Hepatitis C Kronik
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Disusun oleh
Priska Amelia Belopandung
112018012
Pembimbing :
dr. Eny Ambarwati, Sp.PD, FINASIM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
“Hepatitis C Kronik”
Disusun Oleh:
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini,
penulis bisa menyelesaikan tugas laporan kasus yang diberi judul “Hepatitis C
Kronik”.
Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai “Hepatitis C Kronik” dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Krida Wacana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Eny Ambarwati, Sp.PD, FINASIM, yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan
dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan
masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga laporan
kasus ini membawa manfaat bagi kita semua.
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iv
iv
3.8 Pemeriksaan Penunjang....................................................................................................... 19
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Perut terasa begah sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Perut terasa begah sejak 3 hari SMRS. Perut begah dirasakan dirasakan bersamaan
dengan perut yang semakin membesar, nyeri pada bagian ulu hati juga ada, hilang timbul serta
seperti ditusuk-tusuk, mereda bila pasien berbaring, mulai terasa lagi bila pasien sudah minum
susu. Pasien mengatakan mulai sendawa, rasa tidak enak di tenggorokan sampai dirasakan pahit
pada lidah dan juga mual dirasakan pasien, tetapi tidak mencapai muntah. Pasien juga merasakan
sesak sampai sudah sulit untuk berjalan dan melakukan buang air kecil, tidak ada demam, batuk,
maupun pilek. Pola makan pasien 3 kali sehari dengan nasi setengah dan lauk habis. Pasien
mengeluhkan juga BAB keras seperti batu, berwarna abu-abu pada pagi hari, BAK pasien
berwarna kuning pekat seperti teh.
Sebelum didiagnosis pasien mengatakan pernah melakukan transfusi darah pada tahun
1984, karena muntah darah sebanyak 1 gayung dengan warna merah. Pasien juga memiliki
kebiasaan merokok dan minum alkohol.
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah dioperasi. DM (-), hipertensi (-), jantung (-), alergi (-).
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien adalah seorang pensiunan. Kegiatannya sehari-hari hanya dirumah bersama
dengan cucu-cucunya.
3
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), coated tongue (-), atrofi lidah (-), tremor (-)
Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-), JVP 5-2 cmH2O
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi Bentuk dada normal Bentuk dada bagian belakang tidak
Kelainan dinding dada: bekas dapat dinilai
operasi (-), pelebaran vena Bentuk scapula tidak dapat dinilai
superfisialis (-), spider nevi (-), Bekas luka ataupun benjolan tidak
retraksi sela iga (-) dapat dinilai
Jenis pernapasan torakoabdominal
Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi Tidak teraba adanya pembesaran Nyeri dan pelebaran sela iga tidak
kelenjar getah bening dapat dinilai
Nyeri (-/-), pelebaran sela iga (-/-) Vokal fremitus tidak dapat dilakukan
Vokal fremitus sama pada kanan
dan kiri
Perkusi Perkusi terdengar sonor pada Perkusi tidak dapat dilakukan
kedua lapang paru
Cor
Inspeksi Tidak terlihat pulsasi pada ictus
cordis
Palpasi Ictus cordis tidak teraba
4
Perkusi Batas kanan jantung linea
sternalis dextra ICS 4
Batas atas jantung linea
sternalis sinistra ICS 2
Batas pinggang linea
parasternalis sinistra ICS 3
Batas bawah jantung linea
midclavicularis sinistra ICS 5
Batas kiri jantung linea
axillaris anterior sinistra ICS 6
Auskultasi Bunyi jantung I dan II terdengar
regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi Perut cembung, asites (+), massa (-)
di umbilicus, ptechiae (-), striae (-),
tanda-tanda peradangan (-)
Ekstremitas
Superior: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), ptechiae (-/-), CRT < 2”, motorik 5/5.
Inferior: Akral hangat, sianosis (-/-), pitting edema (-/-), ptechiae (-/-), CRT < 2”, motorik
5/5.
5
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan USG Abdomen IGD pada tanggal 24 Januari 2019.
