PEMBIMBING
PENULIS
Ni Luh Made Atia Kornita Sari 030.15.136
Shani Abidi 030.15.17
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam
kepanitraan Ilmu Penyakit THT dengan judul “OTITIS MEDIA SUPURATIF
KRONIS”. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah
Karawang.
Dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan serta dukungan dalam membantu penyusunan dan penyelesaian
makalah ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih terutama kepada dr. Yudi Rinaldi Sp.B, M.Biomed selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
THT serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
THT.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena
penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Tuhan memberkati kita semua.
030.15.136
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
Laporan Kasus
Judul:
TETANUS
Pembimbing,
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis oleh
karena infeksi bakteri akibat tersumbatnya lumen apendiks dan merupakan kegawatdaruratan
abdomen. Apendisitis merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering
ditemukan dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.1 Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan dokter melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.2
Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara
kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun demikian, diagnosa serta
keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Dalam mendiagnosis apendisitis, sering
terjadi kesulitan dikarenakan adanya beberapa pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
yang tidak khas, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis dan
meningkatkan terjadinya perforasi dan angka morbiditas sehingga dapat memperburuk
prognosis dari penyakit itu sendiri. Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis
dan pemeriksaan memegang peranan utama dengan akurasi 76-80%, tetapi dalam mencegah
pasien agar tidak terjadi perforasi tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dalam menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala yang tidak khas, dokter perlu
melakukan pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah pemeriksaan hitung jumlah
leukosit.
Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis apendisitis
akut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk memudahkan dokter
dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan.2,3
2
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
(dilakukan secara alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 3 Mei 2019)
Keluhan Utama
Kejang sejak 5 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluarga pasien mengatakan pasien mengalami kejang sejak 5 jam SMRS. Pada saat
mengalami kejang pasien tidak sadarkan diri, setelah kejang pasien sadar kembali. Pada saat
1 kali kejang berlangsung sekitar 30 menit. Keluarga pasien mengatakan tubuh pasien tiba-
tiba kaku dan mengalami kejang. Dalam 1 hari pasien bisa mengalami kejang sebanyak 3
kali. Sebelum kejang 1 minggu yang lalu kaki kanan pasien terkena jangkar kapal yang
berkarat. Keluarga pasien juga mengatakan bahwa mulut pasien kaku sehingga menyebabkan
pasien menjadi susah berbicara. Keluarga juga mengatakan bahwa leher pasien kaku.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa, Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-),
Riwayat usus buntu (-), Riwayat keganasan (-), Riwayat penyakit jantung, paru, hepar dan
ginjal (-)
3
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Riwayat usus buntu (-), Riwayat keganasan (-),
Riwayat penyakit jantung, paru, hepar dan ginjal (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya telah berobat ke klinik terdekat dan diberikan obat namun keluhan
tidak membaik
Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), pemakaian zat narkotika (-), alkohol (-)
4
Thorax Inspeksi: bentuk dada normal, gerak dinding dada simetris, tipe
pernapasan Abdominotorakal, sela iga normal, sternum datar,
retraksi sela iga (-)
Palpasi: pernapasan simetris, vocal fremitus sama kuat pada kedua
hemitorak, tidak teraba thrill, ictus cordis teraba di ICS V linea
axillaris anterior sinistra
Perkusi: Kedua hemithoraks terdengar sonor, batas paru dan hepar
setinggi ICS VI linea midclavicularis dextra dengan perkusi redup,
batas bawah paru dan lambung setinggi ICS VIII linea axillaris
anterior sinistra dengan perkusi timpani. Batas paru dan jantung
kanan di linea parasternal dextra ICS IV, batas paru dan jantung kiri
setinggi ICS V linea midclavicularis sinistra, batas atas jantung ICS
II linea parasternalis sinistra, pinggang jantung setinggi ICS III linea
parasternalis kiri
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-,
Bunyi Jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi: bentuk rata, smiling umbilicus (-), ikterik (-),
kemerahan (-), spider naevi (-), benjolan (-)
Auskultasi: bising usus 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: teraba perut seperti papan, massa (-), hepar dan lien tidak
teraba, ballottement ginjal (-), undulasi (-), CVA -/-
Nyeri tekan - - -
- - -
- - -
Perkusi: shifting dullness (-)
Ekstremitas Ekstremitas Atas
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2
detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-
Ekstremitas Bawah
Terdapat luka pada kaki sebelah kanan, turgor kulit baik, deformitas
-/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-
5
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
27/04/2019 23:23
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin 13,8 11,7 – 15,5 g/dl
Eritrosit 4,73 4,1-5,1 x 106/uL
Leukosit 17,44 4,4- 11,3 x 103/ul
Trombosit 212 150-400 x 103/uL
Hematokrit 39,8 40-52
Bleeding time 2.5 1 - 3 menit
Clotting time 12.5 5- 11 menit
MCV 84 80 - 100 fl
MCH 29 26 - 34 pg
MCHC 35 32 - 36 g/dl
RDW-CV 12,8 12,0-14,8 %
HbsAg Non Rekatif Non Reaktif
Kimia
Ureum 28,1 15,0 – 50,0 mg/dl
Kreatinin 0,83 0,50 – 0,90 mg/d
GDS 133 70-110
Natrium 132 134-143
Kalium 3,7 3,7-5,5
Klorida 104 98-107
Imunologi
Anti HIV Neoatif Neoatif
6
Pemeriksaan EKG
Kesan:
1.5 Resume
Pasien datang ke igd RSUD Karawang dengan keluhan kejang sejak 5 jam SMRS.
