HIPERTENSI RESISTEN
Disusun oleh:
Syafira Alyani
030.15.191
Pembimbing:
dr. Tanto Budiartho, Sp. JP
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Hipertensi Resisten” tepat pada waktunya. Penulisan referat ini merupakan
salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit TNI AL
Dr. Mintohardjo.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis menyelesaikan referat ini:
1. dr. Tanto Budiartho, Sp.JP selaku pembimbing yang telah memberi
masukan dan saran serta memberikan bimbingan dalam penyusunan
referat ini selama penulis menempuh kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
2. Teman-teman yang turut memberikan masukan dan membantu
penyelesaian referat ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari
sempurna. Atas semua keterbatasan yang penulis miliki, maka semua saran dan
kritik yang membangun akan penulis terima untuk perbaikan diwaktu yang akan
datang. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Syafira Alyani
030.15.191
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
Referat
Judul:
Hipertensi Resisten
Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... ii
DAFTAR ISI ….................................................................................................... iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013 sebesar
25,8%. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan
pengukuran meningkat dengan bertambahnya serta cenderung lebih tinggi pada
perempuan dan pada penduduk yang tinggal di perkotaan. Prevalensi hipertensi
cenderung juga lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok
tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. (7)
3
Tabel 2. Prevalensi hipertensi menurut karakteristik, Indonesia 2013(7)
4
2.3 Etiologi Hipertensi Resisten
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan berkurangnya respon
terhadap terapi hipertensi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah untuk
menetapkan kondisi hipertensi resisten dengan pengukuran tekanan darah diklinik
daan diluar klinik.(3)
Ketidakpatuhan berobat
Penyebab yang berkaitan dengan obat
• Dosis terlalu rendah
• Kombinasi tidak tepat
• Inaktivasi obat cepat (Contoh: hidralazin)
• Interaksi obat
- NSAID
- Simpatomimetik (Dekongestan, kafein, kokain)
- Kontrasepsi oral
- Licorice (dapat ditemukan pada tembakau kunyah)
- Steroid adrenal
- Siklosporin, takrolimus
- Eritropoietin
Kondisi terkait
• Merokok
• Obesitas
• Sleep apnea
• Resistensi insulin atau hiperinsulinemia
5
• Intake etanol >1 oz per hari
• Hiperventilasi yang diinduksi oleh ansietas atau serangan panik
• Nyeri kronik
• Vasokonstriksi intens (fenomena Raynaud, arteritis)
6
mineralokortikoid di nucleus paraventrikular terlibat dalam aktivitas neuron yang
diperbesar yang mendorong aktivitas simpatis.(8)
7
meningkatkan tekanan darah atau mengganggu efek obat antihipertensi
sangat penting untuk diketahui. Klinisi juga harus secara aktif menanyakan
faktor-faktor yang dapat membuat pasien tidak patuh untuk berobat seperti
efek samping yang ditimbulkan obat, ataupun masalah ekonomi. Wawancara
juga harus diarahkan untuk mengidentifikasi hipertensi sekunder.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah. Selain itu,
pemeriksaan fisik lain harus berorientasi pada kerusakan target organ dan
kemungkinan penyebab sekunder. Bila terdapat penyakit vaskular, termasuk
di retina, harus dievaluasi dengan funduskopi dan pemeriksaan kualitas nadi
karotis dan perifer dan auskultasi bruits. Meskipun tidak spesifik, bruits
abdominal meningkatkan kemungkinan terdapatnya obstruksi arteri renalis.
Jika dicurigai terdapat penyakit oklusi aorta atau koarktasio aorta, tekanan
darah harus diukur pada dua lokasi, yaitu lengan dan paha (pada pasien
berusia <30 tahun). Jika tekanan darah sistolik di paha lebih rendah >10
mmHg dibandingkan lengan ketika pasien dalam posisi supine, harus
dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk koarktasio aorta. Hiperkortisolisme
dapat dicurigai pada pasien dengan obesitas, diabetes mellitus, hipertensi,
depresi, dan kerapuhan tulang yang disertai striae abdomen, fasies ‘moon’,
dan deposisi lemak intraskapular.
