Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS OVARIUM PADA


REMAJA USIA 16 TAHUN
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh:
Aragibinafika, S. Ked

Preseptor :
dr. Marliza, Sp. P

BAGIAN/SMF ILMU PULMONOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM CUT MUTIA
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberkulosis Ovarium pada
Remaja Usia 16 Tahun” sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan
Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Pulmonologi Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak
kepada dr. Marliza, Sp. P sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di
bagian/KSM Ilmu Pulmonologi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten
Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan
laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak.

Lhokseumawe, Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................. 3
2.1 Identitas Pasien ......................................................................................... 3
2.2 Anamnesis ................................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 6
2.4.1 Foto thorax PA .................................................................................. 6
2.4.2 Trans-abdominal pelvic USG ............................................................ 7
2.4.3 Histopatologi ..................................................................................... 7
2.5 Diagnosis .................................................................................................. 8
1.6 Penatalaksanaan........................................................................................ 8
2.8 Prognosis .................................................................................................. 8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9
2.1 Definisi ..................................................................................................... 9
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 9
2.3 Etiologi ..................................................................................................... 9
2.4 Patofisiologi ............................................................................................ 11
2.5 Diagnosis ................................................................................................ 14
2.6 Tatalaksana ............................................................................................. 19
2.7 Komplikasi ............................................................................................. 26
2.8 Prognosis ................................................................................................ 27
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 28
BAB 5 KESIMPULAN ...................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksius yang dapat


mengancam nyawa dengan angka insidensi yang tinggi di dunia, terutama di
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun sebagian besar kasus
TB ditemukan pada paru-paru, proporsi pasien yang mengalami infeksi TB
ekstra paru juga menunjukkan angka yang signifikan. Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization, WHO) mendefinisikan TB ekstra paru
(Extrapulmonary TB, EPTB) sebagai „seorang pasien dengan tuberkulosis pada
organ selain paru (misalnya pleura, kelenjar getah bening, abdomen, traktus
urogenitalia, kulit, tulang dan sendi, serta meninges). Hampir seperlima kasus
TB di Amerika Serikat adalah EPTB. Di negara berkembang, sekitar 50 % dari
penderita TB merupakan penderita EPTB. Bentuk EPTB masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang besar karena masih sulit terdiagnosis
dimana memerlukan pemeriksaan penunjang yang harus memadai.Penyebaran
penyakit ini berbanding lurus dengan taraf ekonomi yang rendah, kepadatan
penduduk, dan resistensi obat. Setelah diagnosis ditegakkan, inisiasi pengobatan
membantu mencegah morbiditas dan mortalitas.(1)(2)(3)(4)
Tuberkulosis ekstraparu didapatkan pada 15-20% pasien
imunokompeten dan 53-62% pasien HIV yang mengalami infeksi TB.(5)(6)
Dari seluruh pasien TB ekstraparu, yang paling sering didapat adalah
limfadenitis TB (35 %), diikuti dengan pleuritis TB (20 %), TB tulang dan
sendi (10%), TB saluran kemih (9%), TB milier (8%), meningitis TB (5%),
peritonitis TB (3%) dan TB lainnya (10%). Genital TB menempati sekitar 9%
dari TB ekstrapulmoner (7), TB endometritis menempati sekitar 50-60% TB
genital dan cenderung lesi sporadis saat ulserasi, perubahan kasus dan
perdarahan yang terlihat kemudian diakhiri dengan adhesi dan amenore.(8) TB
ekstraparu adalah infeksi TB yang menyerang organ selain paru seperti pleura,
kelenjar getah bening, gastrointestinal, traktus genitourinarius, kulit, tulang,
sendi dan selaput otak.(9)

1
2

Diagnosis TB ekstraparu seringkali sulit karena gejalanya tidak spesifik,


sedangkan pemeriksaan BTA jaringan dan cairan tubuh hasilnya seringkali
negatif sehingga seringkali diperlukan prosedur invasif untuk mendiagnosisnya.
(10) Selain pemeriksaan BTA dan histopatologi, International Standard for TB
Care (ISTC) tahun 2014 juga menganjurkan pemeriksaan Xpert MTB/RIF
jaringan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, namun hingga saat ini pemeriksaan
tersebut belum dapat dilaksanakan.(11) Secara klinis TB ekstraparu dapat
ditegakkan berdasarkan gejala organ ekstraparu yang terlibat dan ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium rutin, laboratorium penunjang dan
pemeriksaan radiologi yang sesuai.(10)
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. NM
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Samudera
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Suku : Aceh
Tanggal Kontrol Poli : 16 November 2022
Rekam Medik : 02.35.40
Poli : Paru
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama: Nyeri Perut bagian bawah ±2 bulan SMRS
2. Keluhan tambahan: Demam, lemas, penurunan berat badan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke Poli Paru RSU Cut Meutia
Aceh Utara setelah sebelumnya ke Poli Obgyn dengan keluhan nyeri perut
bagian bawah. Nyeri perut bawah mulai dirasakan sejak ±2 bulan sebelum
akhirnya berobat ke rumah sakit. Pasien mengatakan gejala tersebut
disertai dengan demam, badan terasa lemas dan penurunan berat badan.
Awalnya pasien mengira nyeri perut yang dirasakan oleh karena pola dan
kebiasaan makan. Namun nyeri perut tetap berlangsung meskipun pasien
sudah mencoba untuk mengubah pola dan kebiasaan makan pasien. Pasien
juga mengeluhkan adanya demam naik turun yang dirasakan sejak ±1
minggu saat nyeri perut berlangsung. Pasien juga mengeluhkan badannya
sering terasa lemas dan nafsu makan berkurang hal ini berdampak pada
berat badannya yang menurun dengan berat badan awal yaitu, 38 Kg
menjadi 34 Kg sejak mengalami keluhan dalam jangka waktu ±2 bulan ini.

