Oleh:
Aragibinafika, S. Ked
Preseptor :
dr. Marliza, Sp. P
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberkulosis Ovarium pada
Remaja Usia 16 Tahun” sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan
Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Pulmonologi Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak
kepada dr. Marliza, Sp. P sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di
bagian/KSM Ilmu Pulmonologi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten
Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan
laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
3
4
Ballotement (-)
Perkusi Timpani seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-)
Auskultasi Peristaltik usus normal
6 Genetalia Tidak dilakukan pemeriksaan
7 Ekstremitas Akral hangat, edema tungkai(-/-), sianosis (-/-), kelemahan
anggota gerak (-/-)
Interpretasi
Identitas : Jelas
Marker : Jelas
Posisi : PA
Penilaian
Trakea : Tidak tampak deviasi
Hilus : Tampak corakan meningkat
ICS : Tidak tampak pelebaran ICS
Paru : Corakan broncovaskular tampak meningkat, Tampak sudut
costofrenikus sinistra tajam. Tampak kedua diafragma licin dan tak
mendatar.
7
Cor : Tak membesar (CTR <50%), bentuk dan letak jantung dalam
batas normal.
Tulang : Intak, tidak tampak fraktur dan dislokasi.
Kesan : - Gambaran Bronchitis
- Besar cor dalam batas normal
2.4.3 Histopatologi
8
2.5 Diagnosis
Diagnosis banding : Abdominal pain ec
dd1 Tuberkulosis Ovarium
dd2 Ovarium Cyst
Diagnosis kerja : Tuberkulosis Ovarium
1.6 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
- Istirahat cukup
- Diet cukup
Farmakologis
- OAT 4 FDC 1 x 2 tab – (+) Rx Alergi
- OAT Lepasan H/Z/E; 300/500/500
2.8 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini masuk ke
jaringan paru melalui udara (airbone infection) dan menyebar melalui droplet
orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (12).
2.2 Epidemiologi
Definisi tuberkulosis (TB) ekstraparu adalah infeksi TB yang menyerang
organ selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening, gastrointestinal, traktus
genitourinarius, kulit, tulang, sendi dan selaput otak.(9) Tuberkulosis ekstraparu
didapatkan pada 15-20% pasien imunokompeten dan 53-62% pasien HIV yang
mengalami infeksi TB.(5)(13) Dari seluruh pasien TB ekstraparu, yang paling
sering didapat adalah limfadenitis TB (35 %), diikuti dengan pleuritis TB (20 %),
TB tulang dan sendi (10%), TB saluran kemih (9%), TB milier (8%), meningitis
TB (5%), peritonitis TB (3%) dan TB lainnya (10%).(5) Diagnosis TB ekstraparu
seringkali sulit karena gejalanya tidak spesifik, sedangkan pemeriksaan BTA
jaringan dan cairan tubuh hasilnya seringkali negatif sehingga seringkali
diperlukan prosedur invasif untuk mendiagnosisnya.(14) Selain pemeriksaan BTA
dan histopatologi, International Standard for TB Care (ISTC) tahun 2014 juga
menganjurkan pemeriksaan Xpert MTB/RIF jaringan untuk mendiagnosis TB
ekstraparu, namun hingga saat ini pemeriksaan tersebut belum dapat
dilaksanakan.(11) Secara klinis TB ekstraparu dapat ditegakkan berdasarkan
gejala organ ekstraparu yang terlibat dan ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium rutin, laboratorium penunjang dan pemeriksaan radiologi yang
sesuai.
2.3 Etiologi
TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mikobacteria berbentuk
basil, merupakan bakteri aerobik yang tidak membentuk spora, bersifat aerob
obligat, tidak bergerak, yang tumbuh lambat dan merupakan parasit intraseluler
9
10
(a) (b)
Gambar 1 (a) Mycobacterium tuberculosis (panah) spesimen dahak dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen (15). (b) BTA (Mycobacterium Tuberculosis) (15).
