Anda di halaman 1dari 65

Laporan Kasus

Episode Hipoglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Priode 07 Januari – 16 Maret 2019

Disusun Oleh :

Shintia Novotna Katoda

112019029

Pembimbing :

dr. Inggrid Widyawanti, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Dengan Judul

Episode Hipoglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Penyakit Dalam

RSPAD GATOT SOEBROTO – DITKESAD, JAKARTA

Disusun Oleh :

Shintia Novotna Katoda

112018029

Telah Disetujui Oleh

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal Pengesahan

dr. Inggrid Widyawati, Sp.PD

RSPAD GATOT SOEBROTO 1


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini telah menjadi tantangan sekaligus
kepuasan tersendiri bagi penulis untuk mengimplimentasikan ilmu yang telah diperolehnya
pada rotasi stase ini. Sangat disadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan doa dari
begitu banyak pihak hingga tugas akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Oleh karena
itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikan tugas akhir
ini. Melalui kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Inggrid Widyawanti, Sp.PD selaku pembimbing dan mentor yang telah
memberikan informasi, kritikan, dan saran yang membangun untuk untuk dapat menghasilkan
karya yang lebih baik lagi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan karena
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu dengan kerendahan hati saya
mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca guna
perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 18 Februari 2019

Penulis

RSPAD GATOT SOEBROTO 2


DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………………………………………………… 1


Kata Pengantar ………………………………………………… 2
Daftar Isi ………………………………………………… 3
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………… 5
Latar Belakang ………………………………………………… 5
BAB II. LAPORAN KASUS ………………………………………………… 7
2.1 Identitas Pasien ………………………………………………… 7
2.2 Anamnesis ………………………………………………… 7
2.3 Pemeriksaan Fisik ………………………………………………… 9
2.4 Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………… 18
2.5 Resume ………………………………………………… 23
2.6 Daftar Masalah ………………………………………………… 24
2.7 Pengkajian Masalah 24
2.6.1 Diabetes Melitus Tipe 2 Episode Hipoglikemi Berat ..………………….. 24
2.6.2 Kaki Diabetes Regio Plantar Pedis Dextra……………………………… 26
2.6.3 Hipertensi Grade II .......…………..…………………………………….. 28
2.6.4 Alkalosis respiratorik…………………………………………………… 29
2.6.5 Gangguan Keseimbangan Elektrolit.…………………………………… 30
2.6.6 Anemia Normositik Normokrom…….…………………………………. 31
2.6.7 Penyakit Jantung Hipertensi ……………………………………………. 32
2.8 Follow Up ………………………………………………… 34
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 36
3.1 Diabetes Melitus ………………………………………………… 37
3.1.1 Manidestasi Klinis ………………………………………………… 37
3.1.2 Kriteria Diagnosis ………………………………………………… 37
3.1.3 Tata Laksana ………………………………………………… 38
3.1.4 Komplikasi ………………………………………………… 41
3.2 Hipoglikemia Pada Diabetes…………………………………………………. 41
3.2.1 Rekomendasi Pengobatan …………………………………………… 43
3.2.2 Pengobatan Hipoglikemia Berat ……………………………………… 43

RSPAD GATOT SOEBROTO 3


3.3.3 Pecegahan ………………………………………………… 44
3.3 Ulkus Diabetik ………………………………………………… 44
3.3.1 Epidemiologi ………………………………………………… 44
3.3.2 Etiologi ………………………………………………… 45
3.3.3 Patofisiologi ………………………………………………… 45
3.3.4 Klasifikasi Kaki Diabetik …………………………………………….. 46
3.3.5 Faktor Risiko ………………………………………………… 48
3.3.6 Tata Laksana ………………………………………………… 49
3.4 Hipertensi Pada Diabetes ………………………………………………… 51
3.5 Anemia Pada Diabetes …………………………………………………. 52
3.6 Penyakit Jantung Hipertensi …………………………………………………. 54
3.7 Alkalosis Respiratorik …………………………………………………. 54
3.8 Gangguan Keseimbangan Natrium ………………………………………… 55
BAB IV. PEMBAHASAN KASUS ………………………………………………… 57
BAB V. KESIMPULAN …………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………

BAB I

RSPAD GATOT SOEBROTO 4


PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah sindroma kronik gangguan metabolisme atau resistensi insulin
pada jaringan yang dituju. Terdapat dalam dua bentuk utama yaitu diabetes melitus tipe 1 dan
diabetes melitus tipe 2 yang berbeda etiologi, patologi, genetik, juga onset, dan terapinya.1
Diabetes tipe 2 adalah yang paling sering diantara semua jenis diabetes dan semakin meningkat
seiring perubahan sosial dan budaya.2 Pada diabetes tipe 2 tubuh mampu memproduksi insulin
namun menjadi resisten sehingga insulin tidak efektif. Seiring waktu, tingkat insulin kemudian
menjadi tidak mencukupi. Baik resistensi insulin maupun defisiensi menyebabkan kadar
glukosa darah tinggi.3

Sekitar 425 juta orang orang dewasa berusia 20-79 tahun diseluruh dunia diperkirakan
menderita diabetes. Pada 2017 sekitar 9,5% orang dewasa berusia 20-79 tahun di daerah Pasifik
Barat diperkirakan hidup dengan diabetes, ini setara dengan 158,8 juta jiwa. Pasifik Barat
adalah rumah bagi 37,4% dari total jumlah penderita diabetes di dunia dengan 1,3 juta kematian
di antara orang dewasa. Dari urutan tersebut Indonesia menempati urutan ke 7 dengan jumlah
penderita diabetes terbanyak di dunia.4

Jika dalam perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 yang dibiarkan dan tidak dikelola
dengan baik, diabetes rnelitus akan menyebabkan terjadinya berbagai penyulit akut maupun
komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penyulit akut seperti krisis
hiperglikemi (KAD) dan hipoglikemi.5

Hipoglikemi secara definisi didasarkan rendahnya kadar glukosa darah (GD) pada
seseorang. Ironisnya, kejadian hipoglikemi justru sering berkaitan dengan diabetes
rnelitus, baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Semakin intensif pengendalian kadar glukosa
darah, risiko hipoglikemi semakin meningkat. Hipoglikemi pada diabetes paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemi akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat dieksresi dan waktu kerja obat
telah habis. Hipoglikemia sendiri terdiri dari gejala adrenergik (berdebar – debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma).5,6

Untuk mernbuat diagnosis hipoglikemi, berdasarkan definisi diperlukan adanya trias


dari Whipple (Whipple Triad) yang terdiri atas Adanya gejala klinis hipoglikemi berdasarkan
anamnesis dan peneriksaan jasrnani, kadar glukosa dalam plasma yang rendah pada saat yang

RSPAD GATOT SOEBROTO 5


bersaman berdasarkan pemeriksan penunjang/ laboratorium, dan keadaan klinis segera
membaik segera setelah kadar glukosa plasma menjadi normal setelah diberi pengobatan
dengan pemberian glukosa. Hipoglikemi adalah suatu keadaan klinis yang serius dan bahkan
dapat membawa kematian, oleh karena itu, baik para pelayankesehatanmaupun merekayang
berisiko tinggi terhadap kejadian ini harus memahaminya.5

Komplikasi neuropati perifer adalah yang paling penting dimana hilangnya sensasi
distal. Adanya keluhan dan kernudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik
rnengharuskan kita untuk berusaha rnengsndalikan konsentrasi glukosa darah sebaik
rnungkin. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Kaki diabetes
dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki diabetik
disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease),
ataupun kombinasi keduanya. Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah
pergelangan kaki, yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup
pasien.6

BAB II

LAPORAN KASUS

RSPAD GATOT SOEBROTO 6


II.1 IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap : Tn. Manli Hasigapan HT


Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal Lahir : 01 Mei 1954 (64 tahun)
Suku Bangsa : Batak
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Kristen Protestan
Perkerjaan : Pedangang
Pendidikan : SMA
Alamat : Jalan Pegangsaan Dua RT 003/004 Kelapa Gading,
Jakarta Utara
No. RM : 923563
Masuk RS : Minggu, 03 Februari 2019, pukul 14.00
Dilakukan pemeriksaan : Selasa, 05 Februari 2019

II.2 ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 05 Februari 2019, pukul 16.30 WIB
alloanamnesis pada tanggal 05 Februari 2019, pukul 17.00 WIB

Keluhan Utama
Lemas tiba – tiba sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Tiga bulan SMRS pasien mengalami luka bakar ditelapak kaki kanan karena
menginjak bara api saat membakar sampah. Pasien tidak merasa saat menginjak bara api.
Kaki bengkak dan luka hanya diberi minyak tawon tapi tidak membaik.
Dua bulan SMRS pasien dibawa ke RS Firdaus karena luka bakar di kaki kanan
yang semakin membusuk. Luka bakar di kaki kanan mulai menghitam, semakin bengkak,
infeksi dan keluar nanah. Pasien masih tidak merasakan adanya nyeri pada daerah luka
atau sekitar lukanya. Karena ini pasien dibawa ke RS Firdaus. Selama di rumah sakit
pasien dilakukan pembedahan dan pembersihan luka.

RSPAD GATOT SOEBROTO 7


Satu bulan SMRS pasien dibawa ke RS Firdaus dengan keluhan lemas tiba – tiba
dan tidak berdaya. Pasien masuk dalam keadaan sadar dan mengalami demam. Pasien
dirawat selama 5 hari di RS Firdaus dan selama dirawat luka di kaki kanan hanya diganti
perban dan tidak dibersihkan. Pasien pulang masih dalam keadaan lemas.
Dua minggu SMRS luka kembali menghitam. Luka dibersihkan sendiri dirumah
menggunakan cairan infus NaCl 0.9% dan kulit yang kehitaman dipotong menggunakan
silet. Luka bernanah dan berbau busuk. Pasien merasa lemas dan demam.
Lima hari SMRS pasien dibawa ke RS Yakri dengan keluhan lemas tiba – tiba.
Selama di RS Yakri pasien hanya di berikan infus sebanyak 2 botol. Pasien pulang dalam
keadaan lemas yang membaik.
Pada hari masuk rumah sakit pasien dibawa ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan lemas tiba – tiba sejak 4 jam SMRS. Keluhan lemas dirasakan hingga pasien
merasa tidak berdaya. Pasien mengigau dan bicara melantur. Keluhan disertai gemetar
dan keringat dingin. Keluhan terjadi sekitar 1 jam setelah pasien minum obat
glibenklamid dan metformin bersamaan. Sebelum minum obat pasien hanya makan
oatmeal campur susu diabetasol sebanyak ½ mangkok. Pasien juga mengeluh demam,
pusing dan mual. Muntah disangkal. Nafsu makan menurun sejak sakit. Terdapat luka di
telapak kaki kanan dan keluar nanah saat dibersihkan. Kaki kanan terasa nyeri yang
hilang timbul dan terasa seperti disayat. Kedua kaki bengkak. Pasien tidak bisa berjalan
karena kaki terasa nyeri. Pasien sering terbangun malam untuk BAK sekitar 10 – 15 kali
setiap malam. Pasien tidak BAB sudah 1 minggu.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat diabetes melitus ± 20 tahun
 Riwayat tuberkulosis tahun 1997 (22 tahun lalu) dinyatakan sembuh oleh Dokter
setelah berobat selama 6 bulan
 Riwayat hipertensi, penyakit jantung dan penyakit ginjal disangkal

