Anda di halaman 1dari 85

HEMATOLOGI – ONKOLOGI

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI


BATASAN
Anemis defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat menurunnya
jumlah besi total dalam tubuh sehingga cadangan besi menjadi kosong dan
penyediaan besi untuk berbagai jaringan termasuk eritropoesis berkurang.

ETIOLOGI
Penyebab anemia defisiensi besi ialah :
1. Kehilangan besi berlebihan sebagai akibat dari perdarahan menahun, yang
dapat berasal dari:
-saluran cerna: akibat tukak peptic, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung,kanker kolon, divertikulosis, hemoroid
dan infeksi cacing tambang
- saluran genetalia perempuan : menorrhagia atau metrorhagia
- saluran kemih : hematuria
- saluran nafas :hemoptoe
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah total besi dalam makanan atau
biovailibilitas besi dalam makanan rendah.
3. Kebutuhan besi yang meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan dan kehamilan
4. Gangguan absorpsi besi: seperti misalnya pada penyakit tropical sprue
atau kolitis kronis
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik sebagian besar
disebabkan oleh perdarahan menahun. Untuk penderita laki penyebab utama
ialah perdarahan gastrointestinal, di daerah tropis penyebab tersering ialah
infeksi cacing tambang. Sedangkan pada wanita penyebab tersering ialah
menometrorrhagia.
EPIDEMIOLOGIS
Diperkirakan penderita anemia defisinsi besi di seluruh dunia lebih kurang
sebanyak 500 juta orang. Dapat mengenai semua umur dan golongan ekonomi,
walaupun yang terbanyak pada anak dalam masa pertumbuhan dan terutama di
negara berkembang.
Di Indonesia ada perbedaan yang nyata antara pedesaan dan
perkotaan.Berdasarkan hasil penelitian desa-desa di Sumatra barat, Jawa Tengah
dan Bali penduduk yang menderita anemia 50 % disebabkan anemia defisiensi
besi dan 40% dari anemia defisiensi besi ini disertai dengan infestasi cacing
tambang.

PATOFISIOLOGI
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan
besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron
depleted state. Apabila kekurangan besi terus berlanjut maka penyediaan besi
untuk eritropoiesis berkurang sehungga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemi secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron
defecient erythropoiesis. Selanjutnya muncullah anemia hipokromik mikrositer
sehingga disebut sebagai iron deficiency anemia. Kekurangan besi pada epitel
serta enzim menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai
gejala lainnya.

GEJALA KLINIS
1. Gejala umum anemia (sindroma anemia) : lemah , mata berkunang ,
telinga mendenging dan lain- lain , yang timbul secara perlahan- lahan.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi : atrofil papil lidah, stomatitis angularis,
disfagia dan kuku sendok (koilonychia). Kumpulan gejala ; anemia
hipokromik mikrositer, disfagia, atrofi papil lidah disebut sebagai
Plummer- Vincent syndrome atau Patterson Kelly syndrome
3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi :gejala
penyakit cacing tambang, gejala kanker kolon dan lain-lain.
KOMPLIKASI
Disamping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari
mioglobin dan berbagai enzim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan
transport electron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping menimbulkan
anemia juga menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti misalnya pada
1. Sistem neuromuscular yang mengakibatkan gangguan kapasitas
kerja.
2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan
3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi
4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya.
Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia
manifest.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia
hipokromik mikrositer dengan MCV (mean corpuscular volume) menurun
dan RDW (red cell distribution widht) meningkat
2. Kadar besi serum menurun <50µg/dl,total iron binding capacity (TIBC)
meningkat >350µg/dl
3. Saturasi transferin menurun kurang dari 15%
4. Kadar feritin serum < 20 ng/dl
5. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin : kadar
reseptor transferin meningkat.
6. Pengecatan besi sumsum tulang negatif
7. Pemeriksaan untuk mencari penyebab (sangat penting untuk memeriksa
cacing tambang pada faeces dengan teknik kuantitatif (Kato-Katz)

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi yang merupakan modifikasi dari
Kerlin et al adalah:
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV<80 fl dan
MCHC<31 % dengan salah satu dari a,b,c,d
a. Dua dari tiga parameter dibawah
1. Besi serum <50 µg/dl
2. TIBC >350 µg/dl
3. Saturasi transferin :<15 %
Atau
b. Serum feritin <20 µg/dl
Atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan
butir-butir hemosiderin negatife
Atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih
dari 2 g/dl.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik mikrositer
yang lain :
1. Thalassemia major
2. Anemia akibat penyakit menahun
3. Anemia sideroblastik

PENCEGAHAN
1. Pendidikan kesehatan
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang
3. Suplementasi besi
4. Fortifikasi besi

PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan pengganti untuk kekurangan besi :
Obat pilihan ialah preparat besi per oral : ferous sulfat.
Preparat lain : ferous fumarat, ferous glukonat.
Dosis ferous sulfat : 3 x 200 mg/hari. Diberikan sampai kadar Hb normal
kembali. Dilanjutkan paling sedikit selama 3 bulan dengan dosis
pemeliharaan : 3 x 100 mg.
Pengobatan dengan preparat besi parenteral hanya diberikan atas indikasi
khusus yaitu :
i. intoleransi oral berat
ii. kepatuhan berobat kurang
iii. kolitis ulserativa
iv. perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil
trimester akhir)
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric
acidcomplex.
Dosis besi parenteral harus dihitung dengan tepat, oleh karena besi
berlebihan akan membahayakan pasien. Besarya dosis dapat dihitung
dengan rumus sbb.:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3
2. Pengobatan untuk penyakit dasar.seperti pada infeksi cacing tambang yaitu
dengan Mebendasole 1 x 400 mg
3. Transfusi darah
Anemia difisiensi besi jarang sekali memerlukan transfusi darah.
Indikasi transfusi darah
a. Gejala anemia yang sangat simtomatik
b. Ancaman payah jantung kiri
c. Jika direncanakan tindakan operasi segera
d. Ibu hamil dengan Hb< 7 g/dl pada 2 minggu terakhir masa kehamilan

MONITORING
1 . Retikulosit tiap minggu pada 2 minggu pertama
2. Hemoglobin tiap 5-7 hari sampai kadar Hb > 7 g/dl
3. Penderita dipulangkan dari rumah sakit untuk kontrol rawat jalan setelah
kadar Hb > 7 g/dl dan atau kondisi umum baik
4. Kontrol rawat jalan setiap minggu sampai kadar Hb> 10 g/dl
5. Kontrol rawan jalansetiap minggu sapai hemoglobin normal
6. Kontrol rawat jalan setiap bulan selama 4-6 bulan
7. Penderita yang memberikan respon mula-mula akan menunjukkan
peningkatan kadar retikulosit, diikuti peningkatan kadar Hb, kemudian
retikulosit kembali normal setelah 8-10 hari, sedangkan Hb akan naik terus.
Kenaikan rata-rata Hb adalah 0,15 g per hari. Hemoglobin menjadi normal
setelah 4-8 minggu.
8. Jika respon terhadap terapi tidak baik (peningkatan hemoglobin tidak sesuai
dengan yang diharapkan) maka perlu dipikirkan:
a. Diagnosis salah
b. Dosis besi kurang
c. Kepatuhan penderita kurang (tablet besi tidak diminum)
d. Masih ada perdarahan yang cukup banyak.
e. Ada penyakit lain bersama-sama: seperti penyakit kronik atau defisiensi
asam folat (terutama pada wanita hamil)

PROGNOSIS
Prognosis anemia defisiensi besi pada umumnya baik, jika sumber perdarahan
dapat dihilangkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Hipokrom dan Penimbunan
besi dalam Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr Dewi Asih
Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2005, hal. : 25-34

2. Benjamin Djulbegovic, M.D., Ph.D. Iron Defeciency Anemia dan Reasioning


and Decision Making in Hematology. Penerbit : Churchill Livingstone, New
York. 1992, Page 21-24.

3. Tambunan Karnel L, Zubairi D, Muthalib A dan A Harryanto R. Anemia


Defisiensi Besi dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 1998, hal : 404-9
4. Bakta, I Made; Ketut Suega dan Tjokorde Gde Darmayuda. Anemia Defesiensi
Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw
dkk. Jakarta. 2006, Hal:644-50.

5.Lee et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 9th ed. Lea & febiger, Philadelphia,
1993.
2. ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK

DEFINISI
Anemia akibat penyakit kronik atau anemia of chronic disorder (ACD)/Anemia of
inflamation ialah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang
ditandai oleh gangguan metabolisme besi.yang khas yaitu adanya hipoferemia
disertai cadangan besi sumsum tulang normal atau meningkat.

ETIOLOGI
1. Infeksi (akut dan kronik ): (1)
- tuberkulosa paru, bronkhiektasis, pneumonia, abses paru, kolitis kronik,
osteomielitis kronik, penyakit radang panggul kronik, pielonefritis kronik,
HIV-AIDS, endokarditis bakterialis.
2. Inflamasi kronik :
- artritis rematoid, SLE, inflamatory bowel disease, sarkoidosis,vaskulitis.
3. Keganasan :
- Karsinoma, limfoma dan sarkoma.

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian dan beratnya anemia berkorelasi dengan stadium penyakit yang
mendasari dan meningkat dengan bertambahnya usia.Dilaporkan dalam sebuah
studi 77% laki-laki dan 68% wanita yang berusia lanjut yang menderita kanker
adalah anemia.

PATOFISIOLOGI
1. Gangguan pelepasan besi oleh makrofag ke plasma
2. Pemendekan masa hidup eritrosit
3. Respon terjadap eritropoetin tidak adekuat
4. Gangguan produksi eritropoitin
5. Produksi hepcidin oleh hepar
Gejala klinik dan Pemeriksaan Penunjang
a. Gejala penyakit dasar sering lebih menyolok
b. Anemia ringan sampai sedang dan tidak progresif
c. Hemoglobin sekitar 8-10 d/dl
d. Anemia bersifat normokromik normositer atau hipokromik
e. Besi serum dan TIBC menurun, saturasi transferin sedikit menurun
f. Feritin serum normal atau meningkat
g. Hemosiderin sumsum tulang : normal atau meningkat dengan butir-butir
kasar.

KOMPLIKASI
Tergantung penyakit yang mendasari

DIAGNOSIS
Anemia ringan sampai sedang, normokromik atau hipokromik mikrositer, besi
serum rendah, TIBC rendah, hemosiderin sumsum tulang normal, pada penyakit
kronik yang sudah disebutkan di atas, dan menyingkirkan adanya penyakit gagal
ginjal kronik,penyakit hati kronik dan hipotiroid.

DIAGNOSIS BANDING
1 . Anemia defisiensi besi
2. Thallasemia
3. Anemia sideroblastik

PENATALAKSANAAN
1. Paling penting ialah mengatasi penyakit dasar
2. Transfusi jarang diperlukan
3. Pemberian preparat besi tidak ada gunanya kecuali bersamaan dengan
anemia defisiensi besi
4. Eritropoietin rekombinan memperbaiki keadaan anemia pada beberapa
kasus.
PROGNOSIS
Tergantung pada penyakit yang mendasari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Weiss Guenterand and Lawrence T. Goodnough, M.D. Anemia of Chronic
Disease dalam The New England Journal of Medicine. 2005; 352, page 1011-
23

2. Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Hipokrom dan
Penimbunan besi dalam Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr
Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2005, hal. : 34-35

3. Supandiman Iman dan Heri Fadjari. Anemia pada Penyakit Kronis dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta.
2006, Hal:651-652

4. Lee et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 9th ed. Lea & febiger,
Philadelphia, 1993.
ANEMIA APLASTIK

BATASAN
Anemia aplastik ialah anemia yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi
yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia
atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang.

ETIOLOGI
I. Primer :
a. Kelainan kongenital : tipe Fanconi, Non-Fanconi dan dyskeratosis
congenita
b. Idiopatik yang didapat (acquired) : merupakan 50-70% dari anemia
aplastik yang didapat.
II. Sekunder :
a. Akibat radiasi
b. Akibat obat-obatan
2. Yang bersifat dose-dependent : siklofosfamid, chlorambucil,
busulphan, 6 mercaptopurin, cytosine arabinosid, daunorubicine dan
sitostatika lainanya.
3. Yang bersifat idiosinkrasi : chlorampenicol, phenylbutazone, sulfa,
preparat emas.
c. Akibat bahan kimia : bahan pelarut (benzen) dan insektisida
d. Akibat infeksi : virus hepatitis.
e. Kehamilan

EPIDEMIOLOGI

Insiden anemia aplastik bervariasi diseluruh dunia dan berkisar antara 2


sampai 6 kasus per 1 juta penduduk pertahun dengan variasi geografis.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun,puncak
insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun

PATOFISIOLOGI
Tiga faktor penting untuk terjadinya aplasia ialah : gangguan sel induk
hemopoetik, gangguan lingkungan mikro sumsum tulang dan mekanisme
imunologik.

GEJALA KLINIS
1. Sindroma anemia
2. Perdarahan kulit : petechie dan echymosis
3. Perdarahan mukosa : epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis / melena
dan menorrhagia pada wanita.
4. Tanda-tanda infeksi : ulserasi mulut / tenggorok, selulitis leher, febris
sampai sepsis.
5. Tidak dijumpai organomegalis seperti : splenomegali, hepatomegali atau
limfadenopati.

KOMPLIKASI
Infeksi berat dan fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Anemia normokromik normositer, derajat anemia dari ringan sampai berat.
2. Retikulositopenia
3. Leukopenia
4. Trombositopenia
5. Hapusan darah tepi tidak menunjukkan sel-sel muda
6. Sumsum tulang : hipoplasia sampai aplasia, jaringan sumsum tulang
diganti oleh lemak
7. Pemeriksaan flowsitometri :CD 34 (3)yaitu penurunan CD 34
DIAGNOSIS
Dijumpai pansitopenia pada darah tepi yang dipastikan dengan adanya aplasia /
hipoplasia sumsum tulang. Sebaiknya dilakukan biopsi tulang, bukan hanya
aspirasi sumsum tulang.
Kriteria diagnosis menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia
Study Group(IAASG) adalah sebagai berikut:
A. Satu dari tiga :
a.Hemoglobiin kurang dari 10 g/dl,atau hematokrit kurang dari 30%
b.Trombosit kurang dari 50 x 109/L
c. Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10/L
B. Dengan retikulosit <30 x 10/L
C. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada specimen adekuat):
a. penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hemopoitik atau selularitas normal oleh karena hyperplasia eritroid fokal
dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit
b. tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
D. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diekslusi.

