Disusun Oleh :
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Peritonitis Umum ec causa Perforasi Gaster pada Anak dengan Necrotizing Enterocolitis
Disusun Oleh :
112018029
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini telah menjadi tantangan sekaligus
kepuasan tersendiri bagi penulis untuk mengimplimentasikan ilmu yang telah diperolehnya pada
rotasi stase ini. Sangat disadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan doa dari begitu
banyak pihak hingga tugas akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat padawaktunya.
Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Ilmu Bedah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikan tugas akhir ini. Melalui
kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Dr.
dr. Catur S. Sutisna, Sp.B, Sp.BA selaku pembimbing dan mentor yang telah memberikan
informasi, kritikan, dan saran yang membangun untuk untuk dapat menghasilkan karya yang lebih
baik lagi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan karena
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu dengan kerendahan hati saya
mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca guna
perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.
Penulis
BAB I
Peritonitis merupakan Radang lapisan peritonium pada perut bisa akibat infeksi, auto imun
dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer atau sekunder. Pada peritonitis primer,
sumber infeksi berasal dari luar perut dan tumbuh di ruang peritonium lewat penyebaran
hematogen atau limfogen Peritonitis sekunder uncul dari ruang perut sendiri melalui perluasan dari
atau melalui viskus intra-abdomen atau abses dalam organ. 20
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-
kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya
benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 18
Peritonitis pada masa nenonatus bisa berasal dari trans plasenta pada infeksi dalam rahim;
lebih sering merupakan akibat infeksi yang didapat selama atau segera setelah lahir. Peritonitis
mungkin manifestasi dari septikemia, perluaan langsung dari umbilikus atau dari perforasi usus
atau enterokolitis nekrotikans, atau kadang-kadang , sekuele dari appendiks yang terobek atau
divertikulum meckel. Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu infeksi peritonitis yang dapat
terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik, atau sirosis yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 2 tahun pertama sejak gejala klinis muncul.
Kerentanan terhadap infeksi berhubungan dengan berbagai faktor. Organisme penyebab peritonitis
bakterial spontan pada umumnya adalah bakteri Gram positif, terutama Streptococcus
pneumoniae, dan bakteri Gram negatif, terutama E. coli. Diagnosis peritonitis bakterial spontan
didasarkan pada terdapatnya gejala inflamasi peritoneum, cairan peritoneum yang keruh, jumlah
sel cairan peritoneum >100 /μL atau hitung neutrofi l polimorfonuklear >50 sel/μL, disertai biakan
cairan peritoneum positif, dan biakan darah positif. Pemberian antibiotik merupakan terapi utama
peritonitis bakterial spontan. Oleh karena itu, referat ini dimaksudkan untuk mengetahui manjemen
peritonitis pada anak. 19
BAB II
KEPANITERAAN KLINIK
NIM : 112018029
Alamat : Jl. Delima IV/ 143 RT 016/003 Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur
2.2. ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis (Ibu Kandung)
Keluhan Utama
Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit herediter ataupun infeksi.
Riwayat Nutrisi
Pemberian ASI hingga usia 4 tahun didampingi susu formula sejak usia 4 bulan. Makanan
lunak sejak usia 6 bulan dan makanan padat sejak usia 1 tahun.
Riwayat Imunisasi
(+) BCG (+) DPT (+) Polio (+) Hepatitis B (+) Campak
Riwayat Alergi
Tidak ada
Riwayat Operasi
Laparatomi appendektomi et causa appendix perforasi dengan temuan intraperitoneum 700cc
tanggal 14 April 2019.
