Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Peritonitis Umum ec causa Perforasi Gaster pada Anak dengan Necrotizing


Enterocolitis

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah


RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Priode 18 Maret – 25 Mei 2019

Disusun Oleh :

Shintia Novotna Katoda


112019029

Pembimbing :

Dr. dr. Catur S. Sutisna, Sp.B, Sp.BA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Dengan Judul

Peritonitis Umum ec causa Perforasi Gaster pada Anak dengan Necrotizing Enterocolitis

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Ilmu Bedah

RSPAD GATOT SOEBROTO – DITKESAD, JAKARTA

Periode 18 Maret – 25 Mei 2019

Disusun Oleh :

Shintia Novotna Katoda

112018029

Telah Disetujui Oleh

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal Pengesahan

Dr. dr. Catur S. Sutisna, Sp.B, Sp.BA

RSPAD GATOT SOEBROTO 1


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini telah menjadi tantangan sekaligus
kepuasan tersendiri bagi penulis untuk mengimplimentasikan ilmu yang telah diperolehnya pada
rotasi stase ini. Sangat disadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan doa dari begitu
banyak pihak hingga tugas akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat padawaktunya.
Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Ilmu Bedah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikan tugas akhir ini. Melalui
kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Dr.
dr. Catur S. Sutisna, Sp.B, Sp.BA selaku pembimbing dan mentor yang telah memberikan
informasi, kritikan, dan saran yang membangun untuk untuk dapat menghasilkan karya yang lebih
baik lagi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan karena
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu dengan kerendahan hati saya
mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca guna
perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 08 Mei 2019

Penulis

RSPAD GATOT SOEBROTO 2


DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………………………………………………… 1


Kata Pengantar ………………………………………………… 2
Daftar Isi ………………………………………………… 3
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………… 4
BAB II. LAPORAN KASUS ………………………………………………… 5
2.1 Identitas Pasien ………………………………………………… 5
2.2 Anamnesis ………………………………………………… 5
2.3 Status Generalis ………………………………………………… 8
2.4 Satus Lokalis ………………………………………………… 11
2.5 Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………… 12
2.6 Resume ………………………………………………… 14
2.7 Diagnosa Kerja ………………………………………………… 14
2.8 Penatalaksanaan ………………………………………………… 14
2.8 Prognosis ………………………………………………… 15
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 16
3.1 Definisi ………………………………………………… 16
3.2 Etilogi & Klasifikasi ………………………………………………… 16
3.3 Patofisiologi & Patogenesis ………………………………………………… 18
3.4 Manifestasi Klinik ………………………………………………… 20
3.5 Diagnosis & Pemeriksaan Penunjang ………………………………………. 21
3.6 Penatalaksanaan …………………………………………………. 22
3.7 Pencegahan …………………………………………………. 24
3.8 Komplikasi ………………………………………………… 24
3.9 Prognosis ………………………………………………… 25
BAB IV. KESIMPULAN ………………………………………………... 26
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 27

BAB I

RSPAD GATOT SOEBROTO 3


PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan Radang lapisan peritonium pada perut bisa akibat infeksi, auto imun
dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer atau sekunder. Pada peritonitis primer,
sumber infeksi berasal dari luar perut dan tumbuh di ruang peritonium lewat penyebaran
hematogen atau limfogen Peritonitis sekunder uncul dari ruang perut sendiri melalui perluasan dari
atau melalui viskus intra-abdomen atau abses dalam organ. 20
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-
kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya
benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 18

Peritonitis pada masa nenonatus bisa berasal dari trans plasenta pada infeksi dalam rahim;
lebih sering merupakan akibat infeksi yang didapat selama atau segera setelah lahir. Peritonitis
mungkin manifestasi dari septikemia, perluaan langsung dari umbilikus atau dari perforasi usus
atau enterokolitis nekrotikans, atau kadang-kadang , sekuele dari appendiks yang terobek atau
divertikulum meckel. Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu infeksi peritonitis yang dapat
terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik, atau sirosis yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 2 tahun pertama sejak gejala klinis muncul.
Kerentanan terhadap infeksi berhubungan dengan berbagai faktor. Organisme penyebab peritonitis
bakterial spontan pada umumnya adalah bakteri Gram positif, terutama Streptococcus
pneumoniae, dan bakteri Gram negatif, terutama E. coli. Diagnosis peritonitis bakterial spontan
didasarkan pada terdapatnya gejala inflamasi peritoneum, cairan peritoneum yang keruh, jumlah
sel cairan peritoneum >100 /μL atau hitung neutrofi l polimorfonuklear >50 sel/μL, disertai biakan
cairan peritoneum positif, dan biakan darah positif. Pemberian antibiotik merupakan terapi utama
peritonitis bakterial spontan. Oleh karena itu, referat ini dimaksudkan untuk mengetahui manjemen
peritonitis pada anak. 19

