Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

HIPERTENSI RESISTEN

Disusun oleh:
Syafira Alyani
030.15.191

Pembimbing:
dr. Tanto Budiartho, Sp. JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 15 JULI – 21 SEPTEMBER 2019
JAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Hipertensi Resisten” tepat pada waktunya. Penulisan referat ini merupakan
salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit TNI AL
Dr. Mintohardjo.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis menyelesaikan referat ini:
1. dr. Tanto Budiartho, Sp.JP selaku pembimbing yang telah memberi
masukan dan saran serta memberikan bimbingan dalam penyusunan
referat ini selama penulis menempuh kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
2. Teman-teman yang turut memberikan masukan dan membantu
penyelesaian referat ini

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari
sempurna. Atas semua keterbatasan yang penulis miliki, maka semua saran dan
kritik yang membangun akan penulis terima untuk perbaikan diwaktu yang akan
datang. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Jakarta, Agustus 2019

Syafira Alyani
030.15.191

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul:

Hipertensi Resisten

Nama: Syafira Alyani


NIM: 030.15.191

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari ............, Tanggal…………… 2019

Pembimbing,

dr. Tanto Budiartho, Sp. JP

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... ii
DAFTAR ISI ….................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
2.1 Definisi Hipertensi Resisten.......................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................. 3
2.3 Etiologi Hipertensi Resisten.......................................................... 5
2.4 Patofisiologi Hipertensi Resisten .................................................. 6
2.5 Diagnosis Hipertensi Resisten ...................................................... 7
2.6 Tatalaksana Hipertensi Resisten ................................................. 11
2.7 Prognosis .................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan beban kesehatan terbesar bagi masyarakat diseluruh dunia.(2)


Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, secara
global merupakan penyebab utama peningkatan mortalitas kardiovaskular, kematian
mendadak, stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, fibrilasi atrium, penyakit
arteri perifer, dan insufisiensi ginjal.(5) Hipertensi juga merupakan beban bagi biaya
kesehatan. Hipertensi dan berbagai komplikasinya menghabiskan 25% dari seluruh
biaya kesehatan Negara di Eropa dan Asia Tengah.(2)
Hipertensi dapat dikatakan resisten bila tekanan darah yang terus menerus berada
diatas target pada pasien hipertensi meskipun sudah diberikan 3 obat anti hipertensi dari
golongan berbeda dan salah satunya berupa diuretik.(1) Hipertensi resisten lebih berisiko
untuk mengalami kejadian kardiovaskular dan kerusakan organ target.(2) Penyebab
hipertensi resisten bervariasi mulai dari pseudoresisten, ketidakpatuhan berobat hingga
adanya hipertensi sekunder.(1)
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013 sebesar 25,8%.
Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran
meningkat dengan bertambahnya serta cenderung lebih tinggi pada perempuan dan pada
penduduk yang tinggal di perkotaan. Prevalensi hipertensi cenderung juga lebih tinggi
pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan
akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik.(7) Sampai saat ini prevalensi
hipertensi resisten di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Oleh karena tingginya prevalensi hipertensi di Indonesia dan tingginya risiko yang
dapat ditimbulkan oleh hipertensi resisten, perlu dilakukan deteksi hipertensi resisten
dengan pengukuran tekanan darah secara akurat yang memenuhi standar baku, serta
mengidentifikasi penyebab dari hipertensi resisten sehingga dapat dilakukan tatalaksana
yang optimal untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas penderita hipertensi resisten.
(2)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi Resisten


Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang tinggi dan menetap
diatas target pada pasien hipertensi meskipun sudah menggunakan tiga obat
antihipertensi dari golongan yang berbeda, umumnya termasuk Calcium Channel
Blocker (CCB), Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor, Angiotensin
Receptor Blocker (ARB), dan diuretik. Hipertensi resisten ini merujuk pada pasien
hipertensi terkontrol dan pasien hipertensi tidak terkontrol, tergantung pada jumlah
obat antihipertensi yang digunakan. (1)
Defini hipertensi resisten oleh American Heart Association (AHA) tidak
membedakan antara hipertensi resisten dan pseudo-resisten sehingga disebut sebagai
apparent-resistant hypertension. Hipertensi pseudo-resisten didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah klinik yang disebabkan hipertensi white-coat,
pengukuran tekanan darah yang tidak memenuhi standar atau tidak patuh pada
pengobatan. Hipertensi pseudo-resisten dieksklusi dengan monitor tekanan darah
ambulatory 24 jam, pengukuran tekanan darah klinik yang memenuhi standar dan
konfirmasi kepatuhan pengobatan sehingga kemudian dapat dibedakan dengan true-
resistant hypertension. Oleh karena itu, true-resistant hypertension didefinisikan
sebagai tekanan darah klinik >140/90 mmHg yang diukur sesuai standar baku
dengan rata-rata tekanan darah ambulatorik 24 jam >130/80 mmHg pada pasien
yang dikonfirmasi menggunakan 3 obat antihipertensi dan salah satunya berupa
diuretik.(6)
Sebelum mendiagnosis pasien sebagai hipertensi resisten, penting untuk
mengukur tekanan darah dengan akurat serta menyingkirkan hipertensi resisten
palsu dan hipertensi sekunder. Oleh karena itu pengukuran tekanan darah harus
memenuhi standar baku, baik lokasi, metode, maupun alatnya.(2)

2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013 sebesar
25,8%. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan
pengukuran meningkat dengan bertambahnya serta cenderung lebih tinggi pada
perempuan dan pada penduduk yang tinggal di perkotaan. Prevalensi hipertensi
cenderung juga lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok
tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. (7)

Tabel 1. Prevalensi hipertensi pada usia ≥ 18 tahun menurut Provinsi Indonesia


2013(7)

3
Tabel 2. Prevalensi hipertensi menurut karakteristik, Indonesia 2013(7)

Prevalensi hipertensi resisten di Indonesia belum diketahui secara pasti.


Berdasarkan penelitian meta-analisis oleh Noubiab JJ et al, didapatkan prevalensi
global hipertensi resisten sebesar 10,3% untuk true-resistant hypertension, 14,7%
untuk apparent-resistant hypertension, dan 10,3% untuk pseudo-hypertension.
True-resistant hypertension memiliki prevalensi yang cukup tinggi sehingga penting
untuk eksklusi pasien pseudo-resistant hypertension dengan ABPM.
Pada populasi khusus yang diterapi dengan antihipertensi, prevalensi true-
resistant hypertension didapatkan sebesar 22,9% pada pasien chronic kidney
disease (CKD), 56,9% pada pasien dengan transplantasi ginjal, dan 12,3% pada
pasien lanjut usia. Beban hipertensi resisten lebih tinggi pada pasien dengan CKD.(4)

4
2.3 Etiologi Hipertensi Resisten
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan berkurangnya respon
terhadap terapi hipertensi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah untuk
menetapkan kondisi hipertensi resisten dengan pengukuran tekanan darah diklinik
daan diluar klinik.(3)

Tabel 3. Penyebab Respon Terapi Hipertensi Tidak Adekuat(2,3)

Penyebab Respon Terapi Hipertensi Tidak Adekuat


Pseudoresisten
• White-coat hypertension
• Pseudohipertensi pada lansia

Ketidakpatuhan berobat
Penyebab yang berkaitan dengan obat
• Dosis terlalu rendah
• Kombinasi tidak tepat
• Inaktivasi obat cepat (Contoh: hidralazin)
• Interaksi obat
- NSAID
- Simpatomimetik (Dekongestan, kafein, kokain)
- Kontrasepsi oral
- Licorice (dapat ditemukan pada tembakau kunyah)
- Steroid adrenal
- Siklosporin, takrolimus
- Eritropoietin

Kondisi terkait
• Merokok
• Obesitas
• Sleep apnea
• Resistensi insulin atau hiperinsulinemia

5
• Intake etanol >1 oz per hari
• Hiperventilasi yang diinduksi oleh ansietas atau serangan panik
• Nyeri kronik
• Vasokonstriksi intens (fenomena Raynaud, arteritis)

Penyebab lain hipertensi (hipertensi sekunder)


Overload cairan
• Konsumsi garam berlebih
• Kerusakan ginjal progresif (nefrosklerosis)
• Retensi cairan dari penurunan tekanan darah
• Terapi diuretik tidak adekuat

