Oleh :
Preseptor :
dr. Ichwanuddin, Sp.S
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2 Tengkorak............................................................................................. 24
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas
, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai
di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk
cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat (7).
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera
otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk
keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting
setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan
tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan
kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat (7).
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. J
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Buket Sentang, Lhoksukon, Aceh Utara
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal MRS : 28 Mei 2021
Rekam medis : 16.71.85
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 31 Mei 2021 pukul 07.30 WIB di bangsal.
Keluhan utama
Keluar darah dari hidung
Keluhan tambahan
Batuk berdarah dan nyeri bahu kiri
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara
pukul 23.50 atas rujukan dari Puskesmas Lhoksukon dengan ambulance
Post kecelakaan lalu lintas ±1 jam yang lalu dengan keluhan nyeri kepala
(VAS: 4), nyeri dan keluar darah dari hidung (VAS: 4), batuk berdarah dan
nyeri pada bahu sebelah kiri (VAS: 5). Awalnya os terjatuh dari sepeda
motor saat mengelak dari ibu-ibu yang menyebrang. Os terjatuh dengan
posisi telungkup dan masih mengenakan helm. Kemudian os tidak sadarkan
diri selama ±15 menit. Setelah sadar os tidak muntah dan mengeluhkan
mual, tangan kiri sulit digerakkan, darah yang keluar dari hidung dan nyeri
kepala. Cairan keluar dari telinga, kejang dan lupa pada ingatan disangkal
3
4
Keadaan Umum
Keadaan Unum : Tampak Sakit Ringan
5
3. Abdomen :
Inspeksi : Defans muscular (-), distended (-)
6
5. Status Neurologis:
GCS : E4 V5 M6 (Compos Mentis)
Pupil : Isokor, RCL (+/+) dan RCTL (+/+)
Tanda Rangsang Menings
– Kaku kuduk (-)
– Kernig sign (>135◦/>135◦)
– Laseuge sign (>70◦/>70◦)
– Brudzinki 1 (-)
– Brudzinki 2 (-)
Nervus Cranialis
1. Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Sulit dinilai
2. Nervus II (Nervus Optikus)
Pupil
Bentuk/ukuran : Bulat, (2mm/2mm)
Isokor/Anisokor :Isokor/Isokor
RC/RCTL : (+/+)
7
Cochlear
Dengar suara berbisik : positif
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan
Tes Scwabach : Tidak dilakukan
7. Nervus IX (Glossofaringeus)
Pengecap 1/3 lidah : tidak dilakukan
Gag reflek : tidak dilakukan
8. Nervus X (Vagus)
Arkus Faring : Normal
Berbicara : Normal
Menelan : Normal
9. Nervus XI (Aksesorius)
Memalingkan kepala : (+/+)
Mengangkat bahu : (+/sulit dinilai)
10. Nervus XII (Hipoglosus)
Pergerakan lidah : lidah di tengah
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Motorik
5555 2444
5555 5555
Reflek Fisiologis
+2 +2
+2 +2
9
Reflek Patologis
- -
- -
Hoffman-Tromner : (-/-)
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Scuffner : (-/-)
Openheim : (-/-)
Sensorik
Nyeri : Normal
Suhu : Normal
Raba : Normal
Rasa sikap : Normal
Fungsi Otonom
Miksi : Inkontinesia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Normal
Fungsi luhur
Afasia : negatif
Apraksia : negatif
10
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 100 mg/dL 70-125
11
KESAN :
3. Foto toraks AP
KESAN :
Cor tak membesar
Tak tampak gambaran contusion pulmo
13
2.4 Diagnosa
Diagnosa Klinis : Cedera kepala ringan
Hematemesis
Epistaksis
Vulnus excoriasi a/r shoulder (s)
Fraktur Nasal
Diagnosa Etiologi : Trauma
Diagnosa Topis : os Nasal
Diagnosa Patologis : Injury
2.6 Tatalaksana
Medikamentosa Non medikamentosa
- IVFD Asering 20 ggt/i - ABCDE
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam - Posisi tidur, bagian
- Inj. Citicoline 250 mg /12 jam kepala ditinggikan
- Inj. OMZ 1 vial/12 jam sekitar 30◦
- Inj. Kalnex 1 amp/8 jam
- Inj. Dexametasone 1 amp/12
jam
Oral
- Vastigo 2x1
- Capcam 2x1
(Pct 300 mg, meloxicam 7,5
mg)
2.7 Prognosis
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
2.8 Follow Up
Tanggal 02 Juni 2021
14
5555 5555
Reflek Fisiologis
+2 +2
+2 +2
Reflek Patologis
-
-
- -
Hoffman-Tromner : (-/-)
Babinski : (-/-)
17
Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Scuffner : (-/-)
Openheim : (-/-)
Sensorik
Nyeri : (+/+)
Suhu : (+)
Raba : (+/-)
Rasa sikap : Normal
Koordinasi Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dievaluasi
Tes Romberg : Tidak dievaluasi
Ataksia : Tidak dievaluasi
Rebound Phenomen : Tidak dievaluasi
Dismetri : Tidak dievaluasi
A CKR GCS 15 + fr. os nasal
P – IVFD Asering 20 ggt/i
– Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
– Inj. Citicoline 250 mg /12 jam
– Inj. OMZ 1 vial/12 jam
– Inj. Dexametason 1 amp/12 jam
– Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
– Inj. Kalnex 1 amp/8 jam
Oral
– Vastigo 2x1
– Capcam 2x1 (PCT 300 mg)
– Syr. Vectin 3x1
18
S Nyeri pada hidung berkurang dan tidak ada keluar darah dari
hidung lagi. Bahu sudah dapat digerakkan meski terbatas
dan batuk berdarah sudah membaik.
