Disusun Oleh :
112019029
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh :
112018029
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini telah menjadi tantangan sekaligus
kepuasan tersendiri bagi penulis untuk mengimplimentasikan ilmu yang telah diperolehnya
pada rotasi stase ini. Sangat disadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan doa dari
begitu banyak pihak hingga tugas akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Oleh karena
itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikan tugas akhir
ini. Melalui kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Inggrid Widyawanti, Sp.PD selaku pembimbing dan mentor yang telah
memberikan informasi, kritikan, dan saran yang membangun untuk untuk dapat menghasilkan
karya yang lebih baik lagi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan karena
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu dengan kerendahan hati saya
mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca guna
perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.
Penulis
BAB I
Diabetes melitus adalah sindroma kronik gangguan metabolisme atau resistensi insulin
pada jaringan yang dituju. Terdapat dalam dua bentuk utama yaitu diabetes melitus tipe 1 dan
diabetes melitus tipe 2 yang berbeda etiologi, patologi, genetik, juga onset, dan terapinya.1
Diabetes tipe 2 adalah yang paling sering diantara semua jenis diabetes dan semakin meningkat
seiring perubahan sosial dan budaya.2 Pada diabetes tipe 2 tubuh mampu memproduksi insulin
namun menjadi resisten sehingga insulin tidak efektif. Seiring waktu, tingkat insulin kemudian
menjadi tidak mencukupi. Baik resistensi insulin maupun defisiensi menyebabkan kadar
glukosa darah tinggi.3
Sekitar 425 juta orang orang dewasa berusia 20-79 tahun diseluruh dunia diperkirakan
menderita diabetes. Pada 2017 sekitar 9,5% orang dewasa berusia 20-79 tahun di daerah Pasifik
Barat diperkirakan hidup dengan diabetes, ini setara dengan 158,8 juta jiwa. Pasifik Barat
adalah rumah bagi 37,4% dari total jumlah penderita diabetes di dunia dengan 1,3 juta kematian
di antara orang dewasa. Dari urutan tersebut Indonesia menempati urutan ke 7 dengan jumlah
penderita diabetes terbanyak di dunia.4
Jika dalam perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 yang dibiarkan dan tidak dikelola
dengan baik, diabetes rnelitus akan menyebabkan terjadinya berbagai penyulit akut maupun
komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penyulit akut seperti krisis
hiperglikemi (KAD) dan hipoglikemi.5
Hipoglikemi secara definisi didasarkan rendahnya kadar glukosa darah (GD) pada
seseorang. Ironisnya, kejadian hipoglikemi justru sering berkaitan dengan diabetes
rnelitus, baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Semakin intensif pengendalian kadar glukosa
darah, risiko hipoglikemi semakin meningkat. Hipoglikemi pada diabetes paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemi akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat dieksresi dan waktu kerja obat
telah habis. Hipoglikemia sendiri terdiri dari gejala adrenergik (berdebar – debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma).5,6
Komplikasi neuropati perifer adalah yang paling penting dimana hilangnya sensasi
distal. Adanya keluhan dan kernudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik
rnengharuskan kita untuk berusaha rnengsndalikan konsentrasi glukosa darah sebaik
rnungkin. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Kaki diabetes
dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki diabetik
disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease),
ataupun kombinasi keduanya. Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah
pergelangan kaki, yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup
pasien.6
BAB II
LAPORAN KASUS
II.2 ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 05 Februari 2019, pukul 16.30 WIB
alloanamnesis pada tanggal 05 Februari 2019, pukul 17.00 WIB
Keluhan Utama
Lemas tiba – tiba sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Pengobatan
Metformin 1 x 850mg
Glibenklamid 1 x 5g
Riwayat penggunaan obat anti tuberkulosis selama 6 bulan
Riwayat Sosial
Pasien merokok 1 bungkus per hari, sudah berhenti ± 1 tahun
Pasien mengonsumsi minuman beralkohol
Riwayat Makanan
Frekuensi : 3-4 kali per hari
Jumlah : 3 - 5 sendok setiap makan
Variasi : tidak bervariasi (oatmeal dan susu)
Nafsu makan : nafsu makan menurun
Pemeriksaan Umum
Tinggi badan : 163 cm
Berat badan : 50 Kg
Keadaan gizi : Normal (IMT 18.4 Kg/m2)
Tekanan darah : 146 /137 mmHg
Nadi : 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi nafas : 24 kali/menit, reguler, abdominotorakal
Suhu : 36,7 oC
Kesadaran : Somnolen GCS E3V5E6
Habitus : Astenikus
Cara berjalan : Tertatih
Mobilisasi : Aktif, sebagian
Kulit
Warna : Kuning langsat (skin pthototype 4)
