Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

CEDERA KEPALA RINGAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Ayu Permata Sari Br. Tarigan, S.Ked


2006112021

Preseptor :
dr. Ichwanuddin, Sp.S

BAGIAN ILMU NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Cedera Kepala Ringan” sebagai
salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian
Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr.Ichwanuddin, Sp.S sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS
di bagian/SMF Ilmu Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
lapkas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan
lapkas ini. Semoga lapkas ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, Juni 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
2.1 Identitas ...................................................................................................... 3
2.2 Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 4
2.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 10
2.4 Diagnosa ................................................................................................... 13
2.5 Diagnosa Banding ...................................... Error! Bookmark not defined.
2.6 Rencana Terapi.......................................................................................... 13
2.7 Prognosis ................................................................................................... 13
2.8 Follow Up ................................................................................................. 13

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 22


3.1 Definisi ...................................................................................................... 22
3.2 Epidemiologi .............................................. Error! Bookmark not defined.
3.3 Faktor Resiko ............................................. Error! Bookmark not defined.
3.3 Patofisiologi .............................................................................................. 28
3.4 Klasifikasi ................................................................................................. 31
3.5 Gambaran Klinis ........................................ Error! Bookmark not defined.
3.6 Pemeriksaan Penunjang.............................. Error! Bookmark not defined.
3.7 Penatalaksanaan ......................................... Error! Bookmark not defined.
3.8 Pencegahan ................................................................................................ 42

BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 42


BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 54

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 lapisan kulit kepala (SCALP) ............................................................... 23

Gambar 2 Tengkorak............................................................................................. 24

Gambar 3 Lapisan meninges ................................................................................. 25

Gambar 4 Patofisiologi cedera kepala................................................................... 31

Gambar 5 Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan SKG ....................................... 32

Gambar 6 Tanda cedera kepala ............................................................................. 37

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama


dikalangan usia produktif khususnya dinegara berkembang. Cedera kepala
merupakan cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai
kepala yang mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
selaput tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri
serta mengakibatkan gangguan neorologis (1).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara
klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis
dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan
faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS <9 dikategorikan cedera kepala
berat, GCS 9- 13 dik cedera kepala sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14- 15
sebagai cedera kepala ringan (2)(3).
Kejadian Trauma Brain Injury (TBI) atau cedera kepala meningkat tajam
terutama karena meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di berbagai negara
berkembang (4). Trend peningkatan kejadian cedera kepala dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya perubahan populasi penduduk disuatu wilayah,
perkembangan modalitas transportasi, budaya masyarakat, dan kemajuan teknologi
yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat (5). Menurut WHO 2013 (Word
Health Organization), Kecelakaan lalu lintas mengakibatkan 33.815 korban tewas
dikawasan Asia tenggara (South East Asia Region) pada tahun 2010 18,5 korban
tewas per 100.000 populasi. setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000
kasus cedera kepala (6). Di Indonesia, cedera kepala Kejadian cedera kepala di

1
2

Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas
, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai
di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk
cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat (7).
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera
otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk
keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting
setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan
tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan
kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat (7).
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn. J
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Buket Sentang, Lhoksukon, Aceh Utara
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal MRS : 28 Mei 2021
Rekam medis : 16.71.85
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 31 Mei 2021 pukul 07.30 WIB di bangsal.
Keluhan utama
Keluar darah dari hidung
Keluhan tambahan
Batuk berdarah dan nyeri bahu kiri
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara
pukul 23.50 atas rujukan dari Puskesmas Lhoksukon dengan ambulance
Post kecelakaan lalu lintas ±1 jam yang lalu dengan keluhan nyeri kepala
(VAS: 4), nyeri dan keluar darah dari hidung (VAS: 4), batuk berdarah dan
nyeri pada bahu sebelah kiri (VAS: 5). Awalnya os terjatuh dari sepeda
motor saat mengelak dari ibu-ibu yang menyebrang. Os terjatuh dengan
posisi telungkup dan masih mengenakan helm. Kemudian os tidak sadarkan
diri selama ±15 menit. Setelah sadar os tidak muntah dan mengeluhkan
mual, tangan kiri sulit digerakkan, darah yang keluar dari hidung dan nyeri
kepala. Cairan keluar dari telinga, kejang dan lupa pada ingatan disangkal

3
4

oleh pasien dan wali pasien. Kemudian os dibawa ke puskesmas Lhoksukon


lalu dirujuk ke RSUD Cut Meutia Aceh Utara dengan kondisi sadar penuh.
Saat dipindahkan ke bangsal, pasien masih merasa nyeri kepala, mual,
keluar darah dari hidung dan nyeri pada bahu kiri. Pasien mengakui tidak
mengantuk saat mengendarai kendaraan tersebut, tidak melakukan aktivitas
berat yang membuatnya kelelahan atau adanya riwayat bergadang sehari
sebelumnya. Gangguan pendengaran disangkal, penglihatan double
disangkal. Keluhan hari ini dibangsal intensitas nyeri pada bahu kiri
menurun (VAS: 3) namun masih sulit digerakkan. Terasa lendir
ditenggorokan lalu dibatukkan dan masih terdapat darah menggumpal
setengah jari telunjuk pasien dengan frekuensi 4x. Pagi ini darah keluar dari
hidung sebanyak 1x dengan total tisu 4 lembar yang basah. Pasien
merasakan dada terasa sedikit sesak saat posisi tidur terlentang dan ringan
saat posisi kepala dan dada lebih tinggi dari posisi badan.