BAB II

RSPAD GATOT SOEBROTO 4


LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU BEDAH

Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus :

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

Nama Mahasiswa : Shintia Novotna Katoda Tanda Tangan :

NIM : 112018029

Dokter Pembimbing : Dr. dr. Catur S. Sutisna, Sp.B, Sp.BA

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama lengkap : An. AR Jenis kelamin : Laki - Laki
Umur : 8 tahun Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Pendidikan : SD
Pekerjaan :- Nama Ibu : Ny. S

Alamat : Jl. Delima IV/ 143 RT 016/003 Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur
2.2. ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis (Ibu Kandung)

Tanggal : 07 Mei 2019 , Jam : 15.00 WIB

Keluhan Utama

Luka operasi usus buntu yang terbuka sejak 1 minggu SRMS.


Riwayat Penyakit Sekarang

RSPAD GATOT SOEBROTO 5


Pasien datang dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan luka operasi usus buntu di perut
yang terbuka dan makin membesar sejak 1 minggu SMRS. Luka terasa nyeri terutama saat anak
batuk atau mengejan. Daerah disekitar luka tampak kemerahan dan keluar cairan berwarna kuning
jernih dari luka. Pasien demam yang membaik sebentar dengan pemberian sanmol sirup. Pasien
tidak mengeluh mual, pusing, atau sakit kepala. Pasien lemas dan afsu makan menurun sejak sakit.
Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 5 kg. BAB dan BAK pasien normal seperti
biasa. Pasien takut BAB karena nyeri saat mengejan.

Sebelumnya pasien dilakukan operasi laparatomi darurat di RS Yadika karena peritonitis


pada Appendisitis perforasi. Setelah operasi pasien di rawat inap NICU selama 7 hari lalu bangsal
anak selama 2 hari sebelum dipulangkan. Setelah pulang pasien kontrol tiap hari untuk ganti
verban. Hari ke-7 kontrol luka tampak kemerahan bengkak, dan keluar cairan berwarna
kekuningan oleh RS Yadika dilakukan pencabutan 2 benang luka operasi untuk membebaskan
cairan. Hari ke-8 kontrol kembali dilakukan pencabutan 1 benang untuk membebaskan cairan dari
dalam bekas luka operasi. Hari ke- 9 kontrol cairan kembali keluar dari bagian atas jahitan bekas
luka operasi dan dilakukan pencabutan seluruh benang, luka dibersihkan, dan pasien dirawat inap
selama 4 hari sebelum dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat penyakit menahun

Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit herediter ataupun infeksi.

Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran


1. Kehamilan
 Perawatan antenatal : Rutin kontrol
 Tempat perawatan : Bidan
 Penyakit kehamilan : Selama kehamilan, ibu pasien mengatakan tidak pernah
mengalami masalah atau penyakit selama kehamilan (tidak diketahui)
2. Kelahiran

RSPAD GATOT SOEBROTO 6


 Tempat kelahiran : Bidan
 Penolong persalinan : Bidan
 Cara persalinan : Pervaginam
 Masa gestasi : Aterm
 Keadaan bayi
o Berat badan lahir : 3800 gram
o Panjang badan lahir : 50 cm
o Lingkar kepala : Tidak diketahui
o Langsung menangis : Langsung menangis
o Pucat/Biru/Kuning/Kejang : Merah
o Nilai APGAR : Tidak diketahui

Riwayat Nutrisi
Pemberian ASI hingga usia 4 tahun didampingi susu formula sejak usia 4 bulan. Makanan
lunak sejak usia 6 bulan dan makanan padat sejak usia 1 tahun.

Riwayat Imunisasi
(+) BCG (+) DPT (+) Polio (+) Hepatitis B (+) Campak

Riwayat Tumbuh Kembang


Menegakan kepala usia 3 bulan, membalikan badan usia 3 bulan, duduk usia 6 bulan,
merangkak usia 5 bulan, berdiri usia 12 bulan, berjalan usia 12 bulan.

Riwayat Alergi
Tidak ada

Riwayat Operasi
Laparatomi appendektomi et causa appendix perforasi dengan temuan intraperitoneum 700cc
tanggal 14 April 2019.