Effloresensi : Tidak ditemukan kelainan
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Merata, tidak ditemukan kelainan
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum (+)
Kelembapan : Lembab
Turgor : Baik
Lapisan lemak : Tipis, merata
Ikterus : Tidak ada
Edema : Pitting edema +3 regio cruris dan pedis dextra
Non-pitting edema regio cruris dan pedis sinistra
Kepala
Wajah : Tampak pucat
Simetri muka : Simetris
Rambut : hitam dan putih, tebal dan tersebar merata
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Mata
Exophthalmus : tidak ada
Enopthalmus : tidak ada
Kelopak : ptosis (-), edema (-), hiperemis (-)
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik -/-
Lensa : Jernih
Visus : tidak diperiksa
Gerak bola mata : Normal
Lapang pandang : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Deviatio conjugae : tidak ada
Nistagmus : tidak ada
Telinga
Tuli : Normotia Selaput : Utuh
Liang : lapang pendengaran
Serumen : +/+ Penyumbatan : tidak ada
Cairan : -/- Perdarahan : tidak ada
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1, tenang
Langit – langit : tidak ada celah Bau pernafasan : tidak berbau khas
Faring : tidak hiperemis Trismus : tidak ada
Lidah : merah muda Selaput lendir : Normal
Leher
Tekanan vena jugularis : 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar
Dada
Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis dan dinamis,
Kanan Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis, dan dinamis
Palpasi Kiri Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Kanan Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Perkusi Kiri Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kanan Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Kiri Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Kanan Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga 5, linea midklavikularis
sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : - Batas kanan sela iga 3 linea parasternalis dextra
- Batas kiri sela iga sela iga 5, linea aksillaris anterior sinistra
- Batas atas sela iga 2 linea parasternalis kiri
- Batas bawah sela iga 6 linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Pembuluh darah
Arteri temporalis : teraba pulsasi, kuat, regular
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (-), massa (-), caput
medusae (-), spider nevi (-), jaringan parut (-)
Palpasi
Dinding perut : Supel (+), nyeri tekan (-), massa (-)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Ballotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani, pekak diatas massa hepar, shifting dullnes (-),
undulasi (-),
Auskultasi : Bising usus 12 kali/menit, normoperistaltic
Lengan
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal, tidak ada nyeri Normal, tidak ada nyeri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Lain – lain - -
Kanan Kiri
Bicep + +
Tricep + +
Patella + +
Achilles Sulit dinilai Sulit dinilai
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kulit + +
Patologis _ -
Nilai Rujukan
JENIS PEMERIKSAAN
05-02-2019 10:56:46 Saat ini
MIKROBIOLOGI
Pewarnaan BTA 3
Jenis Bahan Sputum
Tanggal diperiksa 07/02/19
Hasil Negatif Negatif
1. Foto Toraks
Tanggal pemeriksaan : 03 Februari 2019
Foto toraks AP :
- Jantung ukuran kesan membesar
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trakea relative ditengah, kedua hilus tidak melebar
- Tampak fibroinfiltrar di lapangan atas paru kanan
- Kedua hemidiafragma licin
- Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
- Tulang – tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak
Kesan :
- Kardiomegali
- Fibroinfiltrat di lapangan atas paru kanan, dd TBC paru, pneumonia
Interpretasi :
- Ritme Iregular
- Frekuensi nadi 114 kali / menit
- Aksis RAD lead I negatif dan lead aVF positif
- RBBB Gelombang RR’ pada lead V1 dan V2
- LVH R tinggi pada lead V5 dan V6
- Kesan cor compensated
II.5 RESUME
Seorang laki – laki usia 64 tahun datang dengan keluhan lemas pada hari masuk rumah
sakit pasien dibawa ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas tiba – tiba sejak 4
jam SMRS. Lemas dirasakan hingga pasien merasa tidak berdaya. Pasien mengigau dan bicara
melantur. Keluhan disertai gemetar, keringat dingin, demam, pusing, dan merasa mual.
Keluhan terjadi sekitar 1 jam setelah pasien minum obat glibenklamid dan metformin
bersamaan. Sebelum minum obat pasien hanya makan oatmeal campur susu diabetasol
sebanyak ½ mangkok. Nafsu makan menurun sejak sakit. Pasien juga mengeluhkan luka di
telapak kaki kanan dan keluar nanah saat dibersihkan. Kaki kanan terasa nyeri yang hilang
timbul dan terasa seperti disayat. Kedua kaki bengkak dan pasien tidak bisa berjalan karena
kaki terasa nyeri. Pasien sering terbangun malam untuk BAK sekitar 10 – 15 kali setiap malam.
Pasien tidak BAB sudah 1 minggu. Pasien memiliki riwayat DM 20 tahun dan Tuberkulosis 2
tahun yang lalu.