3. Riwayat penyakit terdahulu


 Riwayat gejala serupa : disangkal
 Riwayat epilepsi : disangkal
 Riwayat gangguan jiwa : disangkal
 Operasi sebelumnya : disangkal
 Trauma : disangkal

4. Riwayat penggunaan obat


Tidak ada yang terkait dengan keluhan pasien
5. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yang terkait dengan keluhan pasien

2.2 Pemeriksaan Fisik


(Pada tanggal 31 Mei 2021)

Keadaan Umum
Keadaan Unum : Tampak Sakit Ringan
5

Kesadaran : Compos Mentis GCS=𝐸4 𝑀6 𝑉5 =15


Kooperasi : Kooperatif
Sikap : Berbaring aktif
Keadaan gizi : Baik
Postur : Atletikus
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 90 x/i, reguler
Pernapasan : 20 x/i, reguler tipe abdominotorakal
Suhu tubuh : 36,7◦C
1. Status Generalis :
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Septum deviasi (+ ke arah dextra), sekret (+/+), mukosa
hiperemis (-/-),
konka hipertrofi (-/-)
Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-), gigi karies (-),
Tenggorok : Faring hiperemis (-) tonsil T1-T1
Telinga : Normoauricula, deformitas (-), serumen (-/-), sekret (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
2. Thorax
Pulmo Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Palpasi Stem fremitus ka < ki Stem fremitus ka = ki
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Vesikuler, Ronki (-/-), Vesikuler, Ronki (-/-),
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)
Belakang
Inspeksi Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Palpasi Stem fremitus ka < ki Stem fremitus ka = ki
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Vesikuler, Ronki (-/-), Vesikuler, Ronki (-/-),
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)

3. Abdomen :
Inspeksi : Defans muscular (-), distended (-)
6

Auskultasi : Peristaltik (-) , metalic sound (-)


Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Pekak sisi (-), pekak alih (-), hipertympani (-)

4. Ekstremitas superior inferior


Oedema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Gerak B/TB B/B
Kekuatan 5555/2444 5555/5555
Tonus N/- N /-
Refleks fisiologis +2/+2 +2/+2
Refleks Patologis -/- -/-

5. Status Neurologis:
GCS : E4 V5 M6 (Compos Mentis)
Pupil : Isokor, RCL (+/+) dan RCTL (+/+)
Tanda Rangsang Menings
– Kaku kuduk (-)
– Kernig sign (>135◦/>135◦)
– Laseuge sign (>70◦/>70◦)
– Brudzinki 1 (-)
– Brudzinki 2 (-)
Nervus Cranialis
1. Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Sulit dinilai
2. Nervus II (Nervus Optikus)
Pupil
Bentuk/ukuran : Bulat, (2mm/2mm)
Isokor/Anisokor :Isokor/Isokor
RC/RCTL : (+/+)
7

Ketajaman penglihatan : 1/60


Lapang pandang penglihatan : Normal
Melihat Warna : Normal
3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trockhealis, Abducens)
- Celah kelopak mata : Ptosis (-/-)
Exoftalmus (-/-)
Nistagmus (-/-)
- Gerakan Bola Mata : Normal
- Reaksi akomodasi : Normal
- Reaksi konvergensi : Normal
4. Nervus V (Trigeminus)
Motorik
Membuka Mulut : Normal
Menggerakkan rahang : Normal
Jaw reflex : Normal
Sensorik
Oftalmikus : +/+
Maksilaris : Normal
Mandibularis : Normal
5. Nervus VII (Facial)
Motorik
Orbitofrontal : Kesan parese (-/-)
Orbicularis okuli : kesan parese (-/-)
Orbicularis oris : kesan parese (-/-)
Sensorik
Chovstek : negatif
Pengecapan 2/3 lidah : tidak dilakukan
6. Nervus VIII (Vestibulokokhlearis)
Vestibular
Vertigo : negatif
Nistagmus : (-/-)
8

Cochlear
Dengar suara berbisik : positif
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan
Tes Scwabach : Tidak dilakukan
7. Nervus IX (Glossofaringeus)
Pengecap 1/3 lidah : tidak dilakukan
Gag reflek : tidak dilakukan
8. Nervus X (Vagus)
Arkus Faring : Normal
Berbicara : Normal
Menelan : Normal
9. Nervus XI (Aksesorius)
Memalingkan kepala : (+/+)
Mengangkat bahu : (+/sulit dinilai)
10. Nervus XII (Hipoglosus)
Pergerakan lidah : lidah di tengah
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Motorik
5555 2444

5555 5555

Reflek Fisiologis
+2 +2

+2 +2
9

Reflek Patologis
- -

- -

Hoffman-Tromner : (-/-)
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Scuffner : (-/-)
Openheim : (-/-)

Sensorik
Nyeri : Normal
Suhu : Normal
Raba : Normal
Rasa sikap : Normal

Fungsi Otonom
Miksi : Inkontinesia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Normal

Fungsi cerebellar dan keseimbangan


Jari- jari : Normal
Tumit-Lutut : Normal
Rebound-phenomenon: Normal

Fungsi luhur
Afasia : negatif
Apraksia : negatif
10

2.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
28 Mei 2021
Hematologi
Darah lengkap
Hemoglobin (HGB) 15,24 g /dL 13,0-18,0
Eritrosit (RBC) 5,68 juta/ mm3 4,5-6,5
Leukosit (WBC) 11,12 ribu/ mm3 4,0-11,0
Hematokrit 44,88 % 37,0-47,0
Index Eritrosit
MCV 79,00 fl 79-99
MCH 26,82 pg 27-31,2
MCHC 33,95 g% 33-37
RDW-CV 11,36 % 11,5-14,5
Trombosit 205 ribu/mm3 150-450
Hemostasis
Masa Perdarahan/ BT 2’ menit 1-3
Masa Pembekuan/ CT 7’30 menit 9-15

Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 100 mg/dL 70-125
11

2. CT-Scan kepala tanpa kontras

KLINIS : Head Injury GCS 15

 Tak tampak lesi hipodens atau hiperdens pada parenkim otak


 Differensiasi substansia alba dan substansia grisea tampak normal
 Sulkus kortikalis dan fissure Sylvii tampak sempit
 Ventrikel lateral kanan-kiri, III dan IV tampak normal
 Cisterna perimesencephalic tampak normal
 Tak tampak midline shifting
 Pons dan cerebellum baik
 Tampak fraktur os nasal
12

KESAN :

 Tak tampak infark maupun perdarahan intracranial


 Gambaran brain swelling
 Fraktur os nasal

3. Foto toraks AP

KLINIS : Head Injury


COR : Besar, bentuk dan letak jantung dalam batas normal
PULMO: Corakan vaskular tampak normal
Tak tampak bercak pada kedua lapangan paru
Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus costofrenikus kanan kiri lancip

KESAN :
 Cor tak membesar
 Tak tampak gambaran contusion pulmo
13

2.4 Diagnosa
Diagnosa Klinis : Cedera kepala ringan
Hematemesis
Epistaksis
Vulnus excoriasi a/r shoulder (s)
Fraktur Nasal
Diagnosa Etiologi : Trauma
Diagnosa Topis : os Nasal
Diagnosa Patologis : Injury

2.6 Tatalaksana
Medikamentosa Non medikamentosa
- IVFD Asering 20 ggt/i - ABCDE
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam - Posisi tidur, bagian
- Inj. Citicoline 250 mg /12 jam kepala ditinggikan
- Inj. OMZ 1 vial/12 jam sekitar 30◦
- Inj. Kalnex 1 amp/8 jam
- Inj. Dexametasone 1 amp/12
jam
Oral
- Vastigo 2x1
- Capcam 2x1
(Pct 300 mg, meloxicam 7,5
mg)

2.7 Prognosis
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam

2.8 Follow Up
Tanggal 02 Juni 2021
14

S Pasien mengeluhkan hidung terasa nyeri saat disentuh


dengan VAS:4, nyeri berkurang jika tidak disentuh. Os
merasakan hidung seperti terbelah saat disentuh. Masih
didapati keluar darah dari hidung sebanyak 1x pada pagi hari
namun volume berkurang dari hari sebelumnya. Os masih
mengeluhkan dada seperti berat pada saat posisi berbaring
maupun duduk. Keluhan batuk berdarah masih terjadi
sebanyak 1x dan volume yang lebih sedikit dari hari
sebelumnya. Nyeri pada bahu kiri berkurang dengan VAS:3.
O BP: 140/90 mmHg
HR: 75 x/i
RR: 18 x/i
SpO2: 98%
Status Generalis: Deviasi septum nasal ke arah dextra
Status Neurologis:
GCS : E4 V5 M6
Pupil : Isokor, RCL (+/+) dan RCTL (+/+)
Tanda Rangsang Menings
– Kaku kuduk (-)
– Kernig sign (-)
– Laseuge sign (-)
– Brudzinki I (-)
– Brudzinki 2 (-)
Nervus Cranialis
1. Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Normosmia
2. Nervus II (Nervus Optikus)
Ketajaman penglihatan : 1/60
Lapang pandang penglihatan : Normal
Melihat Warna : Normal
3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trockhealis,
Abducens)
15

- Celah kelopak mata : Ptosis (-/-)


Exoftalmus (-/-)
Nistagmus (-/-)
- Pupil
Bentuk/ukuran : Bulat, (2/2)
Isokor/Anisokor :Isokor/Isokor
RC/RCTL : (+/+)
- Gerakan Bola Mata : Paresis (-/-)
4. Nervus V (Trigeminus)
Sensibilitas wajah : Normal
Menggigit : Normal
Mengunyah : Normal
Membuka Mulut : Normal
Reflek Kornea : (+/+)
5. Nervus VII (Facial)
Kedipan mata : Simetris
Lipatan Nasolabial : simetris
Sudut Mulut : simetris
Mengerutkan dahi : Simetris
Mengerutkan alis : Simetris
Menutup mata : Normal
Menggembungkan pipi : Normal
Pengecap 2/3 lidah : tidak dilakukan
6. Nervus VIII (Vestibulokokhlearis)
Dengar suara berbisik : Normal
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan
7. Nervus IX (Glossofaringeus)
Pengecap 1/3 lidah : tidak dilakukan
Sensibilitas faring : tidak dilakukan
8. Nervus X (Vagus)
16

Arkus Faring : Normal


Berbicara : Normal
Menelan : Normal
9. Nervus XI (Aksesorius)
Memalingkan kepala : Normal
Mengangkat bahu : Normal
10. Nervus XII (Hipoglosus)
Menjulurkan lidah : Normal
Tremor lidah : Normal
Atrofi lidah : Normal
Fasikulasi : Normal
Artikulasi : Normal
Motorik
Sulit
5555
dievalusi

5555 5555

Reflek Fisiologis
+2 +2

+2 +2

Reflek Patologis

-
-

- -

Hoffman-Tromner : (-/-)
Babinski : (-/-)
17

Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Scuffner : (-/-)
Openheim : (-/-)
Sensorik
Nyeri : (+/+)
Suhu : (+)
Raba : (+/-)
Rasa sikap : Normal
Koordinasi Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dievaluasi
Tes Romberg : Tidak dievaluasi
Ataksia : Tidak dievaluasi
Rebound Phenomen : Tidak dievaluasi
Dismetri : Tidak dievaluasi
A CKR GCS 15 + fr. os nasal
P – IVFD Asering 20 ggt/i
– Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
– Inj. Citicoline 250 mg /12 jam
– Inj. OMZ 1 vial/12 jam
– Inj. Dexametason 1 amp/12 jam
– Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
– Inj. Kalnex 1 amp/8 jam