Klasifikasi
Kasus TB dibagi menjadi dua klasifikasi utama yaitu pasien TB
terkomfirmasi bakteriologis dan pasien TB terdiagnosis secara klinis. Selain itu
dapat juga diklasifikan berdasarkan PDPI TB 2021
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:
a. TB paru berlokasi di parenkim paru. Termasuk juga TB milier karena
terdapat lesi pada jaringan paru dan Pasien TB paru bersamaan ekstra paru.
b. TB ekstra paru terjadi pada organ selain paru.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:
a. Kasus baru TB belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat
mendapatkan OAT < 28 hari
b. Kasus yang pernah diobati TB:
11
mana berbagai organ secara langsung terkena basil, faktor mekanik yang
memengaruhi sejauh mana basil dibawa melalui aliran darah di setiap organ, dan
kemampuan jaringan yang berbeda untuk mendukung basil yang ada di dalamnya.
Basil tuberkulum juga dapat mencapai aliran darah ke saluran genital dari
paru dan biasanya bersifat kronis. Tuba falopi membentuk tempat yang paling
menguntungkan bagi basil tuberkulosis, dengan lesi paling banyak ditemukan di
mukosa. Kecenderungan dari basil tuberkel untuk memengaruhi hasil bilateral
organ dalam kedua tuba yang terlibat dalam proses tuberkulosis. Ada hubungan
antara panggul dengan penyebaran berikutnya ke organ genital lainnya dan
peritoneum. Peritonitis tuberkulosis sering berhubungan dengan saluran kelamin
dan juga dapat dikaitkan dengan pecahnya kelenjar getah bening perut caseous
dan lebih jarang terjadi karena penyebaran dari usus. (2) Penyebaran limfatik,
penyebaran limfatik terjadi pada kasus dengan lesi primer di dalam rongga perut.
Di beberapa negara di mana orang minum susu mentah (dipasteurisasi), infeksi
yang menyebar melalui saluran pencernaan dan disebabkan oleh basil tuberkel
sapi masih sering dilaporkan. Gavaller dkk melaporkan bahwa di satu daerah
Hongaria terdapat 33% kasus TB alat kelamin perempuan yang disebabkan karena
basil sapi, yang menyebar ke saluran tuba dengan cara limfatik. (3) Langsung
Menyebar, Biasanya terjadi karena adanya ekstensi langsung ke organ saluran
kelamin dari tuberkulosis organ di perut, seperti kandung kemih, rektum, usus
buntu, dan usus. Beberapa peneliti percaya bahwa penyebaran ini terjadi pada
sepanjang permukaan peritoneal. Namun, keterlibatan peritoneal ini juga bisa
terjadi karena adanya bahan terinfeksi dari saluran tuba. Dengan demikian, proses
primer tidak selalu jelas. Hal ini juga dapat terjadi ketika ada perlengketan antara
kandung kemih atau usus ke saluran tuba dan perforasi ulkus tuberkulosis yang
menyebar langsung ke organ genital.(16)
Setelah saluran kelamin terkena, granuloma yang mengandung bentuk
basil tuberkulosis terdapat dalam berbagai organ panggul. Setelah pengembangan
hipersensitivitas TB, ini umumnya secara klinis tidak tampak, dan interval 1–10
tahun atau bahkan mungkin lebih lama sebelum infeksi di lokasi ini diaktifkan
kembali atau secara klinis tampak nyata. Seringkali, tidak ada infeksi pada bagian
13
yang utama setelah terdapat penyakit saluran kelamin. Ada beberapa bukti bahwa
ketika infeksi primer terjadi dekat dengan waktu menarche, ada kemungkinan
lebih besar adanya keterlibatan dari saluran kelamin.(16)
14
2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya (17).
Gejala klinis TB dibagi menjadi dua, gejala lokal dan gejala sistemik.
Gejala sistemik TB antara lain demam, malaise, penurunan berat badan,
penurunan nafsu makan, dan keringat malam. Hal ini disebabkan oleh efek
sistemik dari IL-1 dan TNF-α yang disekresi makrofag teraktifasi. Gejala lokal
tergantung dari organ yang terinfeksi TB. Gejala TB saluran kelamin yang paling
sering dikeluhkan biasanya berupa perdarahan vagina yang tidak normal,
menstruasi tidak teratur, dan nyeri perut.