3. Hipertensi Grade II
Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran compos mentis.
- Tanda – tanda vital
Tekanan darah 146/137 mmHg hipertensi gr. II
Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
takikardi
Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal takipneu
Suhu 36,7 oC. normotermi
Pemeriksaan penunjang : -
Rencana diagnosis : -
Rencana monitoring : Keadaan umum dan tanda – tanda vital
Kontrol faktor risiko
-gula darah/diabetes melitus
-fungsi ginjal (ureum, kreatinin, GFR)
-jantung (EKG)
Rencana terapi : Captoptril tablet 12,5mg 2 x 1 PO
Edukasi dan rehabilitasi : Pertahanankan BB/TB seimbang
Minum obat dan kontrol tekanan darah teratur
Batasi asupan garam 2.4gram atau 6gram NaCl per hari
Perbanyak aktivitas fisik aerobik 2 – 3 kali/minggu
4. Alkalosis repiratorik
Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen
- Tanda – tanda vital
Tekanan darah 146/137 mmHg hipertensi grade
II
Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
takikardi
Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal takipneu
Suhu 36,7 oC. normotermi
Pemeriksaan penunjang : Analisa Gas Darah
pH 7.524
pCO2 27 mmHg
pO2 89.0 mmHg
HCO3 22.5 mmol/L
BE 0.4 mmol/L SpO2 96.7 %
Rencana diagnosis : -
Rencana monitoring : Keadaan umum
Tanda – tanda vital
Analisa Gas Darah ulang
Rencana terapi : Atasi ulkus diabetik
Dasar diagnosis
Anamnesis : BAK 10 -15 kali setiap malam polyuria
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen
- Tanda – tanda vital
Tekanan darah 146/137 mmHg hipertensi gr. II
Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
takikardi
Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal takipneu
Suhu 36,7 oC. normotermi
Pemeriksaan penunjang : Elektrolit
Natrium (Na) 127 mmol/dL hiponatremi
Kalium (K) 5.0 mmol/dL
Klorida (Cl) 82 mmol/dL
Rencana diagnosis : -
Rencana monitoring : Keadaan umum
Tanda – tanda vital
Analisa Gas Darah ulang
Rencana terapi : NaCL 0,9 % 10 tpm kolf 500cc No. I
Edukasi dan rehabilitasi : Edukasi kondisi dan kemungkinan penyebab
Prognosis :
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Dasar diagnosis
Anamnesis : Pasien merasa lemas dan pusing
Nafsu makan menurun sejak sakit
Riwayat ulkus sejak 2 bulan SMRS
Riwayat diabetes melitus 20 tahun
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen.
- Tanda – tanda vital
Tekanan darah 146/137 mmHg hipertensi grade
II
Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
takikardi
Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal takipneu
Suhu 36,7 oC. normotermi
- Pasien tampak pucat
- Konjungtiva anemis +/+
Pemeriksaan penunjang : - Hematologi
Hemoglobin 9.2 g/dL anemia
Hematokrit 27 %
Eritrosit 3.1 juta/µL
Leukosit 21140 /µL leukositosis
Trombosit 370000 /µL
MCV 88 fL normositik
MCH 30 pg normokromik
MCHC 24 g/dL
LED 125 mm memanjang
- Kimia klinik
Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen.
- Tanda – tanda vital
Tekanan darah 146/137 mmHg hipertensi gr. II
Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
takikardi
Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal takipneu
Suhu 36,7 oC. normotermi
Pemeriksaan penunjang : Interpretasi EKG
- Ritme Iregular
- Frekuensi nadi 114 kali / menit
- Aksis RAD lead I negatif dan lead aVF positif
O: Riwayat hipoglikemia
DMT2
Kesadaran compos mentis
Gangren pedis dextra
Keadaan umum tampak sakit sedang
Ht grade II
Tanda – tanda vital
Bekas TB dd TB kambuh
- Tekanan darah 143/88 mmHg
- Nadi 113 kali/menit Hiponatremia
- Nafas 20 kali/menit
- Suhu 37,1 oC P:
Mata: CA +/+, SI NaCl 0,9 %/12 jam
Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/- Ciprofloxacin 2 x 200mg IV
Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-), Metronidazole 1 x 500 g IV
gallop (-) Omeprazole 1 x 40g
Abd : perut supel, BU (+), nyeri tekan (-) Sucralfat 3 x 1 c
Pemeriksaan penunjang KGDH/8jam
- LED 125 mm
Cek GD2PP
- SGOT 21 U/L
Burnazin cream + tutup kassa
- SGPT 27 U/L
kering
- GDS pagi 243 mg/dl
Elevasi tungkai
Novorapid 4 IU Sc
O: Riwayat hipoglikemia
DMT2
Kesadaran compos mentis
Gangren pedis dextra
Keadaan umum tampak sakit sedang
Ht grade II
Tanda – tanda vital
Bekas TB dd TB kambuh
- Tekanan darah 140/80 mmHg
- Nadi 96 kali/menit Hiponatremia
- Nafas 20 kali/menit
- Suhu 36,8 oC P:
Mata: CA +/+, SI -/- NaCl 0,9 %/12 jam
Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/- Ciprofloxacin 2 x 200mg IV
Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-), Metronidazole 1 x 500 g IV
gallop (-) Omeprazole 1 x 40g
Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan (-) Sucralfat 3 x 1 c
Pemeriksaan penunjang
09/02/19 S : : Badan lemas, tidak nafsu makan, A : Ulkus DM(Ganren Pedis Dextra)
O: P:
TINJAUAN PUSTAKA
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan yang menurun
tanpa sebab yang jelas. Gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun apabila sudah tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.5
Kadang ketika penyakit telah terjadi beberapa saat, pasien dengan diabetes tipe 2 akan
menunjukkan bukti komplikasi neuropati atau kardiovaskular saat gejala muncul. Infeksi kulit
kronik sering terjadi. Pruritus umum dan gejala vaginitis sering merupakan keluhan awal
wanita dengan diabetes tipe 2. 8,9
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing- masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,
- Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan
3.1.4 Komplikasi
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Pasien
dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia simtomatik
ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan. Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa bagian terakit dengan derajat keparahannya, yaitu:6
Hipoglikemia Ringan:
1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan sementara, dan
hal lain harus dilakukan
2. Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM), khususnya bagi
pengguna insulin atau obat oral golongan insulin sekretagog.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, tentang: dosis,
waktu megkonsumsi, efek samping
4. Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian hipoglikemi perlu
melalukan:
a. Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
b. Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan melalukan
program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek seperti: jadwal makan,
kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang
mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
c. Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan
menimbulkan hipoglikemi. 6
Menurut WHO lesi-lesi yang sering menyebabkan ulserasi kronis dan amputasi disebut
dengan istilah kaki diabetik. Lesi ini digambarkan sebagai infeksi, ulserasi dan rusaknya
jaringan yang lebih dalam yang berkaitan dengan gangguan neurologis dan vaskular pada
tungkai. Ulkus kaki diabetik adalah sebuah kerusakan komponen akibat perjalanan penyakit
diabetes dan disebabkan karena penurunan kontrol DM, neuropati perifer, dan penyakit
vaskular perifer. Ulkus kaki diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang
disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati. Ulkus
diabetik mudah sekali menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula
darah yang tinggi menjadi tempat strategis untuk pertumbuhan kuman.1
3.3.1 Epidemiologi
Pasien DM memiliki kecendrungan tinggi untuk mengalami ulkus kaki diabetik yang
sulit sembuh dan risiko amputasi pada tungkai bawah, keadaan ini memberi beban
sosioekonomi baik bagi pasien dan masyarakat. Peningkatan populasi penderita DM
3.3.2 Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi. Neuropati
menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau menurunkan sensasi nyeri kaki,
sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai
sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu
aliran darah ke kaki penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu.
Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati.11
3.3.3 Patofisiologi
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu: iskemi,
neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan menyebabkan komplikasi
kornik neuropati perifer berupa neoropati sensorik, motorik dan autonom. Neuropati sensorik
biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap
trauma fisik dan termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu
sensasi posisi kaki juga hilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan
penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.12 Neuropati autonom ditandai
dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat
pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki
rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan
fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta
menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Penderita DM juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini disebabkan
proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan
kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga
timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudah
para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di dunia. Dengan
klasifikasi PEDlS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular, infeksi atau
neuropatik, sehingga arah pengelolaanpun dapat tertuju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus
gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk
mengevaluasi dan memperbaikikeadaanvaskulamya dahulu. Sebaliknya kalau faktor infeksi
menonjol, tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau fakort mekanik yang
dominan, tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.5
Impaired 1 = None
Perfusion
2 = PAD + but not critical
lmpaired 1 = Absent
Sensation
2 = Present
Derajat Lesi
Faktor risiko terjadinya ulkus kaki diabetik lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1. Umur ≥ 60 tahun.
Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus kaki diabetik karena pada usia tua,
fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi penurunan sekresi
atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian
glukosa darah yang tinggi kurang optimal.15
2. Lama DM ≥ 10 tahun
Ulkus kaki diabetik terutama terjadi pada penderita DM yang telah menderita 10 tahun
atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati-
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan atau luka pada kaki penderita diabetik
yang sering tidak dirasakan.
3. Neuropati
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan mikrosirkulasi,
berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang
mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi neuropati.
Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga
penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi
berkurang, kulit kering dan mudah robek.18
RSPAD GATOT SOEBROTO 48
4. Obesitas
Pada obesitas dengan IMT ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT ≥25 kg/m2 (pria) akan lebih
sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 µU/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak
pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah pada daerah tungkai yang
menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus hingga gangren.15
5. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita DM karena adanya viskositas darah
yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi defesiensi
vaskuler, selain itu hipertensi dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel.
Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses
adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi
hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus.17 Penelitian studi
kasus kontrol oleh Robert di Iowa menghasilkan bahwa riwayat hipertensi akan lebih
besar 4 kali terjadi ulkus diabetik dengan tanpa hipertensi pada DM.15
6. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) dan kadar glukosa darah tidak terkendali
Glikosilasi Hemoglobin (HbA1C) adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam
sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah.
Apabila HbA1c ≥6,5% akan menurunkan kemampuan pengikatan oksigen oleh sel
darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi proliferasi
pada dinding sel otot polos subendotel. Kadar glukosa darah tidak terkontrol (GDP
>126 mg/dl) akan mengakibatkan komplikasi kronik jangka panjang, baik
makrovaskuler maupun mikrovaskuler salah satunya yaitu ulkus diabetik.15
7. Kebiasaan merokok.
Penelitian case control di California oleh Casanno dikutip oleh WHO pada penderita
Diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang perhari mempunyai risiko 3 kali untuk
menjadi ulkus diabetika dibandingkan dengan penderita DM yang tidak merokok.15
3.3.6 Talaksanaan
Tujuan utama pengelolahan ulkus kaki diabetik yaitu untuk mengakses proses kearah
penyembuhan luka secepat mungkin karena perbaikan dari ulkus kaki dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya amputasi dan ke-matian pasien diabetes. Secara umum pengelolaan
ulkus kaki diabetik meliputi penanganan iskemia, debridemen, penanganan luka, menurunkan
a. Penanganan iskemia
Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan dan harus dini- lai
awal pada pasien UKD. Penilaian kompetensi vaskular pedis pada UKD seringkali
memerlukan bantuan pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram, doppler maupun
angiografi. Pemeriksaan sederhana seperti perabaan pulsasi arteri poplitea, tibialis posterior
dan dorsalis pedis dapat dilakukan pada kasus UKD kecil yang tidak disertai edema
ataupun selulitis yang luas. Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh bahkan dapat
menyerang tempat lain dikemudian hari bila penyempitan pembuluh darah kaki tidak
diatasi.17 Bila pemeriksaan kompetensi vaskular menunjukkan adanya penyumbatan,
bedah vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis dan selayaknya diperlukan
sebelum dilakukan debridemen luas atau amputasi parsial. Beberapa tindakan bedah
vaskular yang dapat dilakukan antara lain angioplasti transluminal perkutaneus (ATP),
tromboarterektomi dan bedah pintas terbuka (bypass). Penggunaan antiplatelet ditujukan
terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer untuk memperlambat progresifitas sumbatan
pembuluh darah.18
b. Debridemen
c. Perawatan luka
Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound healing atau
menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab.27 Bila ulkus memroduksi sekret
banyak maka untuk pembalut (dress- ing) digunakan yang bersifat absorben. Sebaliknya
bila ulkus kering maka digunakan pembalut yang mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus
d. Penanganan bedah
Jenis tindakan bedah tergantung dari berat ringannya UKD. Tindakan elektif ditujukan
untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas seperti pada kelainan spur tulang, hammer
toes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah terjadinya
ulkus atau ulkus berulang pada pasien yang mengalami neuropati dengan melakukan
koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon. Bedah kuratif diindikasikan bila ulkus tidak
sembuh dengan perawatan konservatif, misalnya angioplasti atau bedah vaskular.
Osteomielitis kronis merupakan indikasi bedah kuratif. Bedah emergensi adalah tindakan
yang paling sering dilakukan, dan diindikasikan untuk menghambat atau menghentikan
proses infeksi, misalnya ulkus dengan daerah infeksi yang luas atau adanya gangren gas.
Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi atau debridemen jaringan nekrotik. 18
Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari amputasi kaki. Pasien
diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki, memeriksa kaki setiap hari, menggunakan
alas kaki yang tepat, meng- obati segera jika terdapat luka, pemeriksaan rutin ke podiatri,
termasuk debridemen pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke dalam. Sepatu dengan
sol yang mengurangi tekanan kaki dan kotak yang melindungi kaki berisiko tinggi
merupakan elemen penting dari program pencegahan.18
Hipertensi primer merupakan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18
tahun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Berdasarkan The Sevent hReport of The
Joint National Comitee and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan
darah adalah :5
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam
kedokteran primer. Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target seperti
jantung, otak ginjal mata dan arteri perifer. Kerusakan organ-organ tersebut bergantung pada
seberapa tinggi tekanan darah dan seberapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol
dan tidak diobati. Studi menunjukkan bahwa penurunan rerata tekanan darah sistolik dapat
menurunkan risiko mortalitas akibat pennakit jantung iskemik atau stroke. Dalam guideline
terbaru JNC 8 terdapat perubahan target tekanan darah sistolik pada pasien berusia 60 tahun
ke atas menjadi < 150 mmHg dan target tekanan darah pada pasien dewasa dengan diabetes
atau penyakit ginjal kronik berubah menjadi < 140/90 mmHg.19
Menurut PERKENI melalaui Konsensus Penatalaksanaa Diabetes Melitus Tahun 2015,
indikasi pengobatan hipertensi pada diabetes melitus adalah saat tekanan darah sistolik > 140
mmHg dan/atau tekanan darah sistolk > 90 mmHg. Sasaran tekanan darah pada orang diabetes
adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan tekanan diastolic < 90 mmHg. Pengeloaan
dilakukan secara non-farmakologis berupa modifikasi gaya hidup dengan menurunkan berat
badan, meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alcohol serta mengurangi
konsumsi garam. Pengelolaan farmakologis dengan obat anti hipertensi penyekat reseptor
angiotensin II, penghambat ACE, penyekan reseptor beta selektif dosis rendah, diuretik dosis
rendah, penghambar reseptor alfa, dan antagonis kalsium. 6
Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular. Pengobatan hipertensi
harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. Tekanan darah yang terkendali setelah satu
tahun pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada orang tua, tekanan
darah diturunkan secara bertahap. Terapi kombinasi diberikan apabila target terapi tidak dapat
dicapai dengan monoterapi.6
Secara umum, anemia dibagi kedalam dua bagian yaitu pasien dengan anemia defisiensi
besi dan anemia penyakit kronik. Anemia defisiensi besi diklasifikasi dengan gambaran anemia
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung melawan tekanan darah tinggi
ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung
(hipertrofi konsentrik). Rangsangan simpatin dan aktivasi system RAA memacu mekanisme
Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolic ventrikel sampai tahap tertentu dan pada
akhirnya terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/ gangguan fungsi sistolik).5
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Pada pemeriksaan fisik, emeriksaan jantung dilakukan untuk menilai hipertrofi
ventrikel kiri dan tanda – tanda gagal jantung. Impuls apeks yang promiinen. Bunyi jantung S2
yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Pemeriksaan elektrokardiografi
menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri hanya pada skeitar 20 – 50 % tetapi masih menjadi
metode standar. Bila keuangan tidak menjadi kendala, maka diperlukan pula pemeriksaan
ekokardiografi atau ekokardiografi-Doppler yang dapat dipakai untuk menilai fungsi diastoli
(gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudonormal atau tipe restriktif). Penatalaksanaan
umum hipertensi mengacu kepada tuntutan umum hipertensi.5
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan
natrium yang terjadi salam tubuh diatur oleh dua mekanisme pengatur yaitu kadar natrium yang
sudah tetap pada batas tertentu (Set-Point) dan keseimibangan natrium yang masuk dan keluar
(Steady-State). Hiponatremia terjadi bila jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi,
ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melaluii saluran
cerna atau gagal jantung atau sirosis hari atau pada SIADH. Penatalaksanaan hiponatremia
dengan cara ananesis yang teliti riwayat muntah, penggunaan diuresis, dan penggunaan
mannitol. Pemeriksaan fisik yang tiliti apakah ada tanda hipovolemi atau bukan. Dilakukan
juga pemeriksaan gula darah, osmolalitas darah, osmolalitas urin, pemeriksaan natrium,
kalium, dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin. Langkah
selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran.5
Hiponatremia akut, koreksi dengan Na dilakukan secara cepat dengan pemberian
larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar
natrium awal dalam waktu 1 jam Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L
setiap 1 jam sampai kadar natrium mencapai 130 meq/L. Rumus yang diapai untuk mengetahui
jumlah natrium dalam lauran natrium hipertonik yang diberikan adalah 0,5 x berat badan (kg)
x delta Na. Delta natrium adalah selisih antara kadar natrium awal yang diinginkan dengan
kadar natrium awal. Pada hyponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu
sebesar 0,5 meq/L setiap 1 jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8
meq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam.5
PEMBAHASAN KASUS
Hipoglikemia itu sendiri ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-
gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad berupa terdapatnya gejala-gejala
hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah dan gejala berkurang dengan pengobatan.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.6
Pada pasien ini diagnosis hipoglikemia berdasarkan riwayat diabetes melitus dan gejala
saat masuk IGD yaitu lemas tiba – tiba hingga pasien tidak berdaya, pasien mengigau dan
bicara melantur. Keluhan disertai gemetar, keringat dingin, demam, pusing, dan merasa mual.