RSPAD GATOT SOEBROTO 7


2.3. STATUS GENERALIS

Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis  GCS E4V6E5
Tekanan darah : 100 /70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi nafas : 22 kali/menit, spontan, reguler, abdominotorakal
Suhu : 36 oC
Tinggi badan : 120 cm
Berat badan : 20 Kg
Habitus : Astenikus

Kulit
Warna : Sawo matang (skin pthototype 4)
Jaringan parut : Tidak ada
Suhu raba : Hangat
Keringat : Umum (+)
Turgor : Baik

Kelenjar Getah Bening (KGB)


Submandibula : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesare

Mata
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-

Telinga

RSPAD GATOT SOEBROTO 8


Tuli : Normotia Serumen : -/-
Liang : lapang Cairan : -/-

Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1, tenang
Langit – langit : tidak ada celah Bau pernafasan : tidak berbau khas
Faring : tidak hiperemis Trismus : tidak ada

Leher
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar

Dada
Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis dan dinamis,
Kanan Gerak dada simetris Gerak dada simetris
Palpasi Kiri Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Kanan Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Perkusi Kiri Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kanan Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Kiri Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Kanan Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada

RSPAD GATOT SOEBROTO 9


Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga 4, midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (+) regio inguinalis dextra,
tampak dehisensi luka ukuran 10cm x 7,5cm x 1cm dengan
dasar fascia superfisial di regio umbilikus, distensi (-),
Palpasi
Dinding perut : Supel (+), nyeri tekan (+) daerah dehisensi luka, massa (-)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Ballotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani, pekak diatas massa hepar, shifting dullnes (-),
undulasi (-),
Auskultasi : Bising usus 6 kali/menit, normoperistaltic

Lengan
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal, tidak ada nyeri Normal, tidak ada nyeri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5

Alat Kelamin (atas indikasi)

Tidak dilakukan, tidak ada indikasi

RSPAD GATOT SOEBROTO 10


Tungkai dan kaki
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif

2.4. STATUS LOKALIS

Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (+) regio inguinalis dextra, tampak
dehisensi luka ukuran 10cm x 7,5cm x 1cm dengan dasar fascia superfisial
di regio umbilicus, pus (+)
Palpasi : Dinding perut supel (+), nyeri tekan (+) daerah dehisensi luka

RSPAD GATOT SOEBROTO 11


2.5. LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA
1. Laboratorium
HASIL
JENIS PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN
07 – 05 – 2019
HEMATOLOGI
Hematologi lengkap
Hemoglobin 8.6* 11.5 – 15.5 g/dL
Hematokrit 26* 35 – 45 %
Eritrosit 3.4* 4.0 – 5.2 juta/µL
Leukosit 15720* 4,500 – 13,500 /µL
Trombosit 962000* 150,000 – 450,000 /µL
Hitung Jenis :
 Basofil 1 0–1%
 Eosinofil 1 1–3%
 Neutrofil 75* 50 – 70 %
 Limfosit 14* 20 – 40 %
 Monosit 9* 2–8%
MCV 78 77 – 95 fL
MCH 26 25 – 37 pg
MCHC 33 31 – 37 g/dL
RDW 19.30 11.5 – 14.5 %
KOAGULASI
WAKTU PROTOMBIN
10.9 Detik
(PT)
 Kontrol 9.7 9.3 – 11.8 detik
 Pasien
APTT
 Kontrol 24.0 Detik
 Pasien 23.8 23.4 – 31.5 detik
KIMIA KLINIK
Albumin 3.8 3.5 – 5.0 g/dL
Ureum 21 20 – 50 mg/dL

RSPAD GATOT SOEBROTO 12


Kreatinin 0.32 0.5 – 1.5 mg/dL
eGFR (formula MDRD) 537.48 mL/mnt/1.73m2
Glukosa Darah (Sewaktu) 85 < 140 mg/Dl
Natrium (Na) 134 132 – 145 mmol/L
Kalium (K) 4.4 3.1 – 5.1 mmol/L
Klorida (Cl) 106 96 – 111 mmol/L

2. Foto thorax proyeksi AP 07 Mei 2019

Foto Thorax AP :

- Inspirasi kurang adekuat


- Jantung kesan tidak membesar
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trakea relatif ditengah. Kedua hilus tidak melebar

RSPAD GATOT SOEBROTO 13


- Tidak tampak infiltrate/nodul. Corakan bronskovaskular kedua paru baik
- Sonus kostofrenikus kanan kiri lancip
- Tulang – tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak
Kesan :

- Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru

2.6. RESUME
Anak laki – laki usia 8 tahun dengan keluhan keluhan luka operasi usus buntu di perut yang
terbuka dan makin membesar sejak 1 minggu SMRS. Luka terasa nyeri terutama saat anak batuk
atau mengejan. Daerah disekitar luka tampak kemerahan dan keluar cairan berwarna kuning jernih
dari luka. Pasien demam dan afsu makan pasien menurun sejak sakit. BAB dan BAK pasien normal
seperti biasa Pasien memiliki riwayat operasi laparatomi darurat karena peritonitis pada
Appendisitis perforasi 3 minggu SMRS. Setelah operasi pasien di rawat inap selama 9 hari. Setelah
pulang pasien kontrol tiap hari untuk ganti verban. Saat kontrol keluar cairan kekuningan dan
dilakukan pencabutan benang, luka dibersihkan, dan pasien kembali dirawat inap selama 4 hari
sebelum dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto.