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
utama dan gejala tambahan (17):
Tabel 1 gejala utama dan gejala tambahan tuberkulosis
Gejala utama Gejala tambahan
Sesak nafas
Badan lemas
Penurunan nafsu
makan
Batuk berdahak ≥ 2 minggu Penurunan berat badan yang tidak
di sengaja
Malaise
Berkeringan di malam hari tanpa
kegiatan fisik
Demam subfebris lebih dari satu
bulan
Nyeri dada
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Anamnesis
1. Ditanyakan mengenai gejala
2. Digali riwayat lain untuk menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan
pasien TB
3. lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat penduduk,
4. Pekerjaan, orang yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan pajanan
infeksi paru, misalnya tenaga kesehatan atau aktivis TB.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
terlibat. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai, yaitu (17):
1. Suara nafas bronkial
2. Suara nafas amforik
3. Suara nafas melemah
4. Ronki basah kasar/halus,
5. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
6. Pleuritis tuberkulosa, dapat dijumpai perkusi redup atau pekak, auskultasi
suara nafas melemah sampai tidak terdengan pada sisi yang terdapat cairan
7. Limfadenitis tuberkulas, dapat dijumpai pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang seringkali
diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis klinis TB ekstraparu. Pada
semua pasien dengan TB ekstraparu perlu dilakukan juga pemeriksaan foto toraks
untuk memastikan ada tidaknya TB paru yang menyertainya. Pemeriksaan USG
diperlukan pada pasien-pasien dengan kecurigaan TB peritoneal dan TB genitalia
sedangkan ekokardiografi pada pasien dengan efusi perikard/perikarditis TB.
Pemeriksaan radiologi yang lebih canggih kadang-kadang juga diperlukan dalam
tatalaksana TB ekstraparu. Pemeriksaan CT scan kepala misalnya diperlukan pada
16
pasien dengan dugaan meningitis TB, sedangkan MRI diperlukan pada pasien
dengan dugaan spondilitis TB.(18)(19)
Untuk memastikan diagnosis TB ekstraparu seringkali diperlukan tindakan
invasif yaitu pungsi pleura, pungsi asites, pungsi lumbal dan biopsi jaringan. Dari
spesimen yang diperoleh dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pewarnaan
BTA langsung, BTA kultur serta pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Umumnya jumlah
kuman TB pada jaringan ekstraparu lebih sedikit dibandingkan dengan pasien TB
paru sehingga kuman BTA jarang didapat, karena itu diperlukan pemeriksaan
kultur dan pemeriksaan molekular yang cepat. Pemeriksaan BTA langsung pada
efusi pleura karena TB memberikan hasil positif hanya pada 5-10 % kasus, dan
hasil yang sama didapatkan juga pada pemeriksaan LCS pasien meningitis TB.
Pemeriksaan molekuler dengan Xpert MTB/RIF dari bahan cairan pada pasien
dengan pleuritis TB dan meningitis TB memberikan hasil positif masing-masing
43,7% dan 79,5 %. Pada limfadenitis TB, pemeriksaan Xpert/MTB RIF
memberikan hasil yang lebih baik yaitu 84,9%. Sayangnya walaupun pemeriksaan
Xpert/MTB RIF sudah tersedia di Indonesia namun hingga saat ini
pemeriksaannya hanya dapat dilakukan pada sputum, sedangkan untuk cairan dan
jaringan ekstraparu masih belum dapat dilakukan.(6)
Pada TB traktur urogenital perlu dilakukan pemeriksaan BTA dan PCR-TB
dari spesimen urin dan sekret ejakulat serta bila diperlukan dilakukan juga biopsi
ginjal dan kandung kemih untuk pemeriksaan histopatologi. Aspirasi jarum halus
dan biopsi eksisi dapat dilakukan pada limfadenitis TB untuk konfirmasi
diagnosis. Pada efusi pleura dapat dilakukan pleuroskopi yang merupakan
prosedur invasif minimal untuk melakukan biopsi pleura. Pada peritonitis TB
dilakukan tindakan laparoskopi biopsi dan bahkan laparatomi untuk diagnosis
pasti secara histopatologis. Tindakan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi
dilakukan juga pada pasien dengan TB hati, TB usus, TB tulang/sendi dan TB
kutis. Hasil positif bila didapatkan adanya sel-sel epiteloid, sel datia Langhans,
granuloma dan nekrosis kaseosa.(10)
17
pada fase lanjutan dengan rifampisin dan INH yang diberikan setiap hari selama
7-10 bulan. Terapi medika mentosa lain yang disarankan yaitu dengan pemberian
steroid. Pemberian steroid diberikan pada meningitis TB dan perikarditis TB
karena telah terbukti efektif untuk mencegah komplikasi jangka panjang yaitu
hidrosefalus dan perikarditis konstriktiva. Untuk meningitis TB diberikan
deksametason 12 mg/hari atau 0,4 mg/kg BB/hari selama 3 minggu, kemudian
dosis diturunkan secara bertahap dalam 3-5 minggu kemudian, dengan
mengevaluasi perbaikan klinis. Pada perikarditis TB diberikan prednison 60
mg/hari atau 1 mg/kg BB/hari selama 3 minggu, selanjutnya dosis diturunkan
secara bertahap selama 3-5 minggu. Walaupun pada efusi pleura pemberian
steroid dapat mempercepat penyembuhan dan mempercepat perbaikan gejala
klinis, namun tidak dapat mencegah terjadinya komplikasi fibrosis atau penebalan
pleura. Pada peritonitis TB dan TB saluran kemih pemberian steroid tidak
disarankan karena efektifitasnya dalam mencegah terjadinya komplikasi obstruksi
usus dan komplikasi stenosis ureter belum terbukti.(10)(21)
Walaupun terapi OAT terbukti efektif dalam pengobatan TB ekstraparu,
namun tindakan pembedahan kadang-kadang masih diperlukan baik untuk
keperluan diagnosis maupun terapi. Untuk tujuan terapi tindakan pembedahan
kadang-kadang diperlukan pada limfadenitis TB yang mengalami supurasi dan
pembentukan abses sehingga perlu dilakukan drainase. Demikian juga pada efusi
pleura masif yang menyebabkan keluhan sesak, perlu dilakukan pungsi pleura
untuk mengeluarkan cairan efusi tersebut. Pada meningitis TB yang mengalami
komplikasi hidrosefalus harus dilakukan pemasangan ventriculo-peritoneal shunt
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Tindakan pembedahan juga perlu dilakukan pada pasien perikarditis yang
mengalami komplikasi perikarditis konstriktiva. Demikian juga pada spondilitis
TB yang mengalami komplikasi kifosis yang berat, pasien dengan defisit
neurologis persisten pada tungkai yang tidak membaik dengan terapi konservatif,
pasien dengan abses dingin dan pasien dengan instabilitas vertebra perlu
dilakukan tindakan pembedahan. Tuberkulosis saluran kemih dapat menyebabkan
21
hidronefrosis akibat striktur ureter, dan jika komplikasi tersebut terjadi maka perlu
dilakukan tindakan nefrostomi untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut.(21)
Pengobatan Suportif/Simptomatis
1. Pasien Rawat Jalan
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan
Makanan sebaiknya bersifat tinggi kalori-protein. Bahan mikronutrien
seperti Zinc, vitamin-vitamin D, A, C dan zat besi diperlukan untuk
mempertahankan imunitas tubuh terutama imnitas seluler yang berperanan
penting dalam melawan tuberkulosis. Peningkatan pemakaian energi dan
penguraian jaringan yang berkaitan dengan infeksi dapat meningkatkan
kebutuhan mikronutrien seperti vitamin A, E, B6, C, D dan folat. Beberapa
rekomendasi pemberian nutrisi untuk penderita TB adalah:
- Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6 kali perhari
lebih diindikasikan menggantikan porsi biasa tiga kali per hari.
- Bentuk dan rasa makanan yang diberikan seyogyanya merangsang
nafsu makan dengan kandungan energi dan protein yang cukup.
- Minuman tinggi kalori dan protein yang tersedia secara komersial
dapat digunakan secara efektif untuk mencukupi peningkatan
kebutuhan kalori dan protein.
- Bahan-bahan makanan rumah tangga, sepetri gula, minyak nabati,
mentega kacang, telur dan bubuk susu kering nonlemak dapat dipakai
untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging, atau minuman berbahan
susu untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa menambah
besar ukuran makanan.
- Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang dikonsumsi untuk
mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.
25
2.7 Komplikasi
Tuberkulosis ekstraparu apabila tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan komplikasi. Berikut komplikasi yang terjadi pada TBEP
berdasarkan organ.
2.8 Prognosis
Beberapa penelitian pada pasien dengan pengobatan OAT, tingkat
kekambuhan hanya berkisar antara 0-14%. Di negara dengan tingkat TB yang
rendah, kekambuhan biasanya terjadi dalam waktu 12 bulan setelah pengobatan
selesai dan terjadi karena relaps. Sedangkan di negara dengan tingkat TB yang
lebih tinggi, sebagian besar kekambuhan setelah pengobatan terjadi karena infeksi
ulang. Prognostik buruk dapat terjadi pada kasus keterlibatan ekstrapulmoner,
keadaan imunokompromais, usia yang lebih tua, dan riwayat pengobatan
sebelumnya. Faktor risiko kematian adalah berkurangnya respons TNF-α terhadap
stimulasi dengan M tuberculosis, low body mass index, dan peningkatan laju
pernapasan saat diagnosis TB (15).
BAB 4
PEMBAHASAN
28
29
namun secara klinis tidak tampak gejala respiratorik yang nyata pada penderita.
Sehingga TB paru tidak terdiagnosis sebelumnya dan tidak mendapatkan terapi.
TB paru dan TB ekstra paru diobati dengan regimen obat yang sama dan
sangat dianjurkan untuk menggunakan obat kombinasi dosis tetap untuk 2 bulan
pertama kemudian diikuti dengan 2 atau 3 macam obat. Total waktu terapi adalah
6 bulan sampai 1 tahun. Paduan terapi adekuat dapat dimulai tanpa menunggu
hasil biakan bila histologi dan gambaran klinis sesuai dengan diagnosis
tuberkulosis. Seluruh pasien TB ekstra paru harus melakukan foto toraks untuk
menyingkirkan TB paru.
Diagnosis TB ovarium dapat dicapai dengan kecurigaan klinis, dan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pewarnaan
TB, biopsi. Gold standard dari diagnosis TB ovarium adalah kultur M.tuberculosis
dari jaringan ovarium. Pada kasus ini, dari hasil pemeriksaan biopsi pada ovarium
didapatkan radang kronik granulomatous dengan proses radang supuratif di
sekitarnya. Diagnosis histopatologi ini tidak menyingkirkan adanya infeksi
mycobacterium tuberkulosa. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada penderita
terdapat radang TB di Ovarium.
BAB 5
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31
15. Herchline TE. Tuberculosis (TB). Medscape; 2020.
16. Tantri RIE, Ngurah Rai IB. Tuberkulosis Serviks pada Penderita
Tuberkulosis Paru. J Respirasi. 2019;2(2):41.
17. Indonesia PDP. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Perhimpun Dr Paru Indones. 2021;001(2014):1–78.
18. Chandir S, Hussain H, Salahuddin N, Amir M, Ali F, Lotia 1, Khan AJ.
Extrapulmonary Tuberculosis: A retrospective review of 194 cases at a
tertiary care hospital in Karachi, Pakistan. J Pak Med Assoc. 2010; 60: 105-
9.
19. Kaye LD, Litlejohn J. An Indonesian Male with Abdominal Pain and
Weight Loss: Abdominal Tuberculosis Presenting with Cervical Lymph
Node Enlargement. The Medicine Forum. 2012; 13: 1-3.
20. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Tuberkulosis.
2020.
21. Sia IG, Wieland ML. Current concept in the management of tuberculosis.
Mayo Clin Proc. 2011; 86; 348-61.
22. Shah M RC. Complications of Tuberculosis. 2014;10:403.
23. British Medical Journal. Extrapulmonary tuberculosis. 2013.
24. Karich N. Endometrial Tuberculosis; Report Case and Literature Review.
Int J Adv Res. 2020;5(7):1299–303.
32