Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

MIASTENIA GRAVIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara

Oleh :
Tgk. Fikri Ardiansyah, S. Ked
2106111063

Preseptor :
dr. Herlina Sari, Sp. S

BAGIAN/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul "Miastenia Gravis". Penyusunan laporan kasus ini merupakan pemenuhan
syarat untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/ SMF
Neurologi Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, dengan rasa
hormat dan rendah hati saya sampaikan terima kasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Herlina Sari, Sp. S, atas arahan dan bimbingannya
dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF Neurologi
Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk motivasi dan
dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.

Lhokseumawe, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS..................................................................................3
2.1 Identitas Pasien.................................................................................................3
2.2 Anamnesis.........................................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik............................................................................................4
2.4 Pemeriksaan Neurologis..................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Penunjang................................................................................10
2.6 Resume............................................................................................................11
2.7 Diagnosa..........................................................................................................11
2.8 Terapi..............................................................................................................12
2.9 Prognosis.........................................................................................................12
2.10 Follow Up........................................................................................................12
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................16
3.1 Definisi.............................................................................................................16
3.2 Epidemiologi...................................................................................................16
3.3 Etiologi............................................................................................................16
3.4 Anatomi dan Fisiologis...................................................................................17
3.5 Patofisiologi.....................................................................................................19
3.6 Manifestasi Klinis...........................................................................................20
3.7 Klasifikasi........................................................................................................21
3.8 Diagnosis.........................................................................................................23
3.9 Diagnosis Banding..........................................................................................26
3.10 Penatalaksanaan.............................................................................................26
3.11 Prognosis.........................................................................................................28
BAB 4 ANALISA KASUS..................................................................................29
BAB 5 KESIMPULAN.......................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32
BAB 1
PENDAHULUAN
Miastenia Gravis (MG) adalah suatu penyakit yang mengenai
Neuromuscular Junction (NMJ) dan ditandai oleh kelemahan otot berat. Miastenia
artinya kelemahan otot dan Gravis artinya berat. MG merupakan penyakit
autoimun kronis dimana tubuh memproduksi antibodi terhadap Asetilcholin
Receptor (AChR) dan protein-protein post-sinaptik terkait pada NMJ yang
mengakibatkan terganggunya proses transmisi neuromuskuler (1).
Miastenia gravis terlihat pada semua kelompok umur, dengan distribusi
bimodal, mempengaruhi orang dewasa yang lebih muda di usia 20-an dan 30-an
(dengan dominasi wanita) dan orang dewasa yang lebih tua di usia 60-an dan 70-
an (sedikit didominasi pria). Insiden tahunan adalah 10 hingga 20 kasus baru per
juta, dan prevalensinya adalah 150 hingga 200 per juta (2).
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala
miastenia gravis pada pasien yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya
defisiensi dari acetylcholine receptor (AChR) pada neuromuscular junction.
Karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi
AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Sebagian besar
antibodi menargetkan acetylcholine receptor (AChR), lebih jarang muscle-specific
kinase (MuSK) atau low density lipoprotein receptor-related protein 4 (LRP4)
(3).
Pada sebagian besar penderita miastenia gravis terjadi penurunan jumlah
AChR yang mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot pada kontraksi berulang
dan akan pulih dengan istirahat. Adapun otot yang sering terkena adalah otot
pengontrol mata dan gerakan bola mata, otot ekspresi wajah, otot untuk berbicara
dan pada beberapa kasus dapat mengenai otot menelan. Selain itu miastenia gravis
juga dapat mengenai otot anggota gerak dan pernafasan (1).
Miastenia Gravis adalah suatu penyakit autoimun. Kondisi autoimun ini
jarang terjadi sehingga dapat menjadi sebuah tantangan diagnostik untuk klinisi.
Karena insiden yang rendah dalam praktek klinis sehari-hari dan gejalanya sering
tidak dikenali, keterlambatan sering terjadi dalam mendiagnosis selama 1 sampai
2 tahun. Mengenali gejala klinis adalah komponen kunci dari diagnosis yang tepat
(4).
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. M
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 003070
Alamat : Gampong Tumpok Barat, Matangkuli
Pekerjaan : Mahasiswi
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Neurologi (Multazam)
Tanggal Masuk : 30 September 2022
Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2022
Tanggal Keluar : 6 Oktober 2022

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Sesak nafas.

2.2.2 Keluhan Tambahan


Kelopak mata turun, kelemahan anggota gerak nyeri kepala, dan mual.