Oral
– Vastigo 2x1
– Capcam 2x1 (PCT 300 mg)
– Syr. Vectin 3x1
18

Tanggal 03 Juni 2021

S Nyeri pada hidung berkurang dan tidak ada keluar darah dari
hidung lagi. Bahu sudah dapat digerakkan meski terbatas
dan batuk berdarah sudah membaik.
O BP: 130/90 mmHg
HR: 75 x/i
RR: 18 x/i
SpO2: 97%
Status Generalis: Deviasi septum nasal ke arah dextra
Vulnus excoriasi a/r shoulder (s)
Status Neurologis:
GCS : E4 V5 M6
Pupil : Isokor, RCL (+/+) dan RCTL (+/+)
Tanda Rangsang Menings
– Kaku kuduk (-)
– Kernig sign (-)
– Laseuge sign (-)
– Brudzinki I (-)
– Brudzinki 2 (-)
Nervus Cranialis
1. Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Normosmia
2. Nervus II (Nervus Optikus)
Ketajaman penglihatan : 1/60
Lapang pandang penglihatan : Normal
Melihat Warna : Normal
3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trockhealis,
Abducens)
19

- Celah kelopak mata : Ptosis (-/-)


Exoftalmus (-/-)
Nistagmus (-/-)
- Pupil
Bentuk/ukuran : Bulat, (2/2)
Isokor/Anisokor :Isokor/Isokor
RC/RCTL : (+/+)
- Gerakan Bola Mata : Paresis (-/-)
4. Nervus V (Trigeminus)
Sensibilitas wajah : Normal
Menggigit : Normal
Mengunyah : Normal
Membuka Mulut : Normal
Reflek Kornea : (+/+)
5. Nervus VII (Facial)
Kedipan mata : Simetris
Lipatan Nasolabial : simetris
Sudut Mulut : simetris
Mengerutkan dahi : Simetris
Mengerutkan alis : Simetris
Menutup mata : Normal
Menggembungkan pipi : Normal
Pengecap 2/3 lidah : tidak dilakukan
6. Nervus VIII (Vestibulokokhlearis)
Dengar suara berbisik : Normal
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan
7. Nervus IX (Glossofaringeus)
Pengecap 1/3 lidah : tidak dilakukan
Sensibilitas faring : tidak dilakukan
8. Nervus X (Vagus)
20

Arkus Faring : Normal


Berbicara : Normal
Menelan : Normal
9. Nervus XI (Aksesorius)
Memalingkan kepala : Normal
Mengangkat bahu : Normal
10. Nervus XII (Hipoglosus)
Menjulurkan lidah : Normal
Tremor lidah : Normal
Atrofi lidah : Normal
Fasikulasi : Normal
Artikulasi : Normal
Motorik
Sulit
5555
dievalusi

5555 5555

Reflek Fisiologis
+2 +2

+2 +2

Reflek Patologis

-
-

- -

Hoffman-Tromner : (-/-)
Babinski : (-/-)
21

Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Scuffner : (-/-)
Openheim : (-/-)
Sensorik
Nyeri : (+/+)
Suhu : (+)
Raba : (+)
Rasa sikap : Normal
Koordinasi Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dievaluasi
Tes Romberg : Tidak dievaluasi
Ataksia : Tidak dievaluasi
Rebound Phenomen : Tidak dievaluasi
Dismetri : Tidak dievaluasi
A CKR GCS 15 + Fr. os nasal
P PBJ
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (2).
Cedera kepala biasanya mengacu pada cedera otak traumatis, tapi memiliki
kategori yang lebih luas karena dapat melibatkan kerusakan struktur selain otak,
seperti kulit kepala dan tengkorak. "Decade of the Brain" melihat kemajuan yang
dibuat dalam penelitian tentang otak dan perumusan pedoman standar untuk
pengobatan cedera otak traumatis. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai
kerusakan otak akibat kekuatan mekanik eksternal, seperti akselerasi cepat atau
deselerasi, dampak, gelombang ledakan atau penetrasi oleh proyektil. cedera kepala
jangka dan cedera otak sering digunakan secara bergantian (8).

3.2 Anatomi Kepala

3.2.1 Kulit kepala


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu (9):
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium

22
23

Gambar 1 lapisan kulit kepala (SCALP)

3.2.2 Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua

bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah

yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas

yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada

permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan

otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar

tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya

dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (10).


24

Gambar 2 Tengkorak

3.2.3 Meningens
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meninges yang melindungi
struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah, dan sekresi cairan, yaitu
cairan serebrospinal yang akan melindungi dari benturan atau goncangan.
Meninges terdiri atas dura mater, araknoidea mater, dan pia mater (10).
1. Dura mater
Berbentuk padat dan keras, terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang
melapisi tengkorak, dan lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar,
kecuali pada bagian tertentu, di mana sinus-venus terbentuk, dan di mana dura
mater membentuk bagian-bagian berikut: Falx serebri yang terletak di antara
kedua hemisfer otak. Tepi atas falx serebri membentuk sinus longitudinalis
inferior atau sinus sagitalis inferior yang menyalurkan darah keluar falx
serebri. Tentorium Serebeli memisahkan serebelum dari serebrum (10).
2. Araknoidea mater
Di sebelah dalam dura mater. Membentuk jembatan di atas sulki dan fisura
otak. Rongga subaraknoidea berisi liquor serebrospinalis.
25