Derajat anemia aplastik menurut criteria Camitta et al :


A. Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi
criteria sebagai berikut:
1. Paling sedikit dua dari tiga:
a. granilosit < 500 x 109/L
b. trombosit < 20 x 1012/L
c. corrected reticulocte < 1%
2. Selularitas sumsum tulang <25%, atau seluratis <50% dengan <30% sel-
sel hematopoetik
B. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil ,200 x 109/L. Anemia
aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik
tidak berat (non –severe aplastic anemia).
Diagnosis Diferensial
1. Sindrom mielodisplatik
2. Leukemia aleukemik
3. Anemia mioloptisik
4. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
5. Pansitopenia karena sebab lain

PENATALAKSANAAN
I. Terapi kausal : terapi untuk menghindari agen penyebab
II. Tindakan suportif :
a. Transfusi sel darah merah jika anemia < 7 g/fl, Hb cukup dinaikkan
sampai Hb sekitar 10 g/dl, tidak perlu sampai normal.
b. Transfusi trombosit konsentrat jika terdapat perdarahan atau trombosit
10.000-20.000/ mm3
c. Usaha untuk mengatasi infeksi : hygiene mulut, pemberian antibiotika
yang tepat dan jika perlu / tersedia dapat dipertimbangkan transfusi
granulosit konsentrat.
III. Usaha untuk merangsang sumsum tulang :
a. Anabolik steroid : oksimetolon atau stanozolol
b. Kortikosteroid : dapat dicoba prednison 40-60 mg selama 4 minggu, jika
ada respon dapat diteruskan.
c. Growth factor yaitu penggunaan granulocyte colony stimulating factor(G-
CSF,Filgastrim dosis 5 ig/kg/hari ) atau GM-CSF,Sargamostrim dosis 250
ig/kg/hari.
IV. Terapi ideal :
Jika tersedia dapat dipertimbangkan :
a. Pemberian anti lymphocyte globulin/anti tymocyte globulin yaitu dengan
dosis 20 mg /kg berat badan perhari selama 4 hari
b. Transplantasi sumsum tulang : merupakan terapi ideal yang hanya dapat
dikerjakan di pusat yang lebih besar.
Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit. Kasus berat dan progresif meninggal
dalam 3 bulan. Kasus yang berjalan kronis meninggal dalam waktu setahun.

DAFTAR PUSTAKA

a. Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Aplastik dan
Kegagalan Sumsum Tulang dalam Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih
Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2005,
hal. : 83-9

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Anemia Aplastik


dalam Panduan Pelayanan Medik. Editor A. Azis Rani dkk. Penerbit Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2006, Hal.: 187-8

3. Supandiman Iman dan Heri Fadjari. Anemia Aplatik dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:637-
43

4. Neal S. Young, M.D. and Jaroslaw Maciejewski, M.D. The Pathophysiology of


Acquired Aplastic Anemia dalam The New England Journal of Medicine. 1997
vol. 336, Page 1365-90
4. ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUM

Autoimunne Hemolytic Anemia (AIHA)


BATASAN
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) adalah suatu anemia hemolitik yang timbul
karena terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan
destruksi(hemolisis) eritrosit penderita sendiri.

ETIOLOGI
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,kemungkinan terjadi
karena gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.

KLASIFIKASI
Berdasarkan karakteristik autoantibody
A. Tipe panas (warm autoantibodi type): auotoantibodi aktif maksimal pada suhu
tubuh 37oC
1. Idiopatik
2. Sekunder
a. Penyakit limfoproliferatif
b. Penyakit kolagen seperti SLE dll
c. Penyakit-penyakit lain
d. Obat (tipe hapten :penisilin,tipe komplek imun,tipe autoantibodi
B. Tipe dingin (cold autoantibody type) : autoantibodi aktif pada suhu <37oC
1. Idiopatik
2. Sekunder
a. Penyakit limfoproliferatif
b.Infeksi :Mycoplasma pneumonia,infectious mononucleosis,virus Ebstein
Bar dll.
C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
1. Pada sifilis stadium III
2. Pasca infeksi(self limited)
D. Campuran tipe panas dan tipe dingin

EPIDEMIOLOGI

PATOFISIOLOGI
Karena sebab yang belum diketahui ,mungkin akibat gangguan regulasi imun,
terbentuk antibodi terhadap eritrosit sendiri (autoantibodi). Eritrosit yang
diselimuti antibodi ini(sering disertai komplemen ,terutama C3b) akan mudah
difagositir oleh makrofag terutama pada lien dan juga hati,oleh karena adanya
reseptor Fc pada permukaan makrofag yang kontak dengan porsi Fc dari
antibodi.Hemolisis terutama dalam bentuk hemolisis ekstravaskuler akan
menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik.Pada AIHA tipe dingin juga terbentuk
krioglobulin

GEJALA KLINIS
1. Gejala anemia dapat timbul perlahan –lahan tetapi dapat juga timbul dalam
waktu pendek.AIHA merupakan salah satu penyebab anemia berat yang timbul
dalam waktu kurang dari 2 minggu.Derajat anemia pada umumnya sedang
sampai berat.
2. Keluhan utama dapat juga berupa ikterus.
3 .Pada pemeriksaan fisik sering dijumpai splenomegali ,tetapi tidak selalu ada.
Ikterus sering dijumpai pada anemia yang agak berat.
4. Pada AIHA sekunder dapat dijumpai gejala penyakit dasar. Seperti SLE
5. Pada AIHA dengan antibodi tipe dingin dapat dijumpai sindroma Raynaud
(akrosianosis,dingin, dan kesemutan pada ujung kaki dan tangan, ujung hidung
dan daun telinga.).
KOMPLIKASI

PEMERIKSAAN PENUNJANG/LABORATORIUM
1. Anemia bervariasi dari sedang sampai berat.
2 .Anemia bersifat normokromik normositer
3 .Dijumpai polikromasi.Pada kasus berat dijumpai normoblast pada darah
tepi,mikrosferosit dan eritrofagositosis oleh monosit.
4. Dijumpai retikulositosis dengan leukosit dan trombosit normal kadang-kadang
disertai leukositosis ringan.
5. Gabungan AIHA dengan trombositopenia autoimun disebut sindroma Evans.
6.Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik dengan rasio M:E sering
<1
7. Bilirubin indirek serum sering meningkat tetapi bilirubin total jarang >5 mg/dl.
Bilirubin urine negatif tetapi urobilin urine positif kuat.
8. Haptoglobulin serum biasanya menurun dan LDH meningkat.

TES SEROLOGI
Diagnosis AIHA memerlukan pembuktian adanya imunoglobulin dan atau
komplemen yang terikat dengan eritrosit penderita.Tes baku adalah dengan Direct
Antiglobulin Test (DAT) atau Coomb test.Dapat dipakai antiserum polivalen
(campuran anti-Ig G dan C3) kemudian dilanjutkan dengan tes spesifik terhadap
IgG atau komplemen (C3).
Pada sebagian kecil penderita titer antibodi rendah sehingga memberi hasil negatif
palsu. Pemakaian steroid atau obat imunosupresif lain juga mempengaruhi hasil
DAT.
Pada AIHA tipe dingin,DAT polivalen sering negatif tetapi Anti C3 positif.
DIAGNOSIS
Diagnosis AIHA dibuat jika terdapat :
1. Tanda anemia hemolitik didapat(gejala klinis,anemia normokromik
normositer,hemolisis ektravaskuler,kompensasi sumsum tulang)
2. Tes antiglobulin direk positif.Hanya sebagian kecil penderita
menunjukkan tes negatif.
3. Pada AIHA tipe dingin dijumpai sindrom Raynaud,anti C3 positif dan
titer aglutinin dingin meningkat.

DIANOSIS DIFERENSIAL
1. Anemia hemolitik lain :sperositosis herediter, anemia hemolitik
mikroangiopatik,sepsis clostridial. Disini DAT negatif.
2. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria : adanya hemoglobinuria ,DAT
negatif,tes sukrose atau tes HAM positif.

PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan penyakit dasar : menghentikan obat yang dicurigai sebagai
penyebab AIHA.Kelola penyakit dasar penyebab AIHA sehingga dapat
menghentikan hemolisis.
2. Pada AIHA dengan antibody panas :
a. Pengobatan baku adalah dengan pemberian kortikosteroid oral .
prednison 1-1,5 mg /kgbb perhari(60-120 mg). Steroid akan memblok
reseptor Fc makrofag, sehingga mengurangi hemolisis. Jika respon
baik maka retikulosit dan hemoglobin akan meningkat dalam 1-2
minggu.Pada AIHA berat respon biasanya sangat kecil atau tidak sama
sekali.Jika respon baik dan hemoglobin mendekati normal maka
steroid diturunkan pelan-pelan,maksimum 10 mg dalam
seminggu.Dicari dosis pemeliharaan yang minimal.Jika dapat dicapai
dosis prednisone 15 mg/hari maka diganti dengan pemberian tiap 2
hari sekali(alternate dose). Jika hemoglobin turun lagi ,segera naikkan
dosis steroid.Jika dosis pemeliharaan memerlukan lebih dari 30 mg
prednisone/hari,maka dicari terapi alternative lain.
b.Jika pada AIHA dengan anemia berat respon steroid tidak adekuat
dalam minggu ke 2 atau 3 maka dipertimbangkan pemberian obat
imunosupresif lain seperti azathioprim atau siklofosfamid.
Siklofosfamid diberi dalam bentuk pulse dose 100 mg iv sebanyak 2
atau 3 kali
c Pada AIHA yang refrakter terhadap steroid, dalam jangka panjang dapat
dipertimbangkan splenektomi.
d. Pada AIHA panas dengan anemia berat yang disertai payah jantung
dipertimbangkan pemberian “washed rd cell’ .Sering timbul kesulitan
dalam cross match ,jika terpaksa dapat diberikan at least compatible
blood dengan pengawasan ketat. Dapat diberikan metilprednisolon
intravena dosis tinggi,atau pemberian hipergamaglobulin :400
mg/kgbb/hari selama 5 hari.Tindakan lain adalah dengan melakukan
plasmapheresis.

2. Pada AIHA dengan antibody dingin


a. Steroid tidak memberi respon yang baik oleh karena itu tidak dipakai.
b. Hindari kontak dengan dingin
c. Jika anemia berat dapat diberikan trasfusi washed red cell dengan darah
yang dipanaskan mendekati 37oC atau pertimbangkan plasmapharesis.
d. Kadang-kadang alkylating agent(siklofosfamid) memberikan respon.

PROGNOSIS
Tergantung penyebab dari AIHA dan berat ringannya proses hemolitik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Hemolitik. Kapita Selekta
Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta. 2005, hal. : 51-63

2. Elias Parjono dan Kartika Widayati. Anemia Hemolitik Autoimun dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta.
2006, Hal:660-2

3. Wintrobe
POLISITEMIA VERA

DEFINISI
Kelainan yang ditandai peningkatan absolut jumlah sel darah merah dan
pada total volume darah, biasanya diikuti lekositosis, trombositosis dan
splenomegali. Juga dikenal dengan polisitemia rubra vera, eritremia,
spenomegalic policitemia, vaquez dissease, Osler’s dissease
ETIOLOGI
Polisitemia merupakan kelainan klonal stem sel yang ditandai
hiperproliferasi linease sel eritroid, myeloid, dan megakaryosit. patogenesis
molekuler tidak jelas diketahui. Paparan radiasi, benzena dan petroleum
meningkatkan risiko. Mutasi Janus Kinase 2 (JAK 2) suatu Cytoplasmisc tyrosin
kinase untuk instigating signal intraceluler untuk eritropoeitin, trombopoetin,
interleukin-, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF)
didapatkan pada 95% pasien dengan PV.
EPIDEMIOLOGI
Insiden 2,3 per 100.000 penduduk, dengan median umur saat diagnosis 60
tahun, sedikit lebih dominan pada laki-laki. Kejadian PV jarang pada kulit hitam
dibanding Kaukasus, relatif banyak pada Yahudi
MANIFESTASI KLINIS
 gejala yang berhubungan dengan hiverviscousitas, hambatan aliran darah,
seperti sakit kepala, pusing, tinnitus, gangguan penglihatan, angina
pectoris, claudicatio intermitent
 komplikasi perdarahan : epistaksis, perdarahan gusi, ekimosis, perdarahan
gastrointestinal.
 trombosis: stroke, arterial trombosis.
 abdominal pain karena peptic ulcer
 spenomegali
 pruritus
 plethora : pada wajah, telapak tangan, dasar kuku, mukosa dan
konjungtiva
KOMPLIKASI
Vascular accidant, transisi menjadi leukemia akut
DIAGNOSIS
Berdasarkan international Polycythemia vera study group, menetapkan 2
kriteria dalam menegakkan diagnosis PV
 Kriteria mayor
Massa sel darah merah pd laki-laki >36/kg, > 32 ml/kg pada wanita
Saturasi oksigen arterial >90%
Splenomegali
 Kriteria minor
Leukosit alkaline pospatase (LAP) > 100unit ( tnp demam dan infeksi)
Lekositosis > 1200 x 109(tnp demam/infeksi)
Serum vit B12 > 900 pg/ml
atau
Unbounded Vit B12 binding capacity >2200 pg/ml
Trombositosis, hitung trombosit > 400,000 x 109/L
Pasien dengan polisitemia vera jika
 Terpenuhi ketiga kriteria mayor
 Terdapat 2 kriteria mayor yang pertama + 2 kriteria minor
Kriteria diagnostik yang dimodifikasi :
A1 : peningkatan massa sel darah merah ( PCV > 0,60 pada laki-laki dan
>0,56 pada wanita
A2 : tidak ada penyebab eritrositosis sekunder
A3 : palpable splenomegali
A4 : marker klonal ( abnormal kariotipe sumsum tulang didapat)
B1 : trombositosis ( hitung trombosit > 400 x 109/L)
B2 : netrofil lekositosis ( netrofil > 10 x 109/L, pd perokok > 12,5 x 109/L)
B3 : splenomegali berdasarkan USG
B4 : penurunan serum EPO
Polisitemia vera jika : A1 + A2 + A3 atau A4 ATAU A1 + A2 + 2 B
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. Familial polisitemia
a.Kadar eritropoeitin tinggi
b.Kadar eritropoeitin rendah atau normal
2. Polisitemia sekunder
a. respon terhadap hipoksia
penyakit paru kronis, pickwuckian syndrom, sleep apneu, hidup di
dataran tinggi, perokok dan polisitemia diinduksi CO2
a. innapropriate physiologically
1. tumor : renal cell carcinoma, wilms tumor, hepatoma, fibroma
uteri, hemangioma cerebeller, myxoma atrial
2. penyakit ginjal jinak : penyakit ginjal polikistik, hidronefrosis,
stenosis arteri renalis
3. eritrositosis pasca transplantasi ginjal
4. kelainan endokrin : feokromositoma, hiperaldosteronisme
primer,barter syndrome, cushyng syndrome
5. pemakaian hormon yang menstimulasi eritropoeisis :
eritropoeitin, androgen