2.4 Patofisiologi Hipertensi Resisten


Obesitas, obstructive sleep apnea, dan kelebihan aldosteron merupakan
komorbiditas yang umum pada hipertensi resisten. Hiperaktivitas sistem saraf
simpatis merupakan karakteristik umum pada kondisi diatas yang menyokong peran
krusialnya dalam patofisiologi resistensi terhadap pengobatan antihipertensi.
Pada pasien obesitas, beberapa mekanisme yang dikatakan dapat menyebabkan
aktivasi sistem saraf simpatis berupa peningkatan konsentrasi leptin,
hiperinsulinemia, obstructive sleep apnea, menurunnya sensitivitas barorefleks
arterial, peningkatan angiotensin plasma, penyakit ginjal yang berikaitan dengan
obesitas, dan kurangnya olahraga. Pada pasien dengan obstructive sleep apnea,
peningkatan level norepinefrin, pengerasan pembuluh darah, aktivasi sistem renin
angiotensin, disfungsi endotel, stress oksidatif, dan hiperaktivitas sistem saraf
simpatis merupakan penjelasan dari terjadinya hipertensi. Aldosteron berperan
dalam hipertensi melalui pengaturan sodium dan kalium di ginjal yang mengarah ke
ekspansi volume intravaskular dan hipokalemia. Aldosteron juga berperan dalam
meningkatkan aktivasi sistem saraf simpatis. Reseptor mineralokortikoid
diekspresikan dibanyak tipe sel, termasuk neuron spesifik. Reseptor

6
mineralokortikoid di nucleus paraventrikular terlibat dalam aktivitas neuron yang
diperbesar yang mendorong aktivitas simpatis.(8)

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Reisten(8)

2.5 Diagnosis Hipertensi Resisten


Evaluasi pasien hipertensi resisten dimulai dari konfirmasi true-resistance
terhadap terapi, identifikasi penyebab yang berkontribusi pada true-resistance
(termasuk penyebab sekunder hipertensi), serta dokumentasi komplikasi penyakit
hipertensi. Peninjauan komorbiditas dan komplikasi hipertensi penting dilakukan
karena akan mempengaruhi terapi antihipertensi yang akan diberikan dan tekanan
darah yang ditargetkan.
1. Riwayat medis
Dokumentasi durasi, keparahan, dan sifat hipertensi beserta kepatuhan
berobat dan terapi antihipertensi, efek samping yang ditimbulkan oleh terapi
antihipertensi dan preskripsi obat saat ini dan terapi lain yang dapat

7
meningkatkan tekanan darah atau mengganggu efek obat antihipertensi
sangat penting untuk diketahui. Klinisi juga harus secara aktif menanyakan
faktor-faktor yang dapat membuat pasien tidak patuh untuk berobat seperti
efek samping yang ditimbulkan obat, ataupun masalah ekonomi. Wawancara
juga harus diarahkan untuk mengidentifikasi hipertensi sekunder.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah. Selain itu,
pemeriksaan fisik lain harus berorientasi pada kerusakan target organ dan
kemungkinan penyebab sekunder. Bila terdapat penyakit vaskular, termasuk
di retina, harus dievaluasi dengan funduskopi dan pemeriksaan kualitas nadi
karotis dan perifer dan auskultasi bruits. Meskipun tidak spesifik, bruits
abdominal meningkatkan kemungkinan terdapatnya obstruksi arteri renalis.
Jika dicurigai terdapat penyakit oklusi aorta atau koarktasio aorta, tekanan
darah harus diukur pada dua lokasi, yaitu lengan dan paha (pada pasien
berusia <30 tahun). Jika tekanan darah sistolik di paha lebih rendah >10
mmHg dibandingkan lengan ketika pasien dalam posisi supine, harus
dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk koarktasio aorta. Hiperkortisolisme
dapat dicurigai pada pasien dengan obesitas, diabetes mellitus, hipertensi,
depresi, dan kerapuhan tulang yang disertai striae abdomen, fasies ‘moon’,
dan deposisi lemak intraskapular.
3. Monitor tekanan darah diluar klinik
Perbedaan hasil pengukuran tekanan darah di klinik dan diluar klinik harus
diperhatikan. Pengukuran tekanan darah diluar klinik seperti pengukuran
tekanan darah dilakukan oleh pasien sendiri di rumah (home blood pressure
monitoring) atau dengan menggunakan alat bantu ABPM (Ambulatory Blood
Pressure Monitoring) dapat menunjukkan adanya white-coat hypertension.
White-coat hypertension harus dipertimbangkan pada pasien dengan tekanan
darah yang normal atau rendah saat diukur sendiri, tidak terdapatnya
keterlibatan target organ (contoh: retinopati, chronic kidney disease, atau
hipertrofi ventrikel kiri) dan ketika terdapat gejala terapi antihipertensi yang
berlebihan.