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis GCS E4V6E5
Tekanan darah : 100 /70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi nafas : 22 kali/menit, spontan, reguler, abdominotorakal
Suhu : 36 oC
Tinggi badan : 120 cm
Berat badan : 20 Kg
Habitus : Astenikus
Kulit
Warna : Sawo matang (skin pthototype 4)
Jaringan parut : Tidak ada
Suhu raba : Hangat
Keringat : Umum (+)
Turgor : Baik
Mata
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
Telinga
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1, tenang
Langit – langit : tidak ada celah Bau pernafasan : tidak berbau khas
Faring : tidak hiperemis Trismus : tidak ada
Leher
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar
Dada
Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis dan dinamis,
Kanan Gerak dada simetris Gerak dada simetris
Palpasi Kiri Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Kanan Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Perkusi Kiri Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kanan Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Kiri Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Kanan Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (+) regio inguinalis dextra,
tampak dehisensi luka ukuran 10cm x 7,5cm x 1cm dengan
dasar fascia superfisial di regio umbilikus, distensi (-),
Palpasi
Dinding perut : Supel (+), nyeri tekan (+) daerah dehisensi luka, massa (-)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Ballotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani, pekak diatas massa hepar, shifting dullnes (-),
undulasi (-),
Auskultasi : Bising usus 6 kali/menit, normoperistaltic
Lengan
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal, tidak ada nyeri Normal, tidak ada nyeri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (+) regio inguinalis dextra, tampak
dehisensi luka ukuran 10cm x 7,5cm x 1cm dengan dasar fascia superfisial
di regio umbilicus, pus (+)
Palpasi : Dinding perut supel (+), nyeri tekan (+) daerah dehisensi luka
Foto Thorax AP :
2.6. RESUME
Anak laki – laki usia 8 tahun dengan keluhan keluhan luka operasi usus buntu di perut yang
terbuka dan makin membesar sejak 1 minggu SMRS. Luka terasa nyeri terutama saat anak batuk
atau mengejan. Daerah disekitar luka tampak kemerahan dan keluar cairan berwarna kuning jernih
dari luka. Pasien demam dan afsu makan pasien menurun sejak sakit. BAB dan BAK pasien normal
seperti biasa Pasien memiliki riwayat operasi laparatomi darurat karena peritonitis pada
Appendisitis perforasi 3 minggu SMRS. Setelah operasi pasien di rawat inap selama 9 hari. Setelah
pulang pasien kontrol tiap hari untuk ganti verban. Saat kontrol keluar cairan kekuningan dan
dilakukan pencabutan benang, luka dibersihkan, dan pasien kembali dirawat inap selama 4 hari
sebelum dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto.
Pada pemeriksan fisik ditemukan bekas operasi (+) regio inguinalis dextra, tampak
dehisensi luka ukuran 10cm x 7,5cm x 1cm dengan dasar fascia superfisial di regio umbilicus
disertai adanya pus. Palpasi dinding perut nyeri di daerah dehisensi luka. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan anemia (hemoglobin 8.6 g/dL), leukositosis dengan pergeseran ke kiri
yang menandakan adanya respon inflamasi atau infeksi (15720 /µL), serta ditemukan
trombositosis (962000 /µL).
2.8. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa:
Medikamentosa
- Cefuroxime 2 x 500mg PO
- Metronidazole 2 x 250mg PO
- Sanmol syrup 1 x 250mg PO
Edukasi:
2.9. PROGNOSIS
- Ad Vitam : bonam
- Ad Fungsionam : bonam
- Ad Sanationam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam
rongga perut. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik.
Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang
melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom
dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada
usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan
organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada
kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan
seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya
rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk
atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. Area permukaan total
peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel.
Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Organ-organ yang terdapat di cavum
peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon
sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden &
descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder yang paling sering adalah perforasi apendisitis,
perforasi gaster atau ulkus duodenum, perforasi colon sigmoid disebabkan diverticulitis, volvulus,
atau kanker; dan strangulasi usus halus. Pathogen peritonitis sekunder berbeda pada traktus
gastrointestinal proksimal dan distal. Organisme gram positif mendominasi traktus gastrointestinal
atas, dengan pergeseran ke arah organisme gram negative pada traktus gastrointestinal atas pada
pasien dengan terapi supresi asam lambung untuk jangka waktu yang lama. Peritonitis yang terjadi
hampir selalu bersifat polimikroba, dengan gabungan bakteri aerob dan anaerob dengan dominan
organisme gram negative.
Pada neonatus peritonitis mekonium dapat terjadi karena ruptur usus proksimal dari
obstruksi, yaitu terjadi akibat dindig usus yang lemah atau akibat kelainan vaskuler. Penyebab
paling umum peritonitis postoperative adalah anastomotic leak, dengan gejala biasanya muncul
sekitar hari kelima sampai hari ketujuh postoperasi.
4. Peritonitis kimiawi
Peritonitis kimiawi (steril) dapat disebabkan oleh iritan, seperti empedu, darah, barium, dan
bahan lainnya atau oleh inflamasi organ visceral transmural tanpa adanya inokulasi bakteri pada
cavum peritoneum. Tanda dan gejala klinis tidak dapat dibedakan dari peritonitis sekunder atau
abses peritoneal.
5. Abses peritoneal.
Kebanyakan abses terjadi setelah peritonitis sekunder. Pembentikan abses dapat juga merupakan
komplikasi dari operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi abdomen kurang dari 1-2%, bahkan
ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi aku. Resiko abses meningkat 10-30% abses pada kasus
perforasi dari kontaminasi feses yang signifikan dari rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis dan terapi
yang lambat pada awal peritonitis, dan kebutuhan untuk reoperation, serta dalam pengaturan
imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi presisten dan perkembangan
peritonitis tersier.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan
cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria.