2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien usia 23 tahun datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan
sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan kelopak mata turun,
nyeri kepala, mual, dan kelemahan anggota gerak.
Pasien merasakan sesak nafas setelah pasien beraktivitas. Sebelumnya,
pasien mengeluhkan kedua kelopak mata turun dan sulit diangkat sejak 8 tahun
yang lalu. Keluhan ini berlangsung hilang timbul, namun memberat sejak 1 tahun
yang lalu. Kesulitan mengangkat kelopak mata juga diikuti dengan keluhan
kelemahan pada anggota gerak pasien. Kelemahan anggota gerak dirasakan hilang
timbul dan memberat setelah beraktifitas. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala
yang memberat ketika pasien berbicara atau mengunyah. Pasien sering merasakan
mual namun tidak disertai muntah.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan sesak nafas seperti ini
sebelumnya. Pasien memiliki riwayat berobat ke spesialis saraf 1 tahun yang lalu.
Pasien juga memiliki riwayat opname dengan diagnosis demam tifoid dan
dispepsia 5 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi (-), gangguan psikologis (-),
diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-).

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
seperti pasien. Riwayat hipertensi pada keluarga (+), riwayat diabetes mellitus
pada keluarga (-).

2.2.6 Riwayat Penggunaan Obat


Pasien rutin mengonsumsi mestinon 4 x 1 dalam 1 tahun terakhir. Pasien
mengaku telat mengonsumsi mestinon saat keluhan terjadi. Pasien juga
mengonsumsi promag atau mylanta ketika pasien merasa nyeri pada lambungnya.

2.2.7 Riwayat Sosioekonomi


Pasien seorang mahasiswi. Pasien tinggal bersama ibu dan adiknya. Biaya
pengobatan ditanggung oleh BPJS.

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (GCS E4M6V5)
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 61 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
SpO2 : 98%
Suhu : 36,7 oC
2.3.2 Status Generalis
Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit kembali dengan cepat.
Kepala :
 Bentuk : Normosefali, rambut berwarna hitam.
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), ptosis (+/+),
edema palpebra (-/-)
 Hidung: Deviasi septum (-), sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-),
konka hipertrofi (-/-)
 Telinga: Normoaurikula, tidak tampak deformitas, serumen (-/-),
darah (-/-)
 Mulut : Sianosis (-), kering (-).
Leher :
 Inspeksi: Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
 Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid,
tidak terdapat deviasi trakea
Cor :
 Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat.
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi: Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
 Inspeksi: Dinding thoraks simetris pada saat statis maupun
dinamis, retraksi otot-otot pernapasan (-)
 Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
 Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen:
 Inspeksi: Simetris, distensi abdomen (-)
 Auskultasi: Peristaltik dalam batas normal.
 Perkusi: Timpani pada seluruh lapang abdomen.
 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas:
 Superior: Edema (-/-), sianosis (-/-), clubbing finger (-/-), akral
hangat
 Inferior: Edema (-/-), sianosis (-/-), clubbing finger (-/-), akral
hangat
2.3.3 Tes Sederhana
Tes Wartenberg : tidak dilakukan
Tes pita suara : positif

2.4 Pemeriksaan Neurologis


GCS : E4M6V5
Pupil : Bentuk bulat, isokor (3mm/3mm), RCL (+/+), RCTL (+/+)
Rangsangan Meningeal:
 Kaku kuduk : -/-
 Brudzinski I : -/-
 Brudzinski II : -/-
 Kernig : -/-
 Laseque : -/-
Peningkatan Tekanan Intrakranial:
 Muntah :-
 Sakit kepala :+
 Kejang :-
Nervus Kranialis:
 N-I (Olfaktorius)
Normosmia
 N-II (Optikus)
Visus : dalam batas normal
Warna : dalam batas normal
Lapang pandang : terbatas
 N-III, IV, VI (Okulomotorius, trochlearis, abducens)
o Gerakan bola mata
Atas : + +
Bawah : + +
Lateral : + +
Medial : + +
Atas lateral : + +
Bawah lateral : + +
Bawah lateral : + +
Bawah medial : + +
o Ptosis : + +
o Strabismus : tidak ada
o Pupil : isokor
Diameter : 3mm 3mm
Bentuk : bulat bulat
RCL : + +
RCTL : + +
o Diplopia : tidak ada
o Nistagmus : tidak ada
 N-V (Trigeminus)
o Sensorik
N-V1 (ophtalmicus) : dalam batas normal
N-V2 (makslaris) : dalam batas normal
N-V3 (mandilbularis) : dalam batas normal
o Motorik
Membuka mulut : sulit dilakukan
Menggigit : sulit dilakukan
 N-VII (Facialis)
o Sensorik (indra pengecap) : tidak diperiksa
o Motorik
Angkat alis : simetris
Mengerutkan dahi : simetris
Menutup mata : simetris
Menggembungkan pipi : sulit dinilai
Lipatan nasolabialis : simetris
 N-VIII (Vestibulocochlearis)
o Keseimbangan
Nistagmus : tidak ada
Tes Romberg : tidak dilakukan
 Pendengaran
Tes Rinne : tidak dilakukan
Tes Schwabach : tidak dilakukan
Tes Weber : tidak dilakukan
Tinnitus : tidak ada
 N-IX, X (Glosofaringeus, vagus)
Reflek menelan : sulit menelan
Reflek batuk : sulit dinilai
Reflek muntah : sulit dinilai
Posisi uvula : sulit dinilai
Posisi arkus faring : sulit dinilai
 N-XI (Aksesorius)
Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : normal
Kekuatan M. Trapezius : normal
 N-XII (Hipoglosus)
Tremor lidah : tidak ada
Atrofi lidah : tidak ada
Pemeriksaan Motorik
 Tonus otot
eutonus eutonus
eutonus eutonus
 Massa otot
eutrofi eutrofi
eutrofi eutrofi