3. Monitor tekanan darah diluar klinik
Perbedaan hasil pengukuran tekanan darah di klinik dan diluar klinik harus
diperhatikan. Pengukuran tekanan darah diluar klinik seperti pengukuran
tekanan darah dilakukan oleh pasien sendiri di rumah (home blood pressure
monitoring) atau dengan menggunakan alat bantu ABPM (Ambulatory Blood
Pressure Monitoring) dapat menunjukkan adanya white-coat hypertension.
White-coat hypertension harus dipertimbangkan pada pasien dengan tekanan
darah yang normal atau rendah saat diukur sendiri, tidak terdapatnya
keterlibatan target organ (contoh: retinopati, chronic kidney disease, atau
hipertrofi ventrikel kiri) dan ketika terdapat gejala terapi antihipertensi yang
berlebihan.
8
4. Evaluasi biokemikal
Pemeriksaan laboratorium pada pasien hipertensi resisten meliputi profil
metabolik dasar (sodium, potassium, klorida, bikarbonat, glukosa, nitrogen
urea darah, dan kreatinin), urinalisis, aldosteron plasma pagi dan PRA untuk
skrining aldosteronisme primer. Pengukuran metanefrin plasma atau
metanefrin urin 24-jam merupakan uji skrining yang efektif pada pasien
yang dicurigai memiliki paraganglioma atau pheochromocytoma.
5. Pencitraan non-invasif
Pencitraan non-invasif bermanfaat untuk membantu menentukan penyebab
hipertensi sekunder. Pada pasien dengan risiko penyakit renovaskular tinggi
dapat dilakukan pencitraan untuk evaluasi stenosis arteri renal. Pada pasien
dengan kecurigaan koartasio aorta juga dapat dilakukan foto thoraks dan
pencitraan aorta dengan echocardiography, CT Scan atau MRI.
9
hipertiroid kenaikan/penurunan berat free throxine
badan, intoleransi pada
panas/dingin, gagal jantung
Koarktasio aorta Perlambatan radio- Foto thoraks, pencitraan
radial/radio-femoral; aorta: echocardiography,
hipertensi pada dewasa CT, MRI
muda
Cushing’s syndrome Abdominal striae, obesitas Urin kortisol 24 jam, tes
sentripetal, hirsutisme, deksametason dosis rendah,
deposisi lemak serum/saliva kortisol di
interskapular malam hari
10
Gambar 2. Algoritma Evaluasi Hipertensi Resisten(1)
11
semu telah dipertimbangkan, terapi untuk mengontrol tekanan darah pada
hipertensi resisten dapat dilakukan. Tiga obat antihipertensi dengan mekanisme
berbedada, umumnya berupa CCB, bloker sistem rennin-angiotensin (ACE
inhibitor atau ARB) dan diuretik, seharusnya sudah dikonsumsi selama 4-6
minggu untuk menegakkan diagnosis hipertensi resisten. Ketiga obat tersebut
diberikan pada dosis maksimal atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi.
Diuretik yang dipakai harus disesuaikan dengan fungsi ginjal pasien.
Hydrochlorotiazide tidak menimbulkan natriuresis yang dapat diprediksi
dibawah GFR 45 mL/min/1.73m2, tetapi chlorthalidone menimbulkan natriuresis
pada eGFR 30mL/min/1.72m2. Thiazide dan thiazide-like diuretic tepat untuk
eGFR 25 hingga 30 mL/min/1.73m2. Pada nilai eGFR yang lebih rendah atau
pada keadaan hipoalbuminemia (serum albumin <3.0 g/L), diuretik loop long-
acting seperti torsemide sebaiknya digunakan daripada agen diuretik short-
acting seperti bumetanide atau furosemide. Pilihan diuretik sangat penting
karena kelebihan cairan dan tidak patuh diet rendah sodium merupakan
penyebab umum hipertensi resisten. Diuretik dengan evidence-based terbesar
untuk mengurangi pengeluaran kardiovaskular adalah diuretik thiazide-like
chlortalidone dan indapamide.