Kesan:
- Hepatomegali dengan chronic liver disease, suspek disertai dengan hipertensi porta
- Ascites perihepatika, hepatorenal, parakolika bilateral, perisplenika, dan perivesika
- Kista ginjal kiri simpleks multipel
6
Pemeriksaan laboratorium PU pada tanggal 2 Februari 2019, pukul 06:39 WIB.
Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11.1 * 13.0 – 18.0 g/dL
Hematokrit 29 * 40 – 52%
Eritrosit 3.5 * 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 8700 4,800 – 10,800 / uL
Trombosit 343000 150,000 – 400,000/uL
MCH 32 27 – 32 pg
MCV 85 80 – 96 fL
MCHC 38 * 32 - 36 g/dL
Koagulasi
WAKTU PROTROMBIN (PT)
Kontrol 11.1 Detik
Pasien 13.5 * 9.3 – 11.8 detik
APTT
Kontrol 24.0 Detik
Pasien 27.0 23.4 – 31.5 detik
Kimia Klinik
Bilirubin Total 9.32 * < 1.5 mg/dL
SGOT (AST) 1168 * < 35 U/L
SGPT (ALT) 440 * < 40 U/L
Albumin 2.2 * 3.5 – 5.0 g/dL
Natrium (Na) 125 * 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.1 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 91 * 95 – 105 mmo/L
7
Pemeriksaan laboratorium PU pada tanggal 4 Februari 2019, pukul 22:17 WIB.
Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11.2 * 13.0 – 18.0 g/dL
Hematokrit 29 * 40 – 52%
Eritrosit 3.4 * 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 11570 * 4,800 – 10,800 / uL
Trombosit 339000 150,000 – 400,000/uL
Hitung Jenis:
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 1 1–3%
Neutrofil 88 * 50 – 70 %
Limfosit 7 * 20 – 40 %
Monosit 4 2–8%
MCH 33 * 27 – 32 pg
MCV 85 80 – 96 fL
MCHC 39 * 32 - 36 g/dL
RDW 18.40 * 11.5 – 14.
Kimia Klinik
Natrium (Na) 121 * 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 3.7 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 92 * 95 – 105 mmo/L
8
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0* 1–3%
Neutrofil 91 * 50 – 70 %
Limfosit 5 * 20 – 40 %
Monosit 4 2–8%
MCH 33 * 27 – 32 pg
MCV 87 80 – 96 fL
MCHC 38 * 32 - 36 g/dL
RDW 20.50 * 11.5 – 14.
Kimia Klinik
SGOT (AST) 1892 * < 35 U/L
SGPT (ALT) 498 * < 40 U/L
Albumin 2.3 * 3.5 – 5.0 g/dL
Ureum 68 * 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 1.2 0.5 – 1.5 mg/dL
eGFR (Formula MDRD) 78.03 mL/mnt/1.73𝑚2
Natrium (Na) 123 * 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.4 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 96 95 – 105 mmo/L
2.5. RESUME
Laki-laki berusia 47 tahun dengan keluhan perut terasa begah, sesak napas, asites, mual
dan nyeri ulu. Pasien juga menjadi sulit berjalan, hanya terbaring di tempat tidur. BAB keras
seperti batu, berwarna abu-abu pada pagi hari, BAK pasien berwarna kuning pekat seperti teh.
Pasien memiliki riwayat merokok, minum-minuman alkohol dan pernah transfusi darah sejak
1984 saat pasien muntah darah dengan warna merah. Riwayat pengobatan obat lambung warung.
Pada PF didapatkan kesadaran CM, keadaan umum tampak sakit sedang dan TTV yang
lain dalam batas normal. Konjungtiva pucat (+/+) Sklera ikterik (+/+). Perut cembung, asites (+),
nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba membesar 3 jari di bawah processus xiphoideus dengan
permukaan berbenjol-benjol dan pinggirannya tumpul, shifting dullness (+) dan undulasi (+).