 Kekuatan otot
4444 4444
4444 4444

Refleks
 Refleks fisiologis Kanan Kiri
Biceps : +2 +2
Triceps : +2 +2
Achilles : +2 +2
Patella : +2 +2
 Refleks patologis Kanan Kiri
Babinski : - -
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schaeffer : - -
Hoffman-Tromner: - -
Sensorik
 Eksteroseptif : dalam batas normal
 Propioseptif : dalam batas normal
Sistem Koordinasi
 Romberg test : tidak dilakukan pemeriksaan
 Tandem walking : tidak dilakukan pemeriksaan
 Finger to finger test : tidak dilakukan pemeriksaan
 Finger to nose test : tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi Otonom
 Miksi : dalam batas normal
 Defekasi : dalam batas normal
 Hidrosis : dalam batas normal

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Nomor lab : 20220913893
Tanggal : 30 September 2022
Hematology
Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 13,17 g/dl 12-16
Eritrosit 4,21 Juta/uL 3,8-5,8
Hematokrit 37,93 % 37-47
MCV 90,12 fL 79-99
MCH 31,30 Pg 27-31,2
MCHC 34,73 g/dl 33-37
Leukosit 5,79 Ribu/uL 4-11
Trombosit 205 Ribu/uL 150-450
RDW-CV 9,42 % 11,5-14,5
Hitung Jenis Leukosit
Basophil 1,18 % 0-1,7
Eosinophil 1,01 % 0,6-7,3
Nitrofil Segmen 42,75 % 39,3-73,7
Limfosit 48,30 % 18-48,3
Monosit 6,77 % 4,4-12,7
NLR 0,88 Cutoff 0-3,13
ALC 2796,09 Juta/L 0-1500
Golongan Darah O
Kimia Darah
Glukosa Darah
Gula Stik 67 mg/dl 70-125

2.6 Resume
Pasien usia 23 tahun datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan
sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan kelopak mata turun,
nyeri kepala, mual, dan kelemahan anggota gerak.
Pasien merasakan sesak nafas setelah pasien beraktivitas. Sebelumnya,
pasien mengeluhkan kedua kelopak mata turun dan sulit diangkat sejak 8 tahun
yang lalu. Keluhan ini berlangsung hilang timbul, namun memberat sejak 1 tahun
yang lalu. Kesulitan mengangkat kelopak mata juga diikuti dengan keluhan
kelemahan pada anggota gerak pasien. Kelemahan anggota gerak dirasakan hilang
timbul dan memberat setelah beraktifitas. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala
yang memberat ketika pasien berbicara atau mengunyah. Pasien sering merasakan
mual namun tidak disertai muntah. Pasien memiliki riwayat berobat ke spesialis
saraf 1 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat opname dengan diagnosis
demam tifoid dan dispepsia 5 tahun yang lalu. Pasien rutin mengonsumsi
mestinon 4 x 1 dalam 1 tahun terakhir. Pasien mengaku telat mengonsumsi
mestinon saat keluhan terjadi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, dengan
TD: 100/60 mmHg, nadi: 61x/i, pernafasan: 24x/I, SpO 2: 98%, suhu:36,7 oC. Pada
status generalis didapatkan ptosis pada kedua kelopak mata. Pada tes klinik
sederhana didapatkan tes pita suara positif. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan lapang pandang terbatas akibat ptosis kedua mata, reflek menelan
menurun dan fungsi motorik menurun pada keempat anggota gerak. Pada
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hipoglikemia.

2.7 Diagnosa
Diagnosa klinis : Dyspnea, ptosis oculus dextra et sinistra,
cephalgia, nausea, tetraparase, disfagia
Diagnosa etiologi : Autoimun
Diagnosa topis : Neuromuscular junction
Diagnosa patologis : Blokade AChR oleh antibodi

2.8 Terapi
O2 nasal canul 3-4 L/i
Infus :
 IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi :
 Ranitidin 1 amp/12 j
 Ketorolac 1 amp/12 j
Oral :
 Mestinon 4 x 60 mg
 Metilprednisolon 2 x 4 mg