Bila target tekanan darah tidak tercapai, dapat diberikan terapi keempat
berupa antagonis reseptor mineralokortikoid yaitu spironolakton dan epleneron.
Di Indonesia, hanya ada kelompok spironolakton. Dosis maksimal yaitu 50
mg/hari untuk 8-12 minggu. Tetapi, penggunaan spironolakton sebagai obat
keempat dibatasi oleh masalah tolerabilitas pada beberapa pasien, termasuk
terdapatnya hipokalemia pada pasien CKD dengan eGFR <45 mL/min/1.73m2
atau batas potasium serum >4.5 mEq/L. Spironolakton memiliki efek hormonal
yang lebih mencolok dibandinkan epleneron. Penggunaan jangka panjang dan
dosis tinggi dapat menimbulkan ginekomastia dan disfungsi ereksi pada pria dan
ketidakteraturan siklus menstruasi pada wanita.
Pemberian terapi kelima tergantung pada dorongan simpatik yang dapat
dilihat sebagian melalui denyut jantung. Kecuali denyut jantung <70 menit,
diberikan ß-blocker generasi kardioselektif yang bersifat vasodilator. Di
12
Indonesia beredar golongan carvedilol dan nebivolol. Dosis maksimal carvedilol
25-50 mg dan nebivolol 5-10 mg. Obat ß-blocker dipakai terutama bila ada
kelainan jantung iskemik yang menyertai dan untuk mencegah atau mengontrol
aritmia seperti fibrilasi atrium yang sering terjadi pada penderita hipertensi.
Jika tekanan darah masih tidak terkontrol dengan terapi yang telah dijelaskan
diatas, pertimbangkan unutk menambah hydralazine dan pada kasus gagal
jantung dikombinasikan dengan nitrat. Nitrat dipilih pada keadaan ini karena
dapat membantu mengembalikan siklus Ca2+ dan performa kontraktil jantung
serta mengontrol produksi superoksida di kardiomyosit terisolasi. Selain itu,
hydralazine juga mengurangi toleransi nitrat pada keadaan ini. Perlu diingat
bahwa hydralazine menyebabkan peningkatan tonus simpatik dan aviditas
sodium sehingga harus digunakan pada terapi diuretik dan ß-blocker yang tepat.
Dosis total hydralazine per hari harus <150 mg untuk mencegah SLE yang
diinduksi obat.
Minoxidil bisa digunakan bila hydralazine gagal. Minoxidil tidak ditoleransi
dengan baik. Minooxidil menyebabkan hirsutisme. Obat ini harus diberikan
secara minimal dalam 2x/hari dan menyebabkan aviditas sodium yang besar
dengan retensi cairan da peningkatan tonus simpatik. Oleh karena itu, loop
diuretik dan β-blocker diperlukan pada semua kasus. Pada kasus ini, minoxidil
menurunkan tekanan darah secara efektif pada sebagian besar kasus.
13
Gambar 3. Algoritma Manajemen Hipertensi Resisten(1)
14
C. Terapi dengan penggunaan alat
- Denervasi renal
Tindakan ini dilakukan dengan cara “membakar” saraf-saraf simpatis di
arteri renalis dengan menggunakan kateter. Tindakan ini masih dalam tahap
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifannya dalam menurunkan
tekanan darah.
Studi acak tersamar ganda pertama terhadap terapi ini, SIMPLICTY
HTN-3, menunjukkan efek minimal bahkan tidak memiliki efek terhadap
populasi pasien yang resisten terhadap terapi obat yang parah. Tetapi analisis
post-hoc SIMPLICTY HTN-3 menunjukkan bahwa penurunan tekanan
darah terjadi pada pasien denervasi yang lebih luas daripada denervasi
dengan derajat yang lebih rendah.
Data terbaru dari studi SPYRAL HTN-OFF MED menggunakan kateter
yang berbeda yang dapat melakukan denervasi lebih luas menunjukkan
penurunan signifikan pada tekanan darah. Pada saat ini, prosedur denervasi
renal sebagai terapi hipertensi resisten tidak dilakukan hampir diseluruh
negara kecuali pasien yang mengikuti program penelitian.