O BP: 130/90 mmHg
HR: 75 x/i
RR: 18 x/i
SpO2: 97%
Status Generalis: Deviasi septum nasal ke arah dextra
Vulnus excoriasi a/r shoulder (s)
Status Neurologis:
GCS : E4 V5 M6
Pupil : Isokor, RCL (+/+) dan RCTL (+/+)
Tanda Rangsang Menings
– Kaku kuduk (-)
– Kernig sign (-)
– Laseuge sign (-)
– Brudzinki I (-)
– Brudzinki 2 (-)
Nervus Cranialis
1. Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Normosmia
2. Nervus II (Nervus Optikus)
Ketajaman penglihatan : 1/60
Lapang pandang penglihatan : Normal
Melihat Warna : Normal
3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trockhealis,
Abducens)
19
5555 5555
Reflek Fisiologis
+2 +2
+2 +2
Reflek Patologis
-
-
- -
Hoffman-Tromner : (-/-)
Babinski : (-/-)
21
Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Scuffner : (-/-)
Openheim : (-/-)
Sensorik
Nyeri : (+/+)
Suhu : (+)
Raba : (+)
Rasa sikap : Normal
Koordinasi Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dievaluasi
Tes Romberg : Tidak dievaluasi
Ataksia : Tidak dievaluasi
Rebound Phenomen : Tidak dievaluasi
Dismetri : Tidak dievaluasi
A CKR GCS 15 + Fr. os nasal
P PBJ
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (2).
Cedera kepala biasanya mengacu pada cedera otak traumatis, tapi memiliki
kategori yang lebih luas karena dapat melibatkan kerusakan struktur selain otak,
seperti kulit kepala dan tengkorak. "Decade of the Brain" melihat kemajuan yang
dibuat dalam penelitian tentang otak dan perumusan pedoman standar untuk
pengobatan cedera otak traumatis. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai
kerusakan otak akibat kekuatan mekanik eksternal, seperti akselerasi cepat atau
deselerasi, dampak, gelombang ledakan atau penetrasi oleh proyektil. cedera kepala
jangka dan cedera otak sering digunakan secara bergantian (8).
22
23
3.2.2 Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua
bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah
yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas
yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada
permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan
otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar
tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya
Gambar 2 Tengkorak
3.2.3 Meningens
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meninges yang melindungi
struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah, dan sekresi cairan, yaitu
cairan serebrospinal yang akan melindungi dari benturan atau goncangan.
Meninges terdiri atas dura mater, araknoidea mater, dan pia mater (10).
1. Dura mater
Berbentuk padat dan keras, terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang
melapisi tengkorak, dan lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar,
kecuali pada bagian tertentu, di mana sinus-venus terbentuk, dan di mana dura
mater membentuk bagian-bagian berikut: Falx serebri yang terletak di antara
kedua hemisfer otak. Tepi atas falx serebri membentuk sinus longitudinalis
inferior atau sinus sagitalis inferior yang menyalurkan darah keluar falx
serebri. Tentorium Serebeli memisahkan serebelum dari serebrum (10).
2. Araknoidea mater
Di sebelah dalam dura mater. Membentuk jembatan di atas sulki dan fisura
otak. Rongga subaraknoidea berisi liquor serebrospinalis.
25
3. Pia mater
Mengikuti kontur otak, mengisi sulki
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
kendali dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak
terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat
terdiri dari otak besar (10).