2.9 Prognosis
Quo Ad Vitam : dubia et bonam
Quo Ad Fungsionam : dubia et bonam
Quo Ad Sanationam : dubia et malam

2.10 Follow Up
Tanggal S O A P
30/9/202 Pasien mengeluhkan GCS: E4M6V5 Miastenia O2 NC 3-4 L/i
2 sesak nafas, kelopak TD: 120/80 gravis Infus:
mata turun, nyeri HR:79 x/i - IVFD RL 20
kepala, mual tanpa RR: 24 x/i gtt/i
disertai muntah, dan Suhu: 36,7 oC
kelemahan anggota SpO2: 98% Injeksi:
gerak. Motorik: - Ketorolac 1
4444 4444 amp/ 12 j
4444 4444 - Ranitidin 1
amp/ 12 j
Oral:
- Mestinon tab
4x60 mg
- Metilprednisolon
tab 2x4 mg
1/10/202 Keluhan sesak nafas GCS: E4M6V5 Miastenia Infus:
2 berkurang. Pasien TD: 100/60 gravis - IVFD D5%
masih mengalami HR:70 x/i 20 gtt/i
keluhan kelopak RR: 20 x/i
mata turun, nyeri Suhu: 36,6 oC Injeksi:
kepala, mual tanpa SpO2: 100% - Ketorolac 1
disertai muntah, dan Motorik: amp/ 12 j
kelemahan anggota 4444 4444 - Ranitidin 1
gerak. Pasien juga 4444 4444 amp/ 12 j
mengeluhkan sulit - Metilprednisolon
menelan. 1 amp/ 12 j

Oral:
- Mestinon tab
4x60 mg
2/10/202 Pasien masih GCS: E4M6V5 Miastenia Infus:
2 mengalami keluhan TD: 100/70 gravis - IVFD D5%
kelopak mata turun, HR:66 x/i 20 gtt/i
nyeri kepala RR: 19 x/i
berkurang, mual Suhu: 36,7 oC Injeksi:
tanpa disertai SpO2: 99% - Ketorolac 1
muntah, kelemahan Motorik: amp/ 12 j
anggota gerak, dan 4444 4444 - Ranitidin 1
sulit menelan. Pasien 4444 4444 amp/ 12 j
juga mengeluhkan - Metilprednisolon
nyeri perut dan 1 amp/ 12 j
matayang terasa
perih dan berair. Oral:
- Mestinon tab
4x60 mg
- Sucralfat syr
3xC1
3/10/202 Pasien masih GCS: E4M6V5 Miastenia Infus:
2 mengalami keluhan TD: 110/60 gravis - IVFD D5%
kelopak mata turun, HR:68 x/i 20 gtt/i
kelemahan anggota RR: 19 x/i
gerak, sulit menelan Suhu: 36,7 oC Injeksi:
dan mata perih. SpO2: 99% - Ketorolac 1
Pasien sudah tidak Motorik: amp/ 12 j
mengeluhkan nyeri 4444 4444 - Ranitidin 1
kepala, mual dan 4444 4444 amp/ 12 j
nyeri perut. - Metilprednisolon
1 amp/ 12 j

Oral:
- Mestinon tab
4x60 mg
- Sucralfat syr
3xC1
4/10/202 Pasien mengeluhkan GCS: E4M6V5 Miastenia O2 NC 3-4 L/i
2 sesak nafas dan gatal TD: 100/60 gravis Infus:
di seluruh tubuh. HR:61 x/i - IVFD D5%
Pasien masih RR: 24 x/i 20 gtt/i
mengalami keluhan Suhu: 36,7 oC
kelopak mata turun, SpO2: 96% Oral:
kelemahan anggota Motorik: - Mestinon tab
gerak, sulit menelan 4444 4444 4x6 mg
dan mata perih. 4444 4444 - Metilprednisolon
tab 3x4 mg
- Sucralfat syr
3xC1
5/10/202 Keluhan sesak nafas, GCS: E4M6V5 Miastenia Infus:
2 gatal di seluruh TD: 90/60 gravis - IVFD D5%
tubuh dan mata perih HR: 65 x/i 20 gtt/i
berkurang. Pasien RR: 20 x/i
masih mengalami Suhu: 37,5 oC Oral:
keluhan kelopak SpO2: 99% - Mestinon tab
mata turun, Motorik: 4x6 mg
kelemahan anggota 4444 4444 - Metilprednisolon
gerak, dan sulit 4444 4444 tab 3x4 mg
menelan. - Sucralfat syr
3xC1
6/10/202 Pasien masih GCS: E4M6V5 Miastenia Infus:
2 mengalami keluhan TD: 90/60 gravis - IVFD D5%
kelopak mata turun, HR: 72 x/i 20 gtt/i
kelemahan anggota RR: 19 x/i
gerak, dan sulit Suhu: 36,5 oC Oral:
menelan. SpO2: 98% - Mestinon tab
Motorik: 4x6 mg
4444 4444 - Metilprednisolon
4444 4444 tab 3x4 mg
- Omeprazole
caps 2x20 mg
- Paracetamol
tab 3x500 mg
- Sucralfat syr
3xC1
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada beberapa otot yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan
otot akan pulih kembali (5).