9
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, anemia makrositik hiperkrom, leukositosis,
eosinopenia, peningkatan neutrofil, penurunan limfosit, hiperbilirubinemia, SGOT SGPT
meningkat, ureum meningkat, hipoalbumin, hipernatremia, dan anti HCV reaktif. Hasil dari USG
adalah hepatomegali dengan chronic liver disease dan foto thorax adalah kalsifikasi multipel di
lapangan atas paru kanan.
2. Hepatitis C Kronik
- Atas dasar: Keluhan perut begah dan semakin membesar, riwayat minum alkohol, nyeri
tekan epigastrium, hepar teraba membesar 3 jari di bawah processus
xiphoideus dengan permukaan berbenjol-benjol dan pinggirannya tumpul.
Sklera ikterik (+/+), asites, shifting dullness (+) dan undulasi (+). Anti HCV
yang reaktif.
- Rencana diagnostik: biokimia hati, USG dan biopsi hati.
- Rencana pengobatan: pungsi asites, daclatasvir tablet 60 mg x 1 dan sofosbuvir tablet
400mg x 1.
10
- Rencana monitoring: SGOT, SGPT.
- Prognosis:
Qua ad vitam: dubia ad bonam.
Qua ad functionam: dubia.
Qua ad sanationam: dubia.
3 – 2 – 2019 S : lemas, perut masih terasa begah, sesak (-) P : IVFD NaCl 0,9%
O : Ks: CM, Ku: TSB TD: 130/80mmHg, 500ml/8jam
N:81x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,5 C Drips SNMC III amp
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+ dalam DS % 100ml/24jam
Pulmo : normovesikuler +/+, ronkhi -/-, HP Pro 3x1, curuma 3x1,
wheezing -/- NaCL caps 3x5mg,
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop - Omeprazole 2x20mg PO,
11
Abd : asites (+), ptechiae (-) Vip Albumin 3x1, Lasix
1x4mg, spironolakton
Extremitas: edema tungkai (-/-), ptechiae (-)
2x25mg PO, propanolol
A : Asites pada sirosis hati, hepatitis C, penyakit 2x1mg PO, Soposbuvir
ginjal kronik, anemia, hiperalbumin 1x600mg, Davastasvir
1x60mg, Kalitake 3x1
sachet
4 – 2 – 2019 S : lemas, perut masih terasa begah, sesak (+) P : IVFD NaCl 0,9%
O : Ks: CM, Ku: TSB, TD: 110/70mmHg, 500ml/8jam
N:77x/mnt, RR:18x/mnt, T: 36,7 C Drips SNMC III amp
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+ dalam DS % 100ml/24jam
Pulmo : vesikuler +/+ melemah pada basal paru HP Pro 3x1, curuma 3x1,
kiri, ronkhi -/-, wheezing -/- NaCL caps 3x5mg,
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop - Omeprazole 2x20mg PO,
Abd : asites (+), lingkar perut 113 cm, ptechiae Vip Albumin 3x1, Lasix
(+) 1x4mg, spironolakton
Ext: edema tungkai (-/-), ptechiae (+) 2x25mg PO, propanolol
Hb: 5,6 gr/dL (↓), Leukosit 4.380/uL (↓), 2x1mg PO, Soposbuvir
Trombosit 100.000/uL (↓), MCV 78 fL (↓), 1x600mg, Davastasvir
MCH 26 pg (↓). 1x60mg, Kalitake 3x1
sachet
A : Asites pada sirosis hati, hepatitis C, penyakit - Pungsi asites
ginjal kronik, anemia, hiponatremi, hipokalemi
5 – 2 – 2019 S : Perut begah, muntah 2x pada malam hari P : IVFD NaCl 0,9%
berisikan air. Post pungsi asites (2 liter) dan 500ml/8jam
perut awalnya sudah merata 1 hari yang lalu dan Drips SNMC III amp
sekarang sudah cembung kembali. dalam DS % 100ml/24jam
O : Ks: CM, Ku: TSB, TD: 120/70mmHg, HP Pro 3x1, curuma 3x1,
N:67x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,4 C NaCL caps 3x5mg,
12
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+ Omeprazole 2x20mg PO,
Pulmo : vesikuler +/+ melemah pada apeks paru Vip Albumin 3x1, Lasix
kiri, ronkhi -/-, wheezing -/- 1x4mg, spironolakton
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop - 2x25mg PO, propanolol
Abd : asites (+), ptechiae (-) 2x1mg PO, Soposbuvir
Ext: edema tungkai (-/-), ptechiae (-) 1x600mg, Davastasvir
1x60mg, Kalitake 3x1