Pada pemeriksan fisik ditemukan bekas operasi (+) regio inguinalis dextra, tampak
dehisensi luka ukuran 10cm x 7,5cm x 1cm dengan dasar fascia superfisial di regio umbilicus
disertai adanya pus. Palpasi dinding perut nyeri di daerah dehisensi luka. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan anemia (hemoglobin 8.6 g/dL), leukositosis dengan pergeseran ke kiri
yang menandakan adanya respon inflamasi atau infeksi (15720 /µL), serta ditemukan
trombositosis (962000 /µL).

2.7. DIAGNOSIS KERJA


Dehisensi luka pada luka bekas operasi appendiktomi pada peritonitis et causa
perforasi apendiks

2.8. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa:

- Pro debridement dan repair dehisensi luka

RSPAD GATOT SOEBROTO 14


- Ganti verban dan cuci dengan NaCl 0.9 % yang dicampur dengan gentamisin

Medikamentosa

- Cefuroxime 2 x 500mg PO
- Metronidazole 2 x 250mg PO
- Sanmol syrup 1 x 250mg PO

Edukasi:

- Menjelaskan kepada orangtua tentang tujuan tindakan debridement dan komplikasinya.

2.9. PROGNOSIS
- Ad Vitam : bonam
- Ad Fungsionam : bonam
- Ad Sanationam : bonam

RSPAD GATOT SOEBROTO 15


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam
rongga perut. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik.
Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang
melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom
dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada
usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan
organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada
kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan
seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.

Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya
rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk
atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. Area permukaan total
peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel.
Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Organ-organ yang terdapat di cavum
peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon
sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden &
descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).

3.2 Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi penyakit bergantung pada tipe dan lokasi dari peritonitis;
1. Peritonitis primer
Peritonitis bakterial spontan atau peritonitis primer adalah infeksi peritoneum oleh bakteri
yang berasal dari cairan asites tanpa adanya penyebab intra-abdomen lain yang nyata.5 Peritonitis
karena sebab lain misalnya komplikasi dialisis peritoneal tidak termasuk dalam defi nisi ini.

RSPAD GATOT SOEBROTO 16


Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu komplikasi infeksi yang sering terjadi dengan
tingkat morbiditas serta mortalitas tinggi.2-4 Insidens PBS diperkirakan berkisar antara 1,5%
hingga 16% dan kematian diperkirakan sebesar 1,5%.5 Peritonitis bakterial spontan adalah
peritonitis yang paling sering menyerang anak-anak Peritonitis primer adalah infeksi bakteri
rongga peritonum tanpa dapat menunjukkan sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi
pada anak-anak dengan asites akibat dari sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang bisa
terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat. Jenis kelamin yang terjadi seimbang. Kebanyakan
kasus terjadi sebelum usia 6 tahun.
Streptococcus pneumoniae dan Escherichia coli adalah organisme yang paling sering
menyebabkan peritonitis dan sepsis pada sindrom nefrotik.2,4,6,23 Bakteri Gram positif lain
penyebab PBS antara lain Enterococcus, Streptococcus group D, dan Streptococcus viridans yang
sensitif terhadap penisilin, sedangkan bakteri Gram negatif yang ditemukan adalah Enterobacter
cloacae, Klebsiella penumoniae, Acinetobacter baumanii, Neisseria meningitidis, dan Salmonella
group B yang sensitif terhadap aminoglikosida dan sefalosporin. Pada penelitian retrospektif di RS
Chang Gung tahun 1993-1997, didapatkan 10 episode sepsis dan 8 episode PBS dari 452 kasus
rawat inap. Hasil biakan steril didapatkan pada 4 kasus, sedangkan bakteri Gram positif dan Gram
negatif ditemukan pada masing-masing 7 kasus.4