3.2 Epidemiologi
Prevalensi penderita dengan miastenia gravis di Amerika Serikat pada
tahun 2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti
mungkin lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak
terdiagnosis. Insiden miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk,
menyerang semua kelompok umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit Miastenia gravis dan angka
kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur 20-30 tahun
miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60
tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2) (6).
Lima belas hingga dua puluh persen pasien miastenia gravis akan
berkembang menjadi krisis miastenik, biasanya dalam tahun pertama penyakit.
Krisis miastenik mungkin presentasi awal miastenia gravis sekitar 20% dari
pasien dan sepertiga dari yang masih hidup mungkin mengalami krisis lain.
Secara keseluruhan, wanita dua kali lebih daripada laki-laki yang mungkin
terpengaruh. Rata-rata usia masuk dengan krisis adalah 59 tahun. Kematian
biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan (1).

3.3 Etiologi
Pada miastenia gravis, antibodi terhadap asetikolin (ACh) reseptor
nikotinik pasca-sinaptik terbentuk pada sambungan neuromuskuler saraf perifer.
Kompleks imun antibodi-antigen dan terkait dengan peradangan menghasilkan
disfungsi yang menghambat transmisi neuromuskuler yang normal. Pada sebagian
besar pasien, antibodi IgG menyerang reseptor asetilkolin (AChRs), tetapi mereka
juga dapat diarahkan otot kinase spesifik/muscle konase spesific (Musk). Limfosit
T juga terlibat dalam patogenesis miastenia gravis, sebagai subset spesifik dari sel
T yang dikenal untuk menanggapi rangsangan antigenic dan mengaktifkan sel-sel
B AChR-spesifik. Reaksi toleransi imunitas diduga melibatkan timus (hiperplasia
atau timoma) yang terjadi pada sebagian besar pasien dengan miastenia gravis (4).

3.4 Anatomi dan Fisiologis


Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular (7).
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot) dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction (7).
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (8).
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun
dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate) (8).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion
kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik (9).
Proses pada neuromuscular junction berlangsung dalam beberapa tahap,
yaitu (10):
1. Potensial aksi di neuron motorik di hantarkan ke terminal akson (tombol
terminal).
2. Potensial aksi lokal ini memicu pembukaan kanal Ca 2+ berpintu listrik dan
masuknya Ca2+ ke dalam tombol terminal.
3. Ca2+ memicu pelepasan asetilkolin melalui eksositosis dari sebagian
vesikel.
4. Asetilkolin berdifusi melintasi ruang yang memisahkan sel saraf dan sel
otot dan berikatan dengan reseptor-kanal spesifiknya di cakram motorik
membrane sel otot.
5. Pengikatan ini menyebabkan terbukanya kanal kation nonspesifik ini,
menyebabkan terjadinya perpindahan Na+ masuk ke dalam sel otot dalam
jumlah yang lebih besar daripada K+ keluar sel.
6. Hasilnya adalah potensial end-plate. terjadi aliran arus lokal antara end-
plate yang mengalami depolarisasi membran sekitar.
7. Aliran arus lokal ini membuka kanal Na+ berpintu listrik di membran
sekitar.
8. Masuknya Na+ yang terjadi menurunkan potensial ke ambang, memicu
potensial aksi, yang kemudian merambat ke seluruh serat otot.
9. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetikolinesterase, suatu enzim yang
terletak di membran cakram motorik, mengakhiri respons ke otot.

3.5 Patofisiologi
Ketika antibodi berikatan dengan AChR pada membran postsinap, mereka
menukarkan senyawa AChR, yang dapat diserap pada serabut otot dan kemudian
terpisah kembali. Selain itu, sistem pelengkap diaktifkan untuk memediasi
kerusakan lebih lanjut pada membran postsinap. Antibodi AChR dapat muncul
dari germinal center pada thymus, dimana sel myoid berkelompok yang
mengeluarkan AChR pada lapisan membran plasma. Sekitar 60% antibodi yang
positif AChR pada pasien miastenia gravis terjadi pembesaran thymus, dan 10 %
mempunyai timoma – tumor pada sel epitel thymus. Sebaliknya, sekitar 15 %
pasien dengan timoma mempunyai miastenia gravis klinis, dan lebih dari 20 %
memiliki antibodi anti AChR pada serum tanpa gejala miastenia gravis. Seperti
AChr, MuSK adalah komponen transmembran dari postsinap neuromuscular
junction. Selama pembentukan dari neuromuscular junction, MuSK diaktifkan
lewat ikatan dari agrin (saraf bentukan proteoglikan) ke lipoprotein yang terikat
protein 4 (LRP4), setelah sinyal intracellular yang rumit memicu pemasangan dan
penyeimbangan dari AChR (4).
Tidak seperti antibodi AChR, antibodi anti MuSK tidak mengaktifkan
sistem pelengkap, dan fiksasi pelengkap tidak penting untuk munculnya gejala
klinis miastenia gravis. Juga miastenia gravis dengan antibodi MuSK jarang
ditemukan dengan timoma. Mekanisme penting dengan antibodi MuSK yang
menghalangi transmisi pada neuromuscular junction telah menjadi misteri hingga
saat ini (4).
Selain itu, antibodi MuSK membuat disfungsi presinaps, yang
mengakibatkan pengurangan jumlah asetikolin. Informasi ini berdasar penelitian
pada tikus dan pada percobaan in vitro analisis elektrofisiologis neuromuscular
junction dari pasien dengan penyakit ini. Akhirnya antibody MuSK secara tidak
langsung dapat mempengaruhi pengolahan asetikolin. Setelah pengaktifan
postsinap, asetikolin biasanya dihidrolisa oleh enzim asetikolinsterase, yang
terletak pada cleft synaps tapi terikat dengan MuSK pada membran postsinap.
Antibodi MuSK menghambat menghambat ikatan MuSK pada asetikolinsterase,
yang dapat membuat rendahnya akumulasi dari asetikolinsterase. Proses ini dapat
menjelaskan mengapa pasien dengan antibodi positif MuSK miastenia gravis
memiliki respon yang rendah pada asetikolinsterase inhibitor (4).