8
4. Evaluasi biokemikal
Pemeriksaan laboratorium pada pasien hipertensi resisten meliputi profil
metabolik dasar (sodium, potassium, klorida, bikarbonat, glukosa, nitrogen
urea darah, dan kreatinin), urinalisis, aldosteron plasma pagi dan PRA untuk
skrining aldosteronisme primer. Pengukuran metanefrin plasma atau
metanefrin urin 24-jam merupakan uji skrining yang efektif pada pasien
yang dicurigai memiliki paraganglioma atau pheochromocytoma.
5. Pencitraan non-invasif
Pencitraan non-invasif bermanfaat untuk membantu menentukan penyebab
hipertensi sekunder. Pada pasien dengan risiko penyakit renovaskular tinggi
dapat dilakukan pencitraan untuk evaluasi stenosis arteri renal. Pada pasien
dengan kecurigaan koartasio aorta juga dapat dilakukan foto thoraks dan
pencitraan aorta dengan echocardiography, CT Scan atau MRI.

Tabel 5. Penyebab Sekunder pada Pasien Hipertensi(2)

Kondisi Gejala Klinis Deteksi Awal


Umum
Obstructive sleep Obesitas, lingkar leher Polisomnografi
apnea >17”, mengantuk sepanjang
hari, mendengkur
Hiperaldosteronisme Kelelahan, hipokalemia Perbandingan plasma
primer serum aldosteron (off
spironolactone)
Stenosis arteri ginjal Flash pulmonary edema, Pencitraan arteri ginjal: CT,
abdominal bruit MRI, USG, angiografi
Renal parenchymal Proteinuria, hematuria Serum kreatinin,
disease perbandingan albumin-
kreatinin, HbA1C
Tidak Umum
Hipotiroid dan Tanda di mata, Stimulasi hormone tiroid,

9
hipertiroid kenaikan/penurunan berat free throxine
badan, intoleransi pada
panas/dingin, gagal jantung
Koarktasio aorta Perlambatan radio- Foto thoraks, pencitraan
radial/radio-femoral; aorta: echocardiography,
hipertensi pada dewasa CT, MRI
muda
Cushing’s syndrome Abdominal striae, obesitas Urin kortisol 24 jam, tes
sentripetal, hirsutisme, deksametason dosis rendah,
deposisi lemak serum/saliva kortisol di
interskapular malam hari

10
Gambar 2. Algoritma Evaluasi Hipertensi Resisten(1)

2.5 Tatalaksana Hipertensi Resisten


A. Intervensi Gaya Hidup
Diet rendah garam (<2400 mg/hari) merupakan intervensi utama yang
dilakukan dalam manajemen hipertensi resisten. Intervensi lain yang dilakukan
adalah olahraga aerobik 30 menit/hari minimal 4-5x/minggu, penurunan berat
badan dan menghindari stress fisik maupun mental.
B. Terapi farmakologi
Ketika segala bentuk hipertensi teridentifikasi, terutama yang disebabkan
oleh endokrin telah diekslusi, kontribusi white-coat hypertension dan hipertensi