PENATALAKSANAAN
1. Flebotomi : hematokrit < 47 % pada laki-laki dan pada wanita 42 %
Indikasi flebotomi :
 Pada polisitemia Vera ditujukan pada semua pasien pada
permulaan penyakit, dan pada pasien masih dalam usia subur.
 Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika HT > 55%
dengan target Ht < = 55%
 Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat
beratnya gejala yang ditimbulkan oleh hiperviscousitas dan
penuunan shear rate, atau sebagai penetalaksanaan terbatas gawat
darurat sindrom paraneoplastik.
2. Fosfor radioaktif (P32) : dosis 2-3 mci/ m 2 scr intravena, dosis oral
dinaikkan 25%
3. Kemoterapi sitostatika
Indikasi sitostatika pada :
a. Hanya untuk polisitemia vera
b. Flebotomi pemeliharaan > 2kali/bulan
c. Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
d. Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
e. Splenomegali simptomatik/ mengancam ruptur limpa
Cara pemberian sitostatika
 Hidroksiurea, dosis 800 –1200 mg/m2/hr, atau sehari 2 kali dengan
dosis 10 –15 mg/kgBB/kali
 Chlorambucil : dosis induksi 0.1-0.2 mfg/kg/hr selama 3 – 6
minggu, dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2 – 4 minggu
 Busulfan : 0.06 mg/kg/hr,sampai tercapai target dilanjutkan
pemberian intermitten untuk pemeliharaan.
Pemberian obat dihentikan jika hematokrit :
 Hematokrit pada pria <= 47%, diberikan lagi jika >52%
 Pada perempuan hematocrit <= 42%, diberikan lagi jika > 49%
4.Pengobatan suportif
 Hiperurisemia diobati dengan allupurinol 100 –600 mg/hr
 Pruritus dan urtikaria diberikan psoralen
 Gastritis akut dengan penghambat H2
 Antitrombosit anegrilide turunan quinazoline dapat menekan
trombopoesis
MONITORING
Komplikasi dan transisi leukemia akut
PROGNOSIS
Median survival rate tanpa pengobatan adalah 6 sampai 18 bulan, dengan
pengobatan survival > 10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Turgeon M.L.Cronic Myeloproliferative disorders, in : Clinical
Hematology theory and procedures, fourth edition, lipincot William &
Wilkins,2005: p 293-320
2. Schafer A.I. Molecular basis of diagnosis and treatment of polycythemia
vera and essential thrombocytemia;Blood,1 june 2006.Vol 107,number 11
3. Spivak J.L, Polycythemia vera: myths, mechanisms, and management,
Blood,15 December 2002. volume 13
4. Campbell P.j,Green A.R,et all. The myeloproliferative Dissorders,N Engl J
Med 2006 ;355: 2452-66
5. PahlH.l. Towards a molecular understanding of polycythemia rubra
vera.Eur J Biochem. 267, 3395-3401 (2000)
6. Stuart B.J, Viera A.J. PolycythemiaVera, www. aafp.org/afp,Vol
69,number 9/ may 2004
7. Athens J.W. Polycthemia Vera, in Wintrobe’s Clinical hematology, ninth
edition, Philadelphia London, 1993,
8. Prenggono M.D. Polisitemia Vera, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
; jilidII, edisi IV ; editor Sudoyo A.W dkk,
5. LEUKEMIA MIELOID AKUT

Nama lain :
1. Leukemia mieloblastik akut
2. Leukemia non-limfoblastik akut

DEFINISI
Leukemia mieloid akut ialah suatu proliferasi neoplastik yang bersifat sistemik
dari sel induk mieloid ataupun turunannya yang mengakibatkan ekspansi progresif
clone sel ganas dan penekanan sistem hemopoetik normal dalam sumsum tulang
serta infiltrasi ke dalam organ lain. Perjalanan penyakit bersifat akut, tanpa
pengobatan penderita meninggal dalam 2-4 bulan.

ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologi yang diperkirakan bertanggungjawab ialah :
1. Environtmental agent yang merusak DNA : ionizing radiation,bahan
kimia(benzene dll),obat-obatan (alkylating agent)
2. Virus misalnya HTLV 1 untuk T cell leukemia

KLASIFIKASI
Klasifikasi yang umum dipakai ialah klasifikasi dari FAB (French, American,
British Cooperative group) yang membagi LMA berdasarkan morfologi sel dan
sel yang dominan.
1. M1 : mieloblastik tanpa maturasi
2. M2 : mieloblastik dengan maturasi
3. M3 : leukemia progranulosit akut
4. M4 : Leukemia mielomonositik akut
5. M5 : Leukemia monositik akut
M5a : tanpa maturasi
M5b : dengan maturasi
6. M6 : Eritroleukemia
7. M7 : Leukemia megakariositik akut

EPIDEMIOLOGI
Insiden leukemia di Negara barat adalah 13 per 100.000 penduduk,lebih sering
ditemukan pada uimur dewasa.

PATOFISIOLOGI
Adanya faktor etiologi dan faktor pencetus menyebabkan mutasi somatik sel
induk mieloid yang mengakibatkan gagal diferensiasi (diferentiation arrest)
sehingga terjadi akumulasi sel leukemia dalam sumsum tulang yang berakibat :
a. Supresi sistem hemopoietik  gagal sumsum tulang :
- anemia
- menurunnya fungsi leukosit  infeksi
- trombositopenia
b. Infiltrasi ke dalam organ lain :
1.Darah
2. RES :
- hepatomegali
- splenomegali
- limfadenopati
3. Tempat lain : kulit, testis, meningen, tulang / periost
c. Gejala hiperkatabolik

GEJALA KLINIS
I. Anemia : pucat dan lemah
II. Netropenia : infeksi  demam, ulcus pada mulut dan faring, infeksi saluran
nafas sampai sepsis
III. Trombositopenia : perdarahan kulit (petechie dan echymosis), perdarahan
mukosa, gusi, epistaksis atau menoragi
IV. Hiperkatabolik : kaheksia, keringat malam dan hiperuria
V. Infiltrasi ke organ : nyeri tulang (nyeri sternum), limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali, hipertrofi gusi dan sindroma meningial.

KOMPLIKASI
Sindroma lisis tumor,infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia/koagulasi
intravaskular diseminata

Pemeriksaan Penunjang
1. Hb menurun, bisa berat dan timbul cepat, anemia jenis normokromik
normositer
2. Leukosit umumnya meningkat, bisa normal atau menurun (subsistemik atau
aleukemik)
3. Trombositopenia
4. Hapusan darah tepi : sel muda blast > 5%. Jika tampak Auer rod diagnosis ke
arah LMA. Anemia normokromik normositer disertai trombosit menurun.
5. Technicon H-1 : anemia normokromik normositer, trombositopenia, granulosit
meningkat, blast ++, mieloperoksidase meningkat
6. Sumsum tulang : hiperseluler, myeloid hiperplasia, blast > 30%, Auer rod
positif menandakan mieloblast.

DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis, adanya sel blast (non limfoblast)
dalam darah tepi > 5%, dipastikan dengan ditemukannya sel blast > 30% dalam
sumsum tulang.

DIAGNOSA DIFERENTIAL
1. ALL
2. Sindrom mielodisplasia
3. Reaksi leukemoid
4. Leukemia kronis yang mengalami trasformasi akut

PENATALAKSANAAN
I. Terapi suportif :
a. Anemia  tranfusi packed red cell
b. Trombositopenia (< 20 x 109/1)  tranfusi konsentrat trombosit.
Tranexamic acid dapat mengurangi fibrinolisis
c. Infeksi :
Pencegahan :
- Ruangan antibiotika / isolasi
- Mengurangi flora usus / kuman komensal lain : kotrimoksasol oral,
anti fungal : nystatin dan fluconazole.
- Diit khusus
Pengobatan :
- Terapi antibiotika intensif :
Sebelum ada hasil biakan : tikarsilin kombinasi dengan aminoglikosida
atau cephalosporin.
- Jika ada hasil sensitivitas : sesuaikan dengan hasil kepekaan.
II. Terapi sitostatika :
Terapi minimal :
Kombinasi 6-MP dan prednison, terapi pemeliharaan dengan 6-MP saja.
Terapi ideal :
I. Remisi induksi dengan :
- kombinasi Daunorubicin : 60 mg/m2/hari, iv, hari 1-3, dengan
Cytosine arabinoside 100 mg.m2/hari, iv, kontinyu selama 7 hari (three
plus seven regimen)
- dapat juga diberikan kombinasi DAT (Daunorubicin, Cytosin arabinose
dan 6 thioguanin)
- untuk kasus resisten diberikan “high dose Ara C atau kempterapi dosis
tinggi lainnya.
II. Terapi post remisi
a. konsolidasi /intrnsifikasi:
-2-6 siklus Ara-C + 6 TG dengan atau Daunorubicin.
- Ara C dosis tinggi
b.Terapi pemeliharaan :Masih kontroversial
III. Transplantasi sumsum tulang :
Merupakan terapi ideal yang dapat dilakukan pada pusat perawatan yang maju
a. Alogeneik : dari donor sedarah yang cocok atau donor lain.
b. Autolog : donor dari penderitaan sendiri
Diberikan pada remisi pertama atau kedua.
Persiapan : iradiasi seluruh tubuh dan sitostatika (siklofosfamid) dosis
tinggi.
Pasca transplantasi : terapi suportif intensif selama belum terjadi
“egraftment” dan pengawasan komplikasi seperti penyakit graft versun host
dan penyulit lain.

PROGNOSIS
Dengan terapi intensif : 60-80% kasus AML mencapai remisi, sekitar 30% tetap
hidup bebas penyakit selama 3-5 tahun dan sebagian darinya dapat sembuh
sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Leukemia Akut dalam Kapita
Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta. 2005, hal. : 150-166

2. Johan Kurniada Leukemia Mieloblastik Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:716-9

3. Wintrobe
6.6. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
(DR. Dr. M. Bakta)

Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) atau Acute Lymphoblastioc Leukemia (ALL)
adalah leukemia akut dengan sel muda yang dominan ialah sel turunan limfoid.
Insiden :
- paling sering pada anak umur 3-4 tahun
- pada orang dewasa lebih jarang
Etiologi
Penyebab LLA dewasa sebagian besar tidak diketahui. Beberapa factor
lingkungan dan kondisi klinis yg berhubungan dgn LLA : 1). Radiasi ionik; 2).
Paparan benzene kadar tinggi; 3). Merokok; 4). Obat kemoterapi; 5). Infeksi virus
Epstein Barr; 6). Pasien sindrom Down atau Wiskott-Aldrich
Epidemiologis
Insiden LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang
dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih sering ditemukan
pada pria dibandingkan wanita.
Patogenesis
Mekanisme pembentukan kanker adalah hilangnya gen supresor tumor yang
mengontrol progresi siklus sel. Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi,
dan penyusunan kembali gen . Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan adalah
t(9;22)/BCR-ABL dan t(4;1)/ALL1-AF4.

Manifestasi KLINIS
Sama dengan LMA.

Komplikasi
Anemia, perdarahan, infeksi.
DIAGNOSIS
Sama dengan diagnosis AML, tetapi sel muda yang dijumpai dari jenis limfoblast.
Klasifikasi LLA
I. Klasifikasi menurut FAB
1. L1 – sel-sel kecil dan homogen
2. L2 – sel lebih besar dan heterogen
3. L3 – bervakuola dengan sitoplasma basofil – tipe Burkitt
II. Klasifikasi menurut petanda imunologik.
Jika fasilitas memungkinkan dilakukan klasifikasi ini :
1. Berasal dari prekursor sel – B (tdt +) :
a. Common – ALL (CD 10+) :
b. Null Cell – ALL (CD 10 -) :
c. Pre – BALL (intracytoplasmic chain +)
2. T – ALL (T – cell antigen +)
3. B – ALL (surface immunoglobulin +, tdt -)

Diferential diagnosis
1. Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali yang berhubungan
dengan infeksi virus dan limfoma.
2. Anemia aplastik.
Prognosis
Bila pada analisa sitogenetik ditemukan gen BCR-ABL maka merupakan suatu
prognosis yang buruk.
PENATALAKSANAAN
Prinsip sama dengan LMA, hanya berbeda dalam pilihan kemoterapi.
Terapi LLA dibagi menjadi : 1) Induksi remisi; 2) Intensifikasi atau konsolidasi;
3) Profilaksis susunan saraf pusat; 4) Pemeliharaan jangka panjang.
Regimen Royal Adelaide Hospital:
1. Induksi
Daunorubicin 30 mg/m2 IV lebih dari 30 menit Hr ke 1,2,3,15 & 16
Vincristine 2 mg IV lebih dari 10 menit Hr ke 1,8,15 & 22
Cyclophospamide 750 mg/m2 IV lebih dari 30 menit Hr ke-1 & 8
Prednisolon 60 mg/m2 oral Hr ke 1-7 & 15-21
Tripel terapi IT Hr ke-2,8,15,22,35,120,150 & 180
Biopsi Sutul Hr ke – 28
2. Induksi fase 2
Mitozantrone 10 mg/m2 lebih dari 30 menit Hr ke-3,4,5
Cytosine Arabinose 1 gm/m2 tiap 12 jam Hr ke 1-4
3. Konsolidasi
Methotrexate 1500 mg/m2 lebih dari 30 menit Hr ke 65
Setelah alkalinisasi urin diikuti dgn
Folinic acid 25 mg/m2 tiap 6 jam setelah 24 jam (12 dosis)
Asparaginase 10,000 unit/m IV/IM lebih dari 1 jam Hr ke 66
Methotrexate 1500 mg/m2 lebih dari 30 menit Hr ke 80
Setelah alkalinisasi urin diikuti dgn
Folinic acid 25 mg/m2 tiap 6 jam setelah 24 jam (12 dosis)
Asparaginase 10,000 unit/m2 IV/IM lebih dari 1 jam Hr ke 81
Cyclophospamide 1000 mg/m2 IV lebih dari 30 menit Hr ke 95
Cytosine Arabinose 500 mg/m2 tiap 12 jam Hr ke 95
4. Radiasi kranial Hr ke 120
5. Re-induksi
VAD 2x Hr ke 150 &180
6. Maintenance
Mercaptopurine & Methotrexare

Monitoring
1. Metabolik
Hiperurikemia, hiperfosfatemia dan hipokalemia sekunder dapat terjadi pada
pasien dengan jumlah sel leukemia yang sangat banyak.
2. Infeksi
Sealin mielosuresi terapi LLA juga dapat menekan imunitas seluler sehingga
ada yang memberikan pencegahan terhadap infeksi virus herpes dan
Pneumocystic carinii.
3. Hematologik
Tranfusi darah bila anemia. Pada keadaan hiperleukosistosis (leukosit
>100.000/mm3) dilakukan leukoferesis atau pemberian prednison selama 7
hari atau vinkristin sebelum terapi induksi remisi dimulai.

