Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

APENDISITIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama Aceh

Pembimbing:
dr. Fahrul Junaidi, Sp.BV

Disusun Oleh:
Mulia Ramadhan, S.Ked
21174023

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang
dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Apendisitis”. Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani
kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama/ RSUDM Banda Aceh.

Selama penyelesaian Laporan ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan,


pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Fahrul Junaidi, Sp. BV yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
laporan ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan
profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan
Hikmah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 09 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
BAB II KASUS............................................................................................................2
2.1 IDENTIFIKASI PASIEN...............................................................................2
I. ANAMNESA..................................................................................................2
II. Pemeriksaan Fisik....................................................................................3
III. Pemeriksaan Penunjang............................................................................5
IV. Diagnosis Banding...................................................................................9
V. Diagnosis Sementara................................................................................9
VI. Tatalaksana...............................................................................................9
VII. Rencana Pemeriksaan...............................................................................9
VIII. Prognosis..................................................................................................9
IX. Follow Up...............................................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................12
3.1 ANATOMI....................................................................................................12
3.2 FISIOLOGI...................................................................................................14
3.3 DEFINISI......................................................................................................14
3.4 EPIDEMIOLOGI..........................................................................................14
3.5 ETIOLOGI....................................................................................................15
3.6 PATOLOGI...................................................................................................15
3.7 MANIFESTASI KLINIS..............................................................................16
3.8 PEMERIKSAAN FISIK...............................................................................17
3.9 DIAGNOSIS.................................................................................................18
3.10 LABORATORIUM......................................................................................19
3.11 DIAGNOSIS BANDING..............................................................................20
3.12 TATALAKSANA.........................................................................................21

ii
3.13 KOMPLIKASI..............................................................................................23
3.14 PROGNOSIS................................................................................................24
BAB IV PEMBAHASAN..........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis merupakan infeksi yang terjadi pada organ apendik atau sering
disebut radang usus buntu. Apendik juga dapat terjadi dalam proses infeksi, inflasi
dan proses kronik yang membutuhkan apendiktomi. Peradangan pada apendik
dimulai ketika pembukaan dari apendiks ke sekum menjadi tersumbat disebabkan
oleh penumpukkan lendir tebal atau tinja yang masuk ke dalam sekum itu
menghalangi saluran sehingga bakteri dapat berkembang biak membuat usus buntu
bengkak, meradang, hingga bernanah bahkan bisa menyebabkan pecahnya usus
buntu. Apendisitis juga merupakan penyakit gangguan pencernaan yang paling umum
meyebabkan bedah abdomen darurat.1

Pada tahun 2010 Insiden Apendisitis di dunia menurut WHO 27% sedangkan
angka mortalitas penyakit apendisitis adalah 0,2 - 0,8 % . Angka Insiden apendisitis
di Amerika mencapai 7% dari seluruh populasi di Amerika. Dari kasus-kasus ini,
terdapat dengan tanda-tanda klasik dan gejala nyeri pada kuadran kanan bawah,
demam ringan dan mual. Radang usus buntu di Afrika memiliki insiden yang lebih
rendah daripada di negara maju, umumnya memiliki jauh lebih banyak perjalanan
klinis yang serius.2

Apendisitis adalah peradangan yang disebabkan infeksi pada usus buntu, yang
dimana gejala umumnya nyeri perut bagian bawah kanan, mual, muntah dan nafsu
makan berkurang. Penyebab terjadinya peradangan pada apendiks (umbai cacing) dan
sering disebut Apendisitis adalah ketika ada sisa makanan yang tidak dapat keluar
dari apendiks dan jika tidak dilakukan tindakan pada peradangan tersebut dapat
mengakibatkan Apendiks pecah dan dapat mengakibatkan kematian dikarenakan
shock dan peritonitis.3

1
BAB II
KASUS

2.1 IDENTIFIKASI PASIEN

Nama : Keyla Aprilia


Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Blang Bintang
No. RM : 162127
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : pelajar/siswa
Tanggal Masuk : 01-20-2022

I. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSPUR dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri yang dirasakan tajam seperti
ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika
pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik Ketika
pasien diam dan beristirahat. Keluhan disertai muntah (+), mual (+), dan
demam. Sejak timbulnya gejala, nafsu makan pasien berkurang. Pasien juga
mengeluhkan BAB cair sejak 2 hari yang lalu dengan frekuensi 2x sehari,
batuk (-), pilek (-), BAK dalam batas normal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