Riwayat Pengobatan
 Metformin 1 x 850mg
 Glibenklamid 1 x 5g
 Riwayat penggunaan obat anti tuberkulosis selama 6 bulan

RSPAD GATOT SOEBROTO 8


Riwayat Penyakit Keluarga
 Ibu pasien menderita diabetes melitus
 Ayah pasien memiliki riwayat penyakit jantung
 Di keluarga pasien tidak ada yang menderita darah tinggi, alergi, asthma, dan
keganasan

Riwayat Sosial
 Pasien merokok 1 bungkus per hari, sudah berhenti ± 1 tahun
 Pasien mengonsumsi minuman beralkohol

Riwayat Makanan
Frekuensi : 3-4 kali per hari
Jumlah : 3 - 5 sendok setiap makan
Variasi : tidak bervariasi (oatmeal dan susu)
Nafsu makan : nafsu makan menurun

II.3 PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan di lantai 5 Ruang 6 Perawatan Umum Paviliun Darmawan pada tanggal


Februari 2019

Pemeriksaan Umum
Tinggi badan : 163 cm
Berat badan : 50 Kg
Keadaan gizi : Normal (IMT 18.4 Kg/m2)
Tekanan darah : 146 /137 mmHg
Nadi : 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi nafas : 24 kali/menit, reguler, abdominotorakal
Suhu : 36,7 oC
Kesadaran : Somnolen  GCS E3V5E6
Habitus : Astenikus
Cara berjalan : Tertatih
Mobilisasi : Aktif, sebagian

RSPAD GATOT SOEBROTO 9


Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses piker : Wajar

Kulit
Warna : Kuning langsat (skin pthototype 4)
Effloresensi : Tidak ditemukan kelainan
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Merata, tidak ditemukan kelainan
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum (+)
Kelembapan : Lembab
Turgor : Baik
Lapisan lemak : Tipis, merata
Ikterus : Tidak ada
Edema : Pitting edema +3 regio cruris dan pedis dextra
Non-pitting edema regio cruris dan pedis sinistra

Kelenjar Getash Bening (KGB)


Submandibula : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesare

Kepala
Wajah : Tampak pucat
Simetri muka : Simetris
Rambut : hitam dan putih, tebal dan tersebar merata
Pembuluh darah : tidak ada kelainan

RSPAD GATOT SOEBROTO 10


temporal

Mata
Exophthalmus : tidak ada
Enopthalmus : tidak ada
Kelopak : ptosis (-), edema (-), hiperemis (-)
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik -/-
Lensa : Jernih
Visus : tidak diperiksa
Gerak bola mata : Normal
Lapang pandang : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Deviatio conjugae : tidak ada
Nistagmus : tidak ada

Telinga
Tuli : Normotia Selaput : Utuh
Liang : lapang pendengaran
Serumen : +/+ Penyumbatan : tidak ada
Cairan : -/- Perdarahan : tidak ada

Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1, tenang
Langit – langit : tidak ada celah Bau pernafasan : tidak berbau khas
Faring : tidak hiperemis Trismus : tidak ada
Lidah : merah muda Selaput lendir : Normal

Leher
Tekanan vena jugularis : 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar

Dada

RSPAD GATOT SOEBROTO 11


Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Buah dada : simetris, tidak ditemukan kelainan

Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis dan dinamis,
Kanan Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis, dan dinamis
Palpasi Kiri Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Kanan Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Perkusi Kiri Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kanan Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Kiri Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Kanan Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga 5, linea midklavikularis
sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : - Batas kanan sela iga 3 linea parasternalis dextra
- Batas kiri sela iga sela iga 5, linea aksillaris anterior sinistra
- Batas atas sela iga 2 linea parasternalis kiri
- Batas bawah sela iga 6 linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh darah
Arteri temporalis : teraba pulsasi, kuat, regular

RSPAD GATOT SOEBROTO 12


Arteri karotis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri brakhialis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri radialis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri femoralis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri poplitea : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri tibialis posterior : - dextra, tidak teraba pulsasi
- sinistra, tidak teraba pulsasi
Arteri dorsalis pedis : - dextra, tidak teraba pulsasi
- sinistra, tidak teraba pulsasi

Abdomen
Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (-), massa (-), caput
medusae (-), spider nevi (-), jaringan parut (-)
Palpasi
Dinding perut : Supel (+), nyeri tekan (-), massa (-)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Ballotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani, pekak diatas massa hepar, shifting dullnes (-),
undulasi (-),
Auskultasi : Bising usus 12 kali/menit, normoperistaltic

Lengan
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal, tidak ada nyeri Normal, tidak ada nyeri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Lain – lain - -

Alat Kelamin (atas indikasi)

RSPAD GATOT SOEBROTO 13


Tidak dilakukan, tidak ada indikasi

Tungkai dan kaki


Kanan Kiri
Luka Ulkus pada plantar pedis dextra Tidak ada
ukuran 13x6x3cm dengan dasar
tulang
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif, terbatas Aktif
Kekuatan +2 +3
Edema Pitting edema +4 cruris dan pedis Non-pitting edema
dextra
Lain – lain Regio cruris dextra baal, 1/3 Regio cruris sinistra baal,
distal regio cruris dextra Nyeri tekan (-),
hiperemis (+), pus (+) nyeri tekan
(-)

RSPAD GATOT SOEBROTO 14


Gambar 1. Regio plantar pedis dextra

Gambar 2. Regio cruris dextra tampak dari sisi medial

RSPAD GATOT SOEBROTO 15


Gambar 3. Regio cruris dextra tampak dari sisi anterior

Gambar 4. Regio cruris dextra tampak dari sisi latera

RSPAD GATOT SOEBROTO 16


Refleks

Kanan Kiri
Bicep + +
Tricep + +
Patella + +
Achilles Sulit dinilai Sulit dinilai
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kulit + +
Patologis _ -

RSPAD GATOT SOEBROTO 17


II.4 Pemeriksaan Penunjang

JENIS HASIL NILAI


PEMERIKSAAN RUJUKAN
03/02 04/02 06/02 07/02 09/02
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 9.2* 7.3* 13 – 18 g/dL
Hematokrit 27* 21* 40 – 52 %
Eritrosit 3.1* 2.5* 4.3 – 60 juta/µL
Leukosit 21140* 19.420* 4,800 - 10,800/µL
Trombosit 370000 383000 150,000–400,000/µL
Hitung Jenis :
 Basofil 0 0–1%
 Eosinofil 0* 1–3%
 Neutrofil 90* 50 – 70 %
 Limfosit 4* 20 – 40 %
 Monosit 6* 2–8%
MCV 88 84 80 – 96 fL
MCH 30 30 27 – 32 pg
MCHC 24 36 32 – 36 g/dL
RDW 14.00 11.5 – 14.5 %
LED 125* < 20 mm
KIMIA KLINIK
Ureum 39
Kreatinin 0.8
eGFR (Formula
125.37
MDRD)
Glukosa Darah 80 – 140 mg/dL
62* 72* 434*
(Sewaktu)
Jam 7 - < 100 mg/dL
Glukosa Kurva 209*
Harian Jam 11 - < 184 mg/dL
313*
Natrium (Na) 127* 135 – 147 mmol/dL

RSPAD GATOT SOEBROTO 18


Kalium (K) 5.0 3.5 – 5.0 mmol/dL
Klorida (Cl) 82* 95 – 105 mmol/dL
SGOT (AST) 21 < 35 U/L
SGPT (ALT) 27 < 40 U/L
ANALISA GAS
DARAH
 pH 7.524* 7.37 – 7.45
 pCO2 27.0* 33 – 44 mmHg
 pO2 89.0 71 – 104 mmHg
 Bikarbonat 22 – 29 mmol/L
22.5
(HCO3)
 Kelebihan Basa (-2) – 3 mmol/L
0.4
(BE)
 Saturasi O2 96.7 94 – 98 %

Nilai Rujukan
JENIS PEMERIKSAAN
05-02-2019 10:56:46 Saat ini
MIKROBIOLOGI
Pewarnaan BTA 3
 Jenis Bahan Sputum
 Tanggal diperiksa 07/02/19
 Hasil Negatif Negatif

RSPAD GATOT SOEBROTO 19


Pemeriksaan Kultur PUS + Resistensi

Jenis pemeriksaan : Kultur PUS + Resistensi


Jenis Bahan : PUS
Sediaan Langsung : Batang Gram negatif
Hasil Biakan : Serratia fonticola
No. Jenis Antibiotik MIC Hasil
R S I
1. Ampicillin, MIC >=32 R
2. Cefepime, MIC <=1 S
3. Ceftriaxone, MIC <=1 S
4 Ceftazidime, MIC <=1 S
5. Meropenem, MIC <=0.25 S
6. Amikacin, MIC <=2 S
7. Gentamicyn, MIC 2 S
8. Ciprofloxacin, MIC <=0.25 S
9. Trimetropim / Sulfamethoxazole, MIC <=20 S
10. Aztreonam, MIC <=1 S
11. Tigecycline, MIC 4 I
12. Ampicillin Sulbactam, MIC >=32 R
13. Cefazolin, MIC >=64 R
14. Ertapenem, MIC <=0.5 S
15. Nitrofurantoin, MIC 256 R
16. Piperacilllin / Tazobactam, MIC <=4 S
R : Resisten S : Sensitif I : Intermediate

RSPAD GATOT SOEBROTO 20


Pemeriksaan Radiologi

1. Foto Toraks
Tanggal pemeriksaan : 03 Februari 2019

Foto toraks AP :
- Jantung ukuran kesan membesar
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trakea relative ditengah, kedua hilus tidak melebar
- Tampak fibroinfiltrar di lapangan atas paru kanan
- Kedua hemidiafragma licin
- Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
- Tulang – tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak
Kesan :
- Kardiomegali
- Fibroinfiltrat di lapangan atas paru kanan, dd TBC paru, pneumonia

RSPAD GATOT SOEBROTO 21


2. Pedis Ap dan Oblik

Tanggal 03 Februari 2019

Pemeriksaan radiogradi pedis kanan proyeksi AP dan oblik dengan hasil :


- Kedudukan tulang – tulang pedis baik, tidak tambak subluksasi/dislokasi
- Tidak tampak fraktur maupun destruksi
- Tampak formasi entesofit di aspek plantar danposterior os calcaneus kanan
- Celah sendi tidak tampak menyempit
- Tampak defek di proyeksi jaringan lunak regio plantar pedis kanan
Kesan :
- Degenerasi os calcaneus kanan
- Defek jaringan lunak di regio plantar pedis kanan

RSPAD GATOT SOEBROTO 22


Elektrokardiografi

Interpretasi :
- Ritme Iregular
- Frekuensi nadi  114 kali / menit
- Aksis  RAD  lead I negatif dan lead aVF positif
- RBBB  Gelombang RR’ pada lead V1 dan V2
- LVH  R tinggi pada lead V5 dan V6
- Kesan  cor compensated

II.5 RESUME

Seorang laki – laki usia 64 tahun datang dengan keluhan lemas pada hari masuk rumah
sakit pasien dibawa ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas tiba – tiba sejak 4
jam SMRS. Lemas dirasakan hingga pasien merasa tidak berdaya. Pasien mengigau dan bicara
melantur. Keluhan disertai gemetar, keringat dingin, demam, pusing, dan merasa mual.
Keluhan terjadi sekitar 1 jam setelah pasien minum obat glibenklamid dan metformin
bersamaan. Sebelum minum obat pasien hanya makan oatmeal campur susu diabetasol
sebanyak ½ mangkok. Nafsu makan menurun sejak sakit. Pasien juga mengeluhkan luka di
telapak kaki kanan dan keluar nanah saat dibersihkan. Kaki kanan terasa nyeri yang hilang
timbul dan terasa seperti disayat. Kedua kaki bengkak dan pasien tidak bisa berjalan karena
kaki terasa nyeri. Pasien sering terbangun malam untuk BAK sekitar 10 – 15 kali setiap malam.
Pasien tidak BAB sudah 1 minggu. Pasien memiliki riwayat DM 20 tahun dan Tuberkulosis 2
tahun yang lalu.

