Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

TB PARU DENGAN DIABETES MELLITUS

Disusun oleh:
Syafira Alyani
030.15.191

Pembimbing:
dr. Atika Sari, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 15 JULI – 21 SEPTEMBER 2019
JAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang
berjudul “TB Paru dengan Diabetes Melitus” tepat pada waktunya. Penulisan
referat ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di
Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak akan selesai tepat waktu
tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan referat ini:
1. dr. Atika Sari, Sp.P selaku pembimbing yang telah memberi masukan
dan saran serta memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan kasus
ini selama penulis menempuh kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
2. Teman-teman yang turut memberikan masukan dan membantu
penyelesaian laporan kasus ini

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna. Atas semua keterbatasan yang penulis miliki, maka semua saran dan
kritik yang membangun akan penulis terima untuk perbaikan diwaktu yang akan
datang. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Jakarta, Agustus 2019

Syafira Alyani
030.15.191

i
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul:


TB PARU DENGAN DIABETES MELLITUS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Periode 15 Juli – 21 September 2019

Yang disusun oleh:


Syafira Alyani
030.15.191

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Atika, Sp.P selaku dokter pembimbing Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut Dokter Mintohardjo

Pembimbing,

dr. Atika Sari, Sp. P

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... ii
DAFTAR ISI …................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 2
2.1 Identitas Pasien............................................................................... 2
2.2 Anamnesis ...................................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 7
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 8
2.6 Pemeriksaan Anjuran ..................................................................... 9
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................. 9
2.8 Prognosis ........................................................................................ 9
2.9 Follow Up .................................................................................... 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 16
3.1 Tuberkulosis (TB) Paru ................................................................ 16
3.1.1 Definisi TB Paru ................................................................ 16
3.1.2 Epidemiologi TB Paru ....................................................... 16
3.1.3 Etiologi TB Paru ................................................................ 16
3.1.4 Patogenesis TB Paru .......................................................... 17
3.1.5 Faktor Risiko TB Paru ....................................................... 18
3.1.6 Klasifikasi TB Paru ........................................................... 20
3.1.7 Diagnosis TB Paru ............................................................. 22
3.1.8 Indikasi Rawat Inap TB Paru............................................. 27
3.1.9 Tatalaksana TB Paru .......................................................... 27
3.1.10 Komplikasi TB Paru ........................................................ 30
3.1.11 Prognosis ......................................................................... 32

iii
3.2 TB Paru dengan DM .................................................................... 33
3.2.1 DM Sebagai Faktor Risiko TB Paru .................................. 33
3.2.2 Manifesitasi Klinis TB Paru dengan DM .......................... 33
3.2.3 Efek DM pada Terapi TB Paru .......................................... 34
3.2.4 Terapi TB dengan DM ....................................................... 34
BAB III ANALISIS KASUS........................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 38

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi pada paru yang


disebabkan oleh bakteri berbentuk batang yang disebut Mycobacterium
tuberculosis.(1) Tuberkulosis paru ini merupakan penyakit menular yang sampai
saat ini belum dapat dikendalikan secara tuntas.
Insidens tuberkulosis mencapai 100/100.000 pada daerah sub-sahara Afrika,
India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Keadaan lingkungan dan terdapatnya
populasi yang secara imunologi masih naïve terhadap infeksi TB menyebabkan
penyebaran yang cepat dari individu ke individu, terutama di negara
berkembang.(3) Berdasarkan data RISKESDAS 2013, prevalensi penduduk
Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah
sebesar 0,4%. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%),
Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua
Barat (0.4%).(4)
Terkadang terdapat kondisi medis lain yang mendasari terjadinya TB paru,
salah satu contohnya adalah diabetes mellitus. Diabetes mellitus merupakan
penyakit metabolik dengan angka prevalensi dan insidensi yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi
diabetes mellitus di Indonesia sebesar 2,1%.(4)
Diabetes mellitus sendiri merupakan faktor risiko terjadinya TB paru
sehingga perlu untuk dideteksi apabila terdapat riwayat DM pada pasien TB paru.
TB paru yang disertai DM memerlukan perhatian yang khusus dalam
penatalaksanaannya mengingat TB dapat mempersulit pengendalian glukosa
darah dan terdapatnya pengaruh DM dalam pengobatan dan penyembuhan TB.(5)

1
BAB II

LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DOKTER MINTOHARDJO
STATUS PASIEN KASUS
Nama : Syafira Alyani Pembimbing : dr. Atika Sari, Sp.P
NIM : 030.15.191 Tanda tangan:

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 48 tahun
No. RM : 11.62.83
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 15 Desember 1970
Alamat : Jl. Meliwis No.13 RT.001/001, Kel. Bukit Duri,
Kec. Tebet Kota, Jakarta Selatan
Pendidikan : S1
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 20 Juli 2019, Jam 07.17 WIB

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien.
Hari, tanggal dan waktu : Rabu, 24 Juli 2019 pukul 10.30 WIB
Tempat : Bangsal P. Sangeang, RSAL dr. Mintohardjo

A. Keluhan Utama:
Batuk darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

2
B. Keluhan Tambahan:
Demam dan penurunan berat badan kurang lebih 10 kg dalam 1 bulan
terakhir.

C. Riwayat penyakit sekarang:


Tn. S datang ke IGD RS AL Dokter Mintoharjo pada tanggal 20 Juli
2019 dengan batuk darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
sudah mengalami batuk kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu. Sebelumnya
batuk hanya berdahak dan tanpa disertai darah. Pasien juga mengeluhkan
demam tidak terlalu tinggi dan naik turun sejak 2 hari SMRS. Biasanya
demam pada malam hari. Pasien juga mengalami penurunan berat badan
lebih 10 kg dalam satu bulan terakhir. Keringat malam, sesak ataupun
nyeri dada disangkal oleh pasien. Pasien sebelumnya sudah berobat ke poli
paru pada akhir bulan Juni dan diberikan obat racikan, tetapi pasien sama
sekali tidak meminum obat racikan tersebut.
Selama ini pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dan diterapi
dengan obat metformin, tetapi pasien sudah 1 bulan tidak meminum obat.
Riwayat hipertensi dan asma disangkal oleh pasien.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dan diterapi dengan obat
metformin, tetapi pasien sudah 1 bulan tidak meminum obat. Riwayat
hipertensi dan asma disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat
dirawat di RS karena DBD pada awal bulan Mei 2019.

E. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Terdapat riwayat diabetes mellitus. Riwayat penyakit jantung dan
penyakit paru disangkal. Keluarga yang batuk atau mengalami keluhan
serupa seperti pasien disangkal.

F. Riwayat Pekerjaan
PNS AL

3
G. Status Sosial Ekonomi
Kebutuhan sehari-hari pasien tercukupi. Hubungan sosial pasien baik.

H. Status Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak satu bungkus per hari.
Pasien rutin berolahraga 1-2 kali dalam seminggu. Olahraga berupa lari
santai selama 15-20 menit. Kebiasaan mengonsumsi alkohol disangkal
oleh pasien.

I. Riwayat pengobatan
Pasien sudah berobat ke poli paru pada akhir bulan Juni dan diberikan
obat racikan. Pasien sama sekali tidak meminum obat tersebut. Pasien
sudah 1 bulan tidak meminum metformin untuk mengobati diabetes
mellitusnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Rabu, 24 Juli 2019 pukul 10.30 WIB di
RSAL dr,. Mintohardjo
1. Keadaan umum :
Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : tampak sakit sedang
Kesan Gizi : Kesan gizi cukup

2. Tanda vital :
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 68 x/menit, regular
c. Pernapasan : 16 x/menit
d. Suhu : 36,2ºC
e. SpO2 : 97%

4
3. Status generalis :
• Kepala : Normosefali
• Rambut : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah
dicabut
• Wajah : Wajah simetris, tidak ada kelainan dismorfik
• Mata :
Visus : tidak dilakukan
Sklera ikterik : tidak ada
Konjungtiva anemis: kanan (-) / kiri (-)
Pupil : bulat, isokor
• Telinga :
Bentuk : normotia Sekret/serumen : tidak ada
Nyeri tekan tragus : tidak ada Membran timpani : Normal
Nyeri tarik aurikula: tidak ada Refleks cahaya : Normal
Liang telinga : lapang Tuli : tidak ada
• Hidung :
Bentuk : simetris Mukosa hiperemis : tidak ada
Deviasi septum : tidak ada Hipertrofi konka : tidak ada
Pernapasan cuping : tidak ada Sekret : minimal
• Bibir :
Tidak ada kelainan bentuk, tidak kering, tidak pucat, tidak sianosis.
• Mulut :
Oral higiene baik, mukosa mulut tidak pucat, arcus palatum simetris,
tidak ada bercak darah
• Lidah :
Normoglosia, tidak tampak hiperemis, tidak tampak atrofi papil, lidah
tidak tampak kotor
• Tenggorokan:
Uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T1-T1, tidak tampak hiperemis,
kripta tidak melebar, tidak tampak detritus, dinding posterior faring
tidak hiperemis

5
• Leher:
Tidak ada kelainan bentuk, tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening
• Thorax :
Paru-paru :
- Inspeksi: bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis,
pergerakan saat bernapas simetris, tidak terdapat retraksi subcostal
dan penggunaan otot bantu pernapasan.
- Palpasi: pergerakan napas simetris kanan dan kiri
- Perkusi: sonor
- Auskultasi: suara napas vesikuler (SNV) kanan dan kiri, regular,
terdapat rhonki basah pada kedua lapang paru, tidak ada wheezing
pada kedua lapang paru.
Jantung :
- Inspeksi: tidak tampak iktus kordis
- Palpasi: iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikularis
sinistra simetris.
- Perkusi: redup
- Auskultasi: Bunyi jantung I-II regular, tidak ada gallop, tidak ada
murmur.
• Abdomen
- Inspeksi: simetris, datar, tidak ada distensi.
- Auskultasi: bising usus 3 kali/menit
- Perkusi: timpani pada 4 kuadran abdomen
- Palpasi: supel, tidak ada nyeri tekan di seluruh regio abdomen,
tidak ada nyeri lepas, hepar dan lien tidak teraba membesar
• Kelenjar getah bening
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Superior servikal : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar

6
Aksila : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
• Ekstremitas:
- Inspeksi : Pada keempat ekstremitas tidak ada oedem, tidak ada
deformitas, tidak ada efloresensi bermakna.
- Palpasi : pada keempat ekstremitas tidak ada oedem, akral hangat,
capillary refill time (CRT) <2 detik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium: (20 Juli 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 10.000 /ul 5000 - 10.000
Eritrosit 4.73 Juta/ul 4.60 - 6.20
Hemoglobin 15.9 g/dl 14.0 - 16.0
Hematokrit 21 % 37 - 42
Trombosit 251000 /ul 150000 - 450000
Kimia Klinik
Glukotes sewaktu 329 mg/dL <200

Pemeriksaan laboratorium: (22 Juli 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Kimia Klinik
HbA1C 9.9 mg/dL 4.5 – 6.3
Glukotes sewaktu 284 mg/dL <200

7
Pemeriksaan radiologi: (20 Juli 2019)

Jenis foto : Foto Thoraks PA


Hasil : - Jantung tidak membesar; aorta baik
- Hilus baik
- Corakan bronkovaskular kedua paru dalam batas normal
- Pelebaran fokal soft tissue mediastinum superior dekstra
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang intak
Kesan : TB paru aktif duplek
Suspek limfadenopati mediastinum superior dekstra
DD/ tumor mediastinum

V. DIAGNOSIS KERJA
- TB paru
- Diabetes Mellitus tipe 2

8
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Cek gula darah puasa dan gula darah 2 jam post-prandial
- Cek sputum TCM

VII. PENATALAKSANAAN
1. Medika mentosa
• IVFD Ringer Laktat 12 jam/kolf
• Inj. Transamin 3x1 amp
• Inj. Vit K 3x1 amp
• Inj. Lantus 1x24 ui
• Inj. Apidra 3x10 ui
• 4FDC (RHZE) 1xIV