11
semu telah dipertimbangkan, terapi untuk mengontrol tekanan darah pada
hipertensi resisten dapat dilakukan. Tiga obat antihipertensi dengan mekanisme
berbedada, umumnya berupa CCB, bloker sistem rennin-angiotensin (ACE
inhibitor atau ARB) dan diuretik, seharusnya sudah dikonsumsi selama 4-6
minggu untuk menegakkan diagnosis hipertensi resisten. Ketiga obat tersebut
diberikan pada dosis maksimal atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi.
Diuretik yang dipakai harus disesuaikan dengan fungsi ginjal pasien.
Hydrochlorotiazide tidak menimbulkan natriuresis yang dapat diprediksi
dibawah GFR 45 mL/min/1.73m2, tetapi chlorthalidone menimbulkan natriuresis
pada eGFR 30mL/min/1.72m2. Thiazide dan thiazide-like diuretic tepat untuk
eGFR 25 hingga 30 mL/min/1.73m2. Pada nilai eGFR yang lebih rendah atau
pada keadaan hipoalbuminemia (serum albumin <3.0 g/L), diuretik loop long-
acting seperti torsemide sebaiknya digunakan daripada agen diuretik short-
acting seperti bumetanide atau furosemide. Pilihan diuretik sangat penting
karena kelebihan cairan dan tidak patuh diet rendah sodium merupakan
penyebab umum hipertensi resisten. Diuretik dengan evidence-based terbesar
untuk mengurangi pengeluaran kardiovaskular adalah diuretik thiazide-like
chlortalidone dan indapamide.
Bila target tekanan darah tidak tercapai, dapat diberikan terapi keempat
berupa antagonis reseptor mineralokortikoid yaitu spironolakton dan epleneron.
Di Indonesia, hanya ada kelompok spironolakton. Dosis maksimal yaitu 50
mg/hari untuk 8-12 minggu. Tetapi, penggunaan spironolakton sebagai obat
keempat dibatasi oleh masalah tolerabilitas pada beberapa pasien, termasuk
terdapatnya hipokalemia pada pasien CKD dengan eGFR <45 mL/min/1.73m2
atau batas potasium serum >4.5 mEq/L. Spironolakton memiliki efek hormonal
yang lebih mencolok dibandinkan epleneron. Penggunaan jangka panjang dan
dosis tinggi dapat menimbulkan ginekomastia dan disfungsi ereksi pada pria dan
ketidakteraturan siklus menstruasi pada wanita.
Pemberian terapi kelima tergantung pada dorongan simpatik yang dapat
dilihat sebagian melalui denyut jantung. Kecuali denyut jantung <70 menit,
diberikan ß-blocker generasi kardioselektif yang bersifat vasodilator. Di

12
Indonesia beredar golongan carvedilol dan nebivolol. Dosis maksimal carvedilol
25-50 mg dan nebivolol 5-10 mg. Obat ß-blocker dipakai terutama bila ada
kelainan jantung iskemik yang menyertai dan untuk mencegah atau mengontrol
aritmia seperti fibrilasi atrium yang sering terjadi pada penderita hipertensi.
Jika tekanan darah masih tidak terkontrol dengan terapi yang telah dijelaskan
diatas, pertimbangkan unutk menambah hydralazine dan pada kasus gagal
jantung dikombinasikan dengan nitrat. Nitrat dipilih pada keadaan ini karena
dapat membantu mengembalikan siklus Ca2+ dan performa kontraktil jantung
serta mengontrol produksi superoksida di kardiomyosit terisolasi. Selain itu,
hydralazine juga mengurangi toleransi nitrat pada keadaan ini. Perlu diingat
bahwa hydralazine menyebabkan peningkatan tonus simpatik dan aviditas
sodium sehingga harus digunakan pada terapi diuretik dan ß-blocker yang tepat.
Dosis total hydralazine per hari harus <150 mg untuk mencegah SLE yang
diinduksi obat.
Minoxidil bisa digunakan bila hydralazine gagal. Minoxidil tidak ditoleransi
dengan baik. Minooxidil menyebabkan hirsutisme. Obat ini harus diberikan
secara minimal dalam 2x/hari dan menyebabkan aviditas sodium yang besar
dengan retensi cairan da peningkatan tonus simpatik. Oleh karena itu, loop
diuretik dan β-blocker diperlukan pada semua kasus. Pada kasus ini, minoxidil
menurunkan tekanan darah secara efektif pada sebagian besar kasus.

13
Gambar 3. Algoritma Manajemen Hipertensi Resisten(1)

14
C. Terapi dengan penggunaan alat
- Denervasi renal
Tindakan ini dilakukan dengan cara “membakar” saraf-saraf simpatis di
arteri renalis dengan menggunakan kateter. Tindakan ini masih dalam tahap
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifannya dalam menurunkan
tekanan darah.
Studi acak tersamar ganda pertama terhadap terapi ini, SIMPLICTY
HTN-3, menunjukkan efek minimal bahkan tidak memiliki efek terhadap
populasi pasien yang resisten terhadap terapi obat yang parah. Tetapi analisis
post-hoc SIMPLICTY HTN-3 menunjukkan bahwa penurunan tekanan
darah terjadi pada pasien denervasi yang lebih luas daripada denervasi
dengan derajat yang lebih rendah.
Data terbaru dari studi SPYRAL HTN-OFF MED menggunakan kateter
yang berbeda yang dapat melakukan denervasi lebih luas menunjukkan
penurunan signifikan pada tekanan darah. Pada saat ini, prosedur denervasi
renal sebagai terapi hipertensi resisten tidak dilakukan hampir diseluruh
negara kecuali pasien yang mengikuti program penelitian.