2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder yang paling sering adalah perforasi apendisitis,
perforasi gaster atau ulkus duodenum, perforasi colon sigmoid disebabkan diverticulitis, volvulus,
atau kanker; dan strangulasi usus halus. Pathogen peritonitis sekunder berbeda pada traktus
gastrointestinal proksimal dan distal. Organisme gram positif mendominasi traktus gastrointestinal
atas, dengan pergeseran ke arah organisme gram negative pada traktus gastrointestinal atas pada
pasien dengan terapi supresi asam lambung untuk jangka waktu yang lama. Peritonitis yang terjadi
hampir selalu bersifat polimikroba, dengan gabungan bakteri aerob dan anaerob dengan dominan
organisme gram negative.
Pada neonatus peritonitis mekonium dapat terjadi karena ruptur usus proksimal dari
obstruksi, yaitu terjadi akibat dindig usus yang lemah atau akibat kelainan vaskuler. Penyebab
paling umum peritonitis postoperative adalah anastomotic leak, dengan gejala biasanya muncul
sekitar hari kelima sampai hari ketujuh postoperasi.

RSPAD GATOT SOEBROTO 17


3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier terjadi lebih sering pada pasien imunokompromised. Walaupun jarang
diobservasi pada uncomplicated peritoneal infections, insidens peritonitis tersier pada pasien yang
perlu rawat ICU untuk infeksi abdomen berat dapat sebesar 50-74%.

4. Peritonitis kimiawi
Peritonitis kimiawi (steril) dapat disebabkan oleh iritan, seperti empedu, darah, barium, dan
bahan lainnya atau oleh inflamasi organ visceral transmural tanpa adanya inokulasi bakteri pada
cavum peritoneum. Tanda dan gejala klinis tidak dapat dibedakan dari peritonitis sekunder atau
abses peritoneal.

5. Abses peritoneal.
Kebanyakan abses terjadi setelah peritonitis sekunder. Pembentikan abses dapat juga merupakan
komplikasi dari operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi abdomen kurang dari 1-2%, bahkan
ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi aku. Resiko abses meningkat 10-30% abses pada kasus
perforasi dari kontaminasi feses yang signifikan dari rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis dan terapi
yang lambat pada awal peritonitis, dan kebutuhan untuk reoperation, serta dalam pengaturan
imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi presisten dan perkembangan
peritonitis tersier.

3.3 Patofisiologi dan Patogenesis

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan
cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

RSPAD GATOT SOEBROTO 18


Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang
tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria.

Pada sindrom nefrotik, terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan sindrom nefrotik
rentan terhadap infeksi. Faktor tersebut antara lain disfungsi limfosit T, konsentrasi IgG plasma
yang rendah, berkurangnya protein yang berperan pada jalur komplemen, defek opsonisasi akibat
rendahnya faktor I dan B, pemberian obat imunosupresan, dan faktor mekanik seperti edema dan
asites.1 ,10,14 Selain kelainan imunologis, pengobatan sindrom nefrotik dengan steroid dosis tinggi
maupun imunosupresan lain seperti sitostatik juga menyebabkan penderita sindrom nefrotik rentan
terhadap infeksi. Terjadinya infeksi intraabdominal merupakan resultan patogenisitas bakteri dan
mekanisme pertahanan tubuh pejamu yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, adherensi, atau
invasi bakteri. Beberapa mekanisme terjadinya infeksi peritonitis pada sindrom nefrotik yaitu:
infeksi langsung dari traktus genitourinarius (ascending infection), penyebaran melalui pembuluh
darah transdiafragmatikus, migrasi transmural melalui dinding usus halus, dan penyebaran secara
hematogen melalui mekanisme translokasi bakteri. Bakteri dari usus halus bertranslokasi ke
kelenjar limfa mesenterium dan kemudian menyebar secara hematogen.13 Bakteri memasuki
kavum peritoneum dan menemukan lingkungan yang sesuai untuk berkembang biak sehingga
memudahkan timbulnya PBS. Asites atau cairan lain yang ada di kavum peritoneum dapat
menghambat pertahanan tubuh pejamu. Asites menyebabkan dilusi cairan kaya protein yang
menyebabkan reduksi opsonin, seperti IgG, komplemen C3, atau mediator infl amasi lainnya.

