronic Kidney Disease: Updates on


Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment

Disusun Oleh:
Ario Lukas
406182074

Pembimbing:
dr. Edi Setiawan, Sp.PD.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RS SUMBER WARAS, JAKARTA
PERIODE 17 MEI – 10 JULI 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh

Nama : Ario Lukas

NIM : 406182074

Program Studi : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Sumber Waras, Jakarta

Judul : Iron Deficiency in Chronic Kidney Disease: Updates on


Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RS Sumber Waras, Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing dan penguji : dr. Edi Setiawan, Sp.PD. ( )

Ditetapkan di : Jakarta

2
BAB 1

IDENTITAS JURNAL

Judul Artikel = Iron Deficiency in Chronic Kidney Disease: Updates on


Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment

Penulis = Elizabeth Katherine Batchelor, Pinelopi Kapitsinou, Pablo E. Pergola,


Csaba P. Kovesdy , dan Diana I. Jalal

Jurnal = Journal of the American Society of Nephrology

Tahun Terbit = 2020

3
BAB 2

JOURNAL READING

2.1 Abstrak

Anemia adalah salah satu komplikasi yang umum pada CKD tingkat lanjut. Defisiensi
besi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada mekanisme kerusakan eritropoesis
pada penurunan fungsi ginjal selain defisiensi eritropoietin. Kemungkinan hal ini terjadi dari
kekurangan cadangan besi (defisiensi besi absolut) atau kekurangan relatif (fungsional) yang
menghambat penggunaan cadangan besi. Beberapa faktor resiko anemia defisiensi besi pada
CKD adalah kekurangan darah, kerusakan penyerapan besi, inflamasi kronik

2.2 Pendahuluan

Anemia didefinisikan sebagai kadar Hb <13 g/dL (laki-laki) atau <12 g/dL
(perempuan) yang terlihat sebagai komplikasi dari CKD. Mekanisme terpenting dari anemia
pada CKD adalah defisiensi eritropoietin, tatalaksananya adalah pemberian erythropoiesis
stimulating agents (ESAs). Studi menunjukan bahwa pemberian ESA dapat terjadi
perburukan efek kardiovaskular, sehingga disarankan target Hb dibawah normal agar tidak
timbul komplikasi kardiovaskular.

Pasien CKD pada umumnya mengalami anemia defisiensi besi, karena kekurangan
cadangan atau kerusakan penggunaan besi ke jaringan akibat inflamasi. Tatalaksana umum
dari kondisi ini adalah usaha memenuhi kembali cadangan besi dan memaksimalkan efikasi
ESA

2.3 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi pada CKD

Metabolisme besi dimulai dari besi yang diregulasi dalam siklus hidup sel darah
merah atau eritrosit. Perkembangan eritrosit diregulasi oleh eritropoietin (EPO) dari
ginjal. Diferensiasi eritroblas menjadi retikulosit merupakan suatu proses yang dependen
besi, sehingga defisiensi besi akan menghambat respons EPO. Besi diserap di saluran

4
penceraan dan diikat di transferin serum, kemudian besi akan ditransport ke hepar dan
lien untuk diikat ke ferritin sebagai cadangan, atau ke sumsum tulang untuk eritropoiesis.
Sumber besi didapat dari intake makanan dan dari hasil fagositosis makrofag terhadap
eritrosit yang hancur (daur besi). Proses ini dipengaruhi oleh EPO.

Hepsidin, suatu hormon dari hepar, bekerja menghambat uptake besi dari saluran
cerna dan menghambat pelepasan besi dari cadangan besi. Produksi hepsidin distimulasi
oleh peningkatan uptake besi, inflamasi, dan infeksi. Produksi hepsidin dihambat oleh
defisiensi besi dan hipoksia. Pada kasus CKD terjadi peningkatan hepsidin

Hypoxia-inducible factor (HIF) merupakan faktor transkripsi untuk regulasi


eritropoiesis, metabolism besi, homeostasis. HIF akan meningkatkan EPO, yang
kemudian menghambat hepsidin. Hal ini menjadi dasar terapi pada pasien CKD, yaitu
diberikan obat yang dapat menginduksi HIF.