A : Asites pada sirosis hati, hepatitis C, penyakit sachet
ginjal kronik, anemia
6 – 2 – 2019 S : Perut begah sudah berkurang, sulit untuk P : IVFD NaCl 0,9%
mengubah posisi tidur. BAB dan BAK tiap 15 500ml/8jam
menit, cair semua. Hepatomegali, keras, Drips SNMC III amp
pinggiran tumpul pada regio epigastrium dalam DS % 100ml/24jam
O : Ks: CM, Ku: TSB TD: 110/70mmHg, HP Pro 3x1, curuma 3x1,
N:67x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,7 C NaCL caps 3x5mg,
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+ Omeprazole 2x20mg PO,
Pulmo : vesikuler +/+ melemah pada basal paru Vip Albumin 3x1, Lasix
kiri, ronkhi -/-, wheezing -/- 1x4mg, spironolakton
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop - 2x25mg PO, propanolol
Abd : asites (+), lingkar perut 95 cm, ptechiae (-) 2x1mg PO, Soposbuvir
Ext: edema tungkai (-/-), ptechiae (-) 1x600mg, Davastasvir
1x60mg, Kalitake 3x1
A : Asites pada sirosis hati, hepatitis C, penyakit sachet
ginjal kronik, anemia, hiponatremi
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Hepatitis C adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang
terutama menyerang hati. HCV adalah virus RNA yang digolongkan dalam Flavivirus bersama-
sama dengan virus hepatitis G, yellow fever, dan dengue. Virus ini umumnya masuk ke dalam
darah melalui transfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung terpapar
dengan sirkulasi darah. Target utama HVC adalah sel-sel hati dan mungkin juga sel limfosit B
melalui reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel-sel hati maupun
limfosit B atau reseptor LDL (LDLR).3
Berdasarkan konvensi, infeksi HCV akut merujuk pada enam bulan pertama infeksi HCV
setelah diduga terpapar HCV.4 Infeksi HCV menyebabkan gejala akut pada 15% kasus. Gejala
umumnya ringan atau asimtomatis. Infeksi sembuh secara spontan pada 10-50% kasus, yang
terjadi lebih sering pada individu muda dan perempuan. Sekitar 80% dari orang yang terkena
infeksi HCV berkembang menjadi infeksi kronis. Ini didefinisikan sebagai adanya replikasi virus
terdeteksi setidaknya selama enam bulan. Sebagian besar mengalami gejala minimal atau tidak
mengalami gejala apapun selama beberapa dekade awal infeksi. Infeksi kronis setelah beberapa
tahun dapat menyebabkan sirosis atau kanker hati serta manifestasi ekstrahepatik.5
3.2 Epidemiologi
Hepatitis C merupakan salah satu masalah besar kesehatan masyarakat dunia. Virus
hepatitis C (HCV) adalah penyebab utama hepatitis akut dan kronis. Sekitar 130-170 juta orang
terinfeksi hepatitis C (HCV) di seluruh dunia, 2,35% dari total penduduk dunia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan sekitar 71 juta orang di dunia memiliki hepatitis C
kronis.1,2 Di Amerika Serikat, kejadian infeksi HCV akut telah menurun tajam selama dekade
terakhir, tetapi prevalensinya tetap tinggi. Menurut perkiraan US Centers for Disease Control
and Prevention (CDC), 2,7-3,9 juta orang (kebanyakan lahir dari 1945 hingga 1965) di Amerika
Serikat memiliki hepatitis C kronis yang berkembang pada sekitar 75% pasien setelah infeksi
akut.6 Di Indonesia, belum ada data resmi mengenai infeksi HCV tetapi dari laporan pada
14
lembaga transfusi darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh HCV. Pada studi
populasi umum di Jakarta prevalensi HCV lebih kurang 4%.3
3.3 Etiologi
Sumber penularan HCV yang paling umum adalah paparan produk darah sebelum
prosedur pengujian HCV rutin; berbagi jarum yang terkontaminasi di antara pengguna narkoba