RSPAD GATOT SOEBROTO 23


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
somnolen, tanda – tanda vital didapatkan hipertensi grade II (tekanan darah 143/137 mmHg),
takikardi (nadi 106 kali/menit), takipneu (nafas 24 kali/menit) dan suhu 36,7 oC dengan
mobilisasi aktif terbatas. Wajah tampak pucat, keringat umum (+), konjungtiva anemis +/+.
Didapatkan ulkus pada regio plantar pedis dextra ukuran 13x6x3cm dengan dasar tulang dan
pus (+). Kekuatan ekstremitas bawah +2+3. Pitting edema +4 cruris dan pedis dextra. Non-
pitting edema pada regio cruris sinistra. Nyeri tekan (-) dan Cruris dextra tampak hiperemis,
nyeri tekan (+), reflex tendon achilles sulit dinilai karena adanya edema bilateral serta nyeri
pada tungkai kanan.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia normositik normokrom (Hemoglobin
9.2 g/dl MCV/MCH/MCHC 88/30/24), shift to the right leukositosis (Leukosit 211410 /µL dan
hitung jenis 0/0/90/4/6), LED memanjang (120mm), hipoglikemi (GDS 62 g/dL) hiponatremi
(127 mmol/dL), alkalosis respiratorik (pH 7.534 dan pCO2 27.0). Foto thorax dengan kesan
cardiomegali dan fibroinfiltrat pada lapang atas paru kanan. Foto pedis dengan kesan
degenerasi os calcaneus kanan dan defek jaringan lunak di regio plantar pedis kanan.
Pemeriksaan sputum BTA negative.

II.6 DAFTAR MASALAH

1. Diabetes melitus tipe 2 episode hipoglikemia


2. Kaki diabetes pada regio plantar dextra
3. Hipertensi grade II
4. Alkalosis repiratorik
5. Gangguan keseimbangan elektrolit
6. Anemia normositik normokrom dd ec infeksi dd ec penyakit kronis
7. Penyakit jantung hipertensi

II.7 PENGKAJIAN MASALAH

1. Diabetes melitus tipe 2 episode hipoglikemia berat


Dasar diagnosis
Anamnesis : - Pasien dibawa ke IGD RSPAD Gatot Soebroto
dengan keluhan lemas tiba – tiba. Pasien mengigau
(+) bicara melantur (+) gemetar (+) dan keringat

RSPAD GATOT SOEBROTO 24


dingin (+) mual (+) pusing (+)
- Keluhan terjadi ±1 jam setelah pasien minum obat
glibenklamid 1x5mg dan metformin 1x850mg
bersamaan
- Sebelum minum obat pasien hanya makan oatmeal
yang dicampur susu diabetasol sebanyak ½ mangkok
- Keluhan yang sama pernah terjadi sebelumnya
- Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak ±20
tahun.
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen
- Tanda – tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi gr. II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
- Suhu 36,7 oC.  normotermi
- Wajah tampak pucat, keringat umum (+)
Pemeriksaan penunjang : - GDS 03/02/2019  62 mg/dL
- GDS 04/02/2019  72 mg/dL
Rencana diagnosis : - Pemeriksaan glukosa darah serial/ 8jam
- Pemeriksaan HbA1c
Rencana monitoring : - Kesadaran
- Keadaan umum
- Tanda – tanda vital
- Periksa GDS setiap 15 menit setelah pemberian
dextrose 40%
 GDS < 100 mg/dL  periksa GDS setiap 15menit
hingga GDS >100mg/dL
 GDS > 100 mg/dL  periksa GDS setiap 2 jam 
GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali  lanjut
pemeriksaan setiap 4 jam  GDS > 100 mg/dL

RSPAD GATOT SOEBROTO 25


lanjut pemeriksaan setiap 8 jam
Rencana terapi : - IFVD dextrose 40% 25mL fl No I
- IVFD dextrose 10% 500mL fl No 1 20 tpm
Lanjutan
 GDS > 200 mg/dL lanjut IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
 GDS 100 – 200 mg/dL lanjut IVFD dextrose 10%
20 tpm
 GDS 100 – 200 mg/dL sebanyak 3 kali
pemeriksaan berturut – turut lanjut IVFD NaCl
0,9% 20 tpm
 GDS < 100 mg/dL ulang pemberian IVFD
dextrose 40% 25mL fl No. I
 GDS < 50 mg/dL ulang pemberian IVGD dextrose
40% 25mL fl No II
Edukasi dan rehabilitasi - Edukasi tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan
sementara, dan hal lainnya yang harus dilakukan
- Edukasi tentang dosis, waktu mengkonsumsi, cara
: mengkonsumsi obat yang benar serta efek samping
yang dapat timbul dengan pemberian obat
- Lakukan pemantauan glukosa darah mandiri
(PGDM) saat dirumah
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad malam

2. Kaki diabetes regio plantar pedis dextra


Dasar diagnosis
Anamnesis : - Pasien mengeluhkan luka di telapak kaki kanan
sejak 3 bulan SMRS karena tidak sadar saat
menginjak bara api
- Luka bernanah saat dibersihkan

RSPAD GATOT SOEBROTO 26


- Kaki kanan terasa nyeri yang hilang timbul dan
terasa seperti disayat.
- Kedua kaki bengkak dan pasien tidak bisa berjalan
karena kaki terasa nyeri
- Riwayat diabetes melitus ±20 tahun
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran compos mentis.
- Tanda - tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi gr II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
 Suhu 36,7 oC.  normotermi
- Ulkus pada plantar pedis dextra ukuran 13x6x3cm
dengan dasar tulang dan pus (+)
- Kekuatan ekstremitas bawah +2/+3, pitting edema
+3 pada cruris dan pedis dextra
- Cruris dextra tampak hiperemis
Pemeriksaan penunjang : - Leukosit 211410 /µL  leukositosis
- Foto/rontgen pedis dengan kesan degenerasi os
calcaneus kanan dan defek jaringan lunak di regio
plantar pedis kanan
Rencana diagnosis : - Kultur pus
Rencana monitoring : - Keadaan umum
- Tanda – tanda vital
- Kadar gula darah
- Pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior
Rencana terapi : - Konsultasi Bedah untuk dilakukan debridemen luka
- Sementara bersihkan luka dengan NaCl 0,9% dan
tutup dengan kassa kering
- Injeksi Ciprofloxacin 2 x 400mg IV
- Injeksi Metronidazole 3 x 500mg IV

RSPAD GATOT SOEBROTO 27


Edukasi dan rehabilitasi - Elevasi tungkai kanan
: - Elevasi perjalanan penyakit
- Edukasi penggunaan alas kaki pada pasien diabetes
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

3. Hipertensi Grade II

Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran compos mentis.
- Tanda – tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi gr. II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
 Suhu 36,7 oC.  normotermi
Pemeriksaan penunjang : -
Rencana diagnosis : -
Rencana monitoring : Keadaan umum dan tanda – tanda vital
Kontrol faktor risiko
-gula darah/diabetes melitus
-fungsi ginjal (ureum, kreatinin, GFR)
-jantung (EKG)
Rencana terapi : Captoptril tablet 12,5mg 2 x 1 PO
Edukasi dan rehabilitasi : Pertahanankan BB/TB seimbang
Minum obat dan kontrol tekanan darah teratur
Batasi asupan garam 2.4gram atau 6gram NaCl per hari
Perbanyak aktivitas fisik aerobik 2 – 3 kali/minggu

RSPAD GATOT SOEBROTO 28


selama 30menit
Berhenti merokok
Berhenti atau kurangi konsumsi minuman beralkohol
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

4. Alkalosis repiratorik

Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen
- Tanda – tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi grade
II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
 Suhu 36,7 oC.  normotermi
Pemeriksaan penunjang : Analisa Gas Darah
 pH 7.524
 pCO2 27 mmHg
 pO2 89.0 mmHg
 HCO3 22.5 mmol/L
 BE 0.4 mmol/L SpO2 96.7 %
Rencana diagnosis : -
Rencana monitoring : Keadaan umum
Tanda – tanda vital
Analisa Gas Darah ulang
Rencana terapi : Atasi ulkus diabetik

RSPAD GATOT SOEBROTO 29


Nasal kanul O2 3-5 L/menit
Edukasi dan rehabilitasi : Edukasi kondisi dan kemungkinan penyebab
Prognosis :
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

5. Gangguan keseimbangan elektrolit

Dasar diagnosis
Anamnesis : BAK 10 -15 kali setiap malam  polyuria
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen
- Tanda – tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi gr. II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
 Suhu 36,7 oC.  normotermi
Pemeriksaan penunjang : Elektrolit
 Natrium (Na) 127 mmol/dL  hiponatremi
 Kalium (K) 5.0 mmol/dL
 Klorida (Cl) 82 mmol/dL
Rencana diagnosis : -
Rencana monitoring : Keadaan umum
Tanda – tanda vital
Analisa Gas Darah ulang
Rencana terapi : NaCL 0,9 % 10 tpm kolf 500cc No. I
Edukasi dan rehabilitasi : Edukasi kondisi dan kemungkinan penyebab
Prognosis :
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam

RSPAD GATOT SOEBROTO 30


Ad sanationam : Dubia ad bonam

6. Anemia normositik normokrom dd ec infeksi dd ec penyakit kronis dd ec


perdarahan kronik

Dasar diagnosis
Anamnesis : Pasien merasa lemas dan pusing
Nafsu makan menurun sejak sakit
Riwayat ulkus sejak 2 bulan SMRS
Riwayat diabetes melitus 20 tahun
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen.
- Tanda – tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi grade
II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
 Suhu 36,7 oC.  normotermi
- Pasien tampak pucat
- Konjungtiva anemis +/+
Pemeriksaan penunjang : - Hematologi
 Hemoglobin 9.2 g/dL  anemia
 Hematokrit 27 %
 Eritrosit 3.1 juta/µL
 Leukosit 21140 /µL  leukositosis
 Trombosit 370000 /µL
 MCV 88 fL  normositik
 MCH 30 pg  normokromik
 MCHC 24 g/dL
 LED 125 mm  memanjang
- Kimia klinik