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

9
IX. FOLLOW UP

Tanggal
21 Juli 2019 22 Juli 2019
S Lemas (+), batuk (+), darah (+) 10 cc, sesak (-), mual (-), Lemas (+), batuk (+), darah (+) 5 cc, sesak (-), mual (-),
muntah (-), demam (+) pada malam hari. muntah (-), demam (-)
O compos mentis, sakit sedang Compos mentis, sakit sedang
TD : 100/80mmHg TD: 120/80mmHg
HR : 90x/mnt HR: 87x/m
RR : 18x/mnt RR: 18x/m
SpO2 : 98% SpO2: 98%
T : 36,5°C T: 36,6°C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher : KGB dan tiroid dalam batas normal Leher : KGB dan tiroid dalam batas normal
Thoraks : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-). Thoraks : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-).
SNV (+/+), sonor di kedua lapang paru, rhonkhi (+/+) SNV (+/+), sonor di kedua lapang paru, rhonkhi (-/-)
wheezing (-/-). wheezing (-/-).
Abdomen: supel, datar, bising usus 3x/menit, nyeri tekan Abdomen: supel, datar, bising usus 3x/menit, nyeri tekan
(-), hepatosplenomegaly (-), shifting dullnes (-). (-), hepatosplenomegaly (-), shifting dullnes (-).
Ekstremitas : Akral hangat di seluruh ekstremitas, edema Ekstremitas : Akral hangat di seluruh ekstremitas, edema

10
(-) capillary refill time < 2 detik (-) capillary refill time < 2 detik
GDS: 329 mg/dL GDS: 284 mg/dL
A Susp. TB paru Susp. TB paru
DM tipe 2 + Hiperglikemia DM tipe 2 + hiperglikemia
P Cek sputum TCM IVFD Ringer Laktat 14 tpm
Cek gula puasa & 2 jam PP Inj. Transamin 3x1 Amp
IVFD Ringer Laktat 14 tpm Inj. Vit K 3x1 amp
Inj. Transamin 3x1 Amp 4FDC (RHZE) 1xIV
Inj. Vit K 3x1 amp Inj. Lantus 1x20 unit
4FDC (RHZE) 1xIV Inj. Apidra 3x10 unit
Inj. Lantus 1x20 unit
Inj. Apidra 3x10 unit

11
Tanggal
23 Juli 2019 24 Juli 2019
S Lemas (+), batuk (+), darah (-), sesak (-), mual (-), muntah Lemas (+), batuk (+), darah (+) 5 cc, sesak (-), mual (-),
(-), demam (-). muntah (-), demam (-)
O Compos mentis, sakit sedang Compos mentis, sakit sedang
TD : 110/80mmHg TD: 110/70mmHg
HR : 80x/mnt HR: 68x/m
RR : 22x/mnt RR: 16x/m
SpO2 : 99% SpO2: 98%
T : 36,4°C T: 36,2°C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher : KGB dan tiroid dalam batas normal Leher : KGB dan tiroid dalam batas normal
Thoraks : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-). Thoraks : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-).
SNV (+/+), sonor di kedua lapang paru, rhonkhi (+/+) SNV (+/+), sonor di kedua lapang paru, rhonkhi (-/-)
wheezing (-/-). wheezing (-/-).
Abdomen: supel, datar, bising usus 3x/menit, nyeri tekan Abdomen: supel, datar, bising usus 3x/menit, nyeri tekan
(-), hepatosplenomegaly (-), shifting dullnes (-). (-), hepatosplenomegaly (-), shifting dullnes (-).
Ekstremitas : Akral hangat di seluruh ekstremitas, edema Ekstremitas : Akral hangat di seluruh ekstremitas, edema
(-) capillary refill time < 2 detik (-) capillary refill time < 2 detik
GDS: 302 mg/dL Tes sputum TCM: BTA (+)

12
A Susp. TB paru TB paru
DM tipe 2 + Hiperglikemia DM tipe 2 + hiperglikemia
P Venflon (+) Venflon (+)
Transamin oral 3x500 mg Transamin oral 3x500 mg
Vit K oral 3x1 tab Vit K oral 3x1 tab
4FDC (RHZE) 1xIV 4FDC (RHZE) 1xIV
Inj. Lantus 1x24 unit Inj. Lantus 1x24 unit
Inj. Apidra 3x10 unit Inj. Apidra 3x10 unit

13
Tanggal
25 Juli 2019 26 Juli 2019
S Batuk (+) terutama dimalam hari, darah (+) berupa bercak Batuk (+) sudah berkurang, darah (+) berupa bercak di
di dahak, sesak (-), mual (-), muntah (-), demam (-). dahak, sesak (-), mual (-), muntah (-), demam (-)
O Compos mentis, sakit sedang Compos mentis, sakit sedang
TD : 110/70mmHg TD: 118/80mmHg
HR : 68x/mnt HR: 64x/m
RR : 16x/mnt RR: 20x/m
SpO2 : 97% SpO2: 99%
T : 36,1°C T: 36,2°C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher : KGB dan tiroid dalam batas normal Leher : KGB dan tiroid dalam batas normal
Thoraks : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-). Thoraks : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-).
SNV (+/+), sonor di kedua lapang paru, rhonkhi (+/+) SNV (+/+), sonor di kedua lapang paru, rhonkhi (-/-)
wheezing (-/-). wheezing (-/-).
Abdomen: supel, datar, bising usus 3x/menit, nyeri tekan Abdomen: supel, datar, bising usus 3x/menit, nyeri tekan
(-), hepatosplenomegaly (-), shifting dullnes (-). (-), hepatosplenomegaly (-), shifting dullnes (-).
Ekstremitas : Akral hangat di seluruh ekstremitas, edema Ekstremitas : Akral hangat di seluruh ekstremitas, edema
(-) capillary refill time < 2 detik (-) capillary refill time < 2 detik
GDP: 117 mg/dL

14
A TB paru TB paru
DM tipe 2 controlled DM tipe 2 controlled
P Venflon (+) Venflon (+)
Transamin oral 3x500 mg Transamin oral 3x500 mg
Vit K oral 3x1 tab Vit K oral 3x1 tab
4FDC (RHZE) 1xIV 4FDC (RHZE) 1xIV
Codein 3x10 mg Codein 3x10 mg
Inj. Lantus 1x24 unit Inj. Lantus 1x24 unit
Inj. Apidra 3x10 unit Inj. Apidra 3x10 unit