Keluhan ini dirasakan sekitar 1 jam setelah pasien minum obat glibenklamid yang merupakan
golongan sulfoniurea dan metformin yang merupakan golongan biguanid secara bersamaan.
Sebelum minum obat pasien hanya makan oatmeal campur susu diabetasol sebanyak ½
mangkok. Pada pemeriksaan saat masuk IGD mununjukkan glukosa darah sewaktu 62 mg/dL.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran somnolen,
tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 143/137 mmHg, nadi 106 kali/menit, nafas 24
kali/menit dan suhu 36,7 oC dengan. Wajah tampak pucat dan keringat umum (+). Selain itu
hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terakit dengan derajat
keparahannya dan pada pasien dikategorikan hipoglikemia berat karena pasien membutuhkan
bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya. Pengobatan
Luka pada telapak kaki kanan pasien diperkiraikan merupakan komplikasi lebih lanjut
dari diabetes melitus telah dialami pasien selama 20 tahun yang dimana dicurigai telah
terjadinya neuropati perifer yang menyebabkan pasien tidak sadar atau merasakan nyeri saat
menginjak bara api sekitar 3 bulan yang lalu dan tidak merasakan nyeri pada luka di telapak
kakinya. Pada pemeriksaan fisik sendiri ditemukan ulkus pada plantar pedis dextra ukuran
13x6x3cm dengan dasar tulang dan pus (+), kekuatan ekstremitas bawah +2/+3, pitting edema
+3 pada cruris dan pedis dextra dan nyeri tekan (-) pada kedua kaki. Cruris dextra tampak
hiperemis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis 211410 /µL dan rontgen pedis
dengan kesan degenerasi os calcaneus kanan dan defek jaringan lunak di regio plantar pedis
kanan. Tatalaksana pada ulkus diabetes sendiri meliputi penanganan iskemia pembuluh arteri
perifer dengan penggunaan antiplatelet ditujukan terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer
untuk memperlambat progresifitas sumbatan dan kebutuhan rekonstruksi pembuluh darah.18
Pada pasien ini tidak diberikan antiplatelet dengan pertimbangan adanya ademia dan risiko
perdarahan serta LED yang memanjang 125mm. Selain penanganan iskemia tatalaksana ulkus
diabetes juga dilakukan debridemen. Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan
semua jaringan nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan
nonviable, debris dan fistula. Tindakan debridemen juga dapat menghilangkan koloni bakteri
17,18
pada luka. . Selainn debridemen pada pasien ini diberikan injeksi Ceftriakson dan
Metronidazole untuk infeksi yang ditandai dengan adanya pus pada luka dan mulai munculnya
gejala inflamasi sistemik pada pasien berupa leukositosis, takipneu, dan takikardi. Diperlukan
edukasi pada pasien tentang cara menjaga dan merawat kaki untuk mencegah perburukan ulkus
atau munculnya ulkus baru.
Pada pasien ditemukan anemia dengan gejala lemas dan pusing serta nafsu makan
menurun sejak sakit. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 20 tahun yang lalu dan
riwayat ulkus sejak 2 bulan SMRS. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak
sakit sedang kesadaran somnolen, tekanan darah 146/137 mmHg, takikardi dengan frekuensi
nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat, frekuensi nafas 24 kali/menit dan suhu 36,7 oC, pasien
tampak pucat, konjungtiva anemis +/+. Pada pemeriksaan penunjang menunjukkan anemi
normositik normokrom degan hemoglobin 9.2 g/dL, hematokrit 27 %, eritrosit 3.1 juta/µL,
leukosit 21140 /µL trombosit 370000 /µL, MCV 88 fL, MCH 30 pg, MCHC 24 g/dL, Ureum/
Creatinin 3.9/0.8 mg/dL dan eGFR 125.37 1.73m2. Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang
menunjukkan anemia normositik normokrom pada pasien dicurigai karena infeksi atau penyakit
kronis dimana pada penyakit kronik seperti DM disertai anemia ringan hingga sedang yang
disebut dengan anemia inflamasi atau anemia infeksi atau anemia penyakit kronik.21 Penelitian
Wright dkk menunjukkan kejadian anemia yang tinggi pada pasien ulkus kaki diabetes yang
berat. Hasil penelitian mereka menunjukkan para pasien dengan ulkus kaki diabetes memiliki
anemia yang sesuai dengan literatur dimana pada pasien diabetes dengan penyakit arteri perifer,
kadar hemoglobin menurun seiring dengan gejala klinis dan perkembangan penyakit.20
Hipertensi primer merupakan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18
tahun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Hipertensi derajat 2 adalah dimana sistolik
lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih atau sama dengan 100 mmHg.5 Pada