1. Otak besar (cerebrum)
Bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi penuh
bagian depan atas rongga tengkorak. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat
berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar,
melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya (11).
2. Otak kecil (cerebellum)
Terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan
oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan
dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah
26
melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii
menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke
dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.
27
1. Cedera kepala yang meliputi cedera aksonal difus (DAI), cedera otak
hipoksia, edema serebral difus, atau cedera vaskular yang menyebar.
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda Klinis (14):
koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma)
disfungsi saraf otonom
demam tinggi
Penunjang Diagnostik :
CT Scan otak : awal - normal, tidak ada tanda adanya
perdarahan, edema, kontusio
ulangan setelah 24 jam - edema otak luas
2. Cedera fokal meliputi lesi spesifik seperti kontusi, haematoma
intrakranial, infark, axonal tears, evakuasi saraf kranial, dan fraktur
tengkorak.
melibatkan luka terbuka kepala karena benda asing (mis., peluru). Hal ini
biasanya ditandai dengan kerusakan fokal yang terjadi di sepanjang rute
yang telah dilalui benda tersebut di otak yang mencakup tengkorak
retak/perforasi, robeknya meninges, dan kerusakan pada jaringan otak.
Cedera nonpenetrasi (closed-head) ditandai dengan kerusakan otak
akibat dampak tidak langsung tanpa masuknya benda asing ke otak.
Tengkorak itu mungkin tidak rusak, tapi tidak ada penetrasi meninges.
Cedera yang tidak menentu terdiri dari dua jenis:
Cedera akselerasi-disebabkan oleh pergerakan otak di
dalam kepala yang tidak terkendali (misalnya cedera
pukulan). Jika kekuatan yang mempengaruhi kepala cukup
kuat, hal itu dapat menyebabkan kontusi pada tempat
benturan dan sisi berlawanan tengkorak, menyebabkan
kontusi tambahan (cedera coup-contrecoup).
Cedera non-akselerasi disebabkan oleh cedera pada kepala
yang tertahan dan, oleh karena itu, tidak ada akselerasi atau
perlambatan otak yang terjadi di dalam tengkorak. Ini
biasanya mengakibatkan deformasi (patah tulang)
tengkorak, menyebabkan kerusakan lokal terpusat pada
meninges dan otak.
2) Cedera sekunder
Mengacu pada konsekuensi patofisiologis yang berkembang dari cedera
primer dan mencakup banyak kaskade neurobiologis kompleks yang
diubah atau dimulai pada tingkat sel setelah cedera primer, dan termasuk
berikut ini (Haydel, 2016):
Iiskemia (aliran darah tidak mencukupi);
hipoksia (kekurangan oksigen di otak);
hipotensi / hipertensi (tekanan darah rendah / tinggi);
edema serebral (pembengkakan otak);
35
Usia: cedera kepala di usia yang lebih tua memiliki hasil yang lebih buruk
di semua subkelompok.
3.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan setelah ABCD awal
ditangani:
1. Nilai GCS dan pemeriksaan pupil harus dilakukan setiap 15 menit sampai
pasien stabil, untuk segera mengidentifikasi penurunan fungsi neurologis.
2. Kepala dan leher
Pemeriksaan defisit saraf kranial, ekimosis periorbital atau
postaurikular, rhinorrhoea CSF atau otorrhoea, haemotympanum
(tanda-tanda fraktur basis kranii)
Pemeriksaan fundoskopik untuk perdarahan retina (tanda abuse) dan
papilloedema (tanda peningkatan ICP) (15).
Palpasi kulit kepala untuk hematoma, krepitasi, laserasi, dan
deformitas tulang (penanda fraktur tengkorak)
Auskultasi untuk bruit karotid (tanda diseksi karotid)
Evaluasi untuk nyeri leher rahim, parestesia, inkontinensia,
kelemahan ekstremitas, priapisme (tanda-tanda cedera tulang
belakang)
Benda asing yang jelas atau objek yang tertusuk tidak boleh dilepas
sampai dura dibuka di ruang operasi dan prosedurnya dapat
dilakukan dengan visualisasi langsung.
Status kardiovaskular memerlukan pemeriksaan jantung selanjutnya
dan pemantauan tekanan darah. Setiap episode hipotensi harus
segera ditangani.
Status pernafasan memerlukan puls oksimetri terus menerus dan
pada pasien intubasi, capnografi CO2 end-tidal berkelanjutan.
Setiap episode hipoksia harus segera ditangani.