3. Pia mater
Mengikuti kontur otak, mengisi sulki

Gambar 3 Lapisan meninges


3.2.4 Otak

Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
kendali dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak
terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat
terdiri dari otak besar (10).
1. Otak besar (cerebrum)
Bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi penuh
bagian depan atas rongga tengkorak. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat
berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar,
melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya (11).
2. Otak kecil (cerebellum)
Terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan
oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan
dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah
26

untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot


ketika bergerak. Batang Otak (Trunkus serebri) terdiri dari (11):
 Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan
mensepalon. Diensefalon ini berfungsi sebagai vaso konstruksi
(memperkecil pembuluh darah), respiratori (membantu proses
pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan
jantung.
 Mensefalon
Berfungsi untuk sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat
kelopak mata, dan memutar mata.
 Pons varolli
Bagian tengah batang otak dan karena itu memiliki jalur lintas naik
dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut
yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum
dan menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.
 Medula oblongata
Bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan
pons varolli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki
fungsi yang sama dengan diensefalon.
3.2.5 Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus koroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii

menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke

dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula

spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.
27

3.3 Penyebab cedera kepala


Penyebab paling umum cedera kepala adalah sebagai berikut (12):
 Jatuh – 35,2%
 Cedera akibat kendaraan bermotor – 17,3%
 Tidak disengaja terbentur sesuatu – 16,5%
 Kekerasan - 10%
 Lainnya - 21%
Jatuh adalah penyebab paling umum cedera kepala, terutama terjadi pada
anak-anak yang sangat muda dan kelompok usia dewasa yang lebih tua. Jatuh
adalah penyebab utama kedua kematian pada cedera kepala yang paling sering
terjadi pada orang berusia di atas 65 tahun. Usia menentukan baik buruknya
prognosis, pada jenis cedera kepala manapun, dibandingkan karena penyebab
cedera tertentu (12).
Cedera yang berkaitan dengan kendaraan bermotor adalah penyebab utama
cedera kepala kedua, dan merupakan penyebab utama kematian terkait cedera
kepala. Cedera akibat kendaraan bermotor meliputi kendaraan bermotor, sepeda
motor, dan sepeda, serta pejalan kaki yang ditabrak kendaraan. Kematian paling
banyak terjadi pada orang berusia 20 sampai 24 tahun (12).
Karena tidak disengaja oleh atau terhadap suatu benda adalah penyebab
utama cedera kepala ketiga, namun lebih umum menyebabkan cedera kepala ringan
sampai sedang, dan angka kematian terkait adalah yang terendah dari penyebab
umum cedera kepala. Kelompok ini mencakup cedera yang disebabkan oleh tidak
disengaja atau dipukul oleh benda atau manusia, binatang, atau benda mati selain
kendaraan, dan karena itu mencakup luka-luka karena olahraga kontak atau
kegiatan rekreasi berisiko tinggi (12).
Penyerangan saat ini merupakan penyebab utama cedera kepala keempat
dan penyebab utama kematian terkait cedera kepala ketiga, dengan angka kematian
tertinggi pada kelompok usia 20 sampai 35 tahun. Senjata api adalah penyebab
kematian yang paling umum karena serangan (12).
28

3.4 Patofisiologi cedera kepala


Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar
otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur
tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal
dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan
cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga.
Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau
telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
29

mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak


otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan
refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf
V biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala,
misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan
salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang
didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma
sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma
pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena
benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini
kemudian berkembang menjadi aneurisma.
Kontusi adalah daerah yang berbeda dari jaringan otak yang membengkak.
Biasanya ditemukan di lobus frontal, bagian inferior lobus frontalis, korteks atas
dan di bawah operkulum pada sylvian fissures, dan bagian lateral dan inferior lobus
temporal. Perdarahan intrakranial adalah penyebab paling umum kematian dan
kemunduran klinis setelah cedera kepala. Hematoma dikategorikan sebagai berikut:
 Perdarahan epidural - Biasanya ini disebabkan oleh fraktur tulang temporal
dan ruptur arteri meningeal tengah. Pada perdarahan epidural, darah
bergumpal mengumpul di antara tulang dan dura. Karena sumber
perdarahannya bersifat arterial, perdarahan jenis ini bisa berkembang
dengan cepat dan menimbulkan tekanan terhadap jaringan otak.
 Perdarahan subdural - Perdarahan semacam itu biasanya disebabkan oleh
pecahnya bridging veins di ruang subdural. Dapat berkembang cukup besar
30

sebagai lesi massa, dan berhubungan dengan morbiditas dan tingkat


kematian yang tinggi.
 Perdarahan subaraknoid - Ini akibat kerusakan pembuluh darah di batang
fossa posterior.
Cedera aksonal difusi (Diffuse Axonal Injury/DAI) adalah salah satu
patologis cedera kepala yang paling umum dan penting. Ini merupakan kerusakan
mikroskopis, dan seringkali tidak terlihat pada pemeriksaan pencitraan (imaging).
Kekuatan mekanik utama yang menyebabkan DAI adalah percepatan rotasi otak,
sehingga pergerakan kepala tidak terbatas. Percepatan rotasi menghasilkan gaya
geser dan tarik, dan akson dapat ditarik terpisah pada tingkat mikroskopis. Evaluasi
mikroskopik pada jaringan otak sering menunjukkan akson yang bengkak dan
terputus. Peregangan akson yang cepat dianggap merusak sitoskeleton aksonal dan
oleh karena itu, mengganggu fungsi neuron normal.
Cedera sekunder dapat terjadi berjam-jam atau bahkan berhari-hari setelah
kejadian cedera yang mendahuluinya. Cedera bisa terjadi akibat penurunan lokal
aliran darah serebral (Cerebral Blood Flow/CBF) setelah cedera kepala. Penurunan
CBF adalah hasil akibat edema lokal, perdarahan, atau peningkatan tekanan
intrakranial (Intracranial Pressure/ICP). Sebagai hasil dari perfusi yang tidak
memadai, pompa ion seluler mungkin gagal, menyebabkan kaskade melibatkan
kalsium intraseluler dan natrium. Kelebihan kalsium dan natrium yang dihasilkan
dapat menyebabkan kerusakan sel. Pelepasan asam amino yang terangsang
berlebihan, seperti glutamat dan aspartat, memperburuk kegagalan pompa ion. Saat
kaskade berlanjut, sel mati, menyebabkan pembentukan radikal bebas, proteolisis,
dan peroksidasi lipid. Faktor-faktor ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
neuron.
31