2
 Disangkal
D. Riwayat penggunaan obat
 Ceftriaxone
 Ranitidin
 Domperidon
 Paracetamol
E. Riwayat Penyakit Keluarga
 Disangkal
F. Riwayat Kebiasaan Sosial
 Pasien suka makan pedas dan asam

II. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalisata
Kesadaran : E4 M6 V5 (15) = Compos Mentis
Kesadaran umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/80 mmhg
Nadi : 80 x/menit
VAS : 4/10
Suhu : 37,9 oC
Pernapasan : 20 x/menit

B. Status Internus
 Kepala dan Leher
 Mata : pupil isokor (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebral (-/-), eksoftalmus tidak ada
 Hidung : deviasi septum (-), secret (-), pernapasan cuping hidung (-)
 Mulut/faring : bibir kering (-), mukosa kering (-), sianosis (-), T1/T1,
Faring hiperemis (-)

3
 Leher : Deviasi trakea (-), tidak ada pembesaran KGB, tidak ada
peningkatan JVP

 Pemeriksaan Thorax
 Paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, barrel chest
(-)
Palpasi : fremitus taktil sama kanan dan kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas atas : linea midclavicuralis sinistra ICS 3
batas kanan : linea parasternalis dextra ICS 4
batas kiri : linea midclavicular sinistra ICS 5
Auskulasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Distensi abdomen (-) sikatrik (-),ascites (-)
- - -
Auskultasi : peristaltik (+)
- - -
Palpasi : nyeri tekan (+) kanan bawah, defans muscular (+),
+ - -
hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani (+) seluruh lapang abdomen
 Eksremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (-/-)

 Orthopedi
Look : dalam batas normal
Feel : dalam batas normal

4
Move : dalam batas normal

III. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Darah Lengkap (07/09/2021)

 Hemoglobin : 14,1 g/dl (13.0-17.0)


 Eritrosit : 4,84 x 106/ul (4.50-5.50)
 Hematokrit : 43.8 % (40.0- 50.0)
 MCV : 90.5 fL (80.0 – 96.0)
 MCH : 29.1 pg (27.0 – 32.0)
 MCHC : 32.2 g/dL (33.0 – 36.0)
 RDW – SD : 44.3 fL (35.0 – 47.0)
 RDW – CV : 13.0 % (11.5 – 14.5)
 Leukosit : 9.7 x 103/ ul (4.0 – 10.0)
 Trombosit : 215.000/ul (150 – 400)
 Eosinofil : 2.1% 1.0 – 6.0
 Basofil : 0.3% < 1
 Neutrofil : 63.1% 50.0 – 70.0
 Limfosit : 26.0% 20.0 – 40.0
 Monosit : 8.5% 2.0 – 8.0

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Pasien

5
Alvarado Score
Temua Skor Pasien
Gejala Klinis
Nyeri abdominal pindah ke fossa iliaka kanan 1 1
Nafsu makan menurun 1 1
Mual dan muntah 1 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas 1 0
Nyeri tekan fossa iliaka kanan 2 2
Demam (Suhu >37,20C) 1 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis (leukosit >10.000/ml) 2 2
Shift to the left (neutrofil >75%) 1 1
Total 10 9

6
USG Abdomen
Foto BOF :
Bayangan gas dalam usus meningkat di abdomen atas bercampur fecal dengan
distribusi minimal di cavum pelvis. Hepar dan lien tak tampak jelas
Contour kedua ginjal tak tampak dengan jelas
Tak tampak bayangan radioopaque sepanjang tr. Urinarius
Kesimpulan : Peningkatan gas usus

USG Abdomen Whole :


Abdomen Bawah :
Apendix : Lebar Lumen D,5,7 mm
Dinding Menebal
Tampak Koleksi Cairan di Abdomen Bawah Masif
Kesan :
Apendisitis Akut dengan koleksi cairan massif di Abdomen bawah ec Parsial
Perforasi

IV. Diagnosis Banding


1. Apendisitis Akut
2. Gastroenteritis
3. Limfadenitis Mesenterika

V. Diagnosis Sementara
Colic abdomen e.c dd.1 Apendisitis Akut

7
VI. Tatalaksana
Farmakologi :
1. IV Ranitidine ½ Ampul per 12 jam
2. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam ( 21.00 WIB)
3. Ketorolac 1 ampul / 8 jam
4. Drip. Metronidazole 250mg / 8jam
5. Drip. Paracetamol ½ FIS
6. Ambroxol Syr. 3 x 1

Operasi :
1. Apendictomy

VII. Rencana Pemeriksaan


1. TTV
2. Cek Darah lengkap

VIII. Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad fungtionam : dubia ad malam
c. Quo ad sanactionam : dubia ad malam