pasien diagnosis hipertensi derajat 2 tetapi dibuat walaupun dari anamnesis pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi karena berdasarkan tekanan darah yang diukur sebelum dan saat
pemeriksaan yaitu 165/89 mmHg saat pasien masuk ke IGD pada tanggal 3 Februari 2019,
160/80 mmHG pada tanggal 4 Februari 2019, dan saat pemeriksaan dengan pasien pada tanggal
5 Februari 2019 yaitu 146/137 mmHg. Menurut PERKENI melalui Konsensus Penatalaksanaa
Diabetes Melitus Tahun 2015, indikasi pengobatan hipertensi pada diabetes melitus adalah saat
tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan/atau tekanan darah sistolk > 90 mmHg. Sasaran
tekanan darah pada orang diabetes adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan tekanan
diastolic < 90 mmHg.6 Terapi pilihan yang diberikan adalah Captopril 2 x tablet 12,5mg yang
merupakan golongan penghambat ACE dan modifikasi gaya hidup melalui edukasi seperti
pertahanankan BB/TB seimbang, Batasi asupan garam 2.4gram atau 6gram NaCl per hari,
perbanyak aktivitas fisik aerobik 2 – 3 kali/minggu selama 30menit masing – masong, serta
berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
KESIMPULAN
Luka pada telapak kaki kanan pasien adalah ulkus diabetic yang merupakan komplikasi
lebih lanjut dari diabetes melitus telah dialami pasien selama 20 tahun yang dimana dicurigai
telah terjadinya neuropati perifer yang menyebabkan pasien tidak merasakan nyeri saat
menginjak bara api. Pasien diberikan tambahan injeksi antibiotic ceftriakson dan
metronidazole karena ditemukan leukositosis pada pemeriksaan penunjang dengan leukosit
211410 /µL yang merupakan respon tubuh dari infeksi bakteri khususya pada pasien
disebabkan oleh ulkus dan ditandai dengan pus dan jaringan yang nekrotik.
Alkalosis pada pasien diperkirakan karena takipneu (frekuensi nafas 24 kali/menit) pada
pasien yang disebabkan oleh respon inflamasi oleh tubuh karena adanya infeksi ulkus atau
riwayat hipoglikemi yang mengarahkan ke pengeluaran CO2 yang lebih banyak daripada yang
diproduksi oleh hasil metabolisme jaringan ditandai dengan hasil analisa gas darah dimana
terjadi penurunan kadar pCO2 27 mmHg (hipokapnia) dan peningkatan pH 7.524.
Anemia pada pasien paling mungking disebabkan oleh respon inflamasi oleh tubuh
pasien dengan adanya ulkus diabetik yang dialami selama 2 bulan. Pemeriksaan penunjang
menunjukkan anemi normositik normokrom degan hemoglobin 9.2 g/dL, MCV 88 fL, MCH 30
pg, MCHC 24 g/dL. Kadar MCV dan MCH yang normal menyingkirkan ke arah diagnosis
anemia karena defisiensi besi. Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang menunjukkan anemia
normositik normokrom pada pasien dicurigai karena infeksi atau penyakit kronis dimana pada
1. Dorland WAN. Kamus kedokteran dorland. Edisi ke – 31. Mahode AA, Arfan A, Intansari
DM, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2010. h594.
2. Aathira R, Jain V. Advances in management of type 1 diabetes mellitus. World J Diabetes.
2014. 5(5):689-96.
3. Largay J. Case study: New-onset diabetes: how to tell the difference between type 1 and
type 2 diabetes. Clin Diabetes. 2012; 30:25–6.
4. Cho NH, Kirigia D, Mbanya JC, et al. International diabetes federation diabetes atlas. 8th
Ed. Karuranga S, Fernandes JR, et al, editor. International Diabetes Federation. 2017. p42-
87.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing.h2315-2435.
6. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. 2015.h93
7. Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J Majority. Februari 2015;4(5):93.
8. Garner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. 8th ed. United States
of America: McGraw-Hill;2007. p672-712.
9. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current medical diagnosis & treatment. 54th ed.
New York: McGraw Hills, 2015. h1186-43.
10. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison’s manual of medicine. 18th ed. New York:
McGraw Hill, 2013. h1137.
11. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E. Braunwalds heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. vol. 1. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2008.p1093-1135
12. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2011: h.4-13, 15-29.
13. Alvin C. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 16. New York: McGraw-Hill;
2010. h.2152.
14. American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes Mellitus.
Diabetes Care 2011. h.62-9.