Pada sindrom nefrotik, terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan sindrom nefrotik
rentan terhadap infeksi. Faktor tersebut antara lain disfungsi limfosit T, konsentrasi IgG plasma
yang rendah, berkurangnya protein yang berperan pada jalur komplemen, defek opsonisasi akibat
rendahnya faktor I dan B, pemberian obat imunosupresan, dan faktor mekanik seperti edema dan
asites.1 ,10,14 Selain kelainan imunologis, pengobatan sindrom nefrotik dengan steroid dosis tinggi
maupun imunosupresan lain seperti sitostatik juga menyebabkan penderita sindrom nefrotik rentan
terhadap infeksi. Terjadinya infeksi intraabdominal merupakan resultan patogenisitas bakteri dan
mekanisme pertahanan tubuh pejamu yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, adherensi, atau
invasi bakteri. Beberapa mekanisme terjadinya infeksi peritonitis pada sindrom nefrotik yaitu:
infeksi langsung dari traktus genitourinarius (ascending infection), penyebaran melalui pembuluh
darah transdiafragmatikus, migrasi transmural melalui dinding usus halus, dan penyebaran secara
hematogen melalui mekanisme translokasi bakteri. Bakteri dari usus halus bertranslokasi ke
kelenjar limfa mesenterium dan kemudian menyebar secara hematogen.13 Bakteri memasuki
kavum peritoneum dan menemukan lingkungan yang sesuai untuk berkembang biak sehingga
memudahkan timbulnya PBS. Asites atau cairan lain yang ada di kavum peritoneum dapat
menghambat pertahanan tubuh pejamu. Asites menyebabkan dilusi cairan kaya protein yang
menyebabkan reduksi opsonin, seperti IgG, komplemen C3, atau mediator infl amasi lainnya.
3.6 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab
radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
Tata laksana non-operatif merupakan terapi utama pada PBS, terdiri atas pemberian
antibiotik dan terapi suportif. Antibiotik spektrum luas digunakan pada terapi awal kemudian
disesuaikan menjadi spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil biakan. Terapi antibiotik awal
merupakan terapi empiris berdasarkan organisme yang sering menyebabkan PBS. Terapi empiris
yang biasa diberikan adalah kombinasi golongan penisilin dan aminoglikosida intravena selama 2
minggu, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi Amoksisilin diberikan
dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dan golongan aminoglikosida, antara lain amikasin
dengan dosis 15 mg/kgBB/hari atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/ hari dibagi 2 dosis.
Bila dicurigai terdapat infeksi pneumococcus yang resisten, dapat diberikan penisilin dosis tinggi.
3.7 Pencegahan
Pencegahan utama PBS adalah tata laksana sindrom nefrotik yang adekuat dengan steroid
maupun obat imunosupresif lainnya. Asites perlu ditanggulangi dengan pemberian diuretik dan
albumin bila diperlukan.6 Pemberian golongan penisilin profilaksis digunakan pada beberapa
kasus secara sporadis. Laporan yang mendukung penggunaan penisilin profi laksis ini belum
banyak dan belum ada penelitian acak terkontrol. Penggunaan penisilin profi laksis ini didasarkan
pada pasien dengan penyakit sel sabit yang memiliki kemiripan dengan sindrom nefrotik dalam
hal risiko infeksi. Pada pasien penyakit sel sabit, kemoprofi laksis dilaporkan dapat menurunkan
6
insidens pnemonia bakterialis, terutama pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Upaya lain
mencegah PBS adalah imunisasi; yang direkomendasikan adalah terhadap Streptococcus
pneumoniae. Imunisasi telah menunjukkan hasil yang efektif pada anak dengan sindrom nefrotik
sensitif steroid dan tidak mendapatkan terapi steroid pada saat imunisasi.6 Di Amerika Serikat,
Advisory Committee on Immunization Practices merekomendasikan vaksinasi pneumokokus pada
anak berumur 2-5 tahun dengan komorbiditas tertentu, termasuk untuk sindrom nefrotik.16
3.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
· Septikemia dan syok septik
· Syok hipovolemik
3.9 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritonum tanpa dapat menunjukkan
sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak dengan asites akibat dari
sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang bisa terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat.
Jenis kelamin yang terjadi seimbang. Kebanyakan kasus terjadi sebelum usia 6 tahun. Peritonitis
dapat didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil biakan. Prinsip umum terapi adalah
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian
antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.