IX. Follow Up
Tanggal Follow up Terapi
07-09- S : nyeri perut post op (+), mual (+) , IV Ranitidine ½ Ampul per
2021 muntah (-), demam (-), batuk (+) 12 jam
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
O : KU : sedang ( 21.00 WIB)
TD : 110/70 mmHg Ketorolac 1 ampul / 8 jam
Drip. Metronidazole 250mg

8
HR : 79x/menit / 8jam
RR : 21x/menit Drip. Paracetamol ½ FIS
T : 36,7oC Ambroxol Syr. 3 x 1

A : Apendisitis akut Post Op


Apendictomy

08-09- S : nyeri perut post op (-),mual (+) , IV Ranitidine ½ Ampul per


2021 muntah (-), demam (-) batuk ( + ) 12 jam
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
O : KU : sedang ( 21.00 WIB)
TD : 90/70 mmhg Ketorolac 1 ampul / 8 jam
HR : 80x/menit Drip. Metronidazole 250mg
RR : 10x/menit / 8jam
T : 35,3oC Drip. Paracetamol ½ FIS
Ambroxol Syr. 3 x 1
A : Apendisitis Akut Post. Op
Apendictomy

09-09- S : pasien masih merasakan nyeri post IV Ranitidine ½ Ampul per


2021 op Mual (+) Muntah (-) batuk ( + ) 12 jam
O : KU : sedang Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD : 110/60 mmhg ( 21.00 WIB)
HR : 82x/menit Ketorolac 1 ampul / 8 jam
RR : 22x/menit Drip. Metronidazole 250mg
T : 36,1oC / 8jam
A : Apendisitis Akut Post op Drip. Paracetamol ½ FIS
Apendictomy Ambroxol Syr. 3 x 1

9
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira – kira 10 cm


(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus,
apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan memungkinkan apendiks bergerak, dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Selebihnya
apendiks terletak retroperineal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang kolon asendens,
atau di tepi lateran kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.4

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti


arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpati
berasal dari nervus torakalis X. Oleh sebab itu, nyeri visera pada apendisitis bermula
di sekitar umbilikus. Perdarahan berasal dari arteri apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada
infeksi, apendiks akan mengalami gangren.4

11
Gambar 3.1 Anatomi Apendiks

Jenis Posisi

Gambar 3.2 Jenis Posisi dan Letak Apendiks

1. 12 o clock: Retrocolic or retrocecal (dibelakang cecum atau colon)


2. 2 o clock: Splenic (ke atas kiri – Preileal and Postileal)
3. 3 o clock: Promonteric (secara horizontal menuju ke kiri ke arah sacral
promontory)

12
4. 4 o clock: Pelvic (turun ke dalam pelvis)
5. 6 o clock: Subcecal (di bawah caecum dan menuju ke inguinal canal)
6. 11 o clcok: Paracolic (menuju keatas kanan)5,6

3.2 FISIOLOGI

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1 – 2 mL per hari. Normalnya lendir


itu dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperanan pada patogenesis apendisitis.4

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (got associated


lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglubulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tabuh karena
jumlah jaringan Life di sini sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.4

3.3 DEFINISI

Apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut dari apendiks vermiformis,
yang secara sederhana sering disebut sebagai apendiks. Apendiks adalah suatu
struktur yang buntu, berasal dari sekum. Apendiks dapat terlibat dalam berbagai
proses infeksi, inflamasi, atau proses kronis yang dapat menyebabkan dilakukan
apendektomi. Kata “apendisitis” dan “apendisitis akut” digunakan secara bergantian
dengan maksud yang sama.7

3.4 EPIDEMIOLOGI

Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatkan penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari – hari.4

13
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20 – 30 tahun,
setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20 – 30 tahun, ketika insiden pada lelaki lebih tinggi.4

3.5 ETIOLOGI

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai


faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing Askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit
seperti E.histolytica.4
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut.4

3.6 PATOLOGI

Patologi apendisitis dapat bermula di mukosa dan kemudian melibatkan


seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 – 48 jam pertama. Upaya
pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler
yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya, dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses Aung dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk
abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.4

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi


membentuk jaringan parut yang lengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini

14
dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ ini
dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.4

3.7 MANIFESTASI KLINIS

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tanpa rangsang peritoneum local. Gejala klasik
apendisitis ialah nyeri samar – samar dan tumpul yang merupakan nyeri visera di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
ada muntah. Umumnya , nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan
obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.4

Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan


bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena apendiks
terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.4

Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan


gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis meningkat dan
pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulan. Jika apendiks tadi menempel
ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan
apendiks terhadap dinding kandung kemih.4

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian anak akan muntah sehingga

15
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, apendisitis sering
baru diketahui setelah terjadi perforasi.4

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak


ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut,
gejalanya sering samar – samar saja sehingga lebih dari sepuluh penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi.4

Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan
muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga
terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di
regio lumbal kanan4

3.8 PEMERIKSAAN FISIK

Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5oC. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
resital sampai 1oC. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlhat pada pendiri dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.4

Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada
penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut
tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam
untuk menentukan adanya rasa nyeri.4

Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan


nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke kanan
sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berebda dengan
pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari

16
uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai
dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks.4

Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat hilang akibat adanya ileus
paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai
dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvis.4

Pada apendisitis pelvis, tanda perut sering meragukan; maka, kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditunjukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangasangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan ataufleksi aktif sendi panggul kanan, kemudi paha kanan
ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di otot psoas mayor, tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk memeriksa apakah
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator Internusa yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi telentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvis.4

3.9 DIAGNOSIS

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis


apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15 – 20 % kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan lelaki. Hal ini
dapat disadari mengingat pada perempuan, terutama yang masih muda, seng timbul
gangguan yang menyerupai apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna
karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit ginekologi lain. Untuk
menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis meragukan,
sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap 1 – 2 jam.

Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan


akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.

3.10 LABORATORIUM

17
1. Hitung darah lengkap (complete bloodcount,CBC)–leukositosis,
neutrofilia, tanpa eosinofil

2. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada


pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CTscan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendiks al serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

3. Urinalisis—untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih dan di saluran


kemih,ginjal dan ureter.

I. Skor Alvarado

Skor Alvarado adalah suatu sistem pen-skor-an yang digunakan untuk


menetapkan ada atau tidaknya diagnosis appendisitis akut (penyakit usus buntu). Skor
Alvarado merupakan delapan komponen skor yang terdiri dari enam komponen klinik
dan dua komponen laboratorium dengan total skor maksimal 10. Dibawah adalah
tabel skor Alvarado:

Tabel Skor Alvarado Skor


Gejala Klinis
Nyeri abdominal pindah ke fossa iliaka kanan 1
Nafsu makan menurun 1
Mual dan muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas 1
Nyeri tekan fossa iliaka kanan 2
Demam (Suhu >37,20C 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis (leukosit >10.000/ml) 2

18
Shift to the left (neutrofil >75%) 1
Total 10

Interpretasi:

Skor 7-10 = Apendisitis akut

Skor 5-6 = Curiga apendisitis akut

Skor 1-4 = Bukan apendisitis akut.8

3.11 DIAGNOSIS BANDING

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai


diagnosis banding.4

GASTROENTERITIS. Pada gastroenteritis, gejala mual, muntah, dan diare


mendahului nyeri. Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak terbatas tegas. Sering
dijumpai adanya hiperperistaltik. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan apendisitis akut.4

DEMAM DENGUE. Demam Dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip
peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede,
trombositopenia, dan peningkatan hematokrit.4

LIMFADENITIS MESENTERIKA. Limfadenitis Mesenterika yang biasa


didahului oleh enteritis atau gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut, terutama
perut sebelah kanan, serta perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar,
terutama perut sebelah kanan.4

KELAINAN OVULASI. Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat


menimbulkan nyeri pada perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada
anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa
hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.4

19
INFEKSI PANGGUL. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut
bagian bawah lebih difusi. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan
dan infeksi urin. Pada pemeriksaan vaginal toucher, akan timbul nyeri hebat di
panggul jika uterus diayun. Pada gadis dapat dilakukan rectal toucher jika perlu untuk
diagnosa banding.4

KEHAMILAN DILUAR KANDUNGAN. Hampir selalu ada riwayat


terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur atau abortus
kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difusi
di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina,
didaptkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan
darah.4

KISTA OVARIUM. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi


dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, vagina toucher atau
rectal toucher. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis.4

3.12 TATALAKSANA

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu –
satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi,
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi.4

20
Gambar 3.3 Apendiktomi secara terbuka

Pada apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih . operasi ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Jika apendiks mengalami perforasi
maka abses disedot dan diguyur dengan NaCl dan disedot hingga bersih.4,5,6

Gambar 3.4 Apendiktomi menggunakan teknik laparoskopi

Laparoskopi merupakan tindakan mengguankan kamera fiberoptik yang


dimasukkan kedalam abdomen, apendiks dapat divisualisasi secara langsung. Teknik
ini dilakukan dibawah pengaruh anestesi umum. Bila saat melakukan tindakan ini di