Ekstremitas harus dilakukan pemeriksaan motor dan sensorik (untuk
tanda-tanda cedera tulang belakang).
37
15. Funduskopi
HEMATOMA EPIDURAL, yaitu (14):
Perdarahan yang terjadi diantara tabula intema-duramater
Hematom massif, akibat pecahnya a.meningea media atau sinus
venosus
Tanda Diagnostik Klinik :
1. Lucid interval ( +)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late Hemiparese kontralaterallesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky ( +) kontralaterallesi
6. Fraktur di daerah temporal
HEMATOMA EPIDURAL DI FOSSA POSTERIOR:
Gejala dan Tanda Klinis :
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum ,batang otak dan pemafasan
5. Pupil isokor
Penunjang Diagnostik : CT Scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di
tulang tengkorak dan dura, umurnnya di daerah temporal, dan tampak
bikonveks
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater - arakhnoid, akibat robeknya
"bridging vein" (vena jembatan)
Jenis
1. Akut Interval Lucid 0-5hari
2. Subakut Interval Lucid 5 hari - bbrp minggu
3. Kronik Interval Lucid > 3 bulan
39
GCS banyak digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada pasien cedera
kepala, dan memberikan informasi prognostik yang cukup baik (bila skor sangat
hasil yang baik, meskipun tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan cedera
intrakranial. Skor <9 dikaitkan dengan penurunan klinis dan hasil buruk.
Pemantauan nilai GCS memberikan peringatan klinis yang akan menurun. GCS
memiliki 3 komponen: respon mata terbaik (E), respon verbal terbaik (V), dan
respon motorik terbaik (M). Skor untuk setiap komponen harus dicatat secara
Simetri pupil:
Pupil normal bulat, tapi bisa tidak teratur karena operasi
mata.
Simetri abnormal dapat terjadi akibat kompresi saraf kranial
III yang dapat menyebabkan pupil pada awalnya menjadi
oval sebelum menjadi melebar dan tetap.
Refleks cahaya langsung:
Pupil normal mengecil dengan cepat terhadap cahaya, tapi
mungkin kurang respon karena obat mata.
Refleks cahaya yang tidak normal dapat terlihat pada respons
pupil lesu yang terkait dengan peningkatan ICP. Pupil tetap
non-reaktif memiliki respon <1 mm terhadap cahaya terang
dan dikaitkan dengan ICP yang sangat meningkat.
GCS dan penilaian pupil dapat dipercaya pada pasien dengan hemodinamik
yang stabil tanpa hipoksia atau hipotensi karena hal ini dapat mengubah
pemeriksaan klinis pasien.
mengamankan jalan napas didasarkan pada temuan klinis dan perkiraan rawat inap
di rumah sakit. Seorang pasien dengan GCS <8 atau pasien dengan cedera kepala
yang tidak bernafas secara spontan, tidak dapat mempertahankan jalan nafas
42
terbuka, atau tidak dapat mempertahankan > 90% saturasi oksigen dengan oksigen
3.8 Pencitraan
CT scan yang tidak kontras (computed tomography) adalah pencitraan
pilihan untuk pasien dengan cedera kepala dan dugaan cedera intrakranial; Ini
mampu mendeteksi sebagian besar cedera klinis yang penting dan dapat membantu
dalam manajemen medis dan bedah cedera kepala. Rekomendasi konsensus dari
American College of Radiology terus mendukung penggunaan CT sebagai modal
pencitraan lini pertama pada pasien cedera kepala (16). Temuan CT berikut terkait
dengan hasil yang buruk pada cedera kepala: pergeseran garis tengah, perdarahan
subaraknoid, atau kompresi/hilang, basal sisterna. MRI dianjurkan saat gambaran
klinis masih belum jelas setelah CT, untuk mengidentifikasi lesi yang lebih halus,
seperti yang ditemukan pada cedera aksonal difus (DAI). CT langsung ditunjukkan
pada semua pasien cedera kepala yang mengalami luka tembus; Dicurigai basilar,
depresi, atau fraktur terbuka; GCS <13; atau defisit neurologis fokal.
Kelainan fisik, kognitif, dan perilaku jangka panjang adalah faktor yang
paling sering membatasi pasien bersosialisasi kembali dengan masyarakat dan pada
saat bekerja kembali. Yang meliputi:
1. Insomnia
2. Penurunan kognitif
3. Sakit kepala posttraumatic: Sakit kepala tipe tegang adalah bentuk yang
paling umum, namun serangan sakit kepala seperti migrain juga sering
terjadi.