RSPAD GATOT SOEBROTO 19


Selain itu, fagositosis pada cairan kurang efektif dibandingkan di permukaan padat12. Terjadinya
infeksi peritonitis dipengaruhi juga oleh meningkatnya jumlah bakteri anaerob di jejunum,
perubahan sawar usus, dan faktor lain yang mempengaruhi aliran darah.13

3.4 Manifestasi Klinis


Mulanya mungkin terlihat samar dan akut, dan biasanya ditandai dengan demam, nyeri
perut, muntah, diare dan ‘tampak toksis’ Hipotensi dan takikardi sering bersama dengan
pernapasan dangkal dan cepat karena rasa tidak enak akibat pernapasan. Suara usus hipoaktif atau
tidak ada. Pemakaian kortikosteroid sebelumnya bisa mengurangi gejala klinis peritonitis. Adanya
darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati
bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang
akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri
pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif
berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya. Pada
keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan
kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan
gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam,
distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara
klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut
sama dengan peritonitis bakterial.
Pada peritonitis mekonium, tampak abdomen membuncit dan tegang sejak bayi dilahirkan.
Bayi tampak sakit berat, sianosis, hiperpnu, dan merintih. Dinding perut tampak sembab kebiruan.
Byi tidak mau menyusui , muntah-muntah dan konstipasi. Kadang-kadang didapatkan defekasi
mekonium dengan lendir dan darah. Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan
gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi
abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang
hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.

RSPAD GATOT SOEBROTO 20


2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Peritonitis dapat didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil biakan. Secara klinis,
PBS pada anak sindrom nefrotik ditandai dengan gejala peritonitis antara lain demam (95%), nyeri
perut (98%) dan mual atau muntah (71%). Pada pemeriksaan fi sik anak tampak kesakitan, nyeri
tekan abdomen, dan defans muskular. Selain itu dapat juga disertai hipotensi, hipotermia, dan ileus
paralitik, Nyeri abdomen diperparah oleh gerakan, konstipasi, abdominal bloating, mual, muntah,
nyeri kepala, dispnu, takipnu, dan dehidrasi. Dapat terjadi komplikasi berupa terbentuknya abses
peritoneum, perlekatan peritoneum, ileus paralitik, sepsis, dan syok septik.15 Perlu waspada
terhadap gejala klinis berupa nyeri abdomen atau nyeri epigastrium karena sering dianggap atau
didiagnosis sebagai efek samping prednison, padahal gejala tersebut dapat merupakan gejala klinis
PBS.
Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis dengan rerata jumlah leukosit perifer
21.500/μL (median 21.400/μL, kisaran 7.100 – 44.800/μL) dengan persentase netrofil 83%.
Kondisi tersebut biasanya ditemukan bersamaan dengan edema dan asites.15 Diagnosis definitif
peritonitis membutuhkan biakan cairan peritoneum. Cairan peritoneum yang diperoleh dengan
pungsi asites tampak keruh dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan uji Rivalta positip,
jumlah lekosit dan kadar protein meningkat. Pada cairan asites perlu diperiksa dengan pulasan
Gram. Pada banyak kasus PBS, parasentesis diagnostik sering tidak dapat dilakukan sehingga
pasien diterapi dengan antibiotik empiris tanpa pemeriksaan cairan peritoneum.5 Diagnosis PBS
pada sindrom nefrotik sering sulit ditegakkan karena gejala dan tanda sistemik dapat tersamarkan
oleh penggunaan kortikosteroid. Diagnosis peritonitis ditegakkan jika terdapat gejala klinis
peritonitis disertai satu atau lebih hasil pemeriksaan penunjang, yaitu: 1. cairan peritoneum
berwarna keruh atau jumlah sel cairan peritoneum >100 sel/ μL atau jumlah sel netrofil
polimorfonuklear (PMN) >50 sel/μL. 2. Terdapat bakteri dalam
cairan peritoneum ditandai dengan pewarnaan Gram atau biakan cairan peritoneum positif atau tes
counter-immuno-electrophoreses yang positif untuk antigen bakteri dari cairan asites; dan biakan
darah positif.15
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pemeriksaan rontgen abdomen menunjukkan
dilatasi usus halus dan usus besar , dengan peningkatan pemisahan lengkungan akibat penebalan
dinding usus. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi. Gambaran radiologis pada

RSPAD GATOT SOEBROTO 21


peritonitis secara umum yaitu tampak adanya perselubungan pada cavum abdomen, preperitonial
fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
Membedakan peritonitis primer dan appendisitis mungkin tidak mungkin pada penderita dengan
riwayat sindroma nefrotik atau sirosis; karenanya, diagnosis peritonitis primer dapat dibuat hanya
pada saat laparotomi. Pada anak yang diketahui dengan penyakit ginjal atau hati dan asites, adanya
tanda peritonium harus segera dilakukan parasintesis diagostik. Cairan yang terinfeksi biasanya
menunjukkan angka leukosit 250 sel/mm3 atau lebih dari 50% sel polimorfonuklear.
Tanda caian peritonium yang mengesankan peritonitis primer adalah PH kurang dari 7,5
perbedaan gradien PH cairan arteri-asites lebih besar dari 0,1 dan kadar laktat meningkat.
Pengecatan gram cairan asites secara khas menunjukkan bakteri tunggal gram positif atau kadang-
kadang gram negatif. Adanya flora bakteri campuran pada pemeriksaan cairan asites atau udara
bebas pada rontgen abdomen anak dengan dugaan peritonitis primer mengisyaratkan laparotomi
untuk melokalisir sumber infeksi intra abdomen. Inokulasi cairan asites yang diambil pada
parasintesis secara langsung kedalam botol biakan darah akan meningkatkan kepositifan biakan.
Terpi antibiotik parenteral dengan sefotaksim dan aminoglikosida harus dimulai dengan segera.