Daftar pustaka
1. Sumantri R. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 720-2.
2. Bakta IM. Leukemia dan penyakit myeloproliferatif.. Dalam: Hematologi
klinik ringkas. UPT Penerbit Universitas udayana, 119-41. 2001.
3. Robinowitz I, Larson RS. Chronic Myeloid Leukemia. In: Wintrobe’s Clinical
Hematology. 11st Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2005; 2235-58.
4. Cullough J.M ; Tranfusion Medicine; in : Blood principles and practice of
Hematology,second edition : Robert I.Het al, Lippincot William &
Wilkins2003;p2011-67
6.7. LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK)

Definsi
LMK ialah leukemia kronik dengan sel yang dominan ialah sel seri mieloid.
Leukemia Granulositik Kronik (LGK) ialah leukemia mieloid kronik dengan
Philadelphia chromosome positif. LGK merupakan 95% dari seluruh LMK.
Fase perjalanan penyakit :
1. Fase kronik : berjalan pelan sampai sekitar 4 tahun.
2. Fase akselerasi / transformasi akut : secara pelan-pelan atau tiba-tiba
berubah menyerupai leukemia akut.
Etiologi
Etiologi pasti belum diketahui.
Epidemiologis
Merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling
sering dijumpai di Indonesia. Insiden di Negara barat 1-1,4/100.000/tahun.
Umumnya mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur 40-50 tahun.
Pada anak-anak dapat dijumpai juvenile CML.
Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Phl chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t, 9:22). Sebagai akibatnya terjadi gabungan onkogen baru
(chimeric oncogen) yaitu abl-acr oncogen. Gen baru akan mentranskripsikan
chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein. Timbulnya protein baru ini
akan mempengaruhi transduksi signal pada inti sel sehingga terjadi kelebihan
dorongan proliferasi pada sel-sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini
menyebabkan proliferasi pada seri myeloid.
Manifestasi klinis
A. Fase kronik
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia dan
berkeringat malam.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan
4. Anemia pada fase awal sering hanya ringan
5. Gejala gout, gangguan penglihatan dan priapism
6. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan.
B. Fase transformasi akut
1. Anemia dan demam semakin progresif
2. Respon penurunan lekosit terhadap kemoterapi mula-mula baik menjadi
menurun
3. Splenomegali kambuh lagi dan refrakter terhadap kemoterapi
4. Anemia progresif dan timbul trombositopenia
5. Pada akhirnya timbul gambaran klinik yang menyerupai leukemia akut

Komplikasi
Ruptur lien
DIAGNOSIS
Dibuat berdasarkan adanya splenomegali, leukositosis berat dan gambaran darah
tepi yang khas. Pada kasus LMK dapat dijumpai kelainan laboratorium :
1. Darah tepi :
a. Leukositosis, biasanya antara 20-60.000/mm3
b. Hapusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit. Yang
paling dominan ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 5%.
c. Anemia normokromik – normositer, ringan sampai sedang
d. Trombosit pada fase awal sering normal atau meningkat.
e. Fostatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phospatase) rendah.
f. Peningkatan kadar sel basofil mendukung diagnosis LMK.
2. Sumsum tulang : hiperseluler dengan dengan hiperplasia mieloid..
Gambarannya sangat mirip dengan gambaran darah tepi. Megakariosit sering
meningkat dengan mikromegakariosit.
3. Sitogenetik : Pada 95% kasus dijumpai Philadelphia chromoson (Ph1) positif,
yang translokasi respiprokal antara chr 9 dan 22 (19, 22).
4. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat
5. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi adanya chimeric protein ABL-BCR pada
99% kasus.
Tanda-tanda transformasi akut :
a. Demam dan anemia semakin progresif, sering disertai trombositopenia
b. Respon penurunan leukosit terhadap kemoterapi menurun
c. Splenomegali refrakter terhadap kemoterapi
d. Blast dalam sumsum tulang meningkat > 10%.
Diferental diagnosis
1. Mielosklerosis dengan metaplasia : leukositosis, splenomegali massif, tear
drop cell, sclerosis sumsum tulang.
2. Penyakit myeloproliferatif yang lain : polisitemia vera dan trombositemia
esensial
PENATALAKSANAAN
Pilihan kemoterapi :
1. Fase kronik
a. Busulphan (Myleran)
0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari. Leukosit diperiksa setiap minggu,
Dosis obat diturunkan setengahnya jika leukosit menjadi setengah dari
semula. Obat dihentikan jika leukosit menjadi 20.000/mm3. Obat dimulai
lagi jika leukosit menjadi 50.000/mm3. Dapat juga diberikan terapi
pemeliharaan dengan dosis kecil, atau diberikan dosis lebih besar tiap 4-6
minggu. Awasi efek samping obat :
- aplasia sumsum tulang - - pansitopenia
- fibrosis paru, pigmentasi kulit dan keganasan hematologik sekunder
d. Hydoxurea
- Merupakan pilihan kedua (di negara maju merupakan pilihan pertama),
efek samping lebih kecil. Dosis ialah 0,5-3 gram secara kontinyu
dengan titrasi dosis
e. Imatinib mesylate (Glivec)
Dosis 400 mg/hr setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 600
mg/ hari bila: progresifitas dari penyakit, tidak mencapai respon
hematologik setelah 3 bulan, hilangnya respon hematology yg telah
dicapai sebelumnya.
Penyesuaian dosis imatinib mesylate :
- bila terjadi peningkatan bilirubin > 3x batas atas normal atau
transaminase > 5x batas atas normal, imatinib mesylate ditunda
sampai bilirubin < 1,5 x batas atas normal dan transaminase 2,5 x batas
atas normal, dapat diberikan kembali dengan penurunan dosis.
- Penurunan jumlah netrofil < 1 x 109/l dan atau jumlah platelet < 50 x
109/l stop pemberian sampai terjadi peningkatan netrofil > 1,5 x 109/l
dan platelet ≥ 7,5 x 109/l terapi dilanjutkan dengan dosis 400 mg. Bila
terjadi penurunan jumlah netrofil < 1 x 109/l atau jumlah platelet < 50
x 109/l yang berulang, dosis diturunkan menjadi 300 mg.
f. Interferon
Sering digabung dengan kemoterapi atau diberikan setelah remisi
hematologik. Dosis : 5-10 juta unit/hari, diberi selama 5 hari dalam
seminggu. Obat ini dapat menimbulkan remisi sitogenik: kromososm
phliladelphia menghilang, tetapi sering muncul lagi jika obat dihentikan.
Apakah interferon dapat menunda transformasi akut: masih kontroversial.
2. Fase transformasi akut
Sama dengan terapi leukemia akut tapi respon sangat rendah.
Untuk fase akselerasi dosis imatinib mesylate 800 mg/hari (400 mg b.i.d).
Penyesuaian dosis imatinib mesylate :
- bila terjadi peningkatan bilirubin > 3x batas atas normal atau transaminase
> 5x batas atas normal, imatinib mesylate ditunda sampai bilirubin < 1,5 x
batas atas normal dan transaminase 2,5 x batas atas normal, dapat diberikan
kembali dengan penurunan dosis (misal : 600 mg atau 400 mg).
- Penurunan jumlah netrofil < 0,5 x 109/l dan atau jumlah platelet < 10 x 109/l
dilakukan pengecekan apakah sitopenia berhubungan dgn lekemi (aspirasi
atau biopsy sutul). Bila sitopenia tidak berhubungan dengan lekemi dosis
imatinib mesylate diturunkan 400 mg/hari, bila sitopenia menetap selama 2
minggu dosis diturunkan menjadi 300 mg. Bila sitopenia menetap selama 4
minggu dan tidak berhubungan dgn lekemi, stop imatinib mesylate sampai
netrofil > 1 x 109/l dan platelet ≤ 20 x 109/l, terapi dilanjutkan dgn dosis 300
mg.

3. Transplantasi sumsum tulang


Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang terutama pada penderita
yang berumur kurang dari 40 tahun.

Obat penunjang lain :


- Allupurinol : untuk menurunkan asam urat
- Iradiasi lien : jika splenomegali tidak responsif pada kemoterapi
Monitoring
Efek samping obat
Pemeriksaan darah lengkap dan Fungsi liver berkala pada penderita dengan terapi
Imatinib Mesylate
Prognosis
Harapan hidup rata-rata 3-4 tahun, sekitar 10% hidup lebih dari 10 tahun.rbau
Dengan pengobatan terbaru (Gleevec) diharapkan adanya perpanjangan angka
harapan hidup penderita LMK.

Daftar pustaka
5. Sumantri R. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 720-2.
6. Bakta IM. Leukemia dan penyakit myeloproliferatif.. Dalam: Hematologi
klinik ringkas. UPT Penerbit Universitas udayana, 119-41. 2001.
7. Robinowitz I, Larson RS. Chronic Myeloid Leukemia. In: Wintrobe’s Clinical
Hematology. 11st Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2005; 2235-58.
6.8 SINDROMA MIELODISPLASTIK
(MYELODISPLASTIC SYNDROME = MDS)

Definisi
Nama lain :
- Sindroma preleukemia
- Sindroma dismielopoetik
Sindroma mielodisplastik adalah sekelompok kelainan hematologik klonal yang
ditandai oleh sitopenia dalam darah tepi serta tanda-tanda displastik pada darah
tepi dan sumsum tulang yang disebabkan oleh gangguan maturasi (displasia) satu
atau lebih garis sel (cell line) hemapoetik.
Etiologi
MDS primer sebab pasti belum diketahui, meliputi : preleukemia, smouldering
leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia, primary acquired
sideroblastic anemia.
MDS sekunder, bila penyebabnya diketahui, seperti : defisiensi vitamin B12,
defiseinsi asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya.
Epidemiologis
MDS adalah penyakit yang relatif baru sehingga data mengenai insiden penyakit
ini belum banyak diketahui. Pada pertengahan 1982 Leukemia Research Fund di
Inggris mendapatkan insiden 3,6/100.00o/tahun. Studi dari Dusseldorf, insiden
periode 1986-1990 sebesar 4,1/100.000.tahun. Soebandiri et al yang meneliti di
Surabaya tahun 1981-1986 mendapatkan sejumlah 38 kasus. Suega et al,
melaporkan MDS merupakan 14% dari 86 kasus yang dirawat pada Divisi
Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar, dan merupakan
urutan kedua setelah anemia aplastik.
MDS merupakan penyakit usia lanjut, dengan > 80% kasus berusia lebih dari 60
tahun dengan umur rerata 65 tahun. Rasio laki-laki:wanita = 2:1.
Patogenesis
Penyebab MDS belum diketahui secara pasti dan sulit dipisahkan dari penyebab
leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya.Diajukan hipotesis bahwa
pengaruh factor lingkungan, kelainan genetic dan interaksi sel menimbulkan
mutasi pada tingkat sel induk sehingga menimbulkan ketidakseimbangan proses
proliferasi dan diferensiasi. Onkogenesis pada MDS bersifat multistep dimana
terjadi proses akumulasi perubahan genetic yang pada akhirnya menuju suatu
neoplasma ganas, setelah sebelumnya melewati fase premaligna.
Manifestasi klinis
- Sering timbul perlahan-lahan, dapat juga asimtomatik
- Gejala sering timbul akibat pansitopenia : anemia, infeksi dan perdarahan
- Organomegali seperti splenomegali, hepatomegali atau limfadenopati jarang
dijumpai , kecuali pada CMML dimana splenomegali masif kadang-kadang
disertai hepatomegali dan limfadenopati.

Komplikasi
Dalam kondisi berat dapat menimbulkan: infeksi dan perdarahan yang fatal.

DIAGNOSIS
Klinis : Anemia, perdarahan dan infeksi, pansitopenia pada daerah tepi dengan
sumsum tulang hiperseluler yang disertai tanda-tanda dishemopoetik,
organomegali antara lain limadenopati, splenomegali, hepatomegali.
Pemeriksaan Penunjang
 Anemia sering disertai leucopenia atau trombositopenia (bisitopenia) atau
ketiga-tiganya menurun (pansitopenia)
 Pada CMML dijumpai monositosis dengan monosit darah tepi > 1,0 x 10 9/L
dan sel darah putih total dapat melebihi 100 x 109/l
 Retikulosit : normal atau meningkat.
 Sumsum tulang : hiperseluler, dengan tanda-tanda dishemopoetik :
Diseritropoetik  normoblast multinuklear
Dismielopoetik  agranuler granulosit, anomali pseudo Pelger-Huet
Dismegariopoetik  megakariosit kecil-kecil atau binuklear atau polinuklear
Ring sideroblast positif pada RARS Sel blast meningkat tetapi < 30%.
 Sitogenetik : kelainan sitogenetik pada MDS termasuk delesi, trisomi,
monosomi dan anomali struktur.
Klasifikasi menurut FAB :
1. Refractory Anemia (RA)
2. Refractory Anemia With Ring Sideroblast (RARS)
3. Refractory Anemia With Excess Blast (RAEB)
4. Chronic Myelomonocyte Leukemia (CMML)
5. Refractory Anemia With Excess Blast in transformation (RAEB-t)
Diferential Diagnosis
1. Anemia Aplastik
2. penyakit mieloproliferatif
3. MDS dan AML
4. Mielodisplasia pada HIV
PENATALAKSANAAN
Pengobatan tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas
penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersifat
indolen sehingga tidak perlu pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
6. Cangkok sumsum tulang
Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada
MDS terutama dengan usia <30 tahun dan merupakan pengobatan kuratif.
7. Kemoterapi
Umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBt, CMML. Pengobatan
dengan Ara-C dosis rendah 20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2
secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.
8. GM-CSF atau G-CSF
Pada pasien MDS yang mengalami pansitopenia dapat diberikan GM-CSF
atau G-CSF untuk merangsang deferensiasi dari hematopoetic progenitor
cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30-500 mcg/m2/hari atau G-CSF
50-1600 mcg/m2 (0,1-0,3 mcg/kgBB/hari) subkutan selama 7-14 hari.
9. Lain-lain
Piridoksin 200 mg/hari selama 2 bulan. Danazol 600 mg/hari peroral
selama 3 bulan dapat meningkatkan trombosit terutama pada MDS tipe
trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 3
minggu.
Monitoring
Efek samping obat
pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah tepi setiap minggu.
Prognosis
Pada sebagian besar MDS mempunyai perjalanan klinis menjadi kronis dan secara
bertahap terjadi kerusakan pada sitopeni. Survival sangat bervariasi dari beberapa
minggu sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada 30% pasien yang
progresif menjadi AML atau bone marrow failure.