5
2.4 Perbedaan Defisiensi Besi Absolut dan Fungsional

Defisiensi besi absolut berbeda dengan defisiensi besi fungsional. Pada defisiensi
besi absolut, Cadangan besi total berkurang sehingga mengurangi produksi eritrosit.
Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah penurunan absorbsi di saluran cerna pada
pasien dengan CKD, peningkatan kehilangan darah (misal pada disfungsi platelet karena
uremia atau iatrogenik dari proses dialisis).

2.5 Diagnosis

Biomarker tradisional yang dipakai untuk mendiagnosis anemia pada pasien CKD
adalah Hb, Ht, hitung retikulosit, MCH, MCV. Pada pasien anemia, biomarker-biomarker
ini akan menurun. Pada defisiensi besi absolut, akan tampak hasil penurunan kadar besi,
penurunan ferritin, peningkatan transferrin dan TIBC (didapat dari transferrin x 1,389),
dan penurunan saturasi transferrin/TSAT (didapat dari serum besi / TIBC X 100). TSAT
dan serum feritin kurang sensitif terhadap pewarnaan besi sumsum tulang berdasarkan
studi pada pasien CKD. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan tradisional ini adalah
tidak dapat membedakan defisiensi besi yang absolut atau relative.

6
Gold Standard dari pemeriksaan anemia defisiensi besi pada pasien CKD adalah
biopsi sumsum tulang. Pada pemeriksaan biopsi, jika tidak didapatkan fragmen besi,
maka diagnosis mengarah ke defisiensi besi absolut. Jika tidak didapatkan progenitor
eritroid, maka diagnosis mengarah ke defisiensi besi relatif. Kekurangan dari pemeriksaan
ini adalah ini merupakan prosedur invasif, sampel yang diambil dapat kurang, serta biaya yang
mahal.

Biomarker baru yang dapat digunakan untuk memeriksa anemia defisiensi besi antara
lain:

• Feritin serum  spesifisitas tinggi untuk defisiensi besi absolut; mungkin meningkat
pada pasien CKD karena sebagai respons inflamasi akut
• Reseptor transferrin soluble  marker eritropoiesis; reseptor transferrin yang luruh
dari eritrosit
• Persentase eritosit hipokromik dan isi retikulosit Hb  melihat isi Hb  melihat
keberadaan besi dalam sel
• Hepsidin  biasa meningkat; penelitian masih kurang menjelaskan hubungan sebab-
akibatnya
• Plasma neutrophil gelatinase  biomarker inflamasi; mengikat besi

7
2.6 Tatalaksana

KDIGO mengeluarkan suatu pedoman untuk penyeimbangan potensi keuntungan dari


meminimalisir transfusi darah, terapi ESA, dan gejala terkait anemia dengan potensi resiko
dari suplementasi besi. Pada pasien dewasa dengan CKD disertai anemia, tujuan terapi adalah
pengembalian besi untuk pasien dengan TST ≤30% dan serum ferritin ≤500 ng/ml.

Menurut studi dari Eropa (2013), TSAT <20% dan ferritin <100 ng/ml tanpa pemberian
ESA dengan target TSAT 30% dibawah normal dan ferritin 500 ng/ml. Menurut National
Institute for Healthcare (2015), target ferritin dinaikan menjadi 800 ng/ml

2.7 Resiko Suplementasi Besi dengan Peningkatan Feritin

Kelebihan besi dikhawatirkan membuat besi dapat melakukan reaksi bebas, sehingga
dapat memicu kerusakan dari stress oksidatif, peningkatan deposisi besi di jaringan, dan
peningkatan resiko infeksi.

Berdasarkan dari suatu studi, suplemen besi IV secara intermitten masih aman untuk
dilakukan (untuk pasien dengan nilai ferritin 700 ng/ml), dan bahan yang diinjeksi adalah
ferric glukonat. Terapi ini ditujukan untuk mengurangi pemakaian ESA. Namun, perlu ada
studi lanjut pemberian suplemen besi pada pasien dengan serum ferritin tinggi (>700 ng/ml).

2.8 Resiko Pemberian Besi via IV dan Oral

Teori yang ada mengenai suplementasi besi via IV menyatakan bahwa suplementasi besi
via IV adalah resiko oksidatif stress, sehingga dapat terjadi peningkatan resiko infeksi resiko
aterosklerosis, dan perawatan RS.