Dalam 1 hari pasien bisa mengalami kejang sebanyak 3 kali dan lama kejang sekitar 30
menit. Kejang diawali dengan kaku seluruh tubuh, pada saat kejang pasien tidak sadarkan
diri. Terdapat keluhan leher kaku dan mulut kaku sehingga pasien menjadi sulit berbicara.
Dalam pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesan gizi
cukup. Tekanan darah 130/90 mmHg. Status generalis didapatkan pada wajah rhisus
sardonikus (+), pada status lokalis regio ekstremitas bawah didapatkan luka pada kaki sebelah
kanan (+), pada status neurologis didapatkan kaku kuduk (+). Dalam pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan hasil ureum, kreatinin yang meningkat.
1.8 Tatalaksana
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Diazepam 5x1 IV
- Inj. Metronidazole 4x500 IV
- Inj. Omeprazole 2x1 IV
- Sirdalut 3x1
Operatif :
1.9 Prognosis
7
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.2 Definisi tetanus
Tetatnus adalah penyakit infeksi akut yang tampil dalam bentuk gangguan
neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin spesifik
kuman anaerob Clostridium Tetani. (dejong)
2.3 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik
yang sangat besar.21 Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka
kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000- 500.000 per tahun.2
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan penyebab
kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut. Tetanus pada anak
tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi
DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan
aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.
2.4 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri Clostridium
tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di
daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam
lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten
terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat
bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga
relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-
mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka
mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga
dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan
gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan,
9
persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau
jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
2.5 Patofisiologi
11
Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis
12
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut
mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis
untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan
kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat
dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun - masa istirahat‖ spasme makin pendek
sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak
bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi
kaku serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme
yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
13
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati
setelah potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG
2.9 Tatalaksana
Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas tiga upaya, yaitu mengatasi akibat
eksotoksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, menetralisasi toksin yang
masih beredar dalam darah, dan menghilangkan kuman penyebab.
14
2.10 Komplikasi
2.11 Prognosis
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien mengalami kejang sejak 5 jam SMRS. Dalam 1 hari pasien bisa mengalami
kejang sebanyak 3 kali dan lama kejang sekitar 30 menit. Kejang diawali dengan kaku
seluruh tubuh dan pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri. Satu minggu SMRS kaki
sebelah kanan pasien terkena jangkar kapal yang berkarat. Terdapat keluhan leher kaku dan
mulut kaku sehingga pasien menjadi sulit berbicara. Dalam pemeriksaan fisik didapatkan
pada wajah rhisus sardonikus, trismus, opistotonus, dan otot dinding perut kaku seperti
papan. Pada status lokalis pada regio ekstremitas bawah didapatkan luka pada kaki sebelah
kanan. Dalam pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil ureum, kreatinin yang
meningkat.
Oleh karena klinis pasien sudah jelas maka diagnosa mengarah ke tetanus.
Penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien adalah
15
BAB IV
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Seorang pasien laki-laki berusia 55 tahun dengan diagnosis apendisitis akut.
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada apendisitis, bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Maka dari itu pada pasien ini
dilakukan pembedahan apendektomi untuk pengangkatan apendiks agar tidak terjadi
komplikasi berupa abses atau perforasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
17