Daftar Pustaka
1. Sumantri R. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 720-2.
2. Bakta IM. Sindroma Mielodisplastik (Myelodysplastic Syndrome). Dalam:
Hematologi klinik ringkas. UPT Penerbit Universitas udayana, 142-80, 2001.
3. List AF, Sanberg AA, Doll DC. Myelodysplastic syndrome. In: Wintrobe’s
Clinical Hematology 11st Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004.
2207-34.
4. Jurnal
5. Hematologi for medical student
6. Williams Hematology. Edition. New York: McGraw Hill Inc, 200..
6.9 LIMFOMA MALIGNA

Definisi
Limfoma maligna ialah tumor padat yang berasal dari jaringan limfoid.
Secara klinis dan biologik limfoma maligna dibagi 2 golongan besar :
6. Limfoma Hodgkin
7. Limfoma Non-Hodgkin
Di Indonesia Limfoma Non-Hodgkin dijumpai lebih sering dibandingkan dengan
limfoma Hodgkin.

LIMFOMA HODGKIN = PENYAKIT HODGKIN


Definisi
Limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel
Reed Sternberg.
Etiologi
Faktor resiko untuk penyakit ini adalah :
1. Infeksi virus onkogenik : virus onkogenenik diduga berperan dalam
menimbulka lesi genetic. Virus-virus tersebut : virus Epstein-Barr,
Sitomegalovirus, HIV, dan Human Herpes Virus-6.
2. Defisiensi imun, pada pasien cangkok organ dengan pemberian
imunosupresif atau pasien cangkok sumsum tulang.
3. Keturunan
Epidemiologis
Di Amerika Serikat kasus baru berkisar 7500 kasus setiap tahun.
Rasio laki-laki dan perempuan 1,3-1,4 berbanding 1.
Distribusi usia antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.
Patogenesis
Keganasan limfoproliferatif oleh agen infeksius melalui 2 mekanisme :
- Aktivasi jalur ekstrinsik reseptor antigen limfosit
- Aktivasi jalur intrinsic tanpa melalui antigen reseptor limfosit
Pada LH karena virus, protein virus mencegah apoptosis pada sel tumor.
Manifestasi klinis
1. Pembesaran kelenjar limfe asimetris, tidak nyeri, padat kenyal seperti
karet. Urutan kelenjar terkena : leher, aksila, inguinal, hilus paru,
mediastinum dan abdominal.
2. Splenomegali pada 30-40% kasus, hepatomegali lebih jarang
3. Kadang-kadang muncul pada jaringan ekstranodal secara primer : kulit,
paru, otak dan sumsum tulang belakang.
4. Gejala konstitusional : demam, berat badan menurun dan berkeringat
malam
Kelainan Laboratorium
1. Anemia ringan sampai sedang, normokromik normositer
2. Leukositosis moderat dijumpai pada 30% kasus
3. Eosinofilia dan basofilia
4. Laju endap darah meningkat
5. Sumsum tulang terkena pada 5-15% kasus

Komplikasi

Diagnosis
Pemeriksaan klinis : pembesaran kelenjar asimetrik, yang dipastikan oleh adanya
sel Reed-Stenberg dengan latar belakang sel radang yang sesuai pada pemeriksaan
histopatologi kelenjar.

Klasifikasi staging Ann Arbor (diringkaskan) :


Derajat I :
- terkenanya suatu regio kelenjar getah bening atau satu situs ekstralimfatik
Derajat II :
- terkenanya 2 atau lebih regio kelenjar getah bening pada satu sisi
diafragma
Derajat III :
- terkenanya regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma
Derajat IV :
- terkenanya secara diseminata jaringan atau organ ekstralimfatik
A : tanpa gejala konstitusional
B : dengan gejala konstitusional

Prosedur staging :
1. Evaluasi awal
- anamnesis dan pemeriksaan fisik
- lab rutin, faal hati, faal ginjal dan fosfatase alkali, asam urat dan LDH
- pemeriksaan sumsum tulang
2. Evaluasi torak :
- foto torak
- jika perlu / fasilitas ada : scanning torak
3. Evaluasi abdomen :
- USG abdomen
- Limfangiografi
- Scanning abdomen
- Staging laparatomi (sekarang banyak ditinggalkan)

Klasifikasi histopatologik :
Dipakai klasifikasi Rye :
1. Lymphocyte predominance
2. Mixed cellularity
3. Lymphocyte depleted
4. Nodular sclerosis
Diferential diagnosis

PENATALAKSANAAN
1. Penyakit Hodgkin derajat I dan IIA
 radioterapi : 4000 – 5000 rad dengan mantle field untuk lesi atas
diafragma atau inverted Y untuk lesi di bawah diafragma
2. Derajat IIB dengan risiko standar :
 radioterapi
3. Derajat IIB dengan simtom B lengkap atau derajat IIB dengan risiko tinggi
(bulky disease, dan tipe lymphocte depleted atau mixed cellularity) 
kemoterapi
4. Derajat IIB dengan masa mediastinal besar atau bulky disease :
 Radioterapi kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi
5. Penyakit Hodgkin derajat IIIA :
IIIA1 (lesi abdomen atas)  radioterapi (total nodal irradiation)
IIIA2 (lesi abdomen bawah)  kemoterapi atau kombinasi kemoterapi dan
radioterapi
6. Derajat IIIB dengan derajat IV :
Kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi

Jenis dan cara pemberian kemoterapi :


1. Regimen MOPP
- mustargen (nitrogen mustard) : 6 mg/,2, iv, hari 1 & *
- Oncovin (vincristin) : 1,4 mg/m2, iv, hari 1,8
- Procarbazine : 100 mg/m2, oral, hari 1-14
- Prednison : 40 mg.m2, oral, hari 1-14
2. Regimen ABVD
- Adriamycin : 25 mg/m2, iv, hari 1, 15
- Bleomycin : 10 mg/m2, iv, hari 1, 15
- Vinblastin : 6 mg/m2, iv, hari 1, 15
- Dacarbazine : 375 mg/m2, iv, hari 1, 15
3. Regimen BEACOPP3
Cara pemberian

Monitoring
Awasi efek samping obat dan respon terapi
Prognosis
Tergantung derajat penyakit, umur penderita, volume lesi dan tipe histologik.
Harapan hidup pasca terapi :
- derajat I – II : 85%
- derajat IIIA : 70%
- derajat IIIB-IV : 50%

Dafar pustaka
1. Meyer RM, Ambinder RF, Stroobants S. Hodgkin’s Lymphoma: Evolving
Concepts with Implications for Practice. Hematology. 184-202, 2004.
2. Poppema S. Immunobiology and Pathophysiology of Hodgkin Lymphomas.
Hematology. 232-8, 2005.
3. Connors JM. Evolving Approaches to Primary Treatment of Hodgkin
Lymphoma Hematology. 239-44, 2005.
4. Sumantri R. Penyakit Hodgkin. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid
II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 735-7, 2005.
5. Bakta IM. Limfoma Maligna. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT
Penerbit Universitas udayana, 181-202, 2001.
6. Stein RS, Morgan DS. Hodgkin Disease. In: Wintrobe’s Clinical Hematology.
11st Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004; 2521-54.
7. Williams Hematology. Edition. New York: McGraw Hill Inc, 200..

LIMFOMA NON-HODGKIN
Definisi
Limfoma non-Hodgkin ialah tumor padat yang berasal dari limfosit pada berbagai
tingkat perkembangannya.

Etiologi
Sebagian besar etiologi LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor
resiko terjadinya LNH, antara lain:
1. Imunodefisiensi : 25% kelainan herediter langka berhubungan dengan
terjadinya LNH, antara lain : severe combined immunodeficiency,
hypogammaglobulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-
Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.
2. Agen infeksius : EBV DNA ditemukan 95% pada kasus limfoma Burkitt
endemik.
3. Paparan lingkungan dan pekerjaan : peternak, petani dan pekerja hutan sering
dihubungkan dengan resiko tinggi disebabkan adanya paparan herbisida dan
pelarut arganik.
4. Diet dan paparan lainnya : risiko LNH meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok dan yang terkena
paparan ultraviolet.

Epidemiologi
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat terdapat 54.900 kasus baru dan 26.100 orang
meninggal karena LNH. Angka kejadian kasus baru di Amerika Serikat, 5% pada
pria dan 4% pada wanita. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya
usia dan mencapai puncak pada usia 80-84 tahun.

Patogenesis
Defek pada imunoregulasi mengakibatkan gangguan produksi sitokin dan defek
genetik menyebabkan inefektif rearrangement pada immunoglobulin dan gene
reseptor sel T selama proses limfopoesis.
Kronik stimulasi dan obat imunosupresan merupakan penyebab NHL pada pasien
tranplantasi organ.

Manifestasi klinis
1. Pembesaran kelenjar getah bening asimetrik dan tidak nyeri
2. Gejala konstitusional (simtom B) : demam, keringat malam, berat badan
enurun
3. Gejala nasofaringeal : nyeri menelan, atau nafas ngorok
4. Hepatosplenomegali dapat dijumpai.
5. Terkenanya alat lain (ekstranodal) : kulit, otak, testis, dan kelenjar tiroid
Kelainan Laboratorium
1. Dapat terjadi anemia
2. Dapat terjadi pansitopenia jika sumsum tulang terkena
3. Sellimfoma atau limfoblast kadang-kadang dapat dijumpai dalarn darah tepi
4. Lesi sumsum tulang dijumpai pada 20% kasus

Pemeriksaan laboratorik lanjutan (jika fasilitas ada) :


8. Petanda imunologik
9. Sitogenik

Komplikasi

Diagnosis
Harus berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi kelenjar getah
bening atau jaringan ekstralimfatik.

Penderajatan penyakit (staging) :


Memakai klasifikasi Ann Arborr
Prosedur penderajatan penyakit :
Yang harus dikerjakan:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan khusus pada cincin Waldeyer (konsul THl)
3. Laboratorium: darah rutin, hapusan darah tepi, faa! hati dan ginjal
4. Foto torak
5. Pemeriksaan sumsum tulang
6. Jika ada lesi pada cincin Waldeyer atau dugaan lesi saluran cerna, dilakukan
foto saluran cerna.

Pemeriksaan ideal jika [asilitas tersedia) :


1. Limfangiografi
2. Scanning: torak dan abdomen
Klasifikasi histopatologik :
I. Perumusan praktis untuk penggunaan klinis (Working formulation for clinical
age).
A. Low - grade malignancy
1. Small lymphocytic
2. Follicular, small cleaved
3. Follicular, mixed small cleaved and large cell
B. Intermediate - grade malignancy
1. Follicular, large cell
2. Diffuse, small cleaved
3. Diffuse, mixed small and large cell
4. Diffuse, large cell
C. High - grade malignancy
1. Large cell – immunoblastic
2. Lymphoblastic
3. Small non cleaved cell
Burkitt
non - Burkitt
Dianjurkan untuk memakai perumusan praktis ini
II. Klasifikasi Menurut REAL/WHO
B-Cell neoplasm
I. Precusor B-cell neoplasm : precusor B-acute lymphoblastic
leukemia/lymphoblastic lymphoma (B-ALL, LBL)
II. Peripheral B-cell neoplasm
A. B-cell chronic lymphocytic leukemia /small lymphocytic
lymphoma
B. B-cell prolymphocytic leukemia
C. Lymphoplasmacytic lymphoma/immunocytoma
D. Mantle cell lymphoma
E. Follicular lymphoma
F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type
G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma (monocytoid B-cell)
H. Splenic marginal zone lymphoma (villous lymphocytes)
I. Hairy cell leukemia
J. Plasmacytoma/plasma cell myeloma
K. Diffuse large B-cell lymphoma
L. Burkitt’s lymphoma
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I. Precusor T-cell neoplasm : precusor T-acute lymphoblastic
leukemia/lymphoblastic lymphoma (T-ALL, LBL)
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
A. T-cell chronic lymphocytic leukemia /prolymphocytic leukemia
B. T-cell granular lymphocytic leukemia
C. Mycosis funguides/sezary syndrome
D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characteristic
E. Hepatosplenic gamma/delta lymphoma
F. Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma
G. Angiomunnoblastic T-cell lymphoma
H. Extranodal T/NK-cell lymphoma, nasal type
I. Enteropathy-type intestinal T-cell lymphoma
J. Adult T-cell lymphoma/leukemia (HTLV 1+)
K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type
L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneus type
M. Aggressive NK-cell leukemia

Diferential diagnosis

PENATALAKSANAAN
1. Derajat keganasan rendah stadium I dan II :
mungkin observasi saja
atau radioterapi lokal
2. Derajat keganasan rendah stadium I dan II :
Tumbuh lambat :
- obat tunggal : chlorambucil atau siklofosfamid, secara kontinyu atau
intermitten.
Tumbuh cepat :
- Kemoterapi kombinasi (CVP) atau radioterapi (TNI)
3. Derajat keganasan menengah stadium I dan II :
Radioterapi
Dengan jangkitan luas : kemoterapi (CVP)
4. Derajat keganasan menengah stadium III dan IV :
kemoterapi kombinasi : CHOP
jika fasilitas memungkinkan :
- kemoterapi generasi II (M-Bacod, COP-BLAM, Promace-MOPP)
atau generasi ketiga (ketersediaan obat dan fasilitas
pengawasan/pengelolaan efek samping abat yang baik sangat
menentukan keberhasilan terapi).
5. Derajat keganasan tinggi :
a. Imunoblastik: kemoterapi kombinasi sarna seperti ad 4.
b. Limfoblastik: sama seperti terapi LLA
c. Limfoma Burkitt: kemoterapi kombinasi intensif

Pengobatan baru/ideal:
Transplantasi sumsum tulang
Interferon alfa
Anti CD-20 Antibodi : Rituximab
Kemoterapi :
Regimen CVP :
- Cyclophosphamid: 400 mg/m2, oral, hari 1 - 5.
- Oncovin (Vincristin) : 1,4 mg/m2, iv, hari 1.
- Prednison: 100 mg/hari, oral, hari 1 - 5.
Ulang siklus setiap 21 hari
Regimen CHOP:
- Cyclophosphamid : 750 mg/m2, IV, hari 1.
- Doxorubicin: 50 mg/m2, iv, hari 1.
- Oncovin : 1,4 mg/m2, iv, hari 1.
- Prednison: 100 mg/hari, oral, hari 1- 5.
Ulang siklus setiap 21 hari
Penyesuaian dosis terhadap angka leukosit dan trombosit :
Lekosit / mm3 Trombosit / mm3 C V P
> 4000 > 100.000 100% 100% 100%
3000 - 4000 > 100.000 50% 100% 100%
2000 - 3000 50 - 100.000 25% 100% 100%
1000 - 2000 < 50.000 25% 50% 100%
< 1000 < 50.000 0% 0% 0%

Anti CD-20 antibodi : Rituximab (Mabtera)4


Sebagai terapi tunggal atau kombinasi.
Regimen RCHOP:
- Rituximab : 375/m2, IV, hari 1
- Cyclophosphamid : 750 mg/m2, IV, hari 1.
- Doxorubicin: 50 mg/m2, iv, hari 1.
- Oncovin : 1,4 mg/m2, iv, hari 1.
- Prednison: 100 mg/hari, oral, hari 1- 5.
Ulang siklus setiap 21 hari