suntikan; transfusi darah, dan menggunakan kembali jarum suntik atau peralatan medis lainnya
yang tidak disterilkan terlebih dahulu.5
Hemodialisis 8.3
Operasi 1.0
15
3.4 Patofisiologi
Virus hepatitis C adalah virus non-sitopatik yang memasuki sel hati dan mengalami
replikasi secara bersamaan yang menyebabkan nekrosis sel oleh beberapa mekanisme termasuk
sitolisis yang dimediasi oleh imun di samping berbagai fenomena lain seperti steatosis hati, stres
oksidatif dan resistensi insulin. Protein/peptida yang dikodekan oleh sub-genomik yang berbeda
dari genom HCV dan quasispesies mereka mempengaruhi mekanisme tersebut dan memiliki
peran penting dalam patogenesis HCV dan penyebab penyakit.7
Gambar 3.1 Pengaturan patogenesis virus hepatitis C oleh host immunity dan faktor metabolik.7
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh HCV pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih
mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa
menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik HCV sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-
helper (Th) spesifik HCV. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat
pada reaksi toleransi dan melemahnya respons CTL.3
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α,
TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-
sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan ‘tenang’
16
(quiscent) kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat
menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan
sitokin-sitokin pro inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi
yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang
ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.3
Patofisiologi manifestasi ekstrahepatik pada hepatitis C kronis belum diketahui dengan
pasti, namun dihubungkan dengan kemampuan HCV untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga
mengganggu respons sistem imunologis. Infeksi HCV kronis - kompleks imun dan
krioglobulinemia, manifestasi ekstrahepatik yang sering terjadi, dan kaitan yang kuat dengan
glomerulonefritis membranoproliferatif - memberikan dukungan kuat untuk HCV sebagai
penyebab penyakit ginjal kronik (PGK). Namun, glomerulonefritis merupakan penyebab PGK
yang relatif jarang pada populasi umum dan hubungan epidemiologi antara HCV dan PGK masih
diperdebatkan. Khususnya di Amerika Serikat dan Eropa, infeksi HCV sangat terkait dengan
penggunaan narkoba suntikan.8
17
Gambar 3.3 Manifestasi ekstrahepatik yang dilaporkan terkait dengan infeksi HCV kronik2
3.6 Anamnesis
Penegakan diagnosis Hepatitis C dengan anamnesis menjadi suatu tantangan tersendiri
karena pasien kerap tidak memiliki keluhan. Jikalau memiliki keluhan, beberapak keluhan
nampak tidak khas seperti fatigue, malaise, anoreksia. Tetapi ada beberapa faktor risiko yang
dapat ditanyakan jika mencurigai seseorang menderita hepatitis seperti riwayat penggunaan
narkoba suntik, riwayat transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, riwayat menjalani
tindakan invasif, riwayat tertusuk jarum suntik, riwayat terkena cairan tubuh pasien yang
menderita hepatitis C.9
18
3.8 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Hepatitis C dilakukan dengan pemeriksaan antibodi yang dibentuk oleh tubuh
akibat infeksi virus Hepatitis C. Deteksi antibodi terhadap infeksi virus Hepatitis C dapat
dilakukan dengan metode EIA (Enzyme Immuno Assay). Pemeriksaan ini menggunakan
poliantigen dari virus Hepatitis C untuk mendeteksi virus Hepatitis C. Antibodi terhadap virus