3.6 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab
radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
Tata laksana non-operatif merupakan terapi utama pada PBS, terdiri atas pemberian
antibiotik dan terapi suportif. Antibiotik spektrum luas digunakan pada terapi awal kemudian
disesuaikan menjadi spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil biakan. Terapi antibiotik awal
merupakan terapi empiris berdasarkan organisme yang sering menyebabkan PBS. Terapi empiris
yang biasa diberikan adalah kombinasi golongan penisilin dan aminoglikosida intravena selama 2
minggu, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi Amoksisilin diberikan
dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dan golongan aminoglikosida, antara lain amikasin
dengan dosis 15 mg/kgBB/hari atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/ hari dibagi 2 dosis.
Bila dicurigai terdapat infeksi pneumococcus yang resisten, dapat diberikan penisilin dosis tinggi.

RSPAD GATOT SOEBROTO 22


Dapat juga diberikan antibiotik golongan sefalosporin, seperti sefotaksim dengan dosis 75-100
mg/ kgbb/hari, seftriakson 75-100 mg/kgBB/ hari, atau seftazidim 50-100 mg/kgBB/hari
Antibiotik golongan vankomisin (30-40 mg/ kgBB/hari), kloramfenikol (75-100 mg/kgBB/ hari),
dan imipenem (50 mg/kgBB/hari) efektif digunakan untuk infeksi oleh Streptococcus
pneumoniae resisten penisilin.7,8,15
Perlu diperhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit serta kalori karena pasien sering mual
muntah dan demam tinggi yang menyebabkan asupan cairan dan kalori berkurang dan pengeluaran
cairan dan elektrolit meningkat. Selain itu, perlu diperhatikan terapi suportif lainnya. Jika perlu,
dapat diberikan terapi simtomatik. Pemberian obat spasmolitik tidak dianjurkan dan malah dapat
merupakan kontraindikasi. Pada sindrom nefrotik dengan keadaan infeksi berat seperti PBS,
pemberian steroid atau prednison perlu dihentikan sementara atau dosisnya dikurangi atau di-
taper-off , dan dilanjutkan lagi setelah infeksi teratasi.
Beberapa kepustakaan melaporkan kejadian infeksi pneumococcus resisten penisilin pada
kasus PBS, bahkan angka kejadiannya meningkat di beberapa daerah. Peningkatan frekuensi
infeksi pneumokokus resisten penisilin ini mempengaruhi dosis terapi. Pada tahun 1996, di
Amerika Serikat dilaporkan kasus peritonitis oleh kuman pneumokokus resisten penisilin.
Berdasarkan kasus tersebut direkomendasikan penggunaan penisilin dan sefalosporin dosis tinggi
untuk infeksi selain meningitis pada Streptococcus pneumoniae yang intermediet berdasarkan
hasil biakan.7,8 Perlu diwaspadai penggunaan antibiotik spektrum luas dapat meningkatkan angka
resistensi dan mendorong pertumbuhan jamur serta organisme patogen lain yang akan
memperparah keadaan pasien.5
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi,
insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. 17

RSPAD GATOT SOEBROTO 23


Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan
lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera
akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan
eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal
fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

3.7 Pencegahan
Pencegahan utama PBS adalah tata laksana sindrom nefrotik yang adekuat dengan steroid
maupun obat imunosupresif lainnya. Asites perlu ditanggulangi dengan pemberian diuretik dan
albumin bila diperlukan.6 Pemberian golongan penisilin profilaksis digunakan pada beberapa
kasus secara sporadis. Laporan yang mendukung penggunaan penisilin profi laksis ini belum
banyak dan belum ada penelitian acak terkontrol. Penggunaan penisilin profi laksis ini didasarkan
pada pasien dengan penyakit sel sabit yang memiliki kemiripan dengan sindrom nefrotik dalam
hal risiko infeksi. Pada pasien penyakit sel sabit, kemoprofi laksis dilaporkan dapat menurunkan
6
insidens pnemonia bakterialis, terutama pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Upaya lain
mencegah PBS adalah imunisasi; yang direkomendasikan adalah terhadap Streptococcus
pneumoniae. Imunisasi telah menunjukkan hasil yang efektif pada anak dengan sindrom nefrotik
sensitif steroid dan tidak mendapatkan terapi steroid pada saat imunisasi.6 Di Amerika Serikat,
Advisory Committee on Immunization Practices merekomendasikan vaksinasi pneumokokus pada
anak berumur 2-5 tahun dengan komorbiditas tertentu, termasuk untuk sindrom nefrotik.16