Monitoring
Awasi efek samping obat dan respon terapi

Prognosis
Tergantung derajat penyakit, umur penderita, volume lesi dan tipe histologik.
Harapan hidup pasca terapi :
- derajat I – II : 85%
- derajat IIIA : 70%
- derajat IIIB-IV : 50%

Daftar pustaka
1. Ghielmini M, Friedberg JW, Leonard JP. Monoclonal Antibody Therapy for
Lymphoma: Targeting CD20. Hematology. 321-9, 2005.
2. Reksodiputro AH, Irawan C. Limfoma Non-Hodgkin, Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 727-34, 2005.
3. Vose JM, Chiu BC, Cheson BD, Dancey J. Wright J. Update on Epidemiology
and Therapeutics for Non-Hodgkin’s Lymphoma. Hematology. 241-63, 2002.
4. Bakta IM. Limfoma Maligna. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT
Penerbit Universitas udayana, 181-202, 2001.
5. Mc Curley TL, Macon WR. Diagnosis and Classification of Non-Hodgkin’s
Lymphomas. In: Wintrobe’s Clinical Hematology. Edition. Baltimore:
Williams & Wilkins, 2004. 2301-24.
6. Williams Hematology. Edition. New York: McGraw Hill Inc, 200..
6.10. MIELOMA MULTIPEL
(DR. Dr. M. Bakta)

Definisi
Mieloma multipel ialah keganasan hematologik yang berasal dari sel plasma dan
dapat dikelompokkan sebagai gamopati monoklonal.
Etiologi
Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu proses multi langkah.
Faktor genetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya
perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekusor,
membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang memproduksi protein M seperti
pada MGUS. Suatu kelainan genetic yang spesifik belum teridentifikasi.
Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1, 13 (13q-), dan 14 (14q+)
menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah
terganggu regulasinya.
Epidemiologi
Diagnosis myeloma multiple di Amerika berkisar 15.000 pasien pertahun
sedangkan di kanada berkisar 1800 pasien per tahun. Median survivalnya berkisar
anatara 3-4 tahun. Angka kejadiannya tergantung dari usia, laki-laki lebih sering
terkena dibandingkan wanita.
PATOFlSIOLOGI
Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi
langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan
penumpukan sel plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan
mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan system imun dalam mengontrol
penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan aktivasi onkogen selular,
hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin.
1. Akibat produk sel mieloma :
a. Paraprotein (imunoglobulin) dalam darah mcningkat
b. Pelepasan free light chain dalam urine : protein Bence – Jones
c. Pelepasan. Osteolytic activating factor: timbul lesi tulang.
2. Pendesakan sel-sel ganas terhadap :
a. Sistem hemopoetik : timbul, anemia, leukopenia atau trombositopenia.
b. Tulang: lesi osteolitik dan hiperkalsemia

Manifestasi klinis
1. Nyeri tulang, terutama tulang belakang. Dapat terjadi fraktur patologik.
Kompresi fraktur pada tulang hdakang dapat menimbulkan paraplegia.
2. Gejala anemia
3. Infeksi berulang, terutama infeksi paru dan saluran kencing.
4. Gejala gagal ginjal (uremia)
5. Gejala hiperkalsemia : anoreksia, mual, muntah, poliuria, kesadaran menurun.
6. Perdarahan : karena jumlah dan faal trombosit menurun.
7. Sindroma hiperviskositas : gangguan penglihatan vertigo, gagal jantung dan
penurunan kesadaran
Komplikasi
Fraktur patologis, gagal ginjal, hiperviskositas, diatesis hemoragik, anemia,
infeksi.
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Anemia normokromik normosilcr, bisa sampai anemia beral. Laju endap
darah meningkat. Leukopenia dan trombositopenia. Pada hapusan darah
dijumpai Roulleaux, dan mungkin sel plasma.
2. Sumsum tulang : hiperseluler dengan sel plasma abnormal (sel mieloma)
lebih dari 10%.
3. Elektroporesis protein : spike pada fraksi gamma globulin. Pada
imunoelektroforesis : dijumpai peningkatan IgO : 59%, IgA: 23% dan
light chain saja : 16%.
4. Urine: protein Bence Joncs positif. Jika dapat dikerjakan
imunoelektroforesis : dijumpai light chain dalam urine.
5. Hiperkalsemia, hiperurikemia, ureum dan kreatinin meningkat
b. Foto tulang :
Dilakukan bone survey (tengkorak, torak, femur dan humerus proksimal,
tulang belakang, dan pelvis) : dijumpai lesi osteolitik (punched out) pada
tulang pipih, tulang belakang dan pangkal tulang panjang.
Kriteria diagnosis
I. Jika sel plasma (malignant looking plasma cell) dalam sumsum tulang lebih
dari 10%.
atau
II. Memakai kriteria Wintrobe :
1. Kriteria sitologik :
a. Sel plasma sumsum tulang lebih dari 10%
b. Biopsi jaringan lain: adanya pla_masitoma
2. a. Dijumpai protein mieloma secara elektroforesis dalam serum
b. Protein mieloma dalam urine
c. Dijumpai lesi osteolitik
d. Dijumpai sel plasma dalam hapusan darah tepi
Diagnosis dibuat jika:
1. la dan Ib positif.
2. 1a atau 1b ditambah salah satu dari 2.
3. Sel plasma sumsum tulang > 30% + lesi osteolitik.
Penderajatan penyakit (menurut Durie dan Salmon) :
1. Stadium 1.
Rontgen: normal atau lesi osteolitik soliter.
Laboratorium :
Hb, > 10 g/dl
Kalsium serum: < 12 mg/dl
IgG serum < 5 g/dl, IgA < 2g/dl.atau light chain urine < 4 g/24 jam.
2. Stadium 2 : terletak di antara stadium 1 dan 2
3. Stadium 3.
Rontgen: lesi osteolitik luas.
Laboratorium :
Hb < 8,5 g/dl.
Kalsium serum> 12 mg/dl
IgG> 7 g/dl, IgA> 5 g/dl dan light chain urine> 12 g/24 jam
A : jika kreatinin serum < 2 mgldl
B : jika kreatinin serum> 2 mgldl

Diferential diagnosis
PENATALAKSANAAN
Terapi suportif/darurat :
1. Uremia:
Rehidrasi
atasi faktor pencetus : hiperkalsemia, hiperurikemia dan infeksi
jika perlu hemodialisis
2. Hiperkalsemia akut :
rehidrasi dengan NaCl 0,9%
Kortikosteroid iv atau oral
jika tersedia dapat diberi Mithramycin atau kalsitonin
3. Paraplegia akibat fraktur kompresif:
dekompresi (laminektomi)
radiasi
4. Anemia bcrat : transrusi PRC
5. Infeksi: antibiotika adekuat
Kemoterapi :
1. Standar:
melphalan 9 mg/m2, oral hari 1 – 4
predinison 80 mg/hari, oral, hari 1 – 4
Siklus ulang setiap 28 hari
2. Terapi baru :
Pada penderita umur < 60 tahun : tetapi kombinasi dengan ABCM
(adriamycin, BCNU, cyclophosphamid dan melpahalan).
Terapi lain (dalam pengembangan):
1. interferon alfa
2. Transplantasi sumsum tulang

Monitoring
Fraktur patologis
Fungsi ginjal
Hemoglobin
Prognosis
Faktor prognostic yang berpengaruh dalam perkembangan MM adalah : kadar
hemoglobin, kalsium, kreatinin serum, β2-mikroglobulin, albumin, FISH
kromosom 13 dan 11 pada sitogenetik sumsum tulang, CRP, sel plasma indeks
labelling, dan IL-6 serum.
Daftar pustaka
1. Reece ED. An Update of the Management of Multiple Myeloma: The
Changing Landscape. Hematology: 2005. 353-9.
2. Syahrir M. Mieloma multipel dan penyakit gamopati lain, Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 749-55, 2005.
3. Bakta IM. Limfoma Maligna. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT
Penerbit Universitas udayana, 181-202, 2001.
4. Mc Curley TL, Macon WR. Diagnosis and Classification of Non-Hodgkin’s
Lymphomas. In: Wintrobe’s Clinical Hematology. Edition. Baltimore:
Williams & Wilkins, 2004. 2301-24.
5. Williams Hematology. Edition. New York: McGraw Hill Inc, 200.
6.11. IDIOPATHIC THROMBOSITOPENIC PURPURA
(ITP)

BATASAN
Suatu gangguan autoimun yang ditandai trombositopenia menetap, angka
trombosit darah kurang dari 150.000/uL, disebabkan autoantibodi yang mengikat
antigen trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam system
retikuloendotelial, terutama limpa.
ITP dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu :
ITP akut : terjadi pada umur 2-5 thn
sering dicetuskan infeksi
sering remisi spontan
ITP kronis : terjadi pada usia dewasa muda
jarang dicetuskan infeksi
jarang remisi spontan
ETIOLOGI
Tidak diketahui diduga proses autoimun. Penyebab trombositopenia
eksogen/sekunder dieksklusi.
EPIDEMIOLOGI
Insiden pada anak antara 4,0 – 5,3 per 100.000. ITP akut umumnya terjadi
pada anak usia 2 – 6 tahun, dan 7-28% dapat menjadi kronis. Insiden ITP kronis
pada dewasa adalah 58 – 66/1000.000 populasi pertahun, dengan median usia 40
-45 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan 1 : 1 untuk ITP akut dan 1 : 2-3
untuk ITP kronis. ITP refrakter dimaksudkan sebagai ITP yang gagal diterapi
dengan steroid dosis standard dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi
karena trombosit dibawah normal atau perdarahan
PATOFISIOLOGI
Gangguan sistem imunologik  pembentukan antibodi (lgG) terhadap
trombosit sendiri  kompleks trombosit dan antibodi difagositir oleh makrofag
dalam limfa  trombositopenia pada darah tepi. Kompensasi sumsum tulang 
megakariosit sumsum tulang meningkat.
MANIFESTASI KLINIS
1. Adanya pcrdarahan kulit : petechie, echymosis dan "easy bruising".
2. Perdarahan mukosa : epistaksis, perdarahan gusi dan menorhagia
3. Perdarahan organ seperti perdarahan otak dapat bersifat fatal.
4. Splenomegali dijumpai walaupun jarang ( 10 – 30%)
Pemeriksaan Penunjang
1. Waktu perdarahan memanjang, waktu pembekuan normal
2. Tes Rumple - Leede (tes tornikuet) positif.
3. Trombosit menurun: 10 - 50.000
4. Technicon H - I : platelet menurun dengan platelet volume meningkat
5. Hapusan darah tepi : trombosit menurun dcngan bentuk trombosit abnormal
(besar-besar).
6. Sumsum tulang: megakariosit meningkat (dengan lobulasi inti bertambah).
Pemeriksaan tambahan jika fasilias tersedia :
7. Adanya antibodi anti - platelet.
KOMPLIKASI
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang paling serius, terjadi
pada 1 % kasus. Perdarahan berupa subarachnoid bleeding multipel dengan
ukuran bervariasi.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan jika didapatkan gambaran perdarahan mukokutan
dengan trombositopenia (< 100.000/mm3) dan megakariosit sumsum tulang
meningkat serta dengan menyingkirkan penyebab trombositopenia sekunder. Jadi
diagnosisnya adalah by exclutionum, karena tidak ada kriteria tunggal yang pasti.
Fabris Et al membuat kriteria diagnostik :
a. Trombosit < 100.000
b. Megakariosit sumsum tulang meningkat, atau sedikit-dikitnya normal.
c. Mengekslusi adanya hipersplenisme dan atau splenomegali (periksa
leukosit, eritrosit, dan USG)
d. Eksklusi obat- obat yang menyebabkan trombositopenia
e. Eksklusi sepsis dan mikroangiopati
f. Eksklusi trombositopeni familial atau herediter
g. Antibodi anti-platelet ( IgG) tidak mutlak dalam diagnosis standar
Berdasarkan American Society Hematology, diagnosis ITP jika :
a. Didapatkan trombositopeni, tanpa anemia, tidak ada perdarahan,
dan tanpa abnormalitas sel lekosit.
b. Tidak didapatkan penyebab trombositopeni yang lain ( penyakit
vaskuler kolagen, atau penyakit limfoproliferatif.
c. Tidak didapatkan infeksi, terutama infeksi HIV
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1. Trombositopenia sekunder
2. Gangguan faal trombosit
3. Leukemia akut
4. Anemia aplastik
5. Disseminated intravascular coagulation
6. Thrombotic Thrombocytopenic Purpura-Hemolitic Uremic Syndrome
( TTP-HUS)
7. Antiphospolipid Antibody Syndrome ( APS )
8. Myelodisplastik syndrome
PENATALAKSANAAN
Tujuan : mempertahankan jumlah trombosit dalam kisaran aman supaya
tidak terjadi perdarahan mayor.
1.Terapi awal ( Standar)
 Predison/ prednisolon dosis 1-1,5 mg/kgBB/hr selama 2 minggu, bila
respon baik dilanjutkan selama 1 bulan, kemudian di tappering off
 Imunoglobulin intra vena : Imunoglobulin intravena (IgIv)dengan dosis 1
gr/kg/hr selama 2-3 hari berturut-turut bila terjadi perdarahan internal atau
purpura yang progresif. Dapat diikuti gagal ginjal dan insufisiensi paru
serta reaksi anafilaktik pada pasien dengan defisiensi IgA congenital
 Splenektomi : sebagai terapi lini kedua ITP dewasa yang gagal berespon
dengan steroid atau perlu tambahan trombosit yang terus-menerus.
Indikasi splenektomi :
a. Jumlah trombosit < 50.000 setelah 4 minggu
b. Jumlah trombosit tidak menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu
( karena problem efek samping)
c. Angka trombosit normal tetapi terus menurun saat dosis steroid
diturunkan.
2. Terapi konvensional lini kedua :
 Steroid dosis tinggi : deksametasone oral dosis tinggi 40 mg/hr selama
4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus
 Metylprednisolon : 30 mg/kg iv, dosis diturunkan setiap 3 hr smp 1
mg/kb
 IgIV dosis tinggi,1mg/kg/hr dua hari berturut-turut, sering dikombinasi
dengan kortikosteroid
 Anti D intravena : 50-75 mg/kg/hari iv
 Akaloid vinka: vincristin 1-2 mg iv, vinblastin 5 – 10 mg, setiap
minggu selama 4-6 minggu
 Danazol ; 200 mg peroral 4x/hr selama 6 bulan dengan monitor fungsi
hati setiap bulan
 Immunosupresif dan terapi kombinasi : azatioprin 2 mg/kgBB/hr
maksimal 150 mg/hr atau cyclofosfamide sebagai obat tunggal.
Pemakaian siklofosfamide , vinkristin, prednisone sebagai kombinasi
efektif seperti pada limfoma. Siklofospamide 50 –100 mg p.o, atau
200 mg /IV/ bulan selama 3 bulan. Azatiprin 50 –100 mg p.o, bila 3
bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan
turunkan sampai dosis terkecil.
3. Rekomendasi terapi ITP yang gagal terapi lini pertama dan kedua: compath-1H
dan rituximab. Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa ITP refrakter,
tetapi perlu studi yang lebih besar untuk konfirmasi efikasi dan keamanannya.
Dosis yang sudah pernah dicobakan adalah 1,5 – 2 g/hari minimal selama 12
minggu.
4. Terapi suportif : transfusi konsentrat trombosit jika terjadi perdarahan
mengancam jiwa, disertai pemberian kortikosteroid dosis tinggi parenteral.
MONITORING
Evaluasi trombosit hasil pengobatan.
PROGNOSIS :
Respon terapi dapat mencapai 50 -70% dengan kortikosteroid. Pasien ITP
dewasa hanya sebagian kecil mengalami remisi spontan. Penyebab kematian pada
ITP adalah intrakranial bleeding ( 2,2%).
DAFTAR PUSTAKA
1. Purwanto I. Purpura Trombositopenia purpura.dalam : Buku Ajar
IlmuPenyakit Dalam Jilid II, Edisi IV, Editor : Sudoyo AW,dkk, Jakarta,
2006,hal 669-74
2. Turgeon M.L, Disorder of hemostasis and thrombosis, In : Clinical
Hematologytheory and procedure,fourth edition,Lippincot William Wilkis,
2005 p 369-79
3. Bithel l T.C. Thrombocytopenia caused by immunologic platelet
destruction: Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), Drug induced
thrombocytopenia, and miscellaneous forms; in Wintrobe’s Clinical
hematology, ninth edition, Philadelphia London, 1993, p 1329-47
4. George N.J, El-harake M,Raskob G.E. Chronic Thrombocytopenic
Purpura, NEJM volume 331 : 1207-1211, November 3, 1994
5. Arnold D.M, Dentalli F, et all. Systematic Review: Efficacy and Safety of
rituximab for adults With Thrombocytopenic purpura, Ann Intern Med.
2007;146:25-33
6. Kojori K, Vesely S.K, Terrel D.R. Splenectomy for Adult patients with
idiopathic thrombocytopenic purpura : a systematic review to asses long
term platelet count responses, prediction of respone and surgical
complication, Blood, 1 november 2004.vol 104, number 9
7. Vesely S.K,et all. Management of adult Patients With persistent Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura Following SplenectomyAnn Intern Med.
2004;140:112-120
8. Hou M, Peng J, Shi Y, et all. Mycophenolatemofetil ( MMF) for treatment
of steroid resistant idiopathic thrombocytopenic purpura: Eur J haematol
2003; 70:353-357
9. Howard j, Hoffbrand V, Prentice G, et all; Mycophenolate mofetil for
treatment of refractory auto-immune thrombocytopenic purpura, British
Journal of haematology,2002. 117.712-15
6.12. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)