hepatitis C dapat ditemukan 4 – 10 minggu pasca infeksi dengan sensitifitas mencapai 99% dan
spesifisitas lebih dari 90%. Dahulu immunoblot assay masih digunakan untuk mengkonfirmasi
hasil pemeriksaan EIA. Akan tetapi, saat ini dengan perkembangan teknologi menyebabkan
peningkatan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan EIA sehingga tes konfirmasi ini tidak perlu
digunakan lagi.3
Pemeriksaan lain yang sering digunakan adalah deteksi RNA virus hepatitis C untuk
mengetahui keberadaan virus ini di dalam serum pasien sehingga pemeriksaan ini lebih
menggambarkan adanya infeksi yang terjadi di dalam tubuh. Teknik yang digunakan saat ini
adalah teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan terlebih dahulu menggandakan gen
virus hepatitis C menggunakan enzim polimerase terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena
jumlah virus hepatitis C di dalam serum dan hati relatif sangat sedikit diperlukan amplifikasi
terlebih dahulu agar dapat terdeteksi. Setelah itu, dilakukan deteksi virus hepatitis C di mana
pemeriksaan ini dapat melakukan pengukuran baik pengukuran kualitatif maupun pengukuran
kuantitatif. Selain itu deteksi menggunakan PCR juga dapat mendeteksi genotipe dari virus
hepatitis C dengan teknik hibridisasi dan sequencing. Teknik yang dianggap terbaik saat ini
adalah teknik dengan menggunakan Real Time PCR untuk deteksi nukleotida. Pemeriksaan ini
dianggap lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan lainnya.3,10
Beberapa pemeriksaan lain dapat digunakan pada fase akut seperti ALT dan AST akan
tetapi pemeriksaan ini tidak dapat spesifik menentukan infeksi virus hepatitis C karena hanya
mendeteksi adanya infeksi akut pada hati. Pemeriksaan lainnya untuk mengetahui derajat
kerusakan hati dapat dilakukan seperti pemeriksan USG hati dan pemeriksaan biopsi. Kedua
pemeriksaan ini untuk mengetahui derajat kronisitas penyakit hati yang sedang terjadi.9
Kriteria diagnostik untuk dikatakan seorang pasien mengalami infeksi hepatitis C kronis
adalah anti-HCV positif dan RNA HCV yang terdeteksi dalam 2 kali pemeriksaan yang berjarak
> 6 bulan.9
19
3.9 Tatalaksana
Tatalaksana pada penyakit hepatitis C kronis secara umum dilakukan dengan terapi
interferon konvensional/pegylated interferon dan ribavirin selama 1 tahun – 72 minggu.
Pemberian intereron konvensional diberikan sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam seminggu dengan
dosis 3 juta unit subkutan setiap pemberian. Pada Pegylated Interferon, diberikan dosis 1,5 ug /
kgBB / hari. Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien <
50 kg 800 mg, 50 kg – 70 kg 1000 mg, > 70 kg sebesar 1200 mg dibagi dua kali pemberian
dalam sehari.3 Ada pengobatan antivirus baru, yaitu direct acting antiviral (DAA) merupakan
obat oral dengan masa terapi yang lebih pendek dibandingkan interferon yang menunjukkan hasil
yang baik terhadap penyembuhan HCV pada kebanyakan pasien dengan profil keamanan yang
sangat baik. Salah satunya adalah Sofosbuvir dan Daclatasvir dengan masa pemberian 12-24
minggu. Dosis untuk Sofosbuvir adalah nya 400 mg per hari sedangkan dosis untuk Daclatasvir
adalah 60 mg per hari. Efek samping yang dihasilkan pun lebih rendah dibandingkan interferon,
antara lain insomnia, sakit kepala dan muntah-muntah.2
3.10 Prognosis
Pasien usia lanjut dengan penyakit medis serius yang mendasari mungkin mempunyai
perjalanan yang memanjang dan lebih cenderung untuk mengalami penyakit hati yang berat.