Gambar 4 Patofisiologi cedera kepala


32

3.5 Klasifikasi cedera kepala


3.5.1 Berdasarkan tingkat keparahan klinis
Glasgow Coma Scale (GCS) telah digunakan secara umum untuk
mengklasifikasikan cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan dan prognosis
(13) (14):

Gambar 5 Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan SKG

3.5.2 Berdasarkan etiologi


a. Cedera kepala tumpul: Terjadi ketika kekuatan mekanik eksternal
menyebabkan percepatan atau perlambatan yang berdampak pada otak. Hal
ini biasanya ditemukan dalam cedera akibat kendaraan bermotor, jatuh,
luka bakar, atau alterasi fisik.
b. Cedera kepala penetrasi terjadi saat sebuah benda menembus tengkorak dan
melukai dura mater, yang biasanya terlihat pada luka tembak dan tusukan.
c. Cedera kepala ledak umumnya terjadi setelah pengeboman dan
peperangan, karena kombinasi antara gaya kontak dan inersia, tekanan
berlebih, dan gelombang akustik.

3.5.3 Berdasarkan keterlibatan


Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan area yang terlibat, seperti
dalam diffuse atau focal, walaupun 2 jenis ini sering disamakan.
33

1. Cedera kepala yang meliputi cedera aksonal difus (DAI), cedera otak
hipoksia, edema serebral difus, atau cedera vaskular yang menyebar.
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda Klinis (14):
 koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma)
 disfungsi saraf otonom
 demam tinggi
Penunjang Diagnostik :
 CT Scan otak : awal - normal, tidak ada tanda adanya
perdarahan, edema, kontusio
 ulangan setelah 24 jam - edema otak luas
2. Cedera fokal meliputi lesi spesifik seperti kontusi, haematoma
intrakranial, infark, axonal tears, evakuasi saraf kranial, dan fraktur
tengkorak.

3.5.4 Berdasarkan perkembangan cedera


1) Cedera primer
Disebabkan oleh kekuatan mekanik langsung, apakah tumpul,
tembus, atau meledak, dan termasuk berikut ini:
 Fraktur tulang tengkorak
 Kontusi (memar/berdarah pada otak) yang dapat
menyebabkan perdarahan (pembekuan darah di lapisan
meningeal atau struktur kortikal / subkortikal akibat trauma),
 Gegar otak (cedera kecepatan rendah yang mengakibatkan
defisit fungsional tanpa cedera patologis)
 Laserasi (di jaringan otak atau pembuluh darah otak),
 Cedera aksonal difus (gaya geser traumatis yang
menyebabkan robeknya serabut saraf di sepanjang gray
matter).
Cedera primer dapat disebabkan oleh cedera tembus (open-head)
atau cedera yang tidak menentu (close-head). Cedera tembus (open)
34

melibatkan luka terbuka kepala karena benda asing (mis., peluru). Hal ini
biasanya ditandai dengan kerusakan fokal yang terjadi di sepanjang rute
yang telah dilalui benda tersebut di otak yang mencakup tengkorak
retak/perforasi, robeknya meninges, dan kerusakan pada jaringan otak.
Cedera nonpenetrasi (closed-head) ditandai dengan kerusakan otak
akibat dampak tidak langsung tanpa masuknya benda asing ke otak.
Tengkorak itu mungkin tidak rusak, tapi tidak ada penetrasi meninges.
Cedera yang tidak menentu terdiri dari dua jenis:
 Cedera akselerasi-disebabkan oleh pergerakan otak di
dalam kepala yang tidak terkendali (misalnya cedera
pukulan). Jika kekuatan yang mempengaruhi kepala cukup
kuat, hal itu dapat menyebabkan kontusi pada tempat
benturan dan sisi berlawanan tengkorak, menyebabkan
kontusi tambahan (cedera coup-contrecoup).
 Cedera non-akselerasi disebabkan oleh cedera pada kepala
yang tertahan dan, oleh karena itu, tidak ada akselerasi atau
perlambatan otak yang terjadi di dalam tengkorak. Ini
biasanya mengakibatkan deformasi (patah tulang)
tengkorak, menyebabkan kerusakan lokal terpusat pada
meninges dan otak.
2) Cedera sekunder
Mengacu pada konsekuensi patofisiologis yang berkembang dari cedera
primer dan mencakup banyak kaskade neurobiologis kompleks yang
diubah atau dimulai pada tingkat sel setelah cedera primer, dan termasuk
berikut ini (Haydel, 2016):
 Iiskemia (aliran darah tidak mencukupi);
 hipoksia (kekurangan oksigen di otak);
 hipotensi / hipertensi (tekanan darah rendah / tinggi);
 edema serebral (pembengkakan otak);
35

 tekanan intrakranial meningkat (tekanan meningkat di dalam


tengkorak), yang dapat menyebabkan herniasi (bagian otak
tergusur);
 hiperkapnia (kadar karbon dioksida yang berlebihan dalam darah);
 meningitis (infeksi pada lapisan meningeal) dan abses otak;
 perubahan biokimia (perubahan kadar neurotransmitter, sodium,
potasium, dll);
 epilepsi