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis (TB) Paru


3.1.1 Definisi TB Paru
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri berbentuk batang yang disebut Mycobacterium tuberculosis.(1,2)
Tuberkulosis terutama menyerang paru-paru, tetapi bisa juga menyerang
organ lain seperti pleura, sistem saraf pusat, dan sistem kelenjar getah
bening. Tuberkulosis yang menyerang paru disebut sebagai TB paru
sedangkan yang menyerang organ lain selain paru disebut TB ekstra paru.(2)

3.1.2 Epidemiologi TB Paru


Insidens tuberculosis mencapai 100/100.000 pada daerah sub-sahara
Afrika, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Keadaan lingkungan dan
terdapatnya populasi yang secara imunologi masih naïve terhadap infeksi
TB menyebabkan penyebaran yang cepat dari individu ke individu, terutama
di negara berkembang.(3)
Berdasarkan data RISKESDAS 2013, prevalensi penduduk Indonesia
yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah sebesar
0,4%. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%),
Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan
Papua Barat (0.4%).(4)

3.1.3 Etiologi TB Paru


Etiologi dari TB paru adaah bakteri berbentuk batang yang disebut
Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis merupakan bakteri aerobik,
non-motil, berbentuk basil dengan dinding luar sel kaya akan lipid dan
mengandung asam mikolat konsentrasi tinggi. Dinding sel ini tidak dapat
mengambil pewarnaan gram. Visualisasi M. tuberculosis membutuhkan
pemanasan untuk melelehkan dinding luar sehingga zat pewarna merah

16
fuchsin dapat penetrasi dan terikat. Lipid pada dinding sel ini memiliki
afinitas tinggi dalam mengikat zat warna merah fuchsin sehingga tidak
hilang bila diberi asam-alkohol. Basil tahan asam ini berukuran kecil dan
tampak seperti manik-manik.
Analisis genom mengungkapkan bahwa M. tuberculosis memiliki
banyak gen pengkode enzim yang meregulasi lipogenesis dan lipolisis
dibandingkan bakteri lain. Tingginya kandungan lipidpatogen ini
menjelaskan banyak karakteristiknya, termasuk kemampuan bertahan dari
makrofag dan PMN untuk hidup selama beberapa tahun dalam tubuh.
Kecepatan pertumbuhan M. tuberculosis juga sangat lambat, yaitu 1/20
kecepatan pertumbuhan sebagian besar bakteri. Pertumbuhan yang lambat
ini dijelaskan oleh dinding sel yang berlilin yang membatasi akses ke
nutrisi.(3)

3.1.4 Patogenesis TB Paru


Mycobacterium tuberculosis masuk ke paru-paru dan kemudian
diingesti oleh makrofag alveolus dan dibawa ke nodus limfatikus di hilus.
Makrofag dan sel dendritik pada nodus limfatikus menghantarkan antigen
tubercular ke sel T, sehingga menginduksi respon imun yang dimediasi oleh
sel. Sel T-helper (CD4+) kemudian mengaktivasi makrofag untuk
membunuh bakteria dan mengendalikan infeksi. Akumulasi lipid dinding sel
merangsang pembentukan granuloma yang mengandung sekelompok sel
epiteloid, giants cells, dan limfosit. Seiring berjalannya waktu, pusat
granuloma akan mengalami nekrosis, membentuk debris perkejuan yang
disebut nekrosis kaseosa. Granuloma kaseosa merupakan lesi khas yang
menandakan tuberkulosis. Penemuan patologis sangat jarang ditemukan
pada penyakit lain. Jika pertumbuhan M. tuberculosis intraseluler berlanjut,
jumlah makrofag yang teraktivasi akan meningkat sehingga memproduksi
sitokin multipel. Interleukin 1 menstimulasi hipotalamus untuk
meningkatkan suhu tubuh sehingga terjadi demam. Tumor necrosis factor
(TNF) mengintervensi metabolism lipid dan menyebabkan penurun berat

17
badan yang signifikan. Sitokin-sitokin ini berperan dalam menimbulkan
gejala demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.(3)

3.1.5 Faktor Risiko TB Paru


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi risiko seseorang untuk
terjangkit TB paru adalah sebagai berikut(5):
A. Faktor yang berkaitan dengan indeks kasus
1. Bacillary Load
Konsentrasi basilus pada sputum pasien TB paru berkorelasi positif
dengan infektivitas pasien TB paru tersebut. Pasien TB paru dengan
sputum positif mengandung basilus lebih infeksius dibandingkan
dengan sputum negatif. Pasien TB dengan sputum positif yang tidak
diobati dapat menginfeksi kira-kira 10 individual per tahunnya dan
setiap kasus sputum positif biasanya dua merupakan kasus baru TB
dimana setidaknya 1 kasus diantaranya akan menjadi infeksius.
2. Proksimitas pada kasus infeksius
Kontak dengan pasien TB infeksius, termasuk kontak dalam
lingkungan rumah tangga dan tenaga kesehatan berisiko tinggin
untuk terinfeksi M. tuberculosis dan berkembangnya TB primer
aktif.

B. Faktor yang berkaitan dengan individual


1. Kondisi immunosupresif
Koinfeksi HIV merupakan faktor immunosupresif palaing poten
dalam berkembangnya TB aktif. Koinfeksi HIV menyebabkan
eksaserbasi keparahan TB, ditambah lagi koinfeksi TB
mengakselerasi replikasi HIV pada organ yang terkena seperti pada
paru dan pleura.
2. Malnutrisi
Malnutrisi (mikro- dan makrodefisiensi) meningkatkan risiko TB
yang disebabkan oleh terganggunya respon imun. Tuberkulosis

18
sendiri dapat menyebabkan malnutrisi karena menurunnya nafsu
makan dan perubahan pada proses metabolisme.
3. Usia muda
Anak-anak memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi TB.
Mayoritas anak kurang dari 2 tahun terinfeksi dari kontak dalam
lingkungan rumah tangga, sebaliknya anak yang lebih dari 2 tahun
umumnya terinfeksi dari kontak di komunitas.
4. Diabetes
Diabetes secara langsung mengganggu respon imun bawaan dan
adaptif sehingga dapat mengakselerasi proliferasi bakteri TB.
Berkurangnya produksi IFN-γ dan sitokin lain mengurang imunitas
dari sel T dan mengurangi kemotaksis neutrofil pada pasien diabetes
diperkirakan berperan dalam kecenderungan pasien diabetes
terjangkit TB.
5. Pekerja kesehatan
Pekerja kesehatan memiliki risiko tinggi terinfeksi TB karena
seringnya terpapar oleh pasien TB.