Gambaran klinis yang terjadi seperti asites, edema perifer, dan gejala ensefalopati hati memberi
kesan prognosis yang lebih buruk. Selain itu waktu protombin yang memanjang, kadar albumin
serum yang rendah, hipoglikemia, dan nilai bilirubin yang sangat tinggi mengesankan penyakit
hepatoseluler yang berat.11
Klasifikasi sirosis hati menurut Child-Pugh yang digunakan sebagai dasar prognosis
sirosis hati.12,13
20
Tabel 3. 3 Klasifikasi Child-Pugh13
21
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pasien menunjukkan gejala hepatitis C kronis seperti ikterus dan asites. Hal ini
merupakan perjalanan penyakit yang cukup cepat jika dilihat dari waktu pasien menyadari
gejala-gejala yang muncul. Padahal dibutuhkan waktu sekitar 20-30 tahun pada 15-20% pasien
hepatitis C kronik untuk menjadi sirosis hati. Ini berarti tidak menutup kemungkinan pasien telah
menderita hepatitis C cukup lama, mungkin dari usia muda.
Skor Child-Pugh pada pasien jika dihitung termasuk kedalam tingkat Child-Pugh C yaitu
dengan skor 10, dengan belum adanya pemeriksaan INR.
Gejala klinis yang menonjol pada Tn. SMS adalah ikterus dan hepatomegali. Perlahan-
lahan muncul asites skala ringan. Asites merupakan akumulasi cairan pada rongga peritoneum
yang biasanya ditemukan pada pasien sirosis hati. Penanganan pada asites adalah dengan
melakukan pungsi asites. Pemeriksaan pencitraan seperti USG dapat dilakukan untuk
mengevaluasi pasien sirosis hati. Melalui USG abdomen dapat dievaluasi ukuran hati, sudut hati,
permukaan, homogenitas, ada/tidaknya massa. Pada penderita sirosis hati lanjut maka hati akan
mengecil dan nodular dengan permukaan yang tidak rata dan ada peningkatan ekogenitas
parenkim hati. Selain itu, melalui pemeriksaan USG dapat dilihat ada tidaknya asites,
splenomegali, trombosis dan pelebaran vena porta. Pemeriksaan EGD untuk menegakkan
22
diagnosa varises esofagus dan varises gaster. Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah
biopsi hati melalui perkutan, transjugular, laparaskopi atau dengan biopsi jarum halus.
Pemeriksaan USG untuk mendeteksi cairan asites sebaiknya dengan doppler karena dapat
mendeteksi cairan asites dalam jumlah yang lebih sedikit dan harus dilakukan bila pemeriksaan
fisik tidak jelas atau penyebab awitan asites tidak diketahui (menyingkirkan sindrom Budd-
Chiari atau trombosis vena porta). Dengan USG juga dapat menegakkan asites karena USG
memiliki angka ketelitian yang tinggi.
Komplikasi dari hepatitis C pada pasien yang telah terjadi adalah asites .Sebagian besar
kasus terjadi pada pasien dengan asites karena sirosis. Risiko SBP sekitar 15% dalam 3 tahun
pertama setelah onset asites. Terjadinya SBP diduga terjadi karena bakteremia yang
berkepanjangan karena gangguan mekanisme pertahanan tubuh dan penurunan aktivitas
bakterisida dalam cairan asites. Aktivitas bakterisida bergantung pada total protein dalam cairan,
berdasarkan hasil penelitian bahwa SBP lebih mungkin berkembang pada pasien dengan
konsentrasi protein < 1g/dl daripada pasien dengan konsentrasi protein >2g/dl. Gejala dari SBP
biasanya asimptomatik, tetapi umumnya adalah demam menggigil dan sakit perut tetapi pasien
bisa menunjukkan gejala hipotensi atau ensefalopati hati. Untuk diagnosis dibutuhkan analisa
cairan asites ditemukan peningkatan jumlah neutrofil > 250 sel/mm tanpa adanya sumber infeksi
intra abdominal serta kultur cairan asites ditemukn sel PMN >250 sel/mm.13,14 Pemberian terapi
sefotaxim selama 5 hari yang merupakan golongan cephalosporin generasi ketiga merupakan
terapi terbaik untuk mengobati SBP, pemberian aminoglikosida harus dihindari karena berisiko
nefrotoksis pada pasien sirosis.