RSPAD GATOT SOEBROTO 31


 Ureum/ Creatinin 3.9/0.8 mg/dL
 eGFR 125.37 1.73m2

Rencana diagnosis : - Darah samar tinja


Rencana monitoring : Pemeriksaan hematologi rutin dalam 2 – 4 minggu
Rencana terapi : - Tatalaksana ulkus kaki diabetes
- Vitamin B12 tablet 500µg 1 x 1 PO
- Vitamin C tablet 100mg 1 x 1 PO
- Asam folat tablet 400µg 1 x 1 tablet PO
Edukasi dan rehabilitasi - Edukasi kondisi, pemeriksaan, dan tujuan
:
tatalaksana pada saat ini
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

7. Penyakit jantung hipertensi

Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan fisik : - Keadaan umum tampak sakit sedang
- Kesadaran somnolen.
- Tanda – tanda vital
 Tekanan darah 146/137 mmHg  hipertensi gr. II
 Frekuensi nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat
 takikardi
 Frekuensi nafas 24 kali/menit, jenis pernafasan
abdominotorakal  takipneu
 Suhu 36,7 oC.  normotermi
Pemeriksaan penunjang : Interpretasi EKG
- Ritme Iregular
- Frekuensi nadi  114 kali / menit
- Aksis  RAD  lead I negatif dan lead aVF positif

RSPAD GATOT SOEBROTO 32


- RBBB  Gelombang RR’ pada lead V1 dan V2
- LVH  R tinggi pada lead V5 dan V6
- Kesan  cor compensated
Rontgen thorak
- Kesan cardiomegaly
Rencana diagnosis : Echocardiography
Rencana monitoring : Keadaan umum dan tanda – tanda vital
Kontrol faktor risiko
-gula darah/diabetes melitus
-fungsi ginjal (ureum, kreatinin, GFR)
Rencana terapi : Captoptril tablet 12,5mg 2 x 1 PO
Konsul jantung
Edukasi dan rehabilitasi : Pertahanankan BB/TB seimbang
Minum obat dan kontrol tekanan darah teratur
Batasi asupan garam 2.4gram atau 6gram NaCl per hari
Perbanyak aktivitas fisik aerobik 2 – 3 kali/minggu
selama 30menit
Berhenti merokok
Berhenti atau kurangi konsumsi minuman beralkohol
Prognosis
Ad vitam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia
Ad sanationam : Dubia

RSPAD GATOT SOEBROTO 33


8.FOLLOW UP

Tanggal S–O A–P


(Intsruksi Dokter)
06 /02/19 S : : Badan lemas, BAB sulit A:

O:  Riwayat hipoglikemia
 DMT2
 Kesadaran compos mentis
 Gangren pedis dextra
 Keadaan umum tampak sakit sedang
 Ht grade II
 Tanda – tanda vital
 Bekas TB dd TB kambuh
- Tekanan darah 143/88 mmHg
- Nadi 113 kali/menit  Hiponatremia
- Nafas 20 kali/menit
- Suhu 37,1 oC P:
 Mata: CA +/+, SI  NaCl 0,9 %/12 jam
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Ciprofloxacin 2 x 200mg IV
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Metronidazole 1 x 500 g IV
gallop (-)  Omeprazole 1 x 40g
 Abd : perut supel, BU (+), nyeri tekan (-)  Sucralfat 3 x 1 c
 Pemeriksaan penunjang  KGDH/8jam
- LED 125 mm
 Cek GD2PP
- SGOT 21 U/L
 Burnazin cream + tutup kassa
- SGPT 27 U/L
kering
- GDS pagi 243 mg/dl
 Elevasi tungkai
 Novorapid 4 IU Sc

07/02/19 S : : Badan lemas, masih belum bisa BAB A :

O:  Riwayat hipoglikemia
 DMT2
 Kesadaran compos mentis
 Gangren pedis dextra
 Keadaan umum tampak sakit sedang
 Ht grade II
 Tanda – tanda vital
 Bekas TB dd TB kambuh
- Tekanan darah 140/80 mmHg
- Nadi 96 kali/menit  Hiponatremia
- Nafas 20 kali/menit
- Suhu 36,8 oC P:
 Mata: CA +/+, SI -/-  NaCl 0,9 %/12 jam
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Ciprofloxacin 2 x 200mg IV
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Metronidazole 1 x 500 g IV
gallop (-)  Omeprazole 1 x 40g
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan (-)  Sucralfat 3 x 1 c
 Pemeriksaan penunjang

RSPAD GATOT SOEBROTO 34


- Glukosa Kurva harian  KGDH/8jam
Jam 7 – 209 mg/dL  Cek GD2PP
Jam 11 – 313 mg/dl  Burnazin cream + tutup kassa
- GDS pagi 243 mg/dl kering
- Sputum BTA negatif  Elevasi tungkai
 Novorapid 4 IU Sc

08/02/19 S : : Badan lemas, tidak nafsu makan, A :


masih belum bisa BAB
 Gangren pedis dextra
O:  DMT2 belum terkontrol,
 H t grade II terkontrol dengan obat
 Kesadaran compos mentis
 Bekas TB dd TB kambuh,
 Keadaan umum tampak sakit sedang
 Tanda – tanda vital P:
- Tekanan darah 111/73 mmHg
- Nadi 73 kali/menit  NaCl 0,9 %/12 jam
- Nafas 21 kali/menit  Cipro 2 x 400mg IV
- Suhu 36,8 oC  Metro 3 x 500 g IV
 Mata: CA +/+, SI -/-  OMZ 1 x 40g
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Sucralfat 3 x 1 c
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  KGDH/8jam
gallop (-)  Cek GD2PP
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan (-)  Gurnatin cream + tutup kassa
 Pemeriksaan penunjang kering
- Glukosa Kurva harian  Elevasi tungkai
Jam 7 – 209 mg/dL  Novorapid 3 x 8 IU
Jam 11 – 313 mg/dL  Lantus 1 x 10 IU jam 22.00
- GDS pagi 243 mg/dl

09/02/19 S : : Badan lemas, tidak nafsu makan, A : Ulkus DM(Ganren Pedis Dextra)

O: P:

 Kesadaran compos mentis  Ciprofloxacin 2 x 400mg IV


 Keadaan umum tampak sakit sedang  Metronidazol 3 x 500 g IV
 Tanda – tanda vital  Elevasi kaki kanan
- Tekanan darah 123/79 mmHg  Rawat luka, Gurnatin cream
- Nadi 127 kali/menit habiskan
- Nafas 20 kali/menit  Pro debribement bila IPD =, pulmo
- Suhu 36,7 oC kardio acc
 Mata: CA +/+, SI -/-  Rencana Transfusi PRC
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-

RSPAD GATOT SOEBROTO 35


 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),
gallop (-)
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan (-)
 Status lokalis luka
- Look: hiperemis dan edema pedis
dextra, eschar
- Feel: hangat
- Move: ROM terbatas
 Pemeriksaan penunjang
- Hemoglobin 7.3 g/dL
- Hematokrit 21%
- Eritrosit 2.5 juta/µL
- Leukosit 21140 /µL
- Trombosit 383000 /µL
- Basofil/ Eosinofil/Neutrofil/Limfosit/
Monosit 0/0/90/4/6
- MCV 84fL
- MCH 30 pg
- MCHC 36 g/dL
- RDW 14.00 %

RSPAD GATOT SOEBROTO 36


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus polidipsisa, poliuria, polydipsia,
penurunan berat badan, dan kesemutan. Hiperglikemia kronik pada diabetes akan berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 5,7

3.1.1 Manifestasi Klinis Diabetes

Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan yang menurun
tanpa sebab yang jelas. Gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun apabila sudah tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.5
Kadang ketika penyakit telah terjadi beberapa saat, pasien dengan diabetes tipe 2 akan
menunjukkan bukti komplikasi neuropati atau kardiovaskular saat gejala muncul. Infeksi kulit
kronik sering terjadi. Pruritus umum dan gejala vaginitis sering merupakan keluhan awal
wanita dengan diabetes tipe 2. 8,9

3.1.2 Kriteria Diagnosis

Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel :


1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan)+
glukosa plasma sewaktu >200 mg/ dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

RSPAD GATOT SOEBROTO 37


2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/ dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75gram glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air

3.1.3 Tata Laksana

Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa


pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatas jasmani dan penurunan
berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah - langkah
pendekatan non farmakologik tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM
belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai.5
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe 2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tata- laksana DM tipe 2
memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko
kardiovaskular. Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar, yaitu:
12
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
1. Edukasi
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah
kesehatan atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini atau saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri,
dan perubahan perilaku atau kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan
pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan
12,13
mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
2. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing- masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,

RSPAD GATOT SOEBROTO 38


12
Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/ hari.
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani teratur 3-4 kali seminggu, masing - masing selama kurang lebih 30
menit. Latihan jasmani yang dianjurkan bersifat aerobik seperti jalan santai, jogging,
bersepeda dan berenang. Latihan jasmani untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.12
4. Intervensi Farmakologi
- Antidiabetik oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).6
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. 6
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Metformin
 Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30 - 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. 6

RSPAD GATOT SOEBROTO 39


 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan
faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone. 6
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
 Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan
faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose. 6
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-
1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin. 6
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. 6

- Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan

RSPAD GATOT SOEBROTO 40


jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien
yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin
dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian
insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolism protein dan lemak. Fungsi insulin antara
lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan
menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen
dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan
protein dan lemak dari glukosa.13

3.1.4 Komplikasi

Komplikasi DM untuk peningkatan morbiditas, disabilitas, dan mortalitas dan


merupakan ancaman bagi ekonomi semua negara, terutama pada negara berkembang.10
Diabetes ti2pe 2 sering kali tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun, karena hiperglikemia
berkembang cukup bertahap dan biasanya pada awalnya bersifat asimtomatik. Meskipun begitu
pasien ini berisiko tinggi mengalami komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.8 Jika
hiperglikemia dibiarkan berkembang tanpa pemeriksaan, masalah yang mengancam jiwa dapat
muncul.11
Pada diabetes, komplikasi yang dihasilkan dikelompokkan sebagai penyakit
mikrovaskular karena kerusakan pembuluh darah kecil dan penyakit makrovaskular karena
kerusakan pada arteri. Komplikasi mikrovaskular termasuk penyakit retinopati, nefropati, dan
neuropati. Komplikasi makrovaskular utama termasuk penyakit kardiovaskular yang
dipercepat yang mengakibatkan infark miokard dan penyakit serebrovaskular yang
bermanifestasi sebagai stroke. Meskipun etiologi yang mendasari masih kontroversial, ada juga
disfungsi miokard yang terkait dengan diabetes yang muncul setidaknya sebagian untuk
menjadi independen dari aterosklerosis. Komplikasi kronis lain diabetes termasuk depresi,
demensia, dan disfungsi seksual.8

3.2 Hipoglikemia pada Diabetes

Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.


Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-
gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:6

RSPAD GATOT SOEBROTO 41


 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan.

Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Pasien
dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia simtomatik
ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan. Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa bagian terakit dengan derajat keparahannya, yaitu:6

 Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian


karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
 Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS <70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
 Probable hipoglikemia apabila gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS.

Gambar. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada orang dewasa6

Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain: 6


 Kendali glikemik terlalu ketat
 Hipoglikemia berulang
 Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun terdiagnosis DMT1
 Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol responses

RSPAD GATOT SOEBROTO 42


 Neuropati otonom
 Tidak menyadari hipoglikemia
 End Stage Renal Disease (ESRD
 Penyakit / gangguan fungsi hati
 Malnutrisi
 Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat

3.3.1 Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:

Hipoglikemia Ringan:

1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)


2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa
darah.
4. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan
pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit
pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah
pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien
diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya
hipoglikemia. 6

3.3.2 Pengobatan pada hipoglikemia berat:

1. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian


dekstrose 20% sebanyak 50cc (bila terpaksa bisa diberikan dextrose 40% sebanyak
25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%.
3. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang
4. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia6

RSPAD GATOT SOEBROTO 43


3.3.3 Pencegahan hipoglikemia:

1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan sementara, dan
hal lain harus dilakukan
2. Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM), khususnya bagi
pengguna insulin atau obat oral golongan insulin sekretagog.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, tentang: dosis,
waktu megkonsumsi, efek samping
4. Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian hipoglikemi perlu
melalukan:
a. Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
b. Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan melalukan
program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek seperti: jadwal makan,
kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang
mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
c. Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan
menimbulkan hipoglikemi. 6

3.3 Ulkus Diabetik

Menurut WHO lesi-lesi yang sering menyebabkan ulserasi kronis dan amputasi disebut
dengan istilah kaki diabetik. Lesi ini digambarkan sebagai infeksi, ulserasi dan rusaknya
jaringan yang lebih dalam yang berkaitan dengan gangguan neurologis dan vaskular pada
tungkai. Ulkus kaki diabetik adalah sebuah kerusakan komponen akibat perjalanan penyakit
diabetes dan disebabkan karena penurunan kontrol DM, neuropati perifer, dan penyakit
vaskular perifer. Ulkus kaki diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang
disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati. Ulkus
diabetik mudah sekali menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula
darah yang tinggi menjadi tempat strategis untuk pertumbuhan kuman.1

3.3.1 Epidemiologi

Pasien DM memiliki kecendrungan tinggi untuk mengalami ulkus kaki diabetik yang
sulit sembuh dan risiko amputasi pada tungkai bawah, keadaan ini memberi beban
sosioekonomi baik bagi pasien dan masyarakat. Peningkatan populasi penderita DM

RSPAD GATOT SOEBROTO 44


berdampak pada peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM,
dimana sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik di dalam hidup
mereka. Sedangkan di Indonesia, prevalensi ulkus diabetik juga hampir sama, yaitu mencapai
angka 15% dari seluruh penderita DM.11

3.3.2 Etiologi

Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi. Neuropati
menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau menurunkan sensasi nyeri kaki,
sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai
sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu
aliran darah ke kaki penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu.
Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati.11

3.3.3 Patofisiologi

Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu: iskemi,
neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan menyebabkan komplikasi
kornik neuropati perifer berupa neoropati sensorik, motorik dan autonom. Neuropati sensorik
biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap
trauma fisik dan termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu
sensasi posisi kaki juga hilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan
penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.12 Neuropati autonom ditandai
dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat
pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki
rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan
fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta
menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Penderita DM juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini disebabkan
proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan
kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga
timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.

RSPAD GATOT SOEBROTO 45


Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak
di dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot – otot kaki
karena berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama
dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes.
Proses angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia
membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi
ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan ulkus diabetikum.11 Peningkatan HbA1C
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga
terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan
memudahkan terbentuknya trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh darah yang akan
mengganggu aliran darah ke ujung kaki.

3.3.4 Klasifikasi Kaki Diabetes

Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudah
para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di dunia. Dengan
klasifikasi PEDlS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular, infeksi atau
neuropatik, sehingga arah pengelolaanpun dapat tertuju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus
gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk
mengevaluasi dan memperbaikikeadaanvaskulamya dahulu. Sebaliknya kalau faktor infeksi
menonjol, tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau fakort mekanik yang
dominan, tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.5

Impaired 1 = None
Perfusion
2 = PAD + but not critical

3 = critical limb ischemia

1 = Superficial full thickness, not deeper than dermis

RSPAD GATOT SOEBROTO 46


Size/Eitent in 2 = deep ulcer below dermis, involving subcutaneous
mm2 structures, fascia, muscle or tendon
TissueLoss/Depth
3 = all subsequent layers of the foot involved including
bone and or joint

Infection 1 = no symptoms or signs of infection

2 = infection of skin and subcutaneoustissue only

3 = erythema >2cm or infection involving


subcutaneous structure(s). No systemic sign(s) of
inflammatory response

4 = infection with systemic manifestation: Fever,


leucocytosis, shift to the left, metabolic instability,
hypotension, azotemia

lmpaired 1 = Absent
Sensation
2 = Present

Tabel. Klasifikasi PEDIS lnternational Consensus on the Diabetic Foot 20035

Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan secara luas


untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.16
Tabel 2.2. Klasifikasi derajat kaki diabetik berdasarkan Wagner- Meggit16

Derajat Lesi

0 Tidak terdapat lesi terbuka, mungkin hanya deformitas dan


Selulitis
1 Ulkus diabetic superfisialis (partial atau full thickness)
2 Ulkus meluas mengenai ligament, tendon, kapsul sendi atau
otot dalam tanpa abses atau osteomileitis
3 Ulkus dalam dengan abses, osteomielitis atau infeksi sendi
4 Ganggren setempat pada bagian depan kaki atau tumit
5 Ganggren luas meliputi seluruh kaki

Klasifikasi Wagner-Meggit dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic


Foot (IWGDF) dan diterima semua pihak agar memudahkan perbandingan hasil penelitian.
Dengan klasifikasi ini dapat diaplikasikan dalam menentukan derajat keparahan ulkus diabetik.
Berikut adalah gambar ulkus kaki diabetik berdasarkan kalsifikasi Wagner Meggit16

RSPAD GATOT SOEBROTO 47


Gambar. Klasifikasi kaki diabetik berdasarkan Wagner- Meggit13

3.3.5 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya ulkus kaki diabetik lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1. Umur ≥ 60 tahun.
Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus kaki diabetik karena pada usia tua,
fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi penurunan sekresi
atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian
glukosa darah yang tinggi kurang optimal.15
2. Lama DM ≥ 10 tahun
Ulkus kaki diabetik terutama terjadi pada penderita DM yang telah menderita 10 tahun
atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati-
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan atau luka pada kaki penderita diabetik
yang sering tidak dirasakan.
3. Neuropati
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan mikrosirkulasi,
berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang
mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi neuropati.
Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga
penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi
berkurang, kulit kering dan mudah robek.18
RSPAD GATOT SOEBROTO 48
4. Obesitas
Pada obesitas dengan IMT ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT ≥25 kg/m2 (pria) akan lebih
sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 µU/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak
pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah pada daerah tungkai yang
menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus hingga gangren.15
5. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita DM karena adanya viskositas darah
yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi defesiensi
vaskuler, selain itu hipertensi dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel.
Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses
adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi
hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus.17 Penelitian studi
kasus kontrol oleh Robert di Iowa menghasilkan bahwa riwayat hipertensi akan lebih
besar 4 kali terjadi ulkus diabetik dengan tanpa hipertensi pada DM.15
6. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) dan kadar glukosa darah tidak terkendali
Glikosilasi Hemoglobin (HbA1C) adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam
sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah.
Apabila HbA1c ≥6,5% akan menurunkan kemampuan pengikatan oksigen oleh sel
darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi proliferasi
pada dinding sel otot polos subendotel. Kadar glukosa darah tidak terkontrol (GDP
>126 mg/dl) akan mengakibatkan komplikasi kronik jangka panjang, baik
makrovaskuler maupun mikrovaskuler salah satunya yaitu ulkus diabetik.15
7. Kebiasaan merokok.
Penelitian case control di California oleh Casanno dikutip oleh WHO pada penderita
Diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang perhari mempunyai risiko 3 kali untuk
menjadi ulkus diabetika dibandingkan dengan penderita DM yang tidak merokok.15

3.3.6 Talaksanaan

Tujuan utama pengelolahan ulkus kaki diabetik yaitu untuk mengakses proses kearah
penyembuhan luka secepat mungkin karena perbaikan dari ulkus kaki dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya amputasi dan ke-matian pasien diabetes. Secara umum pengelolaan
ulkus kaki diabetik meliputi penanganan iskemia, debridemen, penanganan luka, menurunkan

RSPAD GATOT SOEBROTO 49


tekanan plantar pedis (off-loading), penanganan bedah, penanganan komorbiditas dan
menurunkan risiko kekambuha serta pengelolaan infeksi.18

a. Penanganan iskemia

Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan dan harus dini- lai
awal pada pasien UKD. Penilaian kompetensi vaskular pedis pada UKD seringkali
memerlukan bantuan pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram, doppler maupun
angiografi. Pemeriksaan sederhana seperti perabaan pulsasi arteri poplitea, tibialis posterior
dan dorsalis pedis dapat dilakukan pada kasus UKD kecil yang tidak disertai edema
ataupun selulitis yang luas. Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh bahkan dapat
menyerang tempat lain dikemudian hari bila penyempitan pembuluh darah kaki tidak
diatasi.17 Bila pemeriksaan kompetensi vaskular menunjukkan adanya penyumbatan,
bedah vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis dan selayaknya diperlukan
sebelum dilakukan debridemen luas atau amputasi parsial. Beberapa tindakan bedah
vaskular yang dapat dilakukan antara lain angioplasti transluminal perkutaneus (ATP),
tromboarterektomi dan bedah pintas terbuka (bypass). Penggunaan antiplatelet ditujukan
terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer untuk memperlambat progresifitas sumbatan
pembuluh darah.18

b. Debridemen

Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan nekrotik, karena


luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan nonviable, debris dan fistula. Tindakan
debridemen juga dapat menghilangkan koloni bakteri pada luka. Debridemen dilakukan
terhadap semua jaringan lunak dan tulang yang nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk
mengevakuasi jaringan yang terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik
sehingga dapat mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta
mengurangi risiko infeksi lokal.25 Debridemen yang teratur dan dilakukan secara terjadwal
akan memelihara ulkus tetap bersih dan merangsang terbentuknya jaringan granulasi sehat
sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan ulkus.17,18

c. Perawatan luka

Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound healing atau
menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab.27 Bila ulkus memroduksi sekret
banyak maka untuk pembalut (dress- ing) digunakan yang bersifat absorben. Sebaliknya
bila ulkus kering maka digunakan pembalut yang mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus

RSPAD GATOT SOEBROTO 50


cukup lembab, maka dipilih pembalut ulkus yang dapat mempertahankan kelembaban.18
Disamping bertujuan untuk menjaga kelembaban, penggunaan pembalut juga
selayaknya mempertimbangkan ukuran, kedalaman dan lokasi ulkus. Untuk pembalut ulkus
dapat digunakan pembalut konvensional yaitu kasa steril yang dilembabkan dengan NaCl
0,9% maupun pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa jenis pembalut modern
yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium
alginate, foam dan sebagainya. Pemilihan pembalut yang akan digunakan hendaknya
senantiasa mempertimbangkan cost effective dan kemampuan ekonomi pasien.18

d. Penanganan bedah

Jenis tindakan bedah tergantung dari berat ringannya UKD. Tindakan elektif ditujukan
untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas seperti pada kelainan spur tulang, hammer
toes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah terjadinya
ulkus atau ulkus berulang pada pasien yang mengalami neuropati dengan melakukan
koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon. Bedah kuratif diindikasikan bila ulkus tidak
sembuh dengan perawatan konservatif, misalnya angioplasti atau bedah vaskular.
Osteomielitis kronis merupakan indikasi bedah kuratif. Bedah emergensi adalah tindakan
yang paling sering dilakukan, dan diindikasikan untuk menghambat atau menghentikan
proses infeksi, misalnya ulkus dengan daerah infeksi yang luas atau adanya gangren gas.
Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi atau debridemen jaringan nekrotik. 18

e. Mencegah kambuhnya ulkus

Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari amputasi kaki. Pasien
diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki, memeriksa kaki setiap hari, menggunakan
alas kaki yang tepat, meng- obati segera jika terdapat luka, pemeriksaan rutin ke podiatri,
termasuk debridemen pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke dalam. Sepatu dengan
sol yang mengurangi tekanan kaki dan kotak yang melindungi kaki berisiko tinggi
merupakan elemen penting dari program pencegahan.18

3.4 Hipertensi pada Diabetes

Hipertensi primer merupakan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18
tahun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Berdasarkan The Sevent hReport of The
Joint National Comitee and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan
darah adalah :5

RSPAD GATOT SOEBROTO 51


 Tekanan darah normal: sistolik < 120 dan diastoli < 80 mmHg
 Prehipertensi: sistolik < 120 - 139 dan diastolik < 80 - 89 mmHg
 Hipertensi derajat 1: sistolik <140 - 159 dan diastolik < 90 - 99 mmHg
 Hipertensi derajat 2: sistolik lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik ebih atau
sama dengan 100 mmHg

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam
kedokteran primer. Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target seperti
jantung, otak ginjal mata dan arteri perifer. Kerusakan organ-organ tersebut bergantung pada
seberapa tinggi tekanan darah dan seberapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol
dan tidak diobati. Studi menunjukkan bahwa penurunan rerata tekanan darah sistolik dapat
menurunkan risiko mortalitas akibat pennakit jantung iskemik atau stroke. Dalam guideline
terbaru JNC 8 terdapat perubahan target tekanan darah sistolik pada pasien berusia 60 tahun
ke atas menjadi < 150 mmHg dan target tekanan darah pada pasien dewasa dengan diabetes
atau penyakit ginjal kronik berubah menjadi < 140/90 mmHg.19
Menurut PERKENI melalaui Konsensus Penatalaksanaa Diabetes Melitus Tahun 2015,
indikasi pengobatan hipertensi pada diabetes melitus adalah saat tekanan darah sistolik > 140
mmHg dan/atau tekanan darah sistolk > 90 mmHg. Sasaran tekanan darah pada orang diabetes
adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan tekanan diastolic < 90 mmHg. Pengeloaan
dilakukan secara non-farmakologis berupa modifikasi gaya hidup dengan menurunkan berat
badan, meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alcohol serta mengurangi
konsumsi garam. Pengelolaan farmakologis dengan obat anti hipertensi penyekat reseptor
angiotensin II, penghambat ACE, penyekan reseptor beta selektif dosis rendah, diuretik dosis
rendah, penghambar reseptor alfa, dan antagonis kalsium. 6
Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular. Pengobatan hipertensi
harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. Tekanan darah yang terkendali setelah satu
tahun pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada orang tua, tekanan
darah diturunkan secara bertahap. Terapi kombinasi diberikan apabila target terapi tidak dapat
dicapai dengan monoterapi.6

3.5 Anemia pada Diabetes

Secara umum, anemia dibagi kedalam dua bagian yaitu pasien dengan anemia defisiensi
besi dan anemia penyakit kronik. Anemia defisiensi besi diklasifikasi dengan gambaran anemia

RSPAD GATOT SOEBROTO 52


mikrositik hipokromik, tetapi anemia penyakit kronik dapat menjadi sulit untuk didiagnosis.
Hal ini karena inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar ferritin sebagai respon fase
20
akut. Seringnya, penyakit kronik seperti DM disertai anemia ringan hingga sedang yang
21
disebut dengan anemia inflamasi atau anemia infeksi atau anemia penyakit kronik. Seperti
pada penyakit kronis lainnya, anemia juga ditemukan pada diabetes tapi sering tidak
terindentifikasi. Penelitian menunjukkan bawwa anemia terjadi dua kali lebih banyak pada
pasien dengan diabetes dibandingkan pada pasien tanpa diabetes. Perkembangan anemia
menjadi beban tambahan untuk komplikasi mikrovaskular pada diabetes. 20
Penelitian Wright dkk menunjukkan kejadian anemia yang tinggi pada pasien ulkus
kaki diabetes yang berat. Hasil penelitian mereka menunjukkan para pasien dengan ulkus kaki
diabetes memiliki anemia yang sesuai dengan literatur dimana pada pasien diabetes dengan
penyakit arteri perifer, kadar hemoglobin menurun seiring dengan gejala klinis dan
perkembangan penyakit. 20 Dalam penelitian Barbieri dkk ditemukan adanya penurunnan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah pada pasien anemia yang dihubungkan dengan
anemi normositik normokrom yang menjadi karakteristik anemia penyakit kronik. Anemia
penyakit kronik adalah anemira ringan hingga sedang yang memperpendek kelangsungan
hidup sel darah merah (sekitar 80 hari, bukan 120 hari normal). Fenomena ini dihubungkan
dengan keadaan hiperaktif system fagosit mononuclear yang dipicu oleh proses infeksi,
inflamasi, atau neoplastik yang menyebabkan ke penghancuran dini sel darah merah yang
beredar di dalam tubuh. Respon sumsum tulang yang tidak adekuat pada dasarnya disebabkan
oleh rendahnya sekresi eritropoietin, penurunan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin,
dan menurunnya suplai besi ke sumsum tulang.21
Penjelasan tentang respon sumsum tulang ini berkaitan dengan aktivasi makrofag dan
pelepasan sitokin inlamasi khususnya IL-1, IL-6, tumor nekrosis faktor (TNF-α), dan interferon
gamma (INF-g) yang berkerja dengan menghambat proliferasi prekursor eritroid dan karena
itu menghambat eritropoiesis. IL-6 mengaktivasi sel – sel retikuloendotelial di hati untuk
menghasilkan hepsidin. Hepsidin akan berinteraksi dengan feropontin, yakni protein
membrane yang akan menghambat absorbsi besi di usus halus, disamping itu hepsidin juga
akan menurunkan pelepasan besi dalam oleh makrofag. Akibat kedua efek hepsidin tersebut,
maka kadar besi dalam pplasma akan menurun (hipo-feremia) yang menjadi karakteristik
anemia penyakit kronik. Selain itu, aksi supresi oleh sitokin tersebut pafa stimulasi eritropoiesis
mengalagkan aksi sekresi eritropoietin dan menyebabkan penurunan respon sumsum tulang
terhadap eritropoietin dan eritropoiesis. Meskipun sumsum tulang normal dapat
mengkompensasi pemendekan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh

RSPAD GATOT SOEBROTO 53


hipoksia karena anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang
diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau respon terhadap eritropoietin. Hal ini
disebabkan oleh IL-1 dan TNF-α yang dikeluarkan oleh sel yang cedera.21 Kadar besi yang
rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguaun metabolism zat besi
pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan penurunan
kemampuan FE dalam sintesis HB.5

3.6 Penyakit Jantung Hipertensi

Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung melawan tekanan darah tinggi
ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung
(hipertrofi konsentrik). Rangsangan simpatin dan aktivasi system RAA memacu mekanisme
Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolic ventrikel sampai tahap tertentu dan pada
akhirnya terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/ gangguan fungsi sistolik).5
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Pada pemeriksaan fisik, emeriksaan jantung dilakukan untuk menilai hipertrofi
ventrikel kiri dan tanda – tanda gagal jantung. Impuls apeks yang promiinen. Bunyi jantung S2
yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Pemeriksaan elektrokardiografi
menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri hanya pada skeitar 20 – 50 % tetapi masih menjadi
metode standar. Bila keuangan tidak menjadi kendala, maka diperlukan pula pemeriksaan
ekokardiografi atau ekokardiografi-Doppler yang dapat dipakai untuk menilai fungsi diastoli
(gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudonormal atau tipe restriktif). Penatalaksanaan
umum hipertensi mengacu kepada tuntutan umum hipertensi.5

3.7 Alkalosis Respiratorik

Alkalosis respiratorik adalah gangguan keseimbangan asam basa karena hiperventilasi


alveolus. Hiperventilasi alveolus menyebabkan penurunan tekanan parsial karbon dioksida
(PaCO2). Karena terjadinya penurunan PaCO2 maka terjadi peningkatan pH yang dikenal
dengan alkalosis respiratorik. Penurunan kadar PaCO2 (hipokapnia) terjadi saat system
pernafasan mengeluarkan karbon dioksida lebih dari yang diproduksi secara metabolik oleh
jaringan. Alakalosis respiratorik dapat bersifat akut atau kronik. Pada alkalosis respiratorik
akut, kadar PaCO2 dibawah kadar normal dan pH bersifat basa. Pada alkalosis respiratorik
kronik PaCO2 dibawah kadar normal, tapi pH relatif normal atau mendekati normal.22

RSPAD GATOT SOEBROTO 54


Hipokapnia akut dapat menyebabkan vasokonstriksi. Penurunan PaCO2 akut
menurunkan aliran darah serebral dan menyebabkan gangguan neurologis seperti pusing,
gangguan kesadaran, sinkop dan kejang bila diikuti hiposekmia. Pada hiperventilasi akut,
pergerakan dinding dada dan frekuensi pernafasan meningkat. Pada pasien hiperventilasi
kronik, gejala tersebut mungkin tidak ditemukan. Pada pemeriksaan Analisa gas darah
didapatkan peningkatan pH (>7.45) dan penurunan PaCO2 (< 35mmHg) yang mengindikasikan
alkalosis respiratorik.22

3.8 Gangguan Keseimbangan Natrium

Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan
natrium yang terjadi salam tubuh diatur oleh dua mekanisme pengatur yaitu kadar natrium yang
sudah tetap pada batas tertentu (Set-Point) dan keseimibangan natrium yang masuk dan keluar
(Steady-State). Hiponatremia terjadi bila jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi,
ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melaluii saluran
cerna atau gagal jantung atau sirosis hari atau pada SIADH. Penatalaksanaan hiponatremia
dengan cara ananesis yang teliti riwayat muntah, penggunaan diuresis, dan penggunaan
mannitol. Pemeriksaan fisik yang tiliti apakah ada tanda hipovolemi atau bukan. Dilakukan
juga pemeriksaan gula darah, osmolalitas darah, osmolalitas urin, pemeriksaan natrium,
kalium, dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin. Langkah
selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran.5
Hiponatremia akut, koreksi dengan Na dilakukan secara cepat dengan pemberian
larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar
natrium awal dalam waktu 1 jam Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L
setiap 1 jam sampai kadar natrium mencapai 130 meq/L. Rumus yang diapai untuk mengetahui
jumlah natrium dalam lauran natrium hipertonik yang diberikan adalah 0,5 x berat badan (kg)
x delta Na. Delta natrium adalah selisih antara kadar natrium awal yang diinginkan dengan
kadar natrium awal. Pada hyponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu
sebesar 0,5 meq/L setiap 1 jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8
meq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam.5

RSPAD GATOT SOEBROTO 55


BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus polidipsisa, poliuria, polydipsia,
penurunan berat badan, dan kesemutan. Hiperglikemia kronik pada diabetes akan berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 5,7 Pada pasien ini diabetes melitus tipe 2 dari
anamnesis pasien yang menderita diabetes melitus selama 20 tahun dan mengonsumsi
glikenklamid serta metformin secara rutin sebagai obat hipoglikemik oral.