Gambar 4. Mekanisme denervasi renal dalam penurunan tekanan darah(5,9)

15
- Terapi aktivasi baroreseptor karotis
Terapi aktivasi baroreseptor karotis merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari lead aktivasi barorefleks yang diletakkan dekat sinus karotis,
sebuah generator denyutan yang dapat ditanam, dan sistem programming
eksternal. Modalitas ini mengaktivasi baroreseptor secara elektronik yang
memberikan tanda ke otak untuk menyusun respon multisistem terhadap
gangguan yang berhubungan dengan overaktivitas saraf simpatis, seperti
hipertensi, gagal jantung, dan aritmia. Konsekuensi stimulasi sinus karotis
berupa penurunan aktivitas sistem saraf simpatis dan peningkatan aktivitas
nervus vagus. Sehingga, denyut jantung melambat dan waktu pengisian
ventrikel lebih panjang dan mengurangi beban kerja dan kebutuhan energy
jantung. Sebagai tambahan terjadi dilatasi arteri, berkurangnya afterload dan
meningkatkan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan natriuresis.
Data terbaru penelitian di Eropa, CALM-FIM_EUR (Controlling and
Lowering Blood Pressure With the MOBIUSHD), menunjukkan amplifikasi
barorefleks endovascular dengan alat MobiusHD menunjukkan penurunan
tekanan darah pada pasien dengan hipertensi resisten. MobiusHD merupakan
alat yang dapat ditanam di endovascular dan bekerja dengan cara
meregangkan arteri karotis dengan balon dan mengaktivasi baroreseptor
untuk menurunkan tekanan darah.

16
Gambar 5. Mekanisme aktivasi barorefleks karotis dalam penurunan
tekanan darah(5,9)

2.6 Prognosis
Hipertensi resisten meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular akibat adanya
riwayat hipertensi tidak terkontrol jangka panjang. Pasien hipertensi resisten juga
sangat berisiko untuk mengalami kerusakan organ target seperti, hipertrofi ventrikel
kiri, penebalan carotid intima media, plak carotid, kerusakan retina, dan CKD
dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi terkontrol.(5,6,10)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Carey RM, Calhoun DA, Bakris GL, et al; American Heart Association
Professional/Public Education and Publications Committee of the Council on
Hypertension; Council on Cardiovascular and Stroke Nursing; Council on
Clinical Cardiology; Council on Genomic and Precision Medicine; Council on
Peripheral Vascular Disease; Council on Quality of Care and Outcomes
Research; and Stroke Council. Resistant hypertension: detection, evaluation,
and management: a scientific statement from the American Heart Association.
Hypertension. 2018;72:e53–e90. doi: 10.1161/HYP.0000000000000084
2. Roesma J. Buku Ajar Hipertensi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi
Indonesia. 2017; 154
3. Kaplan NM, Victor RG, Flynn JT. Kaplan’s Clinical Hypertension 11th Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015; 240
4. Noubiap JJ, Nansseu JR, Nyaga UF, Sime PS, Francis I, Bigna JJ. Global
prevalence of resistant hypertension: a meta-analysis of data from 3.2 million
patients. Heart 2018;0:1–8. doi:10.1136/heartjnl-2018-313599
5. Rampengan H. Hipertensi Resisten. Jurnal Kedokteran YARSI 2015; 23 (2) :
114-127
6. Judd E, Calhoun DA. Apparent and true resistant hypertension: definition,
prevalence and outcomes. J Hum Hypertens. 2014 August ; 28(8): 463–468.
doi:10.1038/jhh.2013.140.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Litbangkes, Depkes RI. 2013; 88-90
8. Tsioufis C, Kordalis A, Flessas D, Anastasopaulos I, Tsiachris D,
Papademetriou V, Stefanadis C. Pathophysiology of Resistant Hypertension:
The Role of Sympathetic Nervous System. International Journal of Hypertension.
2011;
9. Guido G, Giuseppe M. New therapeutic approaches for resistant hypertension.
JNephrol 2012; 25(03): 276-81

18
10. Calhoun D. Refractory and Resistant Hypertension: Antihypertensive Treatment
Failure versus Treatment Resistance. Korean Circ J 2016;46(5):593-600

19

Anda mungkin juga menyukai