3.6 Manifestasi Klinis


Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara
berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang
atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit
miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis,
otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari
kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat
benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara
abnormal (ptosis) (6).
Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan
penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti
tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-
langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami
kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada
anggota gerak ini akan dirasakan asimetris. Bila seorang penderita Miastenia
gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka
kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh. Penderita
dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis okular. Penyakit
Miastenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis
yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak
nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia
gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik.
Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada penderita
Miastenia gravis (6).
Secara umum, gambaran klinis Miastenia yaitu (6):
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia), atau otot faring
lainnya (disfagia, suara sengau)
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi

3.7 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut (6):
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.
Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Kelas IIb Kelas Iib Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan
otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan
otototot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang.
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.
Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduaya dalam derajat
ringan.
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat
Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan.
Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube
tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman


membuat klasifikasi klinis sebagai berikut (6):
a. Kelompok I Miastenia Okular: hanya menyerang otot-otot okular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
b. Kelompok II A: Miastenia umum ringan: progres lambat, biasanya pada
mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem
pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian
rendah (30 %)
Kelompok II B: Miastenia umum sedang: progres bertahap dan sering
disertai gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan
terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas (25 %)
c. Kelompok III: Miastenia fulminan akut: progres yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma
paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi
(15%)
d. Kelompok IV: Miastenia Berat lanjut: timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat
dan prognosis buruk (10 %)

3.8 Diagnosis
A. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang
dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak (6).
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, keterlibatan okular diperlihatkan oleh (1) ptosis,
yang mungkin unilateral atau bilateral dan dapat memburuk (atau tidak tertutup)
selama pandangan ke atas (>60 detik), dan (2) kelemahan otot ekstraokular,
pasien mencatat diplopia binocular atau penglihatan kabur. Kelemahan wajah
biasanya ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengubur bulu mata dengan
penutupan mata paksa dan "myasthenic snarl." Pada yang terakhir, ada kelemahan
orbicularis oris dan ketidakmampuan untuk memutar sudut mulut ke atas ketika
pasien diminta untuk tersenyum. Manifestasi ini mengarah pada “senyum” yang
melintang dan tampak hampir marah. Pasien juga dapat mengalami kelemahan
rahang (dengan kesulitan menjaga rahang tetap tertutup); perubahan bicara
(kualitas hidung dari kelemahan palatal atau kualitas rendah/hipofonik);
kelemahan ekstensor leher, menyebabkan kepala disangga menggunakan tangan
di bawah dagu; dan kelemahan lengan dan kaki yang dominan di proksimal (2).
Dapat dilakukan tes klinik sederhana (6):
a. Tes watenberg/simpson test: memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif).
b. Tes pita suara: penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain (5):
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan
segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
b. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
c. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
d. Laboratorium
 Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang
pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
 Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan
suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis. Hal ini disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan
miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-
striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-
AChR antibody.
e. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik:
 Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).
 Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

3.9 Diagnosis Banding


Gangguan yang mungkin dibingungkan dengan miastenia gravis okular,
yang menyebabkan ptosis dan/atau diplopia, termasuk oftalmopati tiroid, distrofi
miotonik, distrofi otot okulofaringeal, oftalmoplegia eksternal progresif kronis,
dan patologi batang otak. Kondisi yang menyerupai miastenia gravis umum
termasuk penyakit neuron motorik, miopati, dan sindrom miastenia Lambert-
Eaton. Namun, dalam banyak kasus, kelainan ini dikenali dari gambaran klinis
dan laboratoriumnya yang khas, dan tidak seperti miastenia gravis, kelainan ini
tidak menunjukkan keletihan yang sebenarnya dengan kelemahan yang
berfluktuasi diurnal (2).