C. Faktor sosioekonomi dan kebiasaan


1. Merokok
Merokok dapat menyebabkan terganggunya pembersihan secret
mukus, berkurangnya kemampuan fagositik makrofag alveolar, dan
menurunnya respon imun dan/atau CD4 atau limfopenia disebabkan
oleh nikotin dalam rokok.
2. Alkohol
Meningkatnya risiko terinfeksi TB pada individu yang mengonsumsi
alkohol disebabkan oleh perubahan sistem imun, secara spesifik
perubahan pada molekul pemberi sinyal yang bertanggung jawab
dalam produksi sitokin.
3. Polusi udara dalam ruangan
Pada negara berkembang, penggunaan bahan bakar minyak padat
dan kayu untuk memasak umum digunakan. Asap dari kayu dapat

19
mengganggu fungsi fagositik makrofag. Pembakaran biomassa
menyebabkan terlepasnya zat-zat seperti karbon monoksida, nitrogen

oksida, formaldehid, dan hidrokarbon poliaromatik yang dapat


mengendap di alveolus dan menyebabkan kerusakan pada paru.
Gambar 1. Faktor Risiko TB(5)

3.1.6 Klasifikasi TB Paru


Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum (BTA), TB paru dibagi atas:
A. Tuberkulosis paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
• 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
• 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
• 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
B. Tuberkulosis paru BTA (-)
• Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

20
• Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
• Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
• Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe pasien,


yaitu:
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :
• Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan
dll)
• TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberculosis
3. Kasus defaulted atau drop out
Pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil
obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
4. Kasus gagal
Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
5. Kasus kronik

21
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
6. Kasus Bekas TB
• Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung
• Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi

3.1.7 Diagnosis TB Paru


Evaluasi TB paru secara lengkap meliputi 5 komponen berikut:(6,7)
1. Riwayat medis
Tenaga medis harus bertanya apakah terdapat gejala TB pada pasien,
jika ada, sudah berapa lama dan apabila pernah kontak dengan individu
yang diketahui oleh pasien telah menderita TB. Penting ditanyakan juga
apakah pasien dulu pernah didiagnosis TB laten atau TB. Jika regimen
terapi TB sebelumnya tidak adekuat atau tidak patuh berobat, TB dapat
relaps dan kemnungkinan terjadi resisten obat. Penting untuk
mempertimbangkan faktor risiko sosioekonomi dan kebiasaan, serta
adakah kondisi medis yang mendasari seperti HIV atau diabetes yang
meningkatkan risiko TB.
Gejala yang umumnya dialami penderita TB paru adalah
• Batuk (terutama sudah dialami selama 3 minggu atau lebih) dengan
atau tanpa produksi sputum
• Batuk darah (hemoptisis)
• Nyeri dada pleuritik
• Menurunnya nafsu makan
• Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
• Keringat malam

22
• Demam
• Fatigue
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada TB paru biasanya nonspesifik. Umumya pada
pemeriksaan tanda vital dapat ditemukan kenaikan suhu pada 40-80%
pasien. Pada pemeriksaan auskultasi paru, dapat terdengar rales atau
crackles pada daerah yang terlibat dan suara napas bronchial yang
mengindikasikan adanya konsolidasi.
3. Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan penurunan Hb,
leukositosis, menurunnya neutrofil tetapi limfosit meningkat, serta
meningkatnya LED.(9)
B. Foto thoraks
Foto thoraks PA merupakan standar pemeriksaan radiologi pada
pasien TB. Pada pasien TB paru aktif dapat ditemukan gambaran
gambaran infiltrat berbentuk patch dibandingkan konsolidasi padat
di segmen apeks dan posterior, kavitas terutama lebih dari satu,
dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodula. Perhatikan juga
apabila terdapat bercak milier dan efusi pleura.
Pada individu dengan keadaan imunosupresif, dapat ditemukan
gambaran radiografi TB yang atipikal, seperti adenopati hilar atau
infiltrate pada lobus bawah. Pada pasien dengan TB inaktif dapat
ditemukan gambaran fibrotic, kalsifikasi, atau Schwarte (gambaran
penebalan pleura).

23
Gambar 2. Infiltrat nodular & patchy (kiri), infiltrate padat (kanan)

C. Pemeriksaan sputum BTA


Pemeriksaan sputum penting dalam menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan bakteriologi ini terdiri dari 5 bagian:
1. Pengambilan spesimen
Untuk tujuan diagnostik, setiap individu suspek TB paru harus
diperiksa sputum meskipun tanpa gejala respiratorik. Setidaknya
dibutuhkan 3 kali pengambilan sputum, dengan setiap
pengambilannya terdapat interval 8 hingga 24 jam dengan
setidaknya 1 diambil pada saat pagi hari. Terdapat 4 metode
untuk pengambilan sputum, yaitu:
• Batuk
Batuk merupakan metode pengumpulan sputum yang paling
umum. Saat pengumpulan sputum sebaiknya diawasi oleh
seorang supervisor untuk memastikan bahwa sputum telah
dikumpulkan dengan benar.
• Induksi sputum
Induksi sputum dilakukan bila pasien tidak bisa batuk untuk
mengeluarkan sputum dengan inhalasi aerosol hypertonic
saline yang hangat dan steril. Induksi ini akan menyebabkan
pasien batuk dalam untuk mengeluarkan sputum.
• Bronkoskopi
Bronkoskopi untuk pengambilan sputum biasanya dilakukan
bila pemeriksaan sputum sebelumnya nondiagnostik dan
terdapat keraguan pada diagnosis.
• Aspirasi gaster
Aspirasi gaster biasanya dilakukan bila pasien tidak bisa
batuk untuk mengeluarkan sputum yang cukup. Sebuah tube
dimasukkan melalui mulut atau hidung ke lambung untuk
mengambil sputum yang dibatukkan kemudian ditelan.
Prosedur ini biasanya bermanfaat untuk diagnosis pada anak-