15
- Terapi aktivasi baroreseptor karotis
Terapi aktivasi baroreseptor karotis merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari lead aktivasi barorefleks yang diletakkan dekat sinus karotis,
sebuah generator denyutan yang dapat ditanam, dan sistem programming
eksternal. Modalitas ini mengaktivasi baroreseptor secara elektronik yang
memberikan tanda ke otak untuk menyusun respon multisistem terhadap
gangguan yang berhubungan dengan overaktivitas saraf simpatis, seperti
hipertensi, gagal jantung, dan aritmia. Konsekuensi stimulasi sinus karotis
berupa penurunan aktivitas sistem saraf simpatis dan peningkatan aktivitas
nervus vagus. Sehingga, denyut jantung melambat dan waktu pengisian
ventrikel lebih panjang dan mengurangi beban kerja dan kebutuhan energy
jantung. Sebagai tambahan terjadi dilatasi arteri, berkurangnya afterload dan
meningkatkan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan natriuresis.
Data terbaru penelitian di Eropa, CALM-FIM_EUR (Controlling and
Lowering Blood Pressure With the MOBIUSHD), menunjukkan amplifikasi
barorefleks endovascular dengan alat MobiusHD menunjukkan penurunan
tekanan darah pada pasien dengan hipertensi resisten. MobiusHD merupakan
alat yang dapat ditanam di endovascular dan bekerja dengan cara
meregangkan arteri karotis dengan balon dan mengaktivasi baroreseptor
untuk menurunkan tekanan darah.
16
Gambar 5. Mekanisme aktivasi barorefleks karotis dalam penurunan
tekanan darah(5,9)
2.6 Prognosis
Hipertensi resisten meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular akibat adanya
riwayat hipertensi tidak terkontrol jangka panjang. Pasien hipertensi resisten juga
sangat berisiko untuk mengalami kerusakan organ target seperti, hipertrofi ventrikel
kiri, penebalan carotid intima media, plak carotid, kerusakan retina, dan CKD
dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi terkontrol.(5,6,10)
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Carey RM, Calhoun DA, Bakris GL, et al; American Heart Association
Professional/Public Education and Publications Committee of the Council on
Hypertension; Council on Cardiovascular and Stroke Nursing; Council on
Clinical Cardiology; Council on Genomic and Precision Medicine; Council on
Peripheral Vascular Disease; Council on Quality of Care and Outcomes
Research; and Stroke Council. Resistant hypertension: detection, evaluation,
and management: a scientific statement from the American Heart Association.
Hypertension. 2018;72:e53–e90. doi: 10.1161/HYP.0000000000000084
2. Roesma J. Buku Ajar Hipertensi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi
Indonesia. 2017; 154
3. Kaplan NM, Victor RG, Flynn JT. Kaplan’s Clinical Hypertension 11th Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015; 240
4. Noubiap JJ, Nansseu JR, Nyaga UF, Sime PS, Francis I, Bigna JJ. Global
prevalence of resistant hypertension: a meta-analysis of data from 3.2 million
patients. Heart 2018;0:1–8. doi:10.1136/heartjnl-2018-313599
5. Rampengan H. Hipertensi Resisten. Jurnal Kedokteran YARSI 2015; 23 (2) :
114-127
6. Judd E, Calhoun DA. Apparent and true resistant hypertension: definition,
prevalence and outcomes. J Hum Hypertens. 2014 August ; 28(8): 463–468.
doi:10.1038/jhh.2013.140.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Litbangkes, Depkes RI. 2013; 88-90
8. Tsioufis C, Kordalis A, Flessas D, Anastasopaulos I, Tsiachris D,
Papademetriou V, Stefanadis C. Pathophysiology of Resistant Hypertension:
The Role of Sympathetic Nervous System. International Journal of Hypertension.
2011;
9. Guido G, Giuseppe M. New therapeutic approaches for resistant hypertension.
JNephrol 2012; 25(03): 276-81
18
10. Calhoun D. Refractory and Resistant Hypertension: Antihypertensive Treatment
Failure versus Treatment Resistance. Korean Circ J 2016;46(5):593-600
19