Nama lain:
- Koagulasi konsumtif (consumptive coagulopathy)
- Sindroma defebrinasi
- Consumptive thrombohemorrhagic disorder

1. BATASAN
Merupakan suatu keadaan dimana system koagulasi dan atau fibrinolitik
teraktivasi secara sistematik, menyebabkan koagulasi intravaskuler luas dan
melebihi mekanisme antikoagulan alamiah. DIC merupakan kejadian antara yang
disebabkan oleh kelainan yang jelas dengan manifestasi klinis yang bervariasi.
ETIOLOGI
Berbagai kondisi klinis umum berhubungan dengan DIC :
i. Sepsis : gram negatif (endotokasin), gram positif (mukopolisakarida)
ii. Viremia : HIV,hepatitis, varisela, citomegalovirus.
iii. Trauma : injuri jaringan yang luas cedera kepala, emboli lemak
iv. Keganasan : myeloproliferative disease, keganasan hematology (akut
promyelocitic leukemia /APL/M3, myelomonositik (M4) ), solid tumor
(carsinoma pancreas, karsinoma prostat)
v. Komplikasi Obstetry : emboli air ketuban, abruptio plasenta, retained fetus
syndrom, eklampsia,abortus
vi. Kelainan vaskuler : giant hemangioma (Kassabach-Merrit syndrome),
aneurisma oarta.
vii. Reaksi terhadap toksin : bias ular,obat,amphetamine
viii. Reaksi immunology : reaksi alergi berat, reaksi hemolytic tranfusi, rejeksi
transplantasi .
ix. Penyakit hati akut: ikterus obstruktif, gagal hati akut
EPIDEMIOLOGI
Overt DIC terjadi pada 25 –50% penderita sepsis, dan merupakan
prediktor kematian yang kuat. Pada trauma yang berat disertai respon SIRS ,
kejadian DIC 50-70%. Pada penderita dengan keganasan yang sudah metastase,
kejadian DIC 10 –15%, pada solutio plasenta dan emboli air ketuban 50%. Pada
Giant hemangioma 25% menjadi DIC sedangkan pada aneurisma aorta yang
besar sebanyak 0.5 –1%.
PATOGENESIS /PATOFISIOLOGI
Diawali masuknya aktivitas prokoagulan kedalam peredaran darah 
aktivasi koagulasi sistemik deposisi fibrin intravaskuler, mengakibatkan
terjadinya trombosis pada pembuluh darah kecil dan sedang, serta gagal organ.
aktifasi sistem koagulasi sistemik disisi lain mengakibatkan penurunan jumlah
platelet dan faktor koagulasi, menyebabkan terjadi perdarahan pada saat yang
bersamaan. Akifitas prokoagulan dapat berupa jaringan atau enzim dari plasenta,
endotoxin, lipopolisakarida atau exotoxin bakteri.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis DIC yang dapat dijumpai, pada setting klinis tersebut diatas:
1.Perdarahan :kulit, mukosa, easy bruising dan perdarahan organ
2. Hemorrahagic tissue necrosis dan oklusi multiple pembuluh darah sehingga
menimbulkan multiple organ failure :
 Ginjal : gagal ginjal
 Adrenal dan kulit : Waterhouse-fredricksensyndrome
 Pembuluh darah tepi : menimbulkan gangrene
 kulit : purpura, perdarahan pada lokasi injuri, bulla hemorragic, nekrosis
fokal
 Hati :menimbulkan ikterus dan gagal hati.
 Otak : koma, konvulsi, lesi fokal, perdarahan.
 Paru : hipoksemia, ARDS
Manifestasi laboratorik DIC terdiri dari :
 Trombositopenia : pada hitung trombosit dan hapusan darah tepi
 APTT, PTT dan trombin time memanjang, nilai APTT lebih sensitive
dibandingkan dengan PTT pada DIC
 Penurunan kadar fibrinogen plasma
 Fibrin degradation product (FDP) meningkat
 Penurunan factor V dan factor VIII
 Pada hapusan darah tepi dijumpai anemia mikroangiopatik-fragmentosit
dan mikrosferosit
 D-Dimer positif
 Tes parakoagulasi positif
DIC dibedakan menjadi 3 fase, menurut keparahannya yaitu :
 Fase I : Tidak dijumpai gejala klinis, tetapi terdapat penyakit dasar yang
sesuai .
 Fase II : terjadi pemanjangan protrombin time dan APTT, trombin time,
fibrinogen normal, FDP tdk terlalu tinggi platelet, factor VII, AT III dan
PC menurun
 Fase III : Full-blown DIC ditandai pemanjangan extrem protrombin time,
APTT. Jumlah pletelet sangat rendah, aktifitas factor koagulasi dan kadar
plasma protein antikoagulan 50% dibawah milai normal. FDP sangat
tinggi.
KOMPLIKASI
DIAGNOSIS
Tidak ada tes laboratorium tunggal atau kombinasi yang spesifik atau
sensitive untuk membuat diagnosis definitive. Diagnosis dibuat jika didapatkan
penyakit dasar yang sesuai dan kombinasi kelainan laboratorium.
Algoritme untuk diagnosis overt DIC :
Harus didapatkan penyakit dasar yang sesuai,
Skore hasil tes koagulasi global :
- Jumlah platelet : (>100 = 0, <100 =1, < 50 =2)
- peningkatan marker berkaitan fibrin ( soluble fibrin monomerFDP : tdk
meningkat = 0, meningkat sedang = 2, meningkat tinggi : 3)
- Pemanjanganprotrombin time : ( <3 dtk = 0, >3dtk, tp <6 dtk =1, > 6 = 2)
- kadar Fibrinogen : > 1.0 g/L = 0, < 1.0 g/L =1
skore >= 5 : sesuai untuk overt DIC, ulang scoring setiap hari
skore <5 : suggestive ( tidak affirmative) untuk non overt DIC, ulang scoring 1-2
hari kemudian.
Bick membuat criteria diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorik. Kriteria klinis minimal adalah:
1. Bukti klinis adanya perdarahan, trombosis atau keduanya
2. gejala tersebut terjadi pada setting klinis tertentu, seperti yang
disebutkan didepan.
Kriteria laboratorik adalah :
1. Tes group I ( bukti adanya aktivitas prokoagulasi)
i. Peningkatan fragmen prothrombin 1 dan 2
ii. Peningkatan fibrinopepeptida A,
iii. Peningkatan fibrinopeptida B
iv. Peningkatan komplek TAT ( trombin-antitrombin)
v. Peningkatan D dimmer
4. Tes Group II ( Bukti adanya aktivasi system fibrinolitik )
a. Peningkatan D-Dimer
b. Peningkatan FDP
c. Peningkatan plasmin
d. Peningkatan kompleks plasmin antiplasmin
5. Tes group III ( Bukti adanya konsumsi inhibitor)
a. Penurunan AT III
b. Penuruna alpha 2 antiplasmin
c. penurunan heparin kofaktor II
d. Penuruna protein Cdan S
e. peningkatan kompleks TAT
6. Tes group IV ( bukti adanya kerusakan atau gagal end organ )
a. Peningkatan LDH
b. Peningkatan kreatinin serum
c. Penurunan pH
d. Penurunan pAO2
Untuk menegakkan diagnosis laboratorik DIC diperlukan satu dari
masing-masing group I,II,III dan paling sedikit 2 dari group IV. D-Dimer yang
paling reliable untuk pemeriksaan tes group I dan II jiuka diperiksa secara benar.
DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
DIC harus dibedakan dari berbagai gangguam hemostasis lain : defisiensi
vit K, gagal hati akut, perdarahan hebat, pengobatan dengan heparin.
hipersplenisme, gangguan produksi platelet.
PENATALAKSANAAN
Management penderita dengan DIC bersifat sekuensial :
6. Perhatikan umur, jenis kelamin, kondisi komorbid
7. Atasi penyakit dasar
8. Terapi antikoagulan
9. Terapi subsitusi, tergantung komponen yang kurang.
Subtitusi yang relatif aman diberikan adalah trombosit konsentrat, PRC dan
koloid. Hati – hati memberikan faktor – faktor koagulasi, termasuk FFP.
10. Anti fibrinolitik
Pilihan terapi masa depan
Terapi logis DIC adalah melawan aktifitas faktor jaringan.
- antikoagulan recombinan nematoda protein c2, merupakan inhibitor yang
potent dan spesifik untuk komplek yang dibentuk factor jaringan dan
factor VIIa dengan factor x, sedang dalam uji klinis
- Protein C teraktifasi (APC), menurunkan mortalitas pd DIC karena sepsis

MONITORING
Monitor terhadap kondisi klinis, FH, kadar trombosit dan fungsi organ.
PROGNOSIS
Prognosis DIC bervariasi tergantung penyakit dasar dan intensitas
gangguan koagulasi. Beberapa temuan menandakan DIC meningkatkan risiko
gagal organ atau kematian berupa histologis menunjukkan iskemia atau nekrosis
yang berhubungan dengan deposisi fibrin dalam vaskulature organ. DIC
berhubungan dengan outcome yang buruk dan merupakan predictor kematian
yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. I Made Bakta.Hematologi Klinik Ringkas, jakarta,EGC, 2006, hal 251-4
2. Sukrisman L, Koagulasi Intravaskuler Disseminata, Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, edisi IV, Jakarta, 2006, hal 777-9
3. Turgeon M.L. Disorder of Hemostasis and thrombosis: in : Clinical
Hematology theory and Procedure, Lippincot William & wilkins,2005,
p382-5
4. Levi M, Erik C.M, Cate H. Disseminated Intravascular Coagulation; in :
Blood, in : Blood principles and practice of Hematology,second edition :
Robert I.Het al, Lippincot William & Wilkins2003; p 1276-93
5. Zeerleder S, Hack E, Wuillemin W.A. Disseminated Intravascular
Coagulation in Sepsis, Chest 2005; 128:2864-2875
6. Toh C.H, Dennis M. Disseminated Intravascular Coagulation : Old
disease, new hope; BMJ vol 327, 25 oktober 2003, p 974-7
7. Levi M, Cate H.T. Disseminated Intravaskular Coagulation; NEJM; august
1999;341;8:586-92
6.13. REAKSI TRANSFUSI AKUT