4. Depresi post trauma: Depresi setelah cedera kepala dikaitkan lebih
lanjut dengan penurunan kognitif, gangguan kecemasan,
penyalahgunaan zat, pengaturan ekspresi emosional yang salah, dan
agresif berlebihan
Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan
suction, pasang NGT
Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi
sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum
melakukan tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical,
maka tindakan yang dilakukan adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa
ditambah dengan tranfusi darah (whole blood). Pasang kateter untuk
memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan
kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika
ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak. Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
45
6. CTscan kepala. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala,
kecuali pada pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat:
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal (adanya fraktur, perdarahan)
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah)
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang
setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti:
Mengantuk dan sukar dibangunkan
Mual dan muntah hebat
Kejang
Nyeri kepala bertambah hebat
Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
Gelisah
8. Terapi simtomatik
Indikasi operasi
47
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial
Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial
Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
Tanda fokal neurologis semakin berat
Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala
hebat, muntah proyektil)
Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai
lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan
ulang
keluar darah dari hidung terus-menerus dan keluar darah dari mulut pada saat batuk.
Keluhan ini muncul setelah sadar dari pingsan selama 15 menit di PKM Lhoksukon
post kecelakaaan lalu lintas dengan sepeda motor. Posisi pasien terjatuh yaitu
terlungkup dengan menggunakan helm. Pasien juga mengeluhkan dada terasa sesak
saat posisi tidur terlentang dan berkurang saat posisi tidur setengah duduk. Mual,
muntah dan nyeri pada kepala disangkal oleh pasien. Pasien merupakan rujukan
dari PKM Lhoksukon, setelah dilakukan primary survey melalui instalasi gawat
darurat di RSUCM Aceh utara, pasien direncakan untuk dirawat dan akan dilakukan
Cedera pada bagian kepala dapat dicurigai jika memiliki tanda klinis seperti
scalp wound, patah tulang diwajah, bengkak dan memar diwajah, penurunan
kesadaran, nasal discharge dan kaku kuduk. Kesadaran ditentukan oleh interaksi
Activating System (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian
atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris
dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks
serebri. ARAS bertindak sebagai suatu tombol off-on, untuk menjaga korteks
serebri tetap sadar (awake). Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi
51
52
kesadaran antara lain pada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu gangguan pernafasan,
sesaat berarti hilangnya kesadaran intermiten dan muncul secara mendadak dari
pasien yang sebelumnya telah sadar penuh. Hal ini disebabkan penurunan aliran
darah ke otak secara akut (syncope) ataupun gangguan aktivitas elektrik pada otak.
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar
otak. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau
karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga.
tujuan untuk mencari asal dari perdarahan apakah berasal dari struktur tengkorak
(kepala). Setelah diperiksa, didapatkan kesan fraktur pada nasal dan struktur
dikepala dalam batas normal. Hal ini dapat disebabkan dari posisi jatuh pasien
sepeda motor. Keluarnya darah dari hidung bisa diakibatkan oleh terkenanya
53
kiesselbach. Darah yang keluar saat batuk dapat berasal dari robeknya pembuluh
Diagnosa kerja pasien yaitu cedera kepala ringan dengan Fr. Nasal. Cedera
kepala ringan (CKR) dinilai berdasarkan penilaian tingkat kesadaran serta hasil CT-
Scan dengan tanpa lesi di struktur dan jaringan kepala. Prognosis dapat dinilai
berdasarkan Skor GCS awal, jangka waktu PTA (Post-traumatic amnesia), jenis
kelamin dan usia. Cedera kepala ringan memiliki mortality rate sebesar 0,1%,
artinya dalam kasus ini berdasarkan segala pemeriksaan dan hasilnya memiliki
54
55
DAFTAR PUSTAKA
10. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia;
2008. 43-55 p.
11. Irianto K. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis,. Jakarta:
Ayrama Widya; 2008.
12. Faul, M., Xu, L., Wald, M. M., Coronado VG. Traumatic brain injury in the
United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths.
Centers Dis Control Prev Natl Cent Inj Prev Control. 2010;891–904.
13. New South Wales Government. Initial Management of Closed Head Injury
in Adults 2nd Edition. In: 2nd ed. NSW Health; 2011. p. 1–175.
15. Maguire SA, Watts PO, Shaw AD, Holden S, Taylor RH, Watkins WJ, et al.
Retinal haemorrhages and related findings in abusive and trauma : a
systematic review. Eye Nat Publ Gr [Internet]. 2012;27(1):28–36. Available
from: http://dx.doi.org/10.1038/eye.2012.213