Dari hasil studi menunjukan beberapa hasil yang variatif dan inkosisten (terhadap pasien
CKD on HD). Beberapa studi menunjukan bahwa suplementasi besi via IV termasuk aman
jika dosis diatur ≤400 mg/bulan, kadar Ht dan pemberian EPO.

Studi yang membandingkan suplementasi besi via IV dengan oral juga menunjukan hasil
yang variatif. Pemberian besi via IV jangka panjang masih belum jelas keamanannya. Perlu
juga ada uji keamanan suplementasi besi terutama untuk pasien CKD non HD.

8
Resiko anafilaksis pada suplementasi besi via IV yang tertinggi ada pada pemberian ferric
dextrans, namun sediaan lain cukup aman, walaupun tetap butuh pemantauan akan adanya
reaksi anafilaksis. Batas aman pemberian suplementasi besi secara umum adalah pada pasien
dengan kadar ferritin <800 ng/ml dan TSAT <40%. Masih perlu pertimbangan manfaat,
resiko dan pemberian ESA tambahan.

9
2.9 Formulasi Suplementasi Besi

Suplementasi besi oral yang tersedia antara lain fero sulfat, fero glukonat, fero fumarate,
fero polisakarida, dan ferric sitrat. Sediaan-sediaan ini cukup mudah didapat.

Suplementasi besi IV sebenarnya lebih efektif daripada oral pada pasien CKD dalam
aspek kecepatan peningkatan Hb dan kualitas hidup. Namun perlu diperhatikan resikonya.
Lebih baik dan aman jika suplementasi besi IV diberikan mulai dari dosis kecil namun lebih
sering.

10
2.10 Terapi Suplementasi Besi yang Baru

Beberapa terapi suplementasi besi yang baru antara lain:

• Ferric sitrat

• Sediaan oral, regulasi fisiologik dari absorbsi besi

• Efek samping kelebihan besi kecil; boleh untuk pasien CKD non HD

• Ferric maltol:

• memperbaiki anemia dengan minim efek samping; bisa untuk pasien CKD
stadium 3 – 4

• Ferric pirofosfat sitrat

• Bisa untuk pasien dengan HD, diberikan lewat dialisat saat HD

• Langsung memasukan besi ke transferrin  mencegah sekuestrasi oleh


makrofag; bagus dalam mempertahankan Hb TSAT, dan transferin

• Besi Liposomal/Sukrosomial

• Mengelilingi inti ferric pirofosfat  besi bisa melewati GIT langsung masuk ke
system limfatik -> menghindari hepsidin

2.11 Terapi Non-Besi untuk Anemia pada CKD

Terapi non-besi untuk anemia pada CKD berguna untuk menurunkan pemakaian ESA,
namun terapi ini masih dalam tahap penelitian. Salah satu obat yang diteliti adalah inhibitor
HIF prolyl-hidroksilase. Obat ini dapat meningkatkan EPO, cadangan besi dan uptake besi
dari saluran cerna. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan oral, dari hasil studi terbukti
meningkatkan Hb dan menurunkan hepsidin. Contoh agen obat dari golongan ini antara lain
Vadadustat, Roxadustat, Daprodustat, Molidustat. Dari uji klinis menunjukan hasil
Roxadustat lebih baik dalam meningkatan Hb dan menurunkan hepsidin.

2.12 Kesimpulan

Defisiensi besi adalah penyebab anemia pada pasien CKD yang umum dan dapat
ditatalaksana. Panduan dari KDIGO merekomendasikan penyeimbangan potensi keuntungan

11
dari meminimalisir transfusi darah, terapi ESA, dan gejala terkait anemia dengan potensi
resiko dari suplementasi besi. Pada pasien CKD yang stabil, formulasi IV dapat diterapkan
terutama untuk pasien yang menjalani hemodialisa, namun dosis dan frekuensi harus tetap
mempertimbangkan kenyamanan dan aksesibilitas pasien
BAB 3
TELAAH JURNAL

Jenis jurnal yang digunakan: Systematic Review

12
13
14

Anda mungkin juga menyukai