BATASAN :
Komplikasi yang dapat timbul akibat tranfusi darah.
ETIOLOGI
Reaksi imunologi disebabkan rangsangan aloantigen asing yang terdapat
pada eritrosit, lekosit, trombosit dan plasma protein. Bila resipien mendapat darah
yang menagndung antigen tersebut maka terjadi pembentukan antibody, sehingga
kelak bila mendapat transfusi terjadi reaksi yang dimediasi imunologi, misalnya
reaksi hemolitik, panas, alergi, reaksi anafilaksis yang disebabkan antibodi yang
bereaksi dengan antigen terlarut didalam bahan transfusi, biasanya protein
plasma.
EPIDEMIOLOGI
Potensi komplikasi transfusi darah cukup besar, tapi pada saat ini masalah
komplikasi hanya terdapat pada pasien transfusi berulang-ulang atau perlu trasfusi
darah yang banyak. kesalahan identifikasi di USA yang bersifat fatal terjadi antara
1/600.000 – 1/800.000 kasus transfusi, dan yang bersifat non fatal terjadi pada
1/12.000 – 1/19.000 kasus. DiInggris komplikasi serious terkait transfusi
insidennya pada 335/5.5 juta unit transfusi PRC.
Komplikasi dapat digolongkan menurut :
Komplikasi Imunologi
 Aloimunisasi : antigen eritrosit, antigen HLA
 Reaksi teransfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed)
 Reaksi febris transfusi
 Kerusakan paru karena transfusi
 Purpura pasca transfusi
 Pengaruh imunosupressi
 Penyakit graft versus host
Komplikasi non imunologi
 Kelebihan volume
 Transfusi masif : Metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi
paru
 Lainnya : plasticizer, hemosiderosis transfusi
 Infeksi : hepatitis A,B,C, delta, HIV, EBV. Kontaminasi bakteri : sifilis,
malaria, babesia, tripanosoma, organisme lain .
Reaksi Hemolitik Segera ( immediate hemolytic reaction)
Reaksi hemolitik segera merupakan reaksi hemolitik yang relatif jarang
terjadi ( 1 : 100.000), tetapi sangat berbahaya dan sebetulnya dapat dicegah.
Patogenesis :
penyebab utama adalah kesalahan klerikal( kekeliruan dalam memasang label atau
identifikasi penderita). Timbulnya karena ketidakcocokkan ( mismatched) dalam
system ABO. Terjadi reaksi antibodi ( Ig M) dengan antigen ( eritrosit ), sehingga
timbul hemolisis intravaskuler yang massif, yang berakibat :
 Hemoglobinemia, hemoglobinuria, kerusakan ginjal karena produk
hemoglobin, sehingga terjadi gagal ginjal akut.
 pelepasan Chemical substances sehingga menimbulkan syok
 Pelepasan bahan tromboplastin dari eritrosit yang pecah, sehingga timbul
DIC.
Gejala Klinis :
 Gejala sangat bervariasi tergantung dari berat ringannya reaksi. Timbul
beberapa menit sampai jam setelah transfusi mulai.
 Rasa panas pada tempat infus, demam. rasa berat didada, muka
merah,mual, muntah, nyeri pinggang.
 Gejala syok dengan segenap manifestasinya
 Gejala perdarahan karena DIC : perdarahan pada tempat infus, luka
operasi, atau prdarahan sistemik lainnya.
 Gejala gagal ginjal akut : oliguria sampai anuria
 Gejala pada penderita yang sedang menjalani anestesi sangat sulit
diketahui. Salah satu petunjuki ialah syok tanpa sebab yang jelas, yang
sulit dikoreksi serta perdarahan merembes dari luka operasi.
Laboratorium
1. Anemia
2. Hemoglobin bebas dalam serum
3. Hemoglobinuria
4. Retikulositosis
5. Faal hemostasis : tanda-tanda DIC
6. Faal Ginjal ;tanda- tanda gagal ginjal akut
Diagnosis
Diagnosis dibuat dari gejala klinis diatas pada, penderita yang mendapat transfusi.
Dapat juga dikonfirmasi dengan adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria
serta bilirubin indirek dalam serum.
Penatalaksanaan :
1. Segera hentikan transfusi, kerusakan yang timbul sebanding dengan
volume darah yang masuk.
2. Atasi syok dengan pemberian cairan : kristaloid, plasma ekspander, atau
darah. Jika dengan pemberian cairan yang cukup tekanan darah belum
naik, dapat diberikan dopamine 5 – 10 mikro/kg/mnt
3. Pemberian hidrokortison 100 mg atau preparat steroid parenteral yang lain
yang setara.
4. Jika terjadi anemia berat, dapat dilakukan transfusi dengan pengawasan
ketat.
5. Untuk gagal ginjal akut dapat diberikan furosemid 1-2 mg/kg intravena,
pengobatan suportif, memelihara keseimbangan elektrolit, kalau perlu
dialysis.
6. Jika terjadi perdarahan sistemik dapat diberikanplasma segar beku, atau
kriopresipitat.
7. Berikan oksigen dan tindakan gawat darurat lainnya.
Tindakan investigasi
Simpan sisa darah, ambil contoh darah penderita, kirim kembali ke dinas
transfusi darah untuk pengecekan ulang kecocokan darah. periksa serum untuk
melihat adanya hemoglobin bebas serta bilirubin indirek dalam serum. Ulangi
pemeriksaan setelah 8 – 10 jam.
Pencegahan
Dengan meningkatkan ketelitian dan kecermatan petugas ( perawat,
petugas transfusi )
Prognosis
Tergantung beratnya reaksi. Angka kematian 10% atau lebih.

Reaksi hemolitik lambat


Reaksi hemolisis yang menimbulkan gejala 3–14 hari pemberian transfusi,
pada penderita yang telah mengalami aloimunisasi ( kehamilan atau transfusi
sebelumnya). Reaksi yang timbul karena Ig G dan menimbulkan hemolisis
ekstravaskuler.
Gejala : demam. ikterus, anemia ( kadar hemoglobin kembali pada kadar sebelum
transfusi atau malah lebih rendah).
Laboratorium : anemia, retikulositosis, hiperbilirubinemia indirek, tes comb
direk positif.
Penatalaksanaan : Observasi karena sebagian besar akan sembuh sendiri. Steroid
masih controversial.

Reaksi febril non hemolitik


a. Timbul karena reaksi aloantibodi terhadap lekosit (HLA atau netrofil) atau
trombosit.
b. Panas timbul 30 menit sampai 2jam setelah tansfusi. Gejala lain berupa
menggigil, sakit kepala, flushing dan mual.
c. Jika tidak terdapat gejala reaksi hemolisis segera, lambatkan transfusi,
berikan paracetamol atau injeksi xylomidon. Jika ragu-ragu akan adanya
reaksi hemolisis, atau panas tidak turun setelah pemberian antipiretika,
transfusi segera dihentikan.
d. Untuk pencegahan diberikan “leucocyte depleted blood component”
dengan memakai infuset dengan filter khusus, atau pemeberian washed red
cell.
Reaksi Alergi
a. Timbul karena plasma protein antibodies, terutama anti IgA pada orang
yang mengalami defisiensi IgA
b. Gejala klinis : urtikaria, edema angioneuritik, bronkospasme, kadang-
kadang syok anafilaktik
c. Pada urtikaria transfusi dilambatkan dan berikan antihistamin, sambil
observasi ketat. Jika tidak berhasil transfusi dihentikan.
d. Pada edema angioneuritik, bronkospasme, atau syok anafilaktik transfusi
dihentikan. penanganannya dengan pemeberian adrenalin dan
kortikosteroid, sedangkan pada bronkospasme dapat diberikan aminofilin
intravena.
Syok anafilaktik merupakan keadaan gawat darurat yang harus ditangani
seperti halnya syok anafilaktik karena sebab lain.
Daftar Pu staka
1. Harmono M.T; Pencegahan dan penangan Komplikasi Transfusi darah,
Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Dasar, jilid II, edisi IV, Jakarta
2006, hal 691-7
2. I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas, UPT Penerbit
UniversitasUdayana, 201,hal244-50
3. Regan F, Taylor C. Recent Development: Blood Transfusion Medicine:
BMJ 2002;325;143-147
4. Madjpour C,Sphan D.R:allogeneic Red Blood Cell Transfusion :
Efficacy,Risk, Alternatives and Indications, British Journal of anaesthesia
95(1) :33-42 (2005)
5. Schoefer M.L.Transfusion of Blood and Blood Component; in Wintrobe’s
Clinical hematology, ninth edition, Philadelphia London, 1993, p651 – 89
6. Cullough J.M ; Tranfusion Medicine; in : Blood principles and practice of
Hematology,second edition : Robert I.Het al, Lippincot William &
Wilkins2003;p2011-67
TROMBOSIS VENA DALAM
(DEEP VEINS TROMBHOSIS)

BATASAN
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.
tombosis vena dalam adalah terbentuknya bekuan dalam pembuluh darah vena,
umumnya terbentuk pada kaki, tetapi juga dapat terbentuk pada sinus cerebri,
lengan, retina, mesenterium.
ETIOLOGI
Faktor risiko terjadinya trombosis vena dalam :
Operasi umum maupun operasi orthopedic, artroskopi, trauma, keganasan,
immobilasi, sepsis, gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, obesitas, pemakaian
kontrasepsi oral, estrogen, polisitemia, riwayat trombosis dalam keluarga, sindrom
antifosfolipid, resistensi protein C, sticky platelet syndrome, gangguan protein C
dan S, gangguan anti trombin, gangguan heparin kofaktor II, gangguan
plasminogen, gangguan plasminogen activator inhibitor, gangguan factor XII,
disfibrinogenemia, homositeinemia, sindrom hiperviscousitas, sindrom
leukostasis.
EPIDEMIOLOGI
Insiden di negara berkembang 1/1000 orang. Kepustakaan lain
melaporkan 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun
diperkirakan 200 per 100. 000 penduduk. Demikian pula pada populasi dengan
resiko tinggi insiden DVT jauh lebih tinggi. Pada pasien yang menjalani operasi,
di Eropa kejadian DVT 30%, 16 % di Amerika. Kejadian DVT subklinik pada
kohort resiko tinggi seperti operasi umum, stroke atau pasien ortopedi berkisar
antara 14 –84%.
Patogenesis
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan
mekanisme protektif terganggu. Trombus vena terutama terbentuk pada daerah
yang stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah besar dan sedikit
trombosit.
Manifestasi klinik
Tanda-tanda klinis yang klasik jarang ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah
edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah
superficial.
Pemeriksaan penunjang :
1. Pada pemeriksaan hematology didapatkan peningkatan D-dimer dan
peningkatan anti trombin. Sensitif tapi tidak spesifik, lebih berperan untuk untuk
menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.
2. Pemeriksaan radiologis : venograpfi/plebografi, USG doppler (duplex
scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography ( IPG) dan MRI.
MRI umumnya untuk diagnosis DVT pada perempuan hamil atau DVT didaerah
pelvis, iliaka, dan vena kava dimana USG dopler menunjukkan hasil negatif.
Tabel 1. klinikal model for predicting pretest probability of DVT

karakteristik klinis score


kanker aktif ( dlm pengobatan, atau paliatif) 1
paralisis, paresis, atau immobilisasi ektremitas bawah 1
bed ridden > 3 hr, operasi besar dlm waktu < 12 mggu yang memerlukan
general atau anestesi regional 1
nyeri tekan lokal sepanjang distribusi system vena dalam tertentu 1
pembengkakan pada seluruh kaki 1
pembengkakan > 3 cm drpd sisi yang tidak sakit 1
( pengukuran dilakukan 10 cm ibawah tuberositas tibia)
pitting edema pada sisi yang sakit 1
kolateral vena superfisial ( bukan varises) 1
riwayat DVT sebelumnya 1
diagnosis alternative sama halnya seperti DVT -2
score 2 atau lebih = kemungkinan DVT
score < 2 = kemungkinan bukan DVT
pada pasien dengan simptom pada kedua kaki, digunakan ekstremitas yang lebih
simptomatis.
Algoritme diagnosis DVT memakai test D-dimer dan USG pada pasien dengan
kecurigaan DVT
pretest probabiliti

DVT unlikely DVT likely


score <= 1 score >1

tes D-dimer
test D-dimer

+ - + -
ultrasonography bukan DVT ultrasonography ultrasonography
-
+ +
- + + -
obati bukan
dengan DVT
antikoa ulang USG 1 minggu obati dengan bkn DVT
gulan kmd antikoagulan

- +

bukan
DVT

KOMPLIKASI
Kematian karena emboli paru, post trombotic syndrome berupa hipertensi
vena kronis menyebabkan nyeri tungkai, pembengkakan, hiperpigmentasi, ulkus,
gangrene vena, lipodermatosclerosis.

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Penyebab pembengkakan tungkaik bawah adalah :
Vena : deep vein trombosis, suferficial tromboflebitis, post trombotic syndrome,
chronic venous insufficiency,venous obstruction.
Dari sumber lain : cellulitis, baker’s cyst, Torn Gastrocnemius muscle, fracture,
hematome, acute arterial ischemia, lymphoedema, hypoproteinemia (liver
chirrosis, nefrotik sindrom).
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut :
- menghentikan bertambahanya trombus,
- membatasi bengkak progresif pada tungkai
- melisiskan atau membuang bekuan darah ( trombektomi)dan mencegah
disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis dikemudian hari
- mencegah emboli
1. Antikoagulan
 Unfractinated heparin : bolus 80 IU/kgbb/jam iv dilanjutkan 18
iu/kgBB/jam dengan
 Pemantauan activated partial tromboplastin time (APTT) sekitar 6 jam
setelah bolus,
 Target APTT 1,5 – 2,5 kali nilai kontrol, selanjutnya dipantau setiap hari.
 Sebelum memulai terapi heparin , APTT, masa protrombin (Prothrombin
time/PT) dan jumlah trombosit diperiksa, terutama pada pasien d4engan
gangguan faal hati dan ginjal
 Heparin berat molekul rendah ( LMWH) diberikan 1 –2 kali perhari secara
subkutan,
 Antikoagulan oral, warfarin atau coumarin/derrivatnya bersama-sama saat
awal terapi heparin dengan pemantauan INR ( international normalised
ratio).
 LMWH minimal 5 hari dan dihentikan jika antikoagulan oral mencapai
target INR 2-3 dalam 2 hari berturut-tururt.
 Lama pemberian antikoagulan bervariasi tergantung faktor resiko DVT.
Faktor risiko reversibel : minimal 6 minggu sampai 3 bulan
Faktor resiko idiopatik : minimal 6 bulan
faktor risiko diturunkan : sampai seumur hidup.
2. Terapi trombolitik
 Bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat.
 Efektif hanya pada fase awal,
 Risiko perdarahan 3x lebih besar dibanding dengan antikoagulan.
 DVT dengan oklusi total terutama daerah ileofemoral.
3. Trombektomi :
 Pilihan pada trombosis ileofemoral akut , kurang dari 7 hari
4. Filter vena kava Inferior
 Pada DVT diatas lutut,
 Pada kasus dimana antikoagulan merupakan kontra indikasi
 Gagal mencegah tromboemboli berulang.
PROGNOSIS
 Dapat fatal bila terjadi emboli paru,
 Kemungkinan reccurent jika faktor risiko tidak diatasi atau diketahui.
MONITORING
 Monitoring INR , PTT, APTT selama terapi antikoagulan
 Monitoring tanda- tanda rekurensi.

Daftar Pustaka
1. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam danEmboli Paru,
Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W
2. Joffe H.V, Goldhaber S.Z, Upper Extremity Deep Vein Thrombosis,
Circulation,2002;106:1874-1880
3. Kelly J, Rudd A, Lewis R.R,Hunt B.J. Screening for subclinical deep vein
thrombosis. QJ Med 2001;94:511-519
4. Scarvelis D, Wells P.S. Diagnosis and treatment of deep vein trombosis. CMAJ.
October 24,2006.175(9)/1087
5. Tovey C,Wyatt S. Diagnosis, investigation,and management of deep vein
thrombosis.BMJvolume326,31 may 2003
6. Well P.S, Owen C, Doucette S, et all. Does this patient have deep vein
thrombosis?. JAMA, january 11,2006vol 295 no. 2
7. Mustafa B.O, Rathbun S.W, et all . Sensitifity and specificity of
ultrasonography in diagnosis of deepvein trombosis, Arch Intern
Med.2002;162:401-404

Anda mungkin juga menyukai