3.10 Penatalaksanaan
Pengobatan farmakologis konvensional sudah termasuk penggunaan
asetikolinsterase (AChE) inhibitor untuk mengurangi gejala-gejala dan berbagai
agen terapi modulasi kekebalan, yaitu imunomodulator dan imunosupresif untuk
memodifikasi proses penyakit. Antibodi monoklonal dan TNF-alpha telah
digunakan pada pasien dengan penyakit yang lebih berat yang tidak merespon
terhadap pengobatan lain. Jenis terapi obat untuk miastenia gravis dapat dilihat
dalam tabel berikut (4):
Obat Dosis Keterangan
Terapi simptomatis (AChE inhibitor)
Pyridostigmine  Pemeliharaan dosis Efek samping kolinergik
(Mestinon) sampai 1500 mg per tergantung dosis yang
hari mungkin umum termasuk mual,
diperlukan pada kasus muntah, diare, kram
yang berat. Titrasi perut atau otot, dan
dosis untuk peningkatan produksi air
meminimalkan risiko mata, air liur, dan sekresi
krisis kolinergik. bronkial.
Korelasikan dosis
terbesar dengan waktu
yang paling menonjol
kelemahannya.
Immune-directed therapy
Steroids
Prednison  Awal: 60-100 mg per Umumnya dimulai
hari selama rawat inap.
 Pemeliharaan: 5 Sementara
sampai 15 mg per hari memburuknya
 Dosis secara bertahap kelemahan otot dapat
dikurangkan, setelah 2 terjadi. Sering digunakan
ampai 4 minggu, dalam kaitannya dengan
sebagai perbaikan inhibitor AChE.
gejala yang disebutkan
Non-steroid immunomodulators
Azathioprine  Awal: 1 mg / kg per Sering dibutuhkan ketika
hari (50 mg) tidak dapat meruncingan
 Maksimum: 2,5 mg / dosis perawatan steroid
kg per hari yang rendah. Mungkin
 Memantau CBC dan memakan waktu
LFT berbulan-bulan untuk
Mycophenolate mofetil  Awal: 250 mg twice merespon yang jelas.
daily Efek samping yang
 Maksimum: 3 g per parah, seperti keganasan
day (misalnya limfoma) dan
 Memantau CBC dan infeksi oportunistik
CMP dapat terjadi.
Cyclosporine  Awal: 25 mg dua kali
sehari
 Maximum: 3 sampai 6
mg / kg per hari dibagi
dua kali sehari
 Memantau BP, fungsi
ginjal, kadar obat
Cyclophosphamide  Awal: 25 mg sehari
 Maximum: 2 sampai 5
mg / kg per hari
 Memantau CBC,
BMP, dan UA (sistitis
hemoragik)

Terapi nonfarmakologi juga dapat bermanfaat bagi pasien miastenia


gravis. Dalam kasus di mana respon yang cepat diperlukan misalnya krisis
miastenia, pertukaran plasma atau infus immunoglobulin intravena dapat
digunakan. Timektomi biasanya tidak diindikasikan untuk orang lanjut usia, tapi
sangat membantu bagi mereka yang onsetnya masih muda, mereka yang berusis
kurang dari 60 dengan kelemahan otot yang moderat sampai severe dan semua
orang dengan timoma. Pengobatan konservatif (yaitu, kruk tutup atau prisma
Fresnel) dapat berguna untuk orang lanjut usia dengan ptosis dan diplopia
refraktori. Strabismus atau operasi blepharoptosis dapat bermanfaat bagi mereka
yang tidak merespon terhadap terapi konservatif (4).