21
dapatkan peradangan pada apendiks maka dapat langsung dilakukan pengangkatan
apendiks.5,6

3.13 KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa


perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus
halus.4

Gambar 3.5 Perjalanan alami apendisitis akut

MASSA PERIAPENDIKULER. Massa apendiks terjadi bila apendisitis


gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk
usus halus. Pada massa periapendikuler yang pembentukan dindingnya belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran bus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh sebab itu, massa periapendikuler
yang masih bebas (Mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah penyulit
tersebut.4

22
APENDISITIS PERFORATA. Adanya fekalit di dalam lumen, usia (orang
tua atau anak kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan
dalam terjadinya perforasi apendiks. Insiden perforasi pada penderita di atas usia 60
tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insiden perforasi
pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya
perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteroklerosis. Insiden
tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang.4

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai


dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh
perut, mungkin disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus
dapat menurun sampai hilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum
dapat terjadi bila bus yang menyebar terbatas di suatu tempat, paling sering di rongga
pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam
harus dicurigai sebagai abses.4

3.14 PROGNOSIS

Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat
serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2 – 0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit dari pada intervensi bedah. Pada anak, angka ini
berkisar 0,1 – 1 % sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di
atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada anamnesis, didapatkan keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah
sejak 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal berupa
mual dan muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada
apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien
juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi yang terjadi.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang,


dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37,90C dan VAS 4/10.
Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam
Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien.
Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada abdomen melalui
palpasi berupa : nyeri tekan dan defans muskular. Penemuan ini mendukung adanya
iritasi perit peritoneum parietalis yang diduga akibat peradangan apendiks. Pada
pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis


(13.400/μL) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu didapatkan skor 9 pada
alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai apendisitis akut. Alvarado score
sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien
untuk manajemen diagnostik lanjutan.

Temuan Skor Pasien

24
Gejala Klinis
Nyeri abdominal pindah ke fossa iliaka kanan 1 1
Nafsu makan menurun 1 1
Mual dan muntah 1 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas 1 0
Nyeri tekan fossa iliaka kanan 2 2
Demam 1 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis 2 2
Shift to the left 1 1
Total 10 9

Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan


untuk di lakukan operasi pada tanggal 08 September 2021, tindakan yang akan
dilakukan adalah appendctomy. Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisisitis
akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Sebagai tata laksana
awal pasien dipasangkan IV Ine untuk memudahkan akses memasukkan obat dan
rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL sebanyak 500 mL , 20 tetes / menit), antibiotik
(ceftriaxone 1 x 2 g IV) , antasida ( Ranitidin 2 x 50 mg IV) , antiemetik
( Domperidon 3 x 1), dan antipiretik ( Paracetamol 3 x 500 mg).

Setelah operasi selesai pasien mengeluhkan nyeri Post operasi di area


tindakan. Sebagai tata laksana Post – operasi terapi yang diberikan sebelumnya
berupa cairan, analgesik dan antibiotik di lanjutkan. Selain itu, perlu dilakukan
observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok,
hipertermia atau gangguan pernafasan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Widagdo., (2017). Masalah dan tatalaksana penyakit anak dengan nyeri perut.
Apendisitis (pp. 49-52), Jarta : Universitas Trisakti.

2. Jocelyn Cox., 2015 . Missed appendicitis diagnosis : A Cases Report. 59(3):


294-299.

3. Sjamsuhidajat & de jong., 2016.Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4, Vol


3.Jakarta:EGC

4. Nasution, 2013. Hubungan antara jumlah leukosit dengan Apendisitis Akut


dan Apendisitis Perforasi di RS USU dr.Soedarso Pontianak Tahun 2011. PS
Pendidikan Dokter FK Universitas Tanjungpura: Pontianak.

5. Townsend C M, Beauchamp R D,Evers B M, Mattox K L. Sabiston Textbook


Of Surgery, 18th Edition, Elsevier, India, 2008; pg 1333-47

6. Medchrome : Medical And Health Articles, Anatomy Of Appendix And


Appendicitis, December 9, 2015: http://medchrome.com/basicscience/
anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/

7. Menkes RI. 2013. Pediatric appendicitis. Medscape reference.

8. Emergency Diagnostic Radiology, Alvarado Score for Acute Appendicitis,


2009 : http://emergencyradiology.wordpress.com/2009/02/05/alvarado-
scorefor- acute-appendicitis/

26
27

Anda mungkin juga menyukai