Hipoglikemia itu sendiri ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-
gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad berupa terdapatnya gejala-gejala
hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah dan gejala berkurang dengan pengobatan.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.6

Pada pasien ini diagnosis hipoglikemia berdasarkan riwayat diabetes melitus dan gejala
saat masuk IGD yaitu lemas tiba – tiba hingga pasien tidak berdaya, pasien mengigau dan
bicara melantur. Keluhan disertai gemetar, keringat dingin, demam, pusing, dan merasa mual.
Keluhan ini dirasakan sekitar 1 jam setelah pasien minum obat glibenklamid yang merupakan
golongan sulfoniurea dan metformin yang merupakan golongan biguanid secara bersamaan.
Sebelum minum obat pasien hanya makan oatmeal campur susu diabetasol sebanyak ½
mangkok. Pada pemeriksaan saat masuk IGD mununjukkan glukosa darah sewaktu 62 mg/dL.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran somnolen,
tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 143/137 mmHg, nadi 106 kali/menit, nafas 24
kali/menit dan suhu 36,7 oC dengan. Wajah tampak pucat dan keringat umum (+). Selain itu
hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terakit dengan derajat
keparahannya dan pada pasien dikategorikan hipoglikemia berat karena pasien membutuhkan
bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya. Pengobatan

RSPAD GATOT SOEBROTO 56


pada hipoglikemia berat yang disarankan adalah jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi
parenteral diperlukan berupa pemberian dekstrose 20% sebanyak 50cc dan bila terpaksa bisa
diberikan dextrose 40% sebanyak 25 cc diikuti dengan infus D5% atau D10% setelah jika
terjadi perbaikan.6 Pada pasien terjadi perbaikan setelah diberi IVFD dekstrose 40% sebanyak
2 flacon dan diteruskan dengan IVFD dextrose 10% selama di IGD dan terjadi peningkatan
kadar glukosa darah menjadi 176 mg/dL.

Luka pada telapak kaki kanan pasien diperkiraikan merupakan komplikasi lebih lanjut
dari diabetes melitus telah dialami pasien selama 20 tahun yang dimana dicurigai telah
terjadinya neuropati perifer yang menyebabkan pasien tidak sadar atau merasakan nyeri saat
menginjak bara api sekitar 3 bulan yang lalu dan tidak merasakan nyeri pada luka di telapak
kakinya. Pada pemeriksaan fisik sendiri ditemukan ulkus pada plantar pedis dextra ukuran
13x6x3cm dengan dasar tulang dan pus (+), kekuatan ekstremitas bawah +2/+3, pitting edema
+3 pada cruris dan pedis dextra dan nyeri tekan (-) pada kedua kaki. Cruris dextra tampak
hiperemis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis 211410 /µL dan rontgen pedis
dengan kesan degenerasi os calcaneus kanan dan defek jaringan lunak di regio plantar pedis
kanan. Tatalaksana pada ulkus diabetes sendiri meliputi penanganan iskemia pembuluh arteri
perifer dengan penggunaan antiplatelet ditujukan terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer
untuk memperlambat progresifitas sumbatan dan kebutuhan rekonstruksi pembuluh darah.18
Pada pasien ini tidak diberikan antiplatelet dengan pertimbangan adanya ademia dan risiko
perdarahan serta LED yang memanjang 125mm. Selain penanganan iskemia tatalaksana ulkus
diabetes juga dilakukan debridemen. Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan
semua jaringan nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan
nonviable, debris dan fistula. Tindakan debridemen juga dapat menghilangkan koloni bakteri
17,18
pada luka. . Selainn debridemen pada pasien ini diberikan injeksi Ceftriakson dan
Metronidazole untuk infeksi yang ditandai dengan adanya pus pada luka dan mulai munculnya
gejala inflamasi sistemik pada pasien berupa leukositosis, takipneu, dan takikardi. Diperlukan
edukasi pada pasien tentang cara menjaga dan merawat kaki untuk mencegah perburukan ulkus
atau munculnya ulkus baru.

Alkalosis respiratorik adalah gangguan keseimbangan asam basa karena hiperventilasi


alveolus.22 Alkalosis pada pasien diperkirakan karena takipneu (frekuensi nafas 24 kali/menit)
pada pasien yang disebabkan oleh respon inflamasi oleh tubuh atau riwayat hipoglikemi yang
mengarahkan ke pengeluaran CO2 yang lebih banyak daripada yang diproduksi oleh hasil

RSPAD GATOT SOEBROTO 57


metabolisme jaringan ditandai dengan hasil analisa gas darah dimana terjadi penurunan kadar
pCO2 27 mmHg (hipokapnia) dan peningkatan pH 7.524. Belum terlihat mekanisme
kompensasi tubuh karen nilai pH yang belum mendekati normal dan tidak diikuti dengan
penurunan kadar HCO3 yang masih dalam batas normal yaitu 22.5 mmol/L. Alkalosis
respiraktorik bersifat akut karena kadar PaCO2 dibawah kadar normal dan pH bersifat basa
sendangkan pada alkalosis respiratorik kronik PaCO2 dibawah kadar normal, tapi pH relatif
normal atau mendekati normal.22 Tidak ada tatalaksana khusus pada keadaan ini selain
memperbaiki keadaan umum pasien dan mengatasi permasalahan yang mendasari terjadinya
takipneu pada pasien serta memperikan tambahan ventilasi nasal kanul O2 3-5 L/menit.
Alkalosis respiratorik adalah gangguan keseimbangan asam basa karena hiperventilasi
alveolus. Hiperventilasi alveolus menyebabkan penurunan tekanan parsial karbon dioksida
(PaCO2). Karena terjadinya penurunan PaCO2 maka terjadi peningkatan pH yang dikenal
dengan alkalosis respiratorik. Penurunan kadar PaCO2 (hipokapnia) terjadi saat sistem
pernafasan mengeluarkan karbon dioksida lebih dari yang diproduksi secara metabolik oleh
jaringan. Alakalosis respiratorik dapat bersifat akut atau kronik. Pada alkalosis respiratorik
akut, kadar PaCO2 dibawah kadar normal dan pH bersifat basa. Pada alkalosis respiratorik
kronik PaCO2 dibawah kadar normal, tapi pH relatif normal atau mendekati normal.22

Pada pasien ditemukan anemia dengan gejala lemas dan pusing serta nafsu makan
menurun sejak sakit. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 20 tahun yang lalu dan
riwayat ulkus sejak 2 bulan SMRS. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak
sakit sedang kesadaran somnolen, tekanan darah 146/137 mmHg, takikardi dengan frekuensi
nadi 106 kali/menit, reguler, kuat angkat, frekuensi nafas 24 kali/menit dan suhu 36,7 oC, pasien
tampak pucat, konjungtiva anemis +/+. Pada pemeriksaan penunjang menunjukkan anemi
normositik normokrom degan hemoglobin 9.2 g/dL, hematokrit 27 %, eritrosit 3.1 juta/µL,
leukosit 21140 /µL trombosit 370000 /µL, MCV 88 fL, MCH 30 pg, MCHC 24 g/dL, Ureum/
Creatinin 3.9/0.8 mg/dL dan eGFR 125.37 1.73m2. Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang
menunjukkan anemia normositik normokrom pada pasien dicurigai karena infeksi atau penyakit
kronis dimana pada penyakit kronik seperti DM disertai anemia ringan hingga sedang yang
disebut dengan anemia inflamasi atau anemia infeksi atau anemia penyakit kronik.21 Penelitian
Wright dkk menunjukkan kejadian anemia yang tinggi pada pasien ulkus kaki diabetes yang
berat. Hasil penelitian mereka menunjukkan para pasien dengan ulkus kaki diabetes memiliki
anemia yang sesuai dengan literatur dimana pada pasien diabetes dengan penyakit arteri perifer,
kadar hemoglobin menurun seiring dengan gejala klinis dan perkembangan penyakit.20

RSPAD GATOT SOEBROTO 58


Anemia normositik normokrom yang menjadi karakteristik anemia penyakit kronik.
Anemia penyakit kronik adalah anemia ringan hingga sedang yang memperpendek
kelangsungan hidup sel darah merah (sekitar 80 hari, bukan 120 hari normal).21 Pada penyakit
kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan
atau respon terhadap eritropoietin.21 Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup
menunjukkan adanya gangguaun metabolism zat besi pada penyakit kronis. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia disebabkan penurunan kemampuan besi dalam sintesis
hemoglobin.5 Oleh karena itu anemia diperkirakan karena penyakit kronik dengan gambaran
normositik normokrom karena tidak ada kekurangan jumlah besi dalam plasma tetapi
penurunan kemampuan sintesisnya oleh hemoglobin. Tetapi kemungkinan anemia lain seperti
anemia karena perdarahan kronik tidak boleh disingkirkan sebelum adanya bukti maka dari itu
dilakukan pemeriksaan darah samar tinja untuk mencari adanya sumber perdarahan ditempat
lainnya. Dengan kecurigaan anemia terjadi karena penyakit kronis maka tatalaksana yang
diberikan adalah obat – obatan yang dapat membantu sintesis hemoglobin seperti asam folat
dan vitamin B12 dan membantu menurunkan inflamasi seperti Vitamin C yang menurunkan
aktivitas IL-6.

Hipertensi primer merupakan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18
tahun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Hipertensi derajat 2 adalah dimana sistolik
lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih atau sama dengan 100 mmHg.5 Pada
pasien diagnosis hipertensi derajat 2 tetapi dibuat walaupun dari anamnesis pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi karena berdasarkan tekanan darah yang diukur sebelum dan saat
pemeriksaan yaitu 165/89 mmHg saat pasien masuk ke IGD pada tanggal 3 Februari 2019,
160/80 mmHG pada tanggal 4 Februari 2019, dan saat pemeriksaan dengan pasien pada tanggal
5 Februari 2019 yaitu 146/137 mmHg. Menurut PERKENI melalui Konsensus Penatalaksanaa
Diabetes Melitus Tahun 2015, indikasi pengobatan hipertensi pada diabetes melitus adalah saat
tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan/atau tekanan darah sistolk > 90 mmHg. Sasaran
tekanan darah pada orang diabetes adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan tekanan
diastolic < 90 mmHg.6 Terapi pilihan yang diberikan adalah Captopril 2 x tablet 12,5mg yang
merupakan golongan penghambat ACE dan modifikasi gaya hidup melalui edukasi seperti
pertahanankan BB/TB seimbang, Batasi asupan garam 2.4gram atau 6gram NaCl per hari,
perbanyak aktivitas fisik aerobik 2 – 3 kali/minggu selama 30menit masing – masong, serta
berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

RSPAD GATOT SOEBROTO 59


Pada pasien untuk tatalaksana hipertensi diberikan penghambat ACE yang dipilih
karena dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.6 Hal ini berdasarkan pertimbangan adanya
penyakit jantung hipertensi pada pasien walaupun belum tampak pada pasien berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, hal ini didukung dengan hasil pemeriksaan rontgen thorak
dengan kesan kardiomegali dan gambaran pada pemeriksaan elektrokardiografi berupa
hipertrofi ventrikel kiri serta deviasi aksis ke kanan dengan kesan cor compensated. Walaupun
begitu pemeriksaan sebaiknya diteruskan dengen ekokardiografi karena pemeriksaan
elektrokardiografi menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri hanya pada skeitar 20 – 50 % tetapi
masih menjadi metode standar.5 Pemeriksaan ekokardiografi atau ekokardiografi-Doppler
yang dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri,
pseudonormal atau tipe restriktif). Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntutan
umum hipertensi.5

Hiponatremia terjadi bila jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi,


ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melaluii saluran
cerna atau gagal jantung.5 Hiponatremia pada pasien dicurigai bersifat kronik dan ditegakkan
berdasarkan anamnesis pasien dimana frekuensi BAK 10 – 15 kali setiap malam (nokturia)
yang bisa menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan dicurigasi merupakan gejala kadar
gula darah yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan kadar elektrolit
dengan kadar natrium (Na) 127 mmol/dL, kadar kalium (K) 5.0 mmol/dL, dan klorida (Cl) 82
mmol/dL. Pada pasien tidak dilakukan tatalaksana khusus selain pemberian IVFD NaCL 0,9%
sebanyak 10 tetes per menit dengan target kadar natrium plasma 130meq/L atau 130 mmol/dL.
Pada hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu sebesar 0,5 meq/L setiap
1 jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam.5

RSPAD GATOT SOEBROTO 60


BAB V

KESIMPULAN

Terjadinya hipoglikemia pada pasien akibat penggunaan obat hipoglikemik oral


glibenklamid golongan sulfoniurea dan metformin yang merupakan golongan biguanid secara
bersamaan setelah makan oatmeal campur susu diabetasol sebanyak ½ mangkok. Penggunaan
sulfonilurea yang meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas diikuti obat
hipoglikemik oral golongan biguanid yang meningkatkan sensitivitas insulin setelah makan
makanan dengan porsi kecil dan kadar gula didalam makanan yang rendah akan menyebabkan
hipoglikemia pada pasien dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu saat masuk IGD yaitu
62 mg/dL. Diagnosis ditegakkan berdasarkan terjadinya perbaikan keadaan umum pada
pasiensetelah diberi IVFD dekstrose 40% sebanyak 2 flacon dan diteruskan dengan IVFD
dextrose 10% selama di IGD dan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 176 mg/dL.

Luka pada telapak kaki kanan pasien adalah ulkus diabetic yang merupakan komplikasi
lebih lanjut dari diabetes melitus telah dialami pasien selama 20 tahun yang dimana dicurigai
telah terjadinya neuropati perifer yang menyebabkan pasien tidak merasakan nyeri saat
menginjak bara api. Pasien diberikan tambahan injeksi antibiotic ceftriakson dan
metronidazole karena ditemukan leukositosis pada pemeriksaan penunjang dengan leukosit
211410 /µL yang merupakan respon tubuh dari infeksi bakteri khususya pada pasien
disebabkan oleh ulkus dan ditandai dengan pus dan jaringan yang nekrotik.

Alkalosis pada pasien diperkirakan karena takipneu (frekuensi nafas 24 kali/menit) pada
pasien yang disebabkan oleh respon inflamasi oleh tubuh karena adanya infeksi ulkus atau
riwayat hipoglikemi yang mengarahkan ke pengeluaran CO2 yang lebih banyak daripada yang
diproduksi oleh hasil metabolisme jaringan ditandai dengan hasil analisa gas darah dimana
terjadi penurunan kadar pCO2 27 mmHg (hipokapnia) dan peningkatan pH 7.524.
Anemia pada pasien paling mungking disebabkan oleh respon inflamasi oleh tubuh
pasien dengan adanya ulkus diabetik yang dialami selama 2 bulan. Pemeriksaan penunjang
menunjukkan anemi normositik normokrom degan hemoglobin 9.2 g/dL, MCV 88 fL, MCH 30
pg, MCHC 24 g/dL. Kadar MCV dan MCH yang normal menyingkirkan ke arah diagnosis
anemia karena defisiensi besi. Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang menunjukkan anemia
normositik normokrom pada pasien dicurigai karena infeksi atau penyakit kronis dimana pada

RSPAD GATOT SOEBROTO 61


penyakit kronik seperti DM disertai anemia ringan hingga sedang yang disebut dengan anemia
inflamasi atau anemia infeksi atau anemia penyakit kronik. Kemungkinan anemia lain seperti
anemia karena perdarahan kronik belum bisa disingkirkan sebelum adanya bukti maka dari itu
dilakukan pemeriksaan darah samar tinja untuk mencari kemungkinan adanya sumber
perdarahan ditempat lainnya. Dengan kecurigaan utama anemia terjadi karena penyakit kronis
maka tatalaksana yang diberikan adalah obat – obatan yang dapat membantu sintesis
hemoglobin seperti asam folat dan vitamin B12 dan membantu menurunkan inflamasi seperti
Vitamin C yang menurunkan aktivitas IL-6.
Pada pasien diagnosis hipertensi derajat 2 tetapi dibuat walaupun dari anamnesis pasien
tidak memiliki riwayat hipertensi karena berdasarkan tekanan darah yang diukur sebanyak tiga
kali masuk dalam kriteria hipertensi derajat 2. Riwayat hipertensi yang lama akan
menyebabkan peningkatan tekanan arteri perifer dan menambah beban kerja jantung hingga
terjadi hipertrofi ventikel kiri. Mekanisme kompensasi ini didapatkan pada pasien disebut
dengan penyakit jantung hipertensi. Gambaran utama sebelum muncul gejala penyakit jantung
hipertensi bisa melalui elektrokardiografi yang menunjukkan gelombang R tinggi pada lead V5
dan V6 dengan perbesaran ventrikel kiri yang menyebabkan perubahan arah aksis jantung
deviasi ke kanan ditandai dengan lead I negatif dan avF positif. Pada penderita diabetes dengan
hipertensi yang mengarah ke kompensasi kardiovaskular pilihan terapi penghambat ACE
karena dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular. Pemeriksaan sebaiknya diteruskan dengen
ekokardiografi untuk menilai fungsi diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri,
pseudonormal atau tipe restriktif).

Hiponatremia pada pasien dicurigai bersifat kronik dan ditegakkan berdasarkan


anamnesis pasien dimana frekuensi BAK 10 – 15 kali setiap malam (nokturia) yang bisa
menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan dicurigasi merupakan gejala kadar gula darah
yang tidak terkontrol meningkatkan penumpukan glukosa lebih dari batas absorbsi di ginjal
hingga ginjal harus mengekskresikan gula melalui urin dan terjadilah gejala poliuria.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan kadar natrium (Na) 127 mmol/dL, kadar kalium (K) 5.0
mmol/dL, dan klorida (Cl) 82 mmol/dL.

RSPAD GATOT SOEBROTO 62


DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland WAN. Kamus kedokteran dorland. Edisi ke – 31. Mahode AA, Arfan A, Intansari
DM, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2010. h594.
2. Aathira R, Jain V. Advances in management of type 1 diabetes mellitus. World J Diabetes.
2014. 5(5):689-96.
3. Largay J. Case study: New-onset diabetes: how to tell the difference between type 1 and
type 2 diabetes. Clin Diabetes. 2012; 30:25–6.
4. Cho NH, Kirigia D, Mbanya JC, et al. International diabetes federation diabetes atlas. 8th
Ed. Karuranga S, Fernandes JR, et al, editor. International Diabetes Federation. 2017. p42-
87.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing.h2315-2435.
6. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. 2015.h93
7. Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J Majority. Februari 2015;4(5):93.
8. Garner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. 8th ed. United States
of America: McGraw-Hill;2007. p672-712.
9. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current medical diagnosis & treatment. 54th ed.
New York: McGraw Hills, 2015. h1186-43.
10. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison’s manual of medicine. 18th ed. New York:
McGraw Hill, 2013. h1137.
11. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E. Braunwalds heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. vol. 1. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2008.p1093-1135
12. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2011: h.4-13, 15-29.
13. Alvin C. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 16. New York: McGraw-Hill;
2010. h.2152.
14. American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes Mellitus.
Diabetes Care 2011. h.62-9.

RSPAD GATOT SOEBROTO 63


15. Chadwick P, Edmond M. Best Practice Guideline: Wound Management in Diabetic Foot
Ulcer. 2013. Wound International. Sumber: www.woundsinternational.com. Diunduh pada
12 Februari 2019
16. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2 diabetes
development focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed Central
Cardiovascular Diabetology; 2011. h.1-15.
17. Desalu OO, Salawu FK, Jimoh AK, Adekoya AO, Busari OA, Olokoba AB, et al. Diabetic
foot care self reported knowledge and practice among patients attending three tertiarty
hospital in Nigeria. Ghana Med J; 2011; 45(2). h.60-5.
18. Tellechea A, Leal E, Veves A, Carvalho E. Inflammatory and angiogenic abnormalities in
diabetic wound healing: role of neuropeptides and therapeutic perspectives. The Open
Circulation and Vascular Journal 2010. h.43-55.
19. Muhadi. JNC 8 Evidence based guidelines: penanganan pasien hipertensi dewasa. CDK
Journal. 2016; 43(1). p6.
20. Wright JA, Oddy MJ, Richards T. Clinical study: Presence and characterization of anaemia
in diabetic foot ulceration. Hindawi publishing corportation. 2013. h8.
21. Barbieri J, Fontela PC, Winkelmann ER, et al. Research article: anemia in patients with
type 2 diabetes mellitus. Hindawi publishing corporation. 2015.h7.
22. Morel J, Gergele L, Domine A, Molliex S, et al. The venous arterial difference in CO2
should be interpreted with caution in case of respiratory alkalosis in healty volunteers. J
Clint Monit Comput. 2017; 31(4): 701-707.

RSPAD GATOT SOEBROTO 64

Anda mungkin juga menyukai