3.6 Diagnosis cedera kepala


3.6.1 Anamnesa
Setelah resusitasi awal dan penanganan ABCD (Airway, Breathing,
Circulation, Disability), menanyakan riwayat pasien harus dilakukan pada setiap
pasien dengan cedera kepala atau penyebab status mental yang tidak diketahui.
Penjelasan rinci tentang kejadian cedera harus diminta dari pasien, anggota
keluarga, penolong pertama, atau polisi. Saksi atau individu yang mengetahui
pasien mungkin sangat membantu dalam memastikan rincian kejadian dan
lingkungan saat cedera. Penting untuk membuat diagnosis banding agar tidak
membuat kesalahan diagnosa pasti. Riwayat pasien harus mencakup hal berikut:
 Mekanisme cedera dan deskripsi mendetail tentang cedera
 Kehilangan kesadaran, amnesia, lucid periods
 Kejang, kebingungan, penurunan dalam status mental
 Muntah atau sakit kepala
 Penggunaan narkoba atau alkohol
 Keracunan : terbukti meningkatkan kejadian cedera
intrakranial yang terdeteksi pada CT
 Kronis: berhubungan dengan atrofi serebral, diperkirakan
dapat meningkatkan risiko pemecahan bridging vein
 Riwayat medis sebelumnya, termasuk operasi SSP, trauma kepala masa
lalu, hemofilia, atau kejang
 Pengobatan saat ini termasuk antikoagulan
36

 Usia: cedera kepala di usia yang lebih tua memiliki hasil yang lebih buruk
di semua subkelompok.
3.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan setelah ABCD awal
ditangani:
1. Nilai GCS dan pemeriksaan pupil harus dilakukan setiap 15 menit sampai
pasien stabil, untuk segera mengidentifikasi penurunan fungsi neurologis.
2. Kepala dan leher
 Pemeriksaan defisit saraf kranial, ekimosis periorbital atau
postaurikular, rhinorrhoea CSF atau otorrhoea, haemotympanum
(tanda-tanda fraktur basis kranii)
 Pemeriksaan fundoskopik untuk perdarahan retina (tanda abuse) dan
papilloedema (tanda peningkatan ICP) (15).
 Palpasi kulit kepala untuk hematoma, krepitasi, laserasi, dan
deformitas tulang (penanda fraktur tengkorak)
 Auskultasi untuk bruit karotid (tanda diseksi karotid)
 Evaluasi untuk nyeri leher rahim, parestesia, inkontinensia,
kelemahan ekstremitas, priapisme (tanda-tanda cedera tulang
belakang)
 Benda asing yang jelas atau objek yang tertusuk tidak boleh dilepas
sampai dura dibuka di ruang operasi dan prosedurnya dapat
dilakukan dengan visualisasi langsung.
 Status kardiovaskular memerlukan pemeriksaan jantung selanjutnya
dan pemantauan tekanan darah. Setiap episode hipotensi harus
segera ditangani.
 Status pernafasan memerlukan puls oksimetri terus menerus dan
pada pasien intubasi, capnografi CO2 end-tidal berkelanjutan.
Setiap episode hipoksia harus segera ditangani.
 Ekstremitas harus dilakukan pemeriksaan motor dan sensorik (untuk
tanda-tanda cedera tulang belakang).
37

Gambar 6 Tanda cedera kepala


Penilaian klinis umum dan neurologis, yaitu (14):
1. Penilaian Kesadaran berdasarkan skala koma Glasgow (SKG)
2. Penilaian fungsi vital tensi, nadi, pernafasan
3. Otorrhea, Rhinorrhea
4. Ecchymosis periorbital bilateral I Eyes/ hematoma kaca mata
5. Ecchymosis mastoid bilateral I Battles Sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik : lateralisasi. kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak:
10. Ukuran besar, bentuk, isokor I anisokor & reaksi pupil
11. Refleks kornea
12. Dolls eye phenomen
13. Monitor pola pernafasan:
o cheyne stokes : lesi di hemisfer
o central neurogenic hyperventilation : lesi di mesensefalon – pons
o apneustic breath : lesi di pons
o ataxic breath : lesi di medulla oblongata
14. Gangguan fungsi otonom
38

15. Funduskopi
HEMATOMA EPIDURAL, yaitu (14):
 Perdarahan yang terjadi diantara tabula intema-duramater
 Hematom massif, akibat pecahnya a.meningea media atau sinus
venosus
 Tanda Diagnostik Klinik :
1. Lucid interval ( +)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late Hemiparese kontralaterallesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky ( +) kontralaterallesi
6. Fraktur di daerah temporal
HEMATOMA EPIDURAL DI FOSSA POSTERIOR:
Gejala dan Tanda Klinis :
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum ,batang otak dan pemafasan
5. Pupil isokor
Penunjang Diagnostik : CT Scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di
tulang tengkorak dan dura, umurnnya di daerah temporal, dan tampak
bikonveks
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater - arakhnoid, akibat robeknya
"bridging vein" (vena jembatan)
Jenis
1. Akut Interval Lucid 0-5hari
2. Subakut Interval Lucid 5 hari - bbrp minggu
3. Kronik Interval Lucid > 3 bulan
39

Hematoma Subdural Akut


Gejala dan tanda klinis :
 sakit kepala kesadaran menurun +/ -
 Penunjang Diagnostik : CT Scan otak : gambaran hiperdens
(perdarahan) diantara duramater dan araknoid, umumnya karena
robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit
HEMATOMINTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkhim otak, disebabkan karena pecahnya arteri
infraserebral mono atau- multiple
FRAKTUR BASIS KRANII:
1. Anterior
Gejala dan tanda klinis :
 keluarnya cqiran likuor melalui hidung/rhinorea
 perdarahan \ilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
 anosmia
2. Media
Gejala dan tanda klinis : keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
 bilateral mastoid ecchymosis/Battles sign
Penunjang diagnostik : Memastikan cairan
serebrospinal secara sederhana dengan tes halo
 Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50% +)
(high resolution and thin section)