3.11 Prognosis
Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada
Miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi,
timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan. Dilaporkan angka kematian 7 %,
membaik 50 % dan tidak ada perubahan 30 % (6).
BAB 4
ANALISA KASUS
Pasien perempuan usia 23 tahun dirawat di ruang Multazam RSU Cut
Meutia rawatan ke-4 dengan diagnosis miastenia gravis. Diagnosis klinis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pasien mengalami keluhan sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Pasien
merasakan sesak nafas setelah pasien beraktivitas. Sebelumnya, pasien
mengeluhkan kedua kelopak mata turun dan sulit diangkat sejak 8 tahun yang
lalu. Keluhan ini berlangsung hilang timbul, namun memberat sejak 1 tahun yang
lalu. Kesulitan mengangkat kelopak mata juga diikuti dengan keluhan kelemahan
pada anggota gerak pasien. Kelemahan anggota gerak dirasakan hilang timbul dan
memberat setelah beraktifitas. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala yang
memberat ketika pasien berbicara atau mengunyah. Pasien sering merasakan mual
namun tidak disertai muntah.
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot mata, bulbar, leher, dan otot rangka. Kelemahan ini akan
meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat
lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat. Pada beberapa kasus miastenia gravis dapat melibatkan otot
pernapasan dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Sesak napas adalah
tanda kelemahan diafragma dan mungkin menandakan insufisiensi pernapasan,
Bila sampai terjadi gagal napas dan diperlukan bantuan alat pernafasan, maka
penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau
krisis miastenik.
Pada pasien dengan miastenia gravis, terjadi penurunan jumlah
Acetylcholine Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibatkan acetylcholine (ACh)
yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial
aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh
yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut
saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan
kelemahan otot pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini disebabkan karena
proses autoimun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang
dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran
composmentis dan tanda vital yang stabil. Pada status generalis didapatkan ptosis
pada kedua kelopak mata. Ptosis merupakan salah satu gejala yang sering
menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis, dapat terjadi unilateral atau bilateral,
ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot
okular masih bergerak normal.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan lapang pandang terbatas akibat
ptosis kedua mata, reflek menelan menurun dan fungsi motorik menurun pada
keempat anggota gerak. Ptosis adalah istilah untuk menggambarkan kelopak mata
yang turun, sehingga mata terlihat mengantuk. Turunnya kelopak mata ini dapat
bersifat ringan hingga berat sampai menutupi pupil dan membatasi lapang
pandang.
Reflek menelan menurun sehingga pasien sulit menelan atau disebut disfagia.
Kesulitan menelan terjadi akibat kelemahan dari otot bulbar.
Pada pasien diberikan terapi farmakologi berupa mestinon 60 mg 4x1
tablet. Mestinon adalah sediaan obat dalam bentuk tablet yang mengandung zat
aktif Pyridostigmine bromide 60 mg. Piridostigmin adalah agen antikolinesterase
yang digunakan sebagai terapi pilihan pertama pada miastenia gravis okuler dan
sebagai terapi tambahan untuk imunosupresan pada miastenia gravis yang umum.
Obat golongan antikolinesterase meningkatkan trasmisi neuromuskular pada
voluntary dan involuntary muscle pada miastenia gravis. Obat golongan ini
memperpanjang aktivitas asetilkolin dengan menghambat kerja enzim
asetikolinesterase. Piridostigmin mempunyai efek yang ringan terhadap saluran.
Tidak disarankan melebihkan total dosis sehari di atas 450 mg untuk menghindari
down-regulation dari reseptor asetilkolin.
Edukasi pada pasien dengan miastenia gravis sangat penting agar pasien
dapat memiliki kualitas hidup yang baik.

BAB 5
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang mengenai
neuromuscular junction dan ditandai oleh kelemahan otot berat. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang meliputi kelemahan otot
okuler, bulbar dan ekstremitas. Manifestasi okuler adala ptosis dan diplopia
sedangkan manifestasi bulbar adalah disartria, disfagia dan dyspnea. Tes klinik
sederhana seperti tes wartenberg dan tes pita suara dapat membantu penegakan
diagnosis. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya antibody anti AChR
dalam serum penderita. Pengobatan membutuhkan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan antikolinesterase dengan atau tanpa medikasi imunosupresif.
Piridostigmin direkomendasikan sebagai intervensi awal.
Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 23
tahun dengan keluhan sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan
kelopak mata turun, nyeri kepala, mual, dan kelemahan anggota gerak. Pada status
generalis didapatkan ptosis pada kedua kelopak mata. Pada tes klinik sederhana
didapatkan tes pita suara positif. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan lapang
pandang terbatas akibat ptosis kedua mata, reflek menelan menurun dan fungsi
motorik menurun pada keempat anggota gerak. Pasien didiagnosis Miastenia
Gravis. Pasien mendapatkan terapi antikolinesterase tanpa medikasi
imunosupresif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tugasworo D. Myasthenia Gravis Diagnosis dan Tatalaksana. Undip Press
Semarang. Semarang: Undip Press; 2018. 5–115 hal.
2. Netter FH. The Netter Collection of Medical Illustration Nervous System.
2nd ed. Elsavier; 2013.
3. Mantegazza R, Bernasconi P, Cavalcante P. Myasthenia gravis: from
autoantibodies to therapy. Curr Opin Neurol. 2018;31(5):517–25.
4. Kurniawan SN. Myasthenia Gravis: An Update. Continuing Neurology
Education. Malang: Brawijaya University Press; 2014.
5. W AAGAAA, Adnyana MO, Widyadharma IPE. Diagnosis dan Tata
Laksana Miastenia Gravis. :1–23.
6. Universitas Hasanuddin. Bahan Ajar Miasthenia Gravis. In.
7. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. Thieme, New
York;
8. A M, N W, MI L, WY C, B S, W N, et al. Thymoma and Paraneoplastic
Myasthenia Gravis. Autoimmunity. 43(5–6).
9. Paz ML, Barrantes FJ. Autoimmune Attack of the Neuromuscular Junction
in Myasthenia Gravis: Nicotinic Acetylcholine Receptors and Other
Targets. ACS Chem Neurosci. 2019;
10. Sherwood L. Introduction to Human Physiology. 8 ed. Alexander S,
Glubka A, Crosby L, Oliveira L, editor. Cengange Learning. Kanada; 2013.
1–982 hal.

Anda mungkin juga menyukai