3
4

4. Riwayat Penyakit Dahulu:


a. Riwayat alergi disangkal
b. Penggunaan OAT sebelumnya tidak ada
5. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan tidak ada anggota
keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
6. Riwayat Penggunaan Obat: Pasien konsumsi obat anti nyeri dan obat
penurun panas dari apotek tanpa resep dokter.
7. Riwayat Kebiasaan: Pasien mengaku sering komsumsi makanan cepat saji
dan jajanan di sekolah.
8. Riwayat Ekonomi Sosial: Pengobatan selama di RS ditanggung oleh
BPJS. Menurut keterangan pasien rumahnya terbuat dari semen dengan
lantai semen, terdapat jendela yang dapat dibuka. Pasien mengatakan pada
siang hari pintu rumahnya selalu terbuka sehingga sirkulasi udara
rumahnya baik.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis / E4M6V5
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 92 x/menit, reguler
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu tubuh (aksila) : 38 C
SpO2 : 99 %
Berat badan : 34 kg
Tinggi badan : 148 cm
IMT : 15,52 kg/m2 (Underweight)
Status Generalis
1 Kulit
Warna Sawo matang
Turgor Cepat kembali, suhu raba hangat
Ikterus (-)
Oedema (-)
Anemia (-)
5

Pigmen Tidak terdapat hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi


2 Kepala
Rambut Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata
Wajah Simetris, deformitas (-)
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-
/-), palpebra normal, gerakan bola mata normal, pupilbulat,
isokor (+/+), diameter 2mm/2mm, RCL/RCTL
(+/+)
Telinga Bentuk normal (eutrofilia), discharge (-/-), secret (-/-),
darah (-/-)
Hidung Sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum nasi (-/-)
Mulut Lidah normoglosia, tidak kotor, tidak tremor, mukosamulut
tidak hiperemis, tonsil tidak hiperemis, arcus faring
simetris, uvula ditengah
3 Leher
Inspeksi Simetris, kelenjar tiroid tidak membesar, trakea ditengah
Palpasi Distensi vena jugularis (-)
4 Thorax
Paru
Inspeksi Bentuk dada normal, gerak dada simetris kanan dan kiri
saat statis dan dinamis, pergerakan dada sama, tidak ada
retraksi
Palpasi Tidak ada benjolan, nyeri tekan (-), massa (-), taktil
fremitus kanan = kiri, ekspansi dada simetris
Perkusi Sonor kedua lapang paru
Auskultasi Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V2 jari medial
linea midklavikula sinistra
Perkusi Batas atas jantung di ICS II, kanan di ICS V LPSD, kiri di
ICS V dua jari medial dari LMCS, batas pinggang di ICS III
LPSS
Auskultasi BJ I/II normal, bising jantung (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi Simetris, distensi (-)
Palpasi Defans muscular (-), nyeri tekan (+)
Hepar Tidak teraba
Lien Tidak teraba
6

Ballotement (-)
Perkusi Timpani seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-)
Auskultasi Peristaltik usus normal
6 Genetalia Tidak dilakukan pemeriksaan
7 Ekstremitas Akral hangat, edema tungkai(-/-), sianosis (-/-), kelemahan
anggota gerak (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Foto thorax PA

Interpretasi
Identitas : Jelas
Marker : Jelas
Posisi : PA
Penilaian
Trakea : Tidak tampak deviasi
Hilus : Tampak corakan meningkat
ICS : Tidak tampak pelebaran ICS
Paru : Corakan broncovaskular tampak meningkat, Tampak sudut
costofrenikus sinistra tajam. Tampak kedua diafragma licin dan tak
mendatar.
7

Cor : Tak membesar (CTR <50%), bentuk dan letak jantung dalam
batas normal.
Tulang : Intak, tidak tampak fraktur dan dislokasi.
Kesan : - Gambaran Bronchitis
- Besar cor dalam batas normal

2.4.2 Trans-abdominal pelvic USG

Hasil : Cyst Ovarium

2.4.3 Histopatologi
8

2.5 Diagnosis
 Diagnosis banding : Abdominal pain ec
dd1 Tuberkulosis Ovarium
dd2 Ovarium Cyst
 Diagnosis kerja : Tuberkulosis Ovarium
1.6 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
- Istirahat cukup
- Diet cukup
Farmakologis
- OAT 4 FDC 1 x 2 tab – (+) Rx Alergi
- OAT Lepasan H/Z/E; 300/500/500
2.8 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini masuk ke
jaringan paru melalui udara (airbone infection) dan menyebar melalui droplet
orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (12).
2.2 Epidemiologi
Definisi tuberkulosis (TB) ekstraparu adalah infeksi TB yang menyerang
organ selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening, gastrointestinal, traktus
genitourinarius, kulit, tulang, sendi dan selaput otak.(9) Tuberkulosis ekstraparu
didapatkan pada 15-20% pasien imunokompeten dan 53-62% pasien HIV yang
mengalami infeksi TB.(5)(13) Dari seluruh pasien TB ekstraparu, yang paling
sering didapat adalah limfadenitis TB (35 %), diikuti dengan pleuritis TB (20 %),
TB tulang dan sendi (10%), TB saluran kemih (9%), TB milier (8%), meningitis
TB (5%), peritonitis TB (3%) dan TB lainnya (10%).(5) Diagnosis TB ekstraparu
seringkali sulit karena gejalanya tidak spesifik, sedangkan pemeriksaan BTA
jaringan dan cairan tubuh hasilnya seringkali negatif sehingga seringkali
diperlukan prosedur invasif untuk mendiagnosisnya.(14) Selain pemeriksaan BTA
dan histopatologi, International Standard for TB Care (ISTC) tahun 2014 juga
menganjurkan pemeriksaan Xpert MTB/RIF jaringan untuk mendiagnosis TB
ekstraparu, namun hingga saat ini pemeriksaan tersebut belum dapat
dilaksanakan.(11) Secara klinis TB ekstraparu dapat ditegakkan berdasarkan
gejala organ ekstraparu yang terlibat dan ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium rutin, laboratorium penunjang dan pemeriksaan radiologi yang
sesuai.

2.3 Etiologi
TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mikobacteria berbentuk
basil, merupakan bakteri aerobik yang tidak membentuk spora, bersifat aerob
obligat, tidak bergerak, yang tumbuh lambat dan merupakan parasit intraseluler

9
10

fakultatif. M. tuberculosis dapat berbentuk batang lurus ataupun bengkok yang


panjangnya sekitar 1 – 4 µm dan lebar 0,3 – 0,6 µm. Dinding sel mengandung
glikolipid rantai panjang bersifat mikolat, kaya akan asam, dan fosfolipoglikan
(mikosida). Kedua komponen ini dapat melindungi bakteri dari serangan sel
lisosom tubuh dan juga mempertahankan pewarna fuchin basa merah setelah
pembilasan asam (acid-fast stain) oleh sebab itu disebut juga bakteri tahan asam
(BTA) (15).

(a) (b)
Gambar 1 (a) Mycobacterium tuberculosis (panah) spesimen dahak dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen (15). (b) BTA (Mycobacterium Tuberculosis) (15).

Klasifikasi
Kasus TB dibagi menjadi dua klasifikasi utama yaitu pasien TB
terkomfirmasi bakteriologis dan pasien TB terdiagnosis secara klinis. Selain itu
dapat juga diklasifikan berdasarkan PDPI TB 2021
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:
a. TB paru  berlokasi di parenkim paru. Termasuk juga TB milier karena
terdapat lesi pada jaringan paru dan Pasien TB paru bersamaan ekstra paru.
b. TB ekstra paru  terjadi pada organ selain paru.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:
a. Kasus baru TB  belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat
mendapatkan OAT < 28 hari
b. Kasus yang pernah diobati TB:
11

- Kasus kambuh: pernah dinyatakan sembuh dan terdiagnosis kembali


dengan TB.
- Kasus pengobatan gagal: pernah diobati dengan OAT dan gagal pada
pengobatan terakhir
- Kasus putus obat: pengobatan terputus selama minimal 2 bulan
berturut-turut
2.4 Patofisiologi
TB Genital hampir selalu merupakan sekunder TB, biasanya primernya
didapatkan di paru dan kadang-kadang di ginjal, gastrointestinal, tulang, atau
sendi. Jika basil tidak diberantas, ada risiko seumur hidup terjadi reaktivasi,
terutama jika terdapat penyakit atau obat-obatan yang menyebabkan pelemahan
respons T-sel (misalnya limfoma Hodgkin, AIDS, steroid, stres, atau malnutrisi).
Modus penyebaran biasanya hematogen atau limfatik dan kadang-kadang terjadi
dengan cara persentuhan langsung dengan fokus intraabdominal atau
peritoneum.(16)
TB urogenital umumnya disebabkan oleh reaktivasi dari organisme yang
tidak aktif, biasanya dalam dua tahun pertama setelah infeksi primer oleh M. TB
(90–95%) dan sangat jarang (5–10%) oleh M. bovis, yang sumber infeksinya
adalah saluran pencernaan.(16)
Ada beberapa cara penyebaran dari bakteri M. TB, biasanya basil
mencapai saluran genital melalui tiga rute utama. Yang pertama yaitu penyebaran
secara hematogen dari TB Paru (terjadi pada 90% kasus), penyebaran langsung
atau dengan penyebaran limfatik. Infeksi primer dari alat kelamin jarang dapat
terjadi dari inokulasi langsung selama hubungan seksual dengan penderita
tuberkulosis genitourinari. Penyebaran hematogen; setelah basil tuberkulum
menyerang paru, dalam banyak kasus basil disebarluaskan melalui aliran darah
dalam hitungan jam dan disimpan di berbagai organ tubuh. Bacilemia ini dapat
bertahan selama 6 minggu atau lebih, jika penyakit ini tidak diketahui dan tidak
segera diobati dengan obat antituberkulosis. Tidak ada organ atau jaringan tubuh
manusia yang kebal dari basil tuberkulum, meskipun ada perbedaan ditandai
dalam frekuensi yang organ yang terinfeksi. Perbedaan ini disebabkan oleh sejauh
12

mana berbagai organ secara langsung terkena basil, faktor mekanik yang
memengaruhi sejauh mana basil dibawa melalui aliran darah di setiap organ, dan
kemampuan jaringan yang berbeda untuk mendukung basil yang ada di dalamnya.
Basil tuberkulum juga dapat mencapai aliran darah ke saluran genital dari
paru dan biasanya bersifat kronis. Tuba falopi membentuk tempat yang paling
menguntungkan bagi basil tuberkulosis, dengan lesi paling banyak ditemukan di
mukosa. Kecenderungan dari basil tuberkel untuk memengaruhi hasil bilateral
organ dalam kedua tuba yang terlibat dalam proses tuberkulosis. Ada hubungan
antara panggul dengan penyebaran berikutnya ke organ genital lainnya dan
peritoneum. Peritonitis tuberkulosis sering berhubungan dengan saluran kelamin
dan juga dapat dikaitkan dengan pecahnya kelenjar getah bening perut caseous
dan lebih jarang terjadi karena penyebaran dari usus. (2) Penyebaran limfatik,
penyebaran limfatik terjadi pada kasus dengan lesi primer di dalam rongga perut.
Di beberapa negara di mana orang minum susu mentah (dipasteurisasi), infeksi
yang menyebar melalui saluran pencernaan dan disebabkan oleh basil tuberkel
sapi masih sering dilaporkan. Gavaller dkk melaporkan bahwa di satu daerah
Hongaria terdapat 33% kasus TB alat kelamin perempuan yang disebabkan karena
basil sapi, yang menyebar ke saluran tuba dengan cara limfatik. (3) Langsung
Menyebar, Biasanya terjadi karena adanya ekstensi langsung ke organ saluran
kelamin dari tuberkulosis organ di perut, seperti kandung kemih, rektum, usus
buntu, dan usus. Beberapa peneliti percaya bahwa penyebaran ini terjadi pada
sepanjang permukaan peritoneal. Namun, keterlibatan peritoneal ini juga bisa
terjadi karena adanya bahan terinfeksi dari saluran tuba. Dengan demikian, proses
primer tidak selalu jelas. Hal ini juga dapat terjadi ketika ada perlengketan antara
kandung kemih atau usus ke saluran tuba dan perforasi ulkus tuberkulosis yang
menyebar langsung ke organ genital.(16)
Setelah saluran kelamin terkena, granuloma yang mengandung bentuk
basil tuberkulosis terdapat dalam berbagai organ panggul. Setelah pengembangan
hipersensitivitas TB, ini umumnya secara klinis tidak tampak, dan interval 1–10
tahun atau bahkan mungkin lebih lama sebelum infeksi di lokasi ini diaktifkan
kembali atau secara klinis tampak nyata. Seringkali, tidak ada infeksi pada bagian
13

yang utama setelah terdapat penyakit saluran kelamin. Ada beberapa bukti bahwa
ketika infeksi primer terjadi dekat dengan waktu menarche, ada kemungkinan
lebih besar adanya keterlibatan dari saluran kelamin.(16)
14

2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya (17).
Gejala klinis TB dibagi menjadi dua, gejala lokal dan gejala sistemik.
Gejala sistemik TB antara lain demam, malaise, penurunan berat badan,
penurunan nafsu makan, dan keringat malam. Hal ini disebabkan oleh efek
sistemik dari IL-1 dan TNF-α yang disekresi makrofag teraktifasi. Gejala lokal
tergantung dari organ yang terinfeksi TB. Gejala TB saluran kelamin yang paling
sering dikeluhkan biasanya berupa perdarahan vagina yang tidak normal,
menstruasi tidak teratur, dan nyeri perut.
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
utama dan gejala tambahan (17):
Tabel 1 gejala utama dan gejala tambahan tuberkulosis
Gejala utama Gejala tambahan
Sesak nafas
Badan lemas
Penurunan nafsu
makan
Batuk berdahak ≥ 2 minggu Penurunan berat badan yang tidak
di sengaja
Malaise
Berkeringan di malam hari tanpa
kegiatan fisik
Demam subfebris lebih dari satu
bulan
Nyeri dada

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,


misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
15

gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Anamnesis
1. Ditanyakan mengenai gejala
2. Digali riwayat lain untuk menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan
pasien TB
3. lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat penduduk,
4. Pekerjaan, orang yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan pajanan
infeksi paru, misalnya tenaga kesehatan atau aktivis TB.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
terlibat. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai, yaitu (17):
1. Suara nafas bronkial
2. Suara nafas amforik
3. Suara nafas melemah
4. Ronki basah kasar/halus,
5. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
6. Pleuritis tuberkulosa, dapat dijumpai perkusi redup atau pekak, auskultasi
suara nafas melemah sampai tidak terdengan pada sisi yang terdapat cairan
7. Limfadenitis tuberkulas, dapat dijumpai pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang seringkali
diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis klinis TB ekstraparu. Pada
semua pasien dengan TB ekstraparu perlu dilakukan juga pemeriksaan foto toraks
untuk memastikan ada tidaknya TB paru yang menyertainya. Pemeriksaan USG
diperlukan pada pasien-pasien dengan kecurigaan TB peritoneal dan TB genitalia
sedangkan ekokardiografi pada pasien dengan efusi perikard/perikarditis TB.
Pemeriksaan radiologi yang lebih canggih kadang-kadang juga diperlukan dalam
tatalaksana TB ekstraparu. Pemeriksaan CT scan kepala misalnya diperlukan pada
16

pasien dengan dugaan meningitis TB, sedangkan MRI diperlukan pada pasien
dengan dugaan spondilitis TB.(18)(19)
Untuk memastikan diagnosis TB ekstraparu seringkali diperlukan tindakan
invasif yaitu pungsi pleura, pungsi asites, pungsi lumbal dan biopsi jaringan. Dari
spesimen yang diperoleh dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pewarnaan
BTA langsung, BTA kultur serta pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Umumnya jumlah
kuman TB pada jaringan ekstraparu lebih sedikit dibandingkan dengan pasien TB
paru sehingga kuman BTA jarang didapat, karena itu diperlukan pemeriksaan
kultur dan pemeriksaan molekular yang cepat. Pemeriksaan BTA langsung pada
efusi pleura karena TB memberikan hasil positif hanya pada 5-10 % kasus, dan
hasil yang sama didapatkan juga pada pemeriksaan LCS pasien meningitis TB.
Pemeriksaan molekuler dengan Xpert MTB/RIF dari bahan cairan pada pasien
dengan pleuritis TB dan meningitis TB memberikan hasil positif masing-masing
43,7% dan 79,5 %. Pada limfadenitis TB, pemeriksaan Xpert/MTB RIF
memberikan hasil yang lebih baik yaitu 84,9%. Sayangnya walaupun pemeriksaan
Xpert/MTB RIF sudah tersedia di Indonesia namun hingga saat ini
pemeriksaannya hanya dapat dilakukan pada sputum, sedangkan untuk cairan dan
jaringan ekstraparu masih belum dapat dilakukan.(6)
Pada TB traktur urogenital perlu dilakukan pemeriksaan BTA dan PCR-TB
dari spesimen urin dan sekret ejakulat serta bila diperlukan dilakukan juga biopsi
ginjal dan kandung kemih untuk pemeriksaan histopatologi. Aspirasi jarum halus
dan biopsi eksisi dapat dilakukan pada limfadenitis TB untuk konfirmasi
diagnosis. Pada efusi pleura dapat dilakukan pleuroskopi yang merupakan
prosedur invasif minimal untuk melakukan biopsi pleura. Pada peritonitis TB
dilakukan tindakan laparoskopi biopsi dan bahkan laparatomi untuk diagnosis
pasti secara histopatologis. Tindakan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi
dilakukan juga pada pasien dengan TB hati, TB usus, TB tulang/sendi dan TB
kutis. Hasil positif bila didapatkan adanya sel-sel epiteloid, sel datia Langhans,
granuloma dan nekrosis kaseosa.(10)
17

Pemeriksaan mikroskopis (17)


Mikroskopis biasa :
- Pewarnaan Ziehl-Nielsen
- Mikroskopis fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi
WHO).
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease)
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah basil yang
ditemukan.
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

a. Pemeriksaan biakan bakteri TB merupakan baku emas (gold standard)


dalam mengidentifikasi M.tuberculosis. Biakan bakteri untuk kepentingaan
klinis umum dilakukan menggunakan dua jenis medium biakan, yaitu:
- Media padat (Lowenstein-Jensen).
- Media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT).
b. Tes Cepat Molekular Uji tes cepat molekular (TCM) dapat
mengidentifikasi MTB dan secara bersamaan melakukan uji kepekaan obat
dengan mendeteksi materi genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji
TCM yang umum digunakan adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan
untuk Rifampisin).
1. Pemeriksaan Radiologi (17)
Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks dengan
proyeksi postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi klinis misalnya foto
toraks proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan.
18

Gambaran lesi TB aktif Gambaran lesi TB inaktif


Bayangan berawan / nodular di segmen Fibrotik
apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
Kavitas, terutama lebih dari satu, Kalsifikasi
dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.

Bayangan bercak milier. Scharte atau penebalan pleura


Efusi pleura unilateral (umumnya) atau
bilateral (jarang).
Luluh paru (destroyed lung):Gambaran radiologi yang menunjukkan
kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru.

Pemeriksaan penunjang yang lain yang dapat dilakukan :


1. Analisis cairan pleura
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
3. Uji tuberkulin
19

Gambar 2 Alur diagnosis TB (20)


2.6 Tatalaksana
Secara umum tatalaksana TB ekstraparu dibagi menjadi terapi medika
mentosa dan terapi pembedahan. Terapi medika mentosa dengan pemberian obat
anti TB (OAT) lini pertama merupakan terapi yang utama. Terapi OAT diberikan
dengan menggunakan regimen yang sama seperti pada terapi TB paru, namun
dengan jangka waktu pengobatan yang lebih lama yaitu 9 bulan. Pada TB
tulang/sendi dan meningitis TB terapi OAT dapat diperpanjang hingga 9-12
bulan, sedangkan untuk TB gastrointestinal hingga 12-18 bulan. Pada fase inisial
diberikan rifampisin, INH, etambutol dan pirazinamid selama 2 bulan, selanjutnya
20

pada fase lanjutan dengan rifampisin dan INH yang diberikan setiap hari selama
7-10 bulan. Terapi medika mentosa lain yang disarankan yaitu dengan pemberian
steroid. Pemberian steroid diberikan pada meningitis TB dan perikarditis TB
karena telah terbukti efektif untuk mencegah komplikasi jangka panjang yaitu
hidrosefalus dan perikarditis konstriktiva. Untuk meningitis TB diberikan
deksametason 12 mg/hari atau 0,4 mg/kg BB/hari selama 3 minggu, kemudian
dosis diturunkan secara bertahap dalam 3-5 minggu kemudian, dengan
mengevaluasi perbaikan klinis. Pada perikarditis TB diberikan prednison 60
mg/hari atau 1 mg/kg BB/hari selama 3 minggu, selanjutnya dosis diturunkan
secara bertahap selama 3-5 minggu. Walaupun pada efusi pleura pemberian
steroid dapat mempercepat penyembuhan dan mempercepat perbaikan gejala
klinis, namun tidak dapat mencegah terjadinya komplikasi fibrosis atau penebalan
pleura. Pada peritonitis TB dan TB saluran kemih pemberian steroid tidak
disarankan karena efektifitasnya dalam mencegah terjadinya komplikasi obstruksi
usus dan komplikasi stenosis ureter belum terbukti.(10)(21)
Walaupun terapi OAT terbukti efektif dalam pengobatan TB ekstraparu,
namun tindakan pembedahan kadang-kadang masih diperlukan baik untuk
keperluan diagnosis maupun terapi. Untuk tujuan terapi tindakan pembedahan
kadang-kadang diperlukan pada limfadenitis TB yang mengalami supurasi dan
pembentukan abses sehingga perlu dilakukan drainase. Demikian juga pada efusi
pleura masif yang menyebabkan keluhan sesak, perlu dilakukan pungsi pleura
untuk mengeluarkan cairan efusi tersebut. Pada meningitis TB yang mengalami
komplikasi hidrosefalus harus dilakukan pemasangan ventriculo-peritoneal shunt
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Tindakan pembedahan juga perlu dilakukan pada pasien perikarditis yang
mengalami komplikasi perikarditis konstriktiva. Demikian juga pada spondilitis
TB yang mengalami komplikasi kifosis yang berat, pasien dengan defisit
neurologis persisten pada tungkai yang tidak membaik dengan terapi konservatif,
pasien dengan abses dingin dan pasien dengan instabilitas vertebra perlu
dilakukan tindakan pembedahan. Tuberkulosis saluran kemih dapat menyebabkan
21

hidronefrosis akibat striktur ureter, dan jika komplikasi tersebut terjadi maka perlu
dilakukan tindakan nefrostomi untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut.(21)

Tabel 2 Dosis OAT lepasan lini pertama untuk pengobatan TB-SO


OAT Dosis Rekomendasi
Harian
Dosis (mg/kgBB) Maksimum (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600
Pirazinamid (P) 25 (20-30) -
Etambutol (E) 15 (15-20) -
Streptomisin (S) 15 (12-18) -
Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduat OAT lini pertama telah
dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT), dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3 Tabel dosis obat KDT
Berat Badan (KG) Fase intensif setiap hari Fase lanjutan setiap hari
dengan KDT RHZE dengan KDT RH (150/75)
(150/75/400/275) Selama 8 Selama 16 minggu
minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet
≥ 55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal/lepasan


dengan Kombinasi Dosis Tetap dalam pengobatan TB primer sejak tahun 1998.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan mencegah terjadi TB-RO.
Keuntungan Kombinasi Dosis Tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar.
22

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.


5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan terjadinya resistensi
obat akibat penurunan penggunaan monoterapi
Tuberkulosis paru dan ekstraparu diobati dengan regimen pengobatan
yang sama dan lama pengobatan berbeda yaitu:
1. Meningitis TB, lama pengobatan 9 – 12 bulan karena berisiko kecacatan
dan mortalitas. Etambutol sebaiknya digantikan dengan Streptomisin.
2. TB tulang belakang, lama pengobatan 9 – 12 bulan.
3. Kortikosteroid diberikan pada meningitis TB, TB milier berat, dan
perikarditis TB.
4. Limfadenitis TB lama pengobatan 6 bulan dan dapat diperpanjang hingga
12 bulan. Perubahan ukuran kelenjar (membesar atau mengecil) tidak
dapat menjadi acuan dalam menentukan durasi pengobatan.
Penatalaksanaan efek samping OAT
Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek
samping umum, yaitu efek samping mayor dan minor. Pada umumnya, pasien
yang mengalami efek samping minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan
TB dan diberikan pengobatan simptomatis. Apabila pasien mengalami efek
samping berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan dan pasien segera
dirujuk ke pusat kesehatan yang lebih besar atau dokter paru untuk
mendapatkan tatalaksana selanjutnya.
Tabel 4 Efek samping mayor OAT lini pertama

Efek Samping Mayor Obat Tatalaksana Hentikan


obat penyebab dan rujuk
secepatnya
Kemerahan kulit dengan Streptomisin, Hentikan OAT
atau tanpa gatal Isoniazid,
Rifampisin,
Pirazinamid
Tuli (bukan disebabkan oleh Streptomisin Hentikan streptomisin
kotoran)
Pusing (vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin
nystagmus)
23

Kuning (setelah penyebab lain Isoniazid, Hentikan pengobatan


disingkirkan), Pirazinamid, TB
hepatitis Rifampisin
Bingung (diduga ganguan Sebagian besar Hentikan pengobatan
hepar berat bila bersamaan OAT TB
dengan kuning)
Gangguan penglihatan (setelah Etambutol Hentikan etambutol
gangguan lain disingkirkan)
Syok, purpura, gagal ginjal Rifampisin Hentikan RIfampisin
akut
Penurunan jumlah urin Streptomisin Hentikan streptomisin

Tabel 5 Efek samping minor OAT lini pertama

Teruskan pengobatan, evaluasi


Minor Obat
dosis obat
Tidak nafsu Pirazinamid, Rifampisin, Berikan obat bersamaan dengan
makan, mual Isoniazid makanan ringan atau sebelum
dan nyeri perut tidur dan anjurkan pasien untuk
minum obat dengan air sedikit
demi sedikit. Apabila terjadi
muntah yang terus menerus, atau
ada tanda perdarahan segera
pikirkan sebagai efek samping
mayor dan segera rujuk
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau
parasetamol
Rasa terbakar, Isoniazid Piridoksin dosis 100- 200 mg/hari
kebas atau selama 3 minggu. Sebagai
kesemutan pada profilaksis 25-100 mg/hari
tangan
atau kaki
Mengantuk Isoniazid Yakinkan kembali, berikan obat
sebelum tidur
Urin berwarna Rifampisin Yakinkan pasien dan sebaiknya
kemerahan atau pasien diberi tahu sebelum mulai
oranye pengobatan
24

Sindrom flu Dosis Rifampisin Ubah pemberian dari intermiten


(demam, intermiten ke pemberian
menggigil, harian
malaise, sakit
kepala, nyeri
tulang)

Pengobatan Suportif/Simptomatis
1. Pasien Rawat Jalan
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan
Makanan sebaiknya bersifat tinggi kalori-protein. Bahan mikronutrien
seperti Zinc, vitamin-vitamin D, A, C dan zat besi diperlukan untuk
mempertahankan imunitas tubuh terutama imnitas seluler yang berperanan
penting dalam melawan tuberkulosis. Peningkatan pemakaian energi dan
penguraian jaringan yang berkaitan dengan infeksi dapat meningkatkan
kebutuhan mikronutrien seperti vitamin A, E, B6, C, D dan folat. Beberapa
rekomendasi pemberian nutrisi untuk penderita TB adalah:
- Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6 kali perhari
lebih diindikasikan menggantikan porsi biasa tiga kali per hari.
- Bentuk dan rasa makanan yang diberikan seyogyanya merangsang
nafsu makan dengan kandungan energi dan protein yang cukup.
- Minuman tinggi kalori dan protein yang tersedia secara komersial
dapat digunakan secara efektif untuk mencukupi peningkatan
kebutuhan kalori dan protein.
- Bahan-bahan makanan rumah tangga, sepetri gula, minyak nabati,
mentega kacang, telur dan bubuk susu kering nonlemak dapat dipakai
untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging, atau minuman berbahan
susu untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa menambah
besar ukuran makanan.
- Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang dikonsumsi untuk
mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.
25

- Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi tiap hari.


- Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver sereal, polong,
kentang, pisang dan tepung haver.
- Alcohol harus dihindarkan karena hanya mengandung kalori tinggi,
tidak memiliki vitamin juga dapat memperberat fungsi hepar.
- Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal 6-8 gelas per
hari).
- Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan.
Simptomatik
- Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam.
- Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.
- Hentikan merokok.
2. Pasien Rawat Inap
Indikasi rawat inap
TB paru disertai keadaan/komplikasi sebagai berikut :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang
mengancam jiwa:
- TB Paru Milier
- Meningitis TB Pengobatan suportif/simptomatis yang diberikan sesuai
dengan keadaan klinis dan indikasi rawat.
Tabel 6 Hasil Pengobatan TB
Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif
dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
26

Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara


lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada
bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama masa pengobatan; atau kapan saja dalam
masa pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau
yang pengobatannya terputus terus menerus selama 2
bulan atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh
kabupaten/kota yang ditinggalkan.

2.7 Komplikasi
Tuberkulosis ekstraparu apabila tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan komplikasi. Berikut komplikasi yang terjadi pada TBEP
berdasarkan organ.

1. Tuberkulosis Limfadenitis, komplikasi berupa penyebaran miliar melalui


pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran miliar
menyebabkan tuberkulosis di seluruh paruparu, tulang, meningen, dan lain-
lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru,
dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis.
2. Tuberkulosis Pleuritis, komplikasi berupa terjadinya fibrotoraks dan
penebalan pleura yang menetap, selain itu dapat muncul pleuritis kalkarea (
kalsifikasi fibrotoraks) dengan atau tanpa deformitas dinding dada, COPD
dengan atau tanpa bronkietaksis, ekserbasi TB lambat dan fistula internal
maupun eksternal.
27

3. Tuberkulosis Tulang, komplikasi yang terpenting pada TB spondilitis yaitu


mempunyai risiko paraparesis atau paraplegia.
4. Tuberkulosis Meningitis, komplikasi dapat berupa abses serebral , paresis,
Hidrosefalus, kejang , hipoglikemi.
5. Tuberkulosis Peritonitis, komplikasi dapat berupa ulkus, perforasi,
perlengketan, obstruksi, perdarahan, pembentukan fistula dan stenosis.

2.8 Prognosis
Beberapa penelitian pada pasien dengan pengobatan OAT, tingkat
kekambuhan hanya berkisar antara 0-14%. Di negara dengan tingkat TB yang
rendah, kekambuhan biasanya terjadi dalam waktu 12 bulan setelah pengobatan
selesai dan terjadi karena relaps. Sedangkan di negara dengan tingkat TB yang
lebih tinggi, sebagian besar kekambuhan setelah pengobatan terjadi karena infeksi
ulang. Prognostik buruk dapat terjadi pada kasus keterlibatan ekstrapulmoner,
keadaan imunokompromais, usia yang lebih tua, dan riwayat pengobatan
sebelumnya. Faktor risiko kematian adalah berkurangnya respons TNF-α terhadap
stimulasi dengan M tuberculosis, low body mass index, dan peningkatan laju
pernapasan saat diagnosis TB (15).
BAB 4
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan kasus TB Ovarium yang sebelumnya terdiagnosa Tuba


Ovarium Abses (TOA), dimana keluhan abdominal lebih dominan, tidak
terdapat keluhan respiratorik, dan diagnosis tegak setelah dilakukan kistektomi
dengan hasil histopatologi kesan radang tuberkulosis.
Dari hasil radiologi toraks didapatkan hasil normal. Pada pemeriksaan
USG abdomen upper lower ditemukan adanya kista. Telah dilakukan
pemeriksaan histopatologi dari hasil biopsi nodul mesenterium dan appendiks
post apendiktomi ditemukan gambaran radang tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberculosis. Tuberkulosis bisa terjadi di paru maupun ekstra
paru. Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB yang terjadi pada parenkim
paru, sedangkan TB ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, traktus genitourinarius, kulit,
tulang, sendi dan selaput otak. TB ekstra paru lebih jarang terjadi dibandingkan
TB paru.(23)
TB genital lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Diperkirakan bahwa 1% dari jumlah wanita yang infertil di Amerika Serikat,
berusia antara 20–40 tahun sedangkan di India 18% dari wanita yang infertil
menderita TB genital.6 Pada wanita organ genital sering terkena adalah sebagai
berikut: tuba fallopi (95–100%), endometrium (50–60%), ovarium (20– 30%),
leher rahim (5–15%), miometrium (2,5%) dan vulva/vagina (1%).(16)
Setiap tahun, TB menyebabkan sekitar 3 juta kematian di seluruh dunia.
TB genital adalah manifestasi ekstrapulmoner TB yang paling umum kedua dan
lebih umum di antara wanita daripada pada pria. Tapi tetap saja, frekuensinya
yang sebenarnya tidak jelas. Namun lebih sering di negara -negara berkembang di
mana TB masih endemik.(24)
Pada kasus ini, kemungkinan TB Ovarium terjadi karena adanya
penyebaran melalui hematogen dari TB paru. TB primer bisa saja terjadi di paru,

28
29

namun secara klinis tidak tampak gejala respiratorik yang nyata pada penderita.
Sehingga TB paru tidak terdiagnosis sebelumnya dan tidak mendapatkan terapi.
TB paru dan TB ekstra paru diobati dengan regimen obat yang sama dan
sangat dianjurkan untuk menggunakan obat kombinasi dosis tetap untuk 2 bulan
pertama kemudian diikuti dengan 2 atau 3 macam obat. Total waktu terapi adalah
6 bulan sampai 1 tahun. Paduan terapi adekuat dapat dimulai tanpa menunggu
hasil biakan bila histologi dan gambaran klinis sesuai dengan diagnosis
tuberkulosis. Seluruh pasien TB ekstra paru harus melakukan foto toraks untuk
menyingkirkan TB paru.
Diagnosis TB ovarium dapat dicapai dengan kecurigaan klinis, dan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pewarnaan
TB, biopsi. Gold standard dari diagnosis TB ovarium adalah kultur M.tuberculosis
dari jaringan ovarium. Pada kasus ini, dari hasil pemeriksaan biopsi pada ovarium
didapatkan radang kronik granulomatous dengan proses radang supuratif di
sekitarnya. Diagnosis histopatologi ini tidak menyingkirkan adanya infeksi
mycobacterium tuberkulosa. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada penderita
terdapat radang TB di Ovarium.
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilaporkan Nn. NM jenis kelamin perempuan usia 16 tahun datang


ke Poli Paru RSU Cut Meutia pada tanggal 16 November 2022 dengan keluhan
nyeri perut bagian bawah sejak ± 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
demam, lemas, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan bahwa kesadaran composmentis, tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 92 x/m regular, frekuensi pernapasan 20x/menit, suhu 38°C,
suara paru vesikuler (+/+) dan suara paru tambahan rhonki (-/-) dan wheezing
(-/-). Pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan corakan broncovascular tampak
meningkat. Tampak sudut costofrenikus sinistra tajam. Tampak kedua diafragma
licin dan tak mendatar. Pada pemeriksaan Histopatologi didapatkan Radang
tuberculosis. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pada pasien didiagnosis dengan tuberkulosis ovarium. Pasien telah
diberikan terapi suportif dan OAT untuk memperbaiki keadaan umum.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. P Jain, I Jain. Review article oral manifestations of tuberculosis: step


towards early diagnosis. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2014;
8(12):1-3.
2. Thakur K, Chandel SS. Case report primary tuberculosis of palate: atypical,
nonhealing ulcer mimicking malignancy. Oral and Maxillofacial Pathology
Journal, 2016;7(2):741-3.
3. Widianiti K, Kusmiati T, Rai IBN. Seorang Wanita Muda dengan
Tuberkulosis Usus Menyerupai Apendiksitis Akut. J Respirasi.
2019;4(1):12.
4. Resnawita D, Rays M, Iskandar H, Muis E, Ilyas M, Tabri NA, et al. Case
report : Laporan Tiga Kasus Tuberkulosis Ekstra Paru. Indones J Chest Crit
Care Med. 2018;5(10):788–9.
5. Doucette K, Cooper R. Tuberculosis. In : Fishman JA, Elias JA, Grippi
MA, Senior RM, Pack AI, editors.
Disorders. Toronto : Mc Graw Hill Medical; 2015.p.2012-26.
6. Solovic I, Jonsson J, Korzeniewska M, Chiotan DI, Asciak AP, Slump E, et
al. Challenges in diagnosing extrapulmonary tuberculosis in the European
Union. Published on 2013 March 21.
7. Shallal MM, Al-Asadi FAS, Mizaal MI. Detection of endometrial tb in
patients with aub using pcr method of assessment of menstrual blood flow
of iraqi females. Indian J Forensic Med Toxicol. 2021;15(1):1224–30.
8. Grace G, Devaleenal D B, Natrajan M: Genital tuberculosis in females.
Indian J Med Res 145. April 2017;425-436.
9. Kemenkes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Tatalaksana
Tuberkulosis. 2016; 62-83.
10. Rumende CM. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB Ekstraparu. Tuberc
Ekstraparu. 2018;1–14.
11. Lee JY. Diagnosis and management of extrapulmonary tuberculosis.
Tuberc Respir Dis. 2015; 78: 47-55.
12. Bahar A AZ. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. VI. Jakarta Pusat: : Interna
Publishing; 2015. 863–869 p.
13. Solovic I, Jonsson J, Korzeniewska M, Chiotan DI, Asciak AP, Slump E, et
al. Challenges in diagnosing extrapulmonary tuberculosis in the European
Union. 2013.
14. Wares F, Balasubramanian A, Sharma MSK. Extrapulmonary
Tuberculosis : Management and Control. Global Tuberculosis Report 2013.
Geneva : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data, 2013: 95-101.

31
15. Herchline TE. Tuberculosis (TB). Medscape; 2020.
16. Tantri RIE, Ngurah Rai IB. Tuberkulosis Serviks pada Penderita
Tuberkulosis Paru. J Respirasi. 2019;2(2):41.
17. Indonesia PDP. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Perhimpun Dr Paru Indones. 2021;001(2014):1–78.
18. Chandir S, Hussain H, Salahuddin N, Amir M, Ali F, Lotia 1, Khan AJ.
Extrapulmonary Tuberculosis: A retrospective review of 194 cases at a
tertiary care hospital in Karachi, Pakistan. J Pak Med Assoc. 2010; 60: 105-
9.
19. Kaye LD, Litlejohn J. An Indonesian Male with Abdominal Pain and
Weight Loss: Abdominal Tuberculosis Presenting with Cervical Lymph
Node Enlargement. The Medicine Forum. 2012; 13: 1-3.
20. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Tuberkulosis.
2020.
21. Sia IG, Wieland ML. Current concept in the management of tuberculosis.
Mayo Clin Proc. 2011; 86; 348-61.
22. Shah M RC. Complications of Tuberculosis. 2014;10:403.
23. British Medical Journal. Extrapulmonary tuberculosis. 2013.
24. Karich N. Endometrial Tuberculosis; Report Case and Literature Review.
Int J Adv Res. 2020;5(7):1299–303.

32

Anda mungkin juga menyukai