PERDARAHAN SUBARAKHNOID TRAUMATIKA


Gejala dan tanda Klinis :
 Kaku kuduk
 Nyeri kepala
 Bisa didapati gangguan kesadaran
40

 Penunjang diagnosis : CT Scan otak: perdarahan


(hiperdens) di ruang subaraknoid

3.6.3 GCS dan pemeriksaan pupil

GCS banyak digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada pasien cedera

kepala, dan memberikan informasi prognostik yang cukup baik (bila skor sangat

rendah atau sangat tinggi) yang memungkinkan dokter merencanakan persyaratan

diagnostik dan pemantauan yang diharapkan. Skor 13 sampai 15 dikaitkan dengan

hasil yang baik, meskipun tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan cedera

intrakranial. Skor <9 dikaitkan dengan penurunan klinis dan hasil buruk.

Pemantauan nilai GCS memberikan peringatan klinis yang akan menurun. GCS

memiliki 3 komponen: respon mata terbaik (E), respon verbal terbaik (V), dan

respon motorik terbaik (M). Skor untuk setiap komponen harus dicatat secara

terpisah (misalnya, GCS 10 = E3 V4 M3).

Refleks pupil berfungsi sebagai indikasi patologi dan keparahan cedera


yang mendasarinya, dan harus dipantau secara lanjut. Pemeriksaan pupil dapat
dinilai pada pasien yang tidak sadar atau pada pasien yang menerima penghambat
neuromuskular atau sedasi. Pupil harus diperiksa untuk melihat ukuran, simetri,
refleks cahaya langsung/konsensual, dan durasi pelebaran/fiksasi. Refleks pupil
yang abnormal dapat menyebabkan herniasi atau cedera batang otak. Trauma
orbital, agen farmakologis, atau trauma saraf kranial III dapat menyebabkan
perubahan pupil tanpa adanya peningkatan ICP, patologi batang otak, atau herniasi.
 Ukuran pupil:
 Diameter normal pupil antara 2 dan 5 mm, dan meskipun
kedua pupil harus sama dalam ukuran, selisih 1 mm dianggap
varian normal.
 Ukuran abnormal disebut anisokor yang diartikan sebagai
perbedaan >1 mm antara pupil lainnya.
41

 Simetri pupil:
 Pupil normal bulat, tapi bisa tidak teratur karena operasi
mata.
 Simetri abnormal dapat terjadi akibat kompresi saraf kranial
III yang dapat menyebabkan pupil pada awalnya menjadi
oval sebelum menjadi melebar dan tetap.
 Refleks cahaya langsung:
 Pupil normal mengecil dengan cepat terhadap cahaya, tapi
mungkin kurang respon karena obat mata.
 Refleks cahaya yang tidak normal dapat terlihat pada respons
pupil lesu yang terkait dengan peningkatan ICP. Pupil tetap
non-reaktif memiliki respon <1 mm terhadap cahaya terang
dan dikaitkan dengan ICP yang sangat meningkat.
GCS dan penilaian pupil dapat dipercaya pada pasien dengan hemodinamik
yang stabil tanpa hipoksia atau hipotensi karena hal ini dapat mengubah
pemeriksaan klinis pasien.

3.7 Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dasar harus mencakup:

 FBC termasuk trombosit


 Serum elektrolit dan urea
 Serum glukosa
 Status koagulasi: PT, INR, actived PTT
 Tingkat alkohol darah dan skrining toksikologi jika diindikasikan
 Analisa urin

Gas darah arteri biasanya tidak diindikasikan di cedera kepala, karena

mengamankan jalan napas didasarkan pada temuan klinis dan perkiraan rawat inap

di rumah sakit. Seorang pasien dengan GCS <8 atau pasien dengan cedera kepala

yang tidak bernafas secara spontan, tidak dapat mempertahankan jalan nafas
42

terbuka, atau tidak dapat mempertahankan > 90% saturasi oksigen dengan oksigen

tambahan pasti memerlukan jalan napas.

3.8 Pencitraan
CT scan yang tidak kontras (computed tomography) adalah pencitraan
pilihan untuk pasien dengan cedera kepala dan dugaan cedera intrakranial; Ini
mampu mendeteksi sebagian besar cedera klinis yang penting dan dapat membantu
dalam manajemen medis dan bedah cedera kepala. Rekomendasi konsensus dari
American College of Radiology terus mendukung penggunaan CT sebagai modal
pencitraan lini pertama pada pasien cedera kepala (16). Temuan CT berikut terkait
dengan hasil yang buruk pada cedera kepala: pergeseran garis tengah, perdarahan
subaraknoid, atau kompresi/hilang, basal sisterna. MRI dianjurkan saat gambaran
klinis masih belum jelas setelah CT, untuk mengidentifikasi lesi yang lebih halus,
seperti yang ditemukan pada cedera aksonal difus (DAI). CT langsung ditunjukkan
pada semua pasien cedera kepala yang mengalami luka tembus; Dicurigai basilar,
depresi, atau fraktur terbuka; GCS <13; atau defisit neurologis fokal.

3.9 Komplikasi cedera kepala


1. Posttraumatic seizures: sering terjadi setelah cedera kepala sedang atau
berat
2. Hidrosefalus
3. Trombosis vena dalam: Insiden setinggi 54%
4. Pengerasan heterogen: Insidensi 11-76%, dengan kejadian pengerasan
heterotopik 10-20%
5. Spastisitas
6. Komplikasi gastrointestinal dan genitourinari: paling umum pada pasien
cedera kepala
7. Kelainan gaya berjalan
8. Agitasi: biasