Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

PEMBIMBING

PENULIS
Ni Luh Made Atia Kornita Sari 030.15.136
Shani Abidi 030.15.17

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
15 Juli – 16 Agustus 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam
kepanitraan Ilmu Penyakit THT dengan judul “OTITIS MEDIA SUPURATIF
KRONIS”. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah
Karawang.
Dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan serta dukungan dalam membantu penyusunan dan penyelesaian
makalah ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih terutama kepada dr. Yudi Rinaldi Sp.B, M.Biomed selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
THT serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
THT.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena
penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Tuhan memberkati kita semua.

Karawang, Mei 2019

Ni Luh Made Atia Kornita Sari

030.15.136

ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Laporan Kasus

Judul:

TETANUS

Ni Luh Made Atia Kornita Sari


030.15.136

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari ................, Tanggal ............................ 2019

Pembimbing,

dr. Yudi Rinaldi Sp.B. M.Biomed

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ivv
BAB I Pendahuluan ..................................................................................................... 2
LAPORAN KASUS ..................................................................................................... 3
1.1 Identitas Pasien................................................................................................... 3
1.2 Anamnesis .......................................................................................................... 3
1.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................................................. 4
1.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................... 6
1.5 Resume ............................................................................................................... 7
1.6 Diagnosis Kerja .................................................................................................. 7
1.8 Talaksanaan ........................................................................................................ 7
1.9 Prognosis ............................................................................................................ 7
BAB II .......................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 8
2.1 Anatomi apendiks............................................................................................... 8
2.2 Histologi apendiks .............................................................................................. 9
2.3 Fisiologi apendiks ............................................................................................ 10
2.4 Definisi apendisitis akut ................................................................................... 11
2.5 Epidemiologi apendisitis akut .......................................................................... 11
2.6 Etiologi apendisitis akut ................................................................................... 11
2.7 Patologi dan patofisiologi apendisitis akut ...................................................... 12
2.8 Penegakkan diagnosis ...................................................................................... 14
2.9 Tatalaksana....................................................................................................... 17
BAB III ...................................................................................................................... 20
ANALISA KASUS .................................................................................................... 20
BAB IV ...................................................................................................................... 21
KESIMPULAN .......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis oleh
karena infeksi bakteri akibat tersumbatnya lumen apendiks dan merupakan kegawatdaruratan
abdomen. Apendisitis merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering
ditemukan dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.1 Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan dokter melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.2
Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara
kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun demikian, diagnosa serta
keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Dalam mendiagnosis apendisitis, sering
terjadi kesulitan dikarenakan adanya beberapa pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
yang tidak khas, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis dan
meningkatkan terjadinya perforasi dan angka morbiditas sehingga dapat memperburuk
prognosis dari penyakit itu sendiri. Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis
dan pemeriksaan memegang peranan utama dengan akurasi 76-80%, tetapi dalam mencegah
pasien agar tidak terjadi perforasi tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dalam menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala yang tidak khas, dokter perlu
melakukan pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah pemeriksaan hitung jumlah
leukosit.
Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis apendisitis
akut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk memudahkan dokter
dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan.2,3

2
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. T
Usia : 60 tahun
Alamat : Muara 2
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Nelayan
Pendidikan : SD
Status Pernikahan : Menikah
No. CM : 00768840
Tanggal masuk RS : 28 April 2019
Ruang : Jatisari

1.2 Anamnesis
(dilakukan secara alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 3 Mei 2019)
Keluhan Utama
Kejang sejak 5 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluarga pasien mengatakan pasien mengalami kejang sejak 5 jam SMRS. Pada saat
mengalami kejang pasien tidak sadarkan diri, setelah kejang pasien sadar kembali. Pada saat
1 kali kejang berlangsung sekitar 30 menit. Keluarga pasien mengatakan tubuh pasien tiba-
tiba kaku dan mengalami kejang. Dalam 1 hari pasien bisa mengalami kejang sebanyak 3
kali. Sebelum kejang 1 minggu yang lalu kaki kanan pasien terkena jangkar kapal yang
berkarat. Keluarga pasien juga mengatakan bahwa mulut pasien kaku sehingga menyebabkan
pasien menjadi susah berbicara. Keluarga juga mengatakan bahwa leher pasien kaku.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa, Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-),
Riwayat usus buntu (-), Riwayat keganasan (-), Riwayat penyakit jantung, paru, hepar dan
ginjal (-)

3
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Riwayat usus buntu (-), Riwayat keganasan (-),
Riwayat penyakit jantung, paru, hepar dan ginjal (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya telah berobat ke klinik terdekat dan diberikan obat namun keluhan
tidak membaik
Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), pemakaian zat narkotika (-), alkohol (-)

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum Kesadaran: Composmentis
Kesan sakit: Tampak sakit sedang
Kesan gizi: cukup
Tanda vital Tekanan darah: 130/70 mmHg
Nadi: 80x/menit
Respirasi: 22 x/menit
Suhu: 36,8°C
SpO2 : 99%
Kepala Normosefali, rambut hitam, tidak rontok, terdistribusi merata, tidak
terdapat jejas atau bekas luka
Mata: pupil isokor, reflex pupil +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-, eksoftalmus (-/-)
Telinga:
Kanan : deformitas (-), kemerahan (-), oedem (-), serumen (+), nyeri
tekan (-), nyeri tarik (-), membran timpani
Kiri : deformitas (-), kemerahan (-), oedem (-), seruman (+), nyeri
tekan (-), nyeri tarik (-), membran timpani
Hidung: deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Mulut: sianosis (-), gusi kemerahaan (-) oedem (-), sariawan (+)
Leher KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

4
Thorax Inspeksi: bentuk dada normal, gerak dinding dada simetris, tipe
pernapasan Abdominotorakal, sela iga normal, sternum datar,
retraksi sela iga (-)
Palpasi: pernapasan simetris, vocal fremitus sama kuat pada kedua
hemitorak, tidak teraba thrill, ictus cordis teraba di ICS V linea
axillaris anterior sinistra
Perkusi: Kedua hemithoraks terdengar sonor, batas paru dan hepar
setinggi ICS VI linea midclavicularis dextra dengan perkusi redup,
batas bawah paru dan lambung setinggi ICS VIII linea axillaris
anterior sinistra dengan perkusi timpani. Batas paru dan jantung
kanan di linea parasternal dextra ICS IV, batas paru dan jantung kiri
setinggi ICS V linea midclavicularis sinistra, batas atas jantung ICS
II linea parasternalis sinistra, pinggang jantung setinggi ICS III linea
parasternalis kiri
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-,
Bunyi Jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi: bentuk rata, smiling umbilicus (-), ikterik (-),
kemerahan (-), spider naevi (-), benjolan (-)
Auskultasi: bising usus 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: teraba perut seperti papan, massa (-), hepar dan lien tidak
teraba, ballottement ginjal (-), undulasi (-), CVA -/-
Nyeri tekan - - -
- - -
- - -
Perkusi: shifting dullness (-)
Ekstremitas Ekstremitas Atas
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2
detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-
Ekstremitas Bawah
Terdapat luka pada kaki sebelah kanan, turgor kulit baik, deformitas
-/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-

5
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
27/04/2019 23:23
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin 13,8 11,7 – 15,5 g/dl
Eritrosit 4,73 4,1-5,1 x 106/uL
Leukosit 17,44 4,4- 11,3 x 103/ul
Trombosit 212 150-400 x 103/uL
Hematokrit 39,8 40-52
Bleeding time 2.5 1 - 3 menit
Clotting time 12.5 5- 11 menit
MCV 84 80 - 100 fl
MCH 29 26 - 34 pg
MCHC 35 32 - 36 g/dl
RDW-CV 12,8 12,0-14,8 %
HbsAg Non Rekatif Non Reaktif

Kimia
Ureum 28,1 15,0 – 50,0 mg/dl
Kreatinin 0,83 0,50 – 0,90 mg/d
GDS 133 70-110
Natrium 132 134-143
Kalium 3,7 3,7-5,5
Klorida 104 98-107

Imunologi
Anti HIV Neoatif Neoatif

6
Pemeriksaan EKG
Kesan:

1.5 Resume
Pasien datang ke igd RSUD Karawang dengan keluhan kejang sejak 5 jam SMRS.
Dalam 1 hari pasien bisa mengalami kejang sebanyak 3 kali dan lama kejang sekitar 30
menit. Kejang diawali dengan kaku seluruh tubuh, pada saat kejang pasien tidak sadarkan
diri. Terdapat keluhan leher kaku dan mulut kaku sehingga pasien menjadi sulit berbicara.
Dalam pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesan gizi
cukup. Tekanan darah 130/90 mmHg. Status generalis didapatkan pada wajah rhisus
sardonikus (+), pada status lokalis regio ekstremitas bawah didapatkan luka pada kaki sebelah
kanan (+), pada status neurologis didapatkan kaku kuduk (+). Dalam pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan hasil ureum, kreatinin yang meningkat.

1.6 Diagnosis Kerja


Tetanus

1.7 Diagnosis Banding

1.8 Tatalaksana
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Diazepam 5x1 IV
- Inj. Metronidazole 4x500 IV
- Inj. Omeprazole 2x1 IV
- Sirdalut 3x1

Operatif :

1.9 Prognosis

7
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.2 Definisi tetanus
Tetatnus adalah penyakit infeksi akut yang tampil dalam bentuk gangguan
neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin spesifik
kuman anaerob Clostridium Tetani. (dejong)

2.3 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik
yang sangat besar.21 Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka
kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000- 500.000 per tahun.2
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan penyebab
kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut. Tetanus pada anak
tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi
DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan
aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.

2.4 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri Clostridium
tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di
daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam
lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten
terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat
bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga
relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-
mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka
mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga
dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan
gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan,

9
persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau
jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.

2.5 Patofisiologi

2.6 Gejala Klinis


Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu ). (9)
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni (1)
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tctanus umum)
Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus (11,13,14)
Kharekteristik dari tetanus (4,5,9,12,13)
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian
timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme Otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
10
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah
mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi
dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh
akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga
beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan
sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar
1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.
Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum
ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus
dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 5).

11
Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis

I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme


atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang


dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju


napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia
Berat

IV : Sangat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular)


Berat Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut
dapat menetap

2.7 Penegakkan diagnosis


Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan
laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
 Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang
terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

12
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut
mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis
untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan
kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat
dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun - masa istirahat‖ spasme makin pendek
sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak
bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi
kaku serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme
yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
 Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak

13
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati
setelah potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan
terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
4. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

2.9 Tatalaksana
Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas tiga upaya, yaitu mengatasi akibat
eksotoksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, menetralisasi toksin yang
masih beredar dalam darah, dan menghilangkan kuman penyebab.

14
2.10 Komplikasi
2.11 Prognosis

BAB III
ANALISA KASUS

Pasien mengalami kejang sejak 5 jam SMRS. Dalam 1 hari pasien bisa mengalami
kejang sebanyak 3 kali dan lama kejang sekitar 30 menit. Kejang diawali dengan kaku
seluruh tubuh dan pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri. Satu minggu SMRS kaki
sebelah kanan pasien terkena jangkar kapal yang berkarat. Terdapat keluhan leher kaku dan
mulut kaku sehingga pasien menjadi sulit berbicara. Dalam pemeriksaan fisik didapatkan
pada wajah rhisus sardonikus, trismus, opistotonus, dan otot dinding perut kaku seperti
papan. Pada status lokalis pada regio ekstremitas bawah didapatkan luka pada kaki sebelah
kanan. Dalam pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil ureum, kreatinin yang
meningkat.

Oleh karena klinis pasien sudah jelas maka diagnosa mengarah ke tetanus.
Penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien adalah

15
BAB IV
KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan
Seorang pasien laki-laki berusia 55 tahun dengan diagnosis apendisitis akut.
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada apendisitis, bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Maka dari itu pada pasien ini
dilakukan pembedahan apendektomi untuk pengangkatan apendiks agar tidak terjadi
komplikasi berupa abses atau perforasi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sandy C. Acute appendicitis. [Internet]. New York: Emedicine; 2010 [diakses


Desember 2018]. Tersedeia pada; http://www.emedicine.com/ emerg/topik41.html.
2. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. http://medchrome.com/basic-
science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in Desember 2018.
3. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England : Oxford;2011.
H 36.
4. Richard L. Drake, Wahyne Vogl, Adam W M Mitchell. Gray’s Anatomy:Anatomy of the
Human Body. Elsevier;2014
5. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix. Http://healthycase.com/articles/surgery/19-
anatomy-and-physiology-of-appendix. Accessed in Desember 2018
6. Hamami AH, dkk. Usus halus appendiks, kolon, dan anorektum. dalam Sjamsuhidajat
R, De jong W. Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005, hal 639-645.
7. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock
RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9ed
ebook. New York: McGraw-Hills.
8. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
9. Wiyono MH. Aplikasi Skor Alvarado Pada Penatalaksanaan Apendisitis Akut. Jurnal
Kedokteran Meditek. Mei-Agustus 2011;17:38-41
10. Mansjoer, Arif., Triyanti, Kuspuji., Savitri, Rakhmi., dll. (2001). Kapita Selekta
Kedokteran (3th ed.). Jakarta: Media Aesculapius.
11. Acosta, J., et al. 2007. Sabiston Textbook of Surgery (ed 18th). Elsevier: U.S.A.
12. Staf Pengajar FKUI Bagian Bedah. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta: Binarupa
Aksara, 1995
13. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat
edisi 11. Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452
14. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in Januari 2019.

17

Anda mungkin juga menyukai