3.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
· Septikemia dan syok septik
· Syok hipovolemik

RSPAD GATOT SOEBROTO 24


· Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
· Abses residual intraperitoneal
· Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
· Adhesi
· Obstruksi intestinal rekuren

3.9 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

RSPAD GATOT SOEBROTO 25


BAB IV
KESIMPULAN

Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritonum tanpa dapat menunjukkan
sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak dengan asites akibat dari
sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang bisa terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat.
Jenis kelamin yang terjadi seimbang. Kebanyakan kasus terjadi sebelum usia 6 tahun. Peritonitis
dapat didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil biakan. Prinsip umum terapi adalah
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian
antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.

RSPAD GATOT SOEBROTO 26


DAFTAR PUSTAKAKA

1. Eddy A, Symons JM. Nephrotic syndrome in children. Lancet. 2003; 362:629-39.


2. Alwadhi RK, Mathew JL, Rath B. Clinical profi le of children with nephrotic syndrome not on
glucocorticoid therapy, but presenting with infection. J Pediatr Child Health. 2004;40:28-32.
3. Uncu N, Bulbul M, Yildiz N, Noyan A, Kosan C, Kavukcu S, dkk.. Primary peritonitis in
children with nephrotic syndrome: results of a 5-year multicenter study. Eur J Pediatr.
2010;169:73-6.
4. Tain Y, Lin G, Cher T. Microbiological spectrum of septicemia and peritonitis in nephrotic
children. Pediatr Nephrol. 1999;13:835-7.
5. Hingorani SR, Weiss NS, Watkins SL. Predictors of peritonitis in children with nephrotic
syndrome. Pediatr Nephrol. 2002;17:678-82.
6. Mcintyre P, Craig JC. Prevention of serious bacterial infection in children with nephrotic
syndrome. J Pediatr Child Health. 1998;34:314-7.
7. Ilyas M , Roy S, Abbasi S, Leggiadro RJ, English K, Wyatt RJ. Serious infections due to
penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae in two children with nephrotic syndrome.
Pediatr Nephrol. 1996;10:639-41.
8. Waisman DC, Tyrell GJ, Kellner JD, Garg S, Marrie TJ. Pneumococcal peritonitis: still with
us and likely to increase in importance. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2010;21:e23-7.
9. Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic syndrome. Dalam: Geary DE, Schaefer F., penyunting;
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008.hal. 215-8.
10. Matsell DG, Wyatt RJ. The role of I and B in peritonitis associated with the nephrotic syndrome
of childhood. Ped Res. 1993;34:84-8.
11. Han J, Lee K, Hwang J, Koh D, Lee J. Antibody status in children with steroid-sensitive
nephrotic syndrome. Yonsei Med J. 2009;51:239-43.
12. Farthmann EH, Schoff el U. Epidemiology and pathophysiology of intraabdominal infections
(IAI). Infection. 1998;26:329-34.
13. Clark JH, Fitzgerald JF, Kleiman MB. Spontaneous bacterial peritonitis. J Pediatr.
1984;104:495-500.
14. Patiroglu T, Melikoglu A, Dusunsel R. Serum levels of C3 and factors I and B in minimal
change disease. Acta Paediatr Jpn. 1998;40:333-6.

RSPAD GATOT SOEBROTO 27


15. Gorensek MJ, Lebel MH, Nelson JD. Peritonitis in children with nephrotic syndrome.
Pediatrics. 1988;81:849-56.
16. Advisory Committee on Immunization Practices. Preventing pneumococcal among infants and
young children. Recommendations on the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Recomm Rep. 2000;49(RR-9):1-35.
17. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Gawat Abdomen. Dalam Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
1997. Hal 221-239
18. Reksoprodjo S. Bedah anak. Dalam kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: FKUI. Hal 105-108
19. Schwartz SJ, Shires ST, Spencer FC. Peritonitis dan Abses Intraabdomen. Dalam Intisari
prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2000.
20. Sulton D. Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi
5. Jakarta: Hipokrates. 1995. Hal 34-38

RSPAD GATOT SOEBROTO 28

Anda mungkin juga menyukai