23
BAB V
KESIMPULAN
Virus hepatitis C dapat menyebabkan peradangan kronis yang terjadi pada hati yang
dikenal dengan istilah hepatitis C. Peradangan ini banyak terjadi pada berbagai populasi manusia
termasuk pasien – pasien dengan gangguan ekstrahepatal lainnya. Hal ini dapat timbul karena
penularan/ transmisi yang dapat ditularkan oleh berbagai media seperti jarum suntik, penggunaan
alat medis bersama, kontak cairan, dan lain-lain. Manifestasi klinis yang tampak pada pasien-
pasien tersebut kadang tidak tampak terlihat dan hanya menampilkan gejala-gejala dari penyakit
penyertanya.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Hepatitis C [Internet]. World Health Organization. 2018 [cited 11 Feb 2019]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs164/en/
2. Cacoub P, Desbois A, Isnard-Bagnis C, Rocatello D, Ferri C. Hepatitis C virus infection and
chronic kidney disease: Time for reappraisal. Journal of Hepatology. 2016;65(1):S82-S94.
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2014. p. 2998-3007
4. Blackard J, Shata M, Shire N, Sherman K. Acute hepatitis C virus infection: A chronic
problem. Hepatology. 2007;47(1):321-331.
5. Wilkins T, Malcolm J, Raina D, Schade RR. Hepatitis C: diagnosis and treatment. American
Family Physician. 2010;81(11);1351-1357.
6. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Testing for HCV infection: an update of
guidance for clinicians and laboratorians. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2013 May 10. 62
(18):362-5.
7. Irshad M. An insight into the diagnosis and pathogenesis of hepatitis C virus infection. World
Journal of Gastroenterology. 2013;19(44):7896.
8. Lucas G. Association between hepatitis C virus and chronic kidney disease: heterogeneity
begets heterogeneity. Kidney International. 2017;92(3):546-548.
9. Idrus A, Simon S, Rudy H, Juferdy K, Dicky L T. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
10. Longo, D. (2013). Harrison's Gastroenterology and Hepatology. McGraw-Hill Professional.
11. Dienstag JL, Isselbacher KJ, Podolsky DK. Hepatitis Kronik dan penyakit hati yang berkaitan
dengan alkohol dan sirosis. Dalam: Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed 13. Vol 4.
Jakarta:EGC;2018.h.1665-1675.
12. Setiawan M. Hubungan antara kejadiaan asites pada cirrhosis hepatis dengan komplikasi
spontaneous bacterial peritonitis. 2011;7(15).h.79-83 .
13. Budhiarta DMF. Penatalaksanaan dan edukasi pasien sirosis hati dengan varises esofagus di
RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014. Jurnal Medika. 2016;5(7).1-5.
14. Gani RA. Hepatitis C dan sirosis hati. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Ed 6. Jakarta: Interna
Publishing;2014.h.1974-88.
25
15. Sanjaya RP. A 50 years old man with cirrohosis hepatis dekompensata.Lampung:Universitas
Kedokteran Lampung: 2014;h.1-5.
16. Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and Management of Gastroesophageal Varices and
Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Am J Gastroenterol. 2007.p.2086–2102.
17. Dienstag JL, Isselbacher KJ, Podolsky DK. Hepatitis Kronik dan penyakit ati yang berkaitan
dengan alkohol dan sirosis. Dalam: Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed 13. Vol 4.
Jakarta:EGC;2018.h.1665-1675.
18. Sood R. Acites: Diagnosis and management. Journal of Indian Academy of Clinical
Medicineno;5(1):1-9.
19. GUT Moore, K P, G P Athal. Guidelines on management of ascites in
cirrhosis.Gut2006;55;1-12.
20. Mulyani T, Rahmawati F, Ratnasari N. Evaluasi penggunaan kombinasi spironolakton dan
furosemid pada pasien sirosis hati dengan asites premagna.Jurnal manajemen dan pelayanan
farmasi. 2017 Jun;7(2).h.1-8.
21. Europian Association for Study of the Liver. EASL clinical practise guidelines on the
management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrom in
cirrhosis. Journal of Hepatology. 2010;(53).h.397–417.
26