24
anak yang seringnya tidak bisa mengeluarkan sputum dengan
cara batuk.
2. Hasil dan klasifikasi BTA
Terdapat 2 prosedur yang umum digunakan dalam pewarnaan
bakteri tahan asam, yaitu:
• Metode carbofuchsin, termasuk didalamnya metode Ziehl-
Neelsen dan metode Kinyoun (direct microscopy)
• Prosedur fluorochrome menggunakan zat warna auramine-O
atau auramine-rhodamine (fluorescent microscopy)
Pemeriksaan hanya bisa menduga suatu individu terkena bakteri
tahan asam pada sediaan tersebut merupakan bakteri lain selain
M. tuberculosis. Banyak pasien TB yang hasil pemeriksaan BTA
negatif. Pemeriksaan BTA negatif tidak mengeksklusi diagnosis
TB.

Gambar 3. Pewarnaan BTA

Ketika bakteri tahan asam sudah terlihat, bakteri tersebut


kemudian dihitung pada perbesaran tertentu dan diklasifikasikan
sebagai berikut:

25
Tabel 1. Klasifikasi Hasil Penghitungan BTA
3. Pemeriksaan langsung M.tuberculosis menggunakan Nucleic
Acid Amplification (NAA)
Tes NAA digunakan untuk amplifikasi segmen DNA dan RNA
untuk identifikasi mikroorganisme secara cepat disuatu
spesimen. Tes NAA dapat mendeteksi M.tuberculosis pada
spesimen dalam waktu beberapa jam dibandingkan kultur yang
membutuhkan waktu 1 minggu atau lebih. Tes NAA
direkomendasikan untuk dilakukan setidaknya pada satu
spesimen sputum dari pasien dengan gejala dan tanda TB paru
dimana diagnosis TB dipertimbangkan tetapi belum ditegakkan.
4. Kultur spesimen dan identifikasi
Kultur tetap menjadi gold standard pemeriksaan untuk
konfirmasi TB paru. Pemeriksaan kultur harus dilakukan pada
semua spesimen diagnostic, tanpa menghiraukan hasil
pemeriksaan BTA atau NAA. Sistem kultur kaldu seperti
BACTEC, MGIT, VersaTREK, dan MBBACT dapat mendeteksi
sebagian besar pertumbuhan mikobakteria dalam 4 sampai 14
hari dibandingkan media padat yang membutuhkan waktu 3
sampai 6 minggu.
5. Tes kerentanan obat
M. tuberculosis yang diisolasi harus dilakukan uji resistensi
terhadap obat lini pertama TB, yaitu isoniazid, rifampisin,
etambutol, pirazinamid. Tes kerentanan obat ini dapat
mengarahkan dokter untuk memilih pengobatan yang tepat untuk
mengobati pasien.

26
3.1.8 Indikasi Rawat Inap TB Paru
Indikasi rawat inap pada pasien TB paru adalah bila disertai
keadaan/komplikasi tertentu seperti:
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumothoraks
- Empiema
- Efusi pleura massif/bilateral
- Sesak napas berat(10)

3.1.9 Tatalaksana TB Paru


Tujuan dari pengobatan tuberculosis adalah sebagai berikut(11):
• Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
pasien
• Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
• Mencegah kekambuhan TB
• Mengurangi penularan TB kepada individu lain
• Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya

Prinsip-prinsip terapi tuberculosis adalah(11):


1. Obat anti tuberculosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan
suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered

27
approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=
directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir
tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek
samping harus tercatat dan tersimpan.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan


A. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol.
• Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis
obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum
setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan
minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat.
• Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya
penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
• Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif
(konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah
terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.
B. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan
isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4
bulan).
• Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat
program) atau tiap hari (obat non program).
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

28
Tabel 2. Dosis OAT KDT/FDC(11)

Tabel 3. Dosis OAT berdasarkan BB(11)

Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut(11):
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap
lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama
pengobatan seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal
pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal
pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan
setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali
seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan.
3. OAT sisipan : HRZE

29
Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir
pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan
pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.

3.1.10 Komplikasi TB Paru


Komplikasi TB paru dapat terjadi dari sistemik, metabolik, infeksius,
atau kerusakan struktural sebagai konsekuensi dari TB saat ini atau
sebelumnya pernah diderita. Komorbid seperti HIV, diabetes dan
transplantasi organ dapat menimbulkan komplikasi lebih jauh.(12)
A. Komplikasi akut dan subakut
1. Sepsis TB dan kegagalan respirasi akut
Pada pasien dengan keadaan imunosupresif, bakteremia TB
merupakan penyebab yang sering mendasari sepsis. Pada beberapa
kasus, sepsis TB disertai dengan cedera paru akut atau acute
respiratory distress syndrome, dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas tinggi.
2. Komplikasi yang berkaitan dengan komorbid
Kondisi komorbid yang sering menyertai TB adalah transplantasi
organ, penyakit rheumatic, DM, hemodialisis dan keganasan.
Kondisi komorbid sering memerlukan penyesuaian dosis pengobatan
atau penggunaan obat lini kedua.
Absorpsi obat suboptimal merupakan komplikasi potensial pada
kondisi komorbid. Sebagai contoh, pasien dengan riwayat
gastrektomi dan pembedahan usus halus sering datang dengan ke
klinik dengan TB refrakter.
Diabetes mellitus telah dikenal sebagai faktor risiko spesifik yang
memperlambat respon terapi, meningkatnya morbiditas, serta
buruknya absorpsi obat TB. Penyakit hepar juga dapat mempersulit
terapi karena standar terapi TB dapat menyebabkan hepatotoksisitas.
Pada pasien HIV harus dimonitor terapi dari HIV dan interaksi obat
TB-HIV.
3. Hemoptisis massif

30
Komplikasi yang jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi TB
yang serius. TB paru menyebabkan hemoptisis dari erosi bronchial
atau sirkulasi pulmonal, atau dari pembentukan pseudoaneurisma
(Rasmussen’s aneurysm) yang berpotensi menyebabkan kelainan
pertukaran gas atau kolamps hemodinamik yang mengancam jiwa.
4. Komplikasi TB ekstrapulmonal
Komplikasi TB ekstrapulmonal dapat terjadi dibanyak lokas, salah
satunya terjadi di sistem saraf pusat sehingga menyebabkan
meningitis TB, hidrosefalus dan tuberkuloma SSP. Komplikasi TB
ektrapulmonal dapar juga terjadi di pericardium sehingga
menyebabkan perikarditis TB. Perikarditis TB berkembang dari
penyebaran antara lokasi berdekatan dari nodus mediastinum atau
dari hematogen saat diseminasi dengan mikobakteria.

Tabel 4. Komplikasi TB berdasarkan lokasi anatomi(12)

B. Komplikasi kronik
1. Rusaknya arsitektural parenkim dan saluran udara paru

31
Kerusakan parenkim dan saluran udara mulai dari minimal hingga
bronkiektasis ekstensif dan destruksi fibrokavitas. TB bisa
menyebabkan penurunan fungsi pulmonal secara obstruksi ataupun
restriksi.
2. Komplikasi infeksius - misetoma
Lesi kavitas TB residual dapat dikolonisasi oleh Aspergillus dan
fungi lainnya. Fungal balls atau misetoma dapat berkembang
didalam kavitas ini dan menyebabkan hemoptisis kronik oleh karena
erosi kapiler diparenkim sekitar.(12)

3.1.1 Prognosis
Bila pasien menjalani terapi sesuai dengan yang telah ditetapkan
umumnya prognosis akan baik. Untuk TB dengan komorbid, prognosis
menjadi kurang baik.(11)
Kriteria hasil pengobatan:
1. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto
toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
4. Putus berobat (default)
Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
5. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out)

32
Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.(11)

3.2 Tuberkulosis (TB) Paru dan Diabetes Mellitus


3.2.1 Diabetes Mellitus Sebagai Faktor Risiko TB Paru
Peningkatan risiko terjadinya TB aktif pada penderita DM diduga
akibat gangguan sistem imun, peningkatan daya lekat kuman M.tuberculosis
pada sel penderita DM, mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.(13)
Diabetes secara langsung mengganggu respon imun bawaan dan adaptif
sehingga dapat mengakselerasi proliferasi bakteri TB. Berkurangnya
produksi IFN-γ, TNF-α, IL-6, IL-1ß dan sitokin lain mengurang imunitas
dari sel T dan mengurangi kemotaksis dan oksidatif neutrofil pada pasien
diabetes diperkirakan berperan dalam kecenderungan pasien diabetes
terjangkit TB. Keadaan hiperglikemia juga menciptakan lingkungan yang
mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri TB.(5,13)
Penyebab lain meningkatnya risiko TB pada penderita DM adalah
disfungsi kelenjar pituitary yang menyebabkan berlebihnya produksi
hormon adrenokortikotropik sehingga meningkatkan kadar kortikosteroid di
dalam darah. Kortikosteroid merupakan antagonis insulin sehingga kadarnya
yang berlebih akan mengakibatkan diabetes insulin resisten. Gangguan
mikro dan makroangiopati dapat mengganggu memnimbulkan kegagalan
migrasi sistem imun.(13)

3.2.2 Manifestasi Klinis TB Paru dengan DM


Penderita TB dengan DM biasanya berusia lebih tua dibandingkan
dengan TB tanpa DM. Hal ini mungkin disebabkan karena penderita DM
tipe 2 lebih banyak pada usia lebih tua. Gejala klinis respirasi seperti batuk
dapat menjadi klinis yang tidak menonjol pada penderita TB dengan DM.
Hal ini diakibatkan terdapatnya gangguan motilitas silia yang menurunkan
refleks batuk. Selain itu gangguan mikro dan makroangiopati pada penderita
DM dapat menimbulkan kegagalan migrasi sistem imun yang dapat
mengakibatkan kondisi penyakit menjadi lebih buruk. Penderita TB dengan

33
DM biasanya memiliki keluhan demam dengan durasi yang lebih lama dan
penurunan berat badan yang lebih besar daripada pasien TB tanpa DM.(13)
Gambaran radiologi penderita TB dengan DM merupakan gambaran
atipikal yaitu sering melibatkan lobus bawah paru. Perbedaan gambaran
radiologi foto toraks pada TB dengan DM dan tanpa DM oleh karena
penderita DM memiliki gangguan imunitas selular dan disfungsisel PMN
Gambaran kavitas terutama lesi cavitary nodular lebih sering dijumpai pada
penderita TB dengan DM.(13)

3.2.3 Efek DM pada Terapi TB Paru


Diabetes dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan
meningkatkan risiko toksisitas obat. Diabetes merupakan faktor prediktor
terjadinya DILI (drug induced liver injury). Risiko toksisitas hepar olehOAT
akan meningkat dengan adanya DM. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa pasien TB dengan DM memeiliki persentase sputum BTA lebih
tinggi, masa konversi yang lebih lama dibandingkan dengan pasien TB
bukan DM dan cenderung mengalami resistensi OAT. Pada penelitian
menunjukkan DM yang tidak terkontrol yang ditandai dengan nilai HbA1c ≥
7 memiliki risiko untuk lebih lama mendapatkan konversi sputum BTA
(lebih dari 2 bulan) TB dengan DM memiliki tingkat kegagalan terapi dan
angka mortalitas yang tinggi. Hal ini disebabkan tingginya angka resistensi
OAT, terganggunya imunitas selular.(13)

3.2.4 Terapi TB Paru dengan DM


Pasien TB paru dengan DM akan mendapatkan terapi TB paru sesuai
dengan standar penatalaksanaa TB paru WHO. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) pada panduan tentang TB DM menyarankan hal yang
sama dengan WHO dengan syarat gula darah terkontrol. Apabila kadar gula
darah tidak terkontrol maka lama pengobatan dapat diperpanjang sampai
dengan 9 bulan.(13)
Berdasarkan Konsensus Penanganan TB-DM Indonesia, pilihan utama
terapi untuk DM-nya adalah dengan insulin. Hal ini karena OAT pada

34
umumnya hepatotoksik yang akan mempengaruhi metabolisme obat
hipoglikemik oral. OAT juga menghambat penyerapan obat hipoglikemik
oral di saluran penceranaan, sehingga dibutuhkan dosis yang lebih tinggi.
Tetapi, adanya polifarmasi ini (kombinasi OAT dan obat hipoglikemik oral)
sering mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengikuti program
pengobatan.(13,14)

35
BAB IV

ANALISIS KASUS

Tn. S datang ke IGD RS AL Dokter Mintoharjo pada tanggal 20 Juli 2019


dengan batuk darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien sudah
mengalami batuk kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu. Sebelumnya batuk hanya
berdahak dan tanpa disertai darah. Pasien juga mengeluhkan demam tidak terlalu
tinggi dan naik turun sejak 2 hari SMRS. Biasanya demam pada malam hari.
Pasien juga mengalami penurunan berat badan lebih 10 kg dalam satu bulan
terakhir. Keringat malam, sesak ataupun nyeri dada disangkal oleh pasien. Pada
pasien juga didapatkan riwayat DM yang sudah 1 bulan tidak minum obat serta
merokok yang merupakan faktor risiko dari TB paru. Pada pemeriksaan fisik saat
masuk IGD, didapatkan rhonki basah di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
laboratorium darah didapatkan GDS 329 mg/dL dan HbA1C 9.9 mg/dL. Hasil
pemeriksaan foto thorax PA didapatkan kesan TB paru aktif duplek.
. Pasien didiagnosis suspek TB paru berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengalami
gejala-gejala yang umum dialami penderita TB paru. Pasien juga memiliki
riwayat DM dan kebiasaan merokok yang merupakan faktor risiko dari TB paru.
Pemeriksaan fisik pada TB umumnya tidak spesifik, tetapi hasil pemeriksaan
menggambarkan adanya masalah pada paru. Pada pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan gula darah sewaktu dan HbA1C pasien yang tinggi dan
mengkonfirmasi riwayat DM pada pasien. Pada foto thorax PA didapatkan kesan
TB paru dupleks. Diagnosis TB paru ditegakkan setelah hasil pemeriksaan sputum
TCM pasien yang menunjukkan hasil BTA (+).
Berdasarkan klasifikasi TB, pasien memiliki TB paru dengan BTA (+) serta
pasien termasuk kedalam kasus baru karena pasien belum pernah mendapatkan
pengobatan OAT sebelumnya. Pada kasus ini juga pasien dirawat inap karena
batuk darah merupakan indikasi pasien untuk dirawat inap.
Pada tatalaksana, pasien diberikan injeksi transamin dan vitamin K untuk
menghentikan perdarahan. Untuk tatalaksana TB parunya, pasien diberikan obat

36
OAT lini pertama kategori 1 yaitu 2HRZE/4H3R3 karena pasien termasuk
kedalam kasus baru. Pasien juga dilakukan tatalaksana untuk DM karena gula
darah yang tinggi merupakan faktor risiko kegagalan terapi TB. Sesuai dengan
konsensus penanganan DM-TB Indonesia, pasien diberikan insulin sebagai
tatalaksana DM karena OAT dapat mempengaruhi penyerapan obat DM oral.
Pasien diberikan injeksi lantus 1x24 unit dan injeksi apidra 3x10 unit.
Pada pasien TB paru dengan DM, perlu untuk dilakukan pemantauan selama
pengobatan, terutama menjaga gula darah tetap terkontrol dan pengobatan TB
dilaksanakan sampai tuntas untuk menghindari terjadinya komplikasi. Pada pasien
ini, gula darah sudah terkontrol dengan pemberian lantus dan apidra. Pasien ini
dapat mencapai gula darah puasa 117 mg/dL. Pasien diperbolehkan pulang setelah
pasien tidak ada lagi batuk darah dan keadaan umum pasien baik.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Safithri F. Diagnosis TB Dewasa dan Anak Berdasarkan ISTC (International


Standard for TB Care). Desember 2011; 7 (15); 56-67
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. InfoDATIN Tuberkulosis.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016;1
3. Southwick FS. Infectious Diseases A Clinical Short Course 3rd Edition. New
York: McGraw Hill Education. 2014;109
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Litbangkes, Depkes RI. 2013; 88-90
5. Narasimhan P, Wood J, MacIntyre CR, Mathai D. Review Article: Risk
Factors for Tuberculosis. Pulmonary Medicine. January 2013; 3-5
6. CDC. Core Curriculum on Tuberculosis: What the Clinician Should Know 6th
Edition. United States: 2013; 78-
7. Curley CA. Rule out pulmonary tuberculosis: Clinical and radiographic clues
for the internist. Cleveland Clinic Journal of Medicine. January 2015; 82(1);
32-8
8. Ryu YJ. Diagnosis of pulmonary tuberculosis: recent advances and diagnostic
algorithms. Tuberc Respir Dis (Seoul). 2015; 78(2): 64–71.
doi:10.4046/trd.2015.78.2.64
9. Rohini K, Surekha Bhat M, Srikumar PS, Mahesh Kumar A. Assessment of
Hematological Parameters in Pulmonary Tuberculosis Patients. Indian J Clin
Biochem. 2016;31(3):332–335. doi:10.1007/s12291-015-0535-8
10. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Available at:
http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf (Diakses tanggal: 1 September
2019)
11. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. 2014; 11-3
12. Shah M, Reed C. Complications of Tuberculosis. Curr Opin Infect Dis 2014,
27:403–410

38
13. Arliny Y. Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus Implikasi Klinis Dua Epidemik.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. April 2015; 15 ( 1):36-42
14. Kementerian Kesehatan RI. Konsensus Pengelolaan Tuberkulosis dan
Diabetes Mellitus (TB-DM) di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2015; 6-7

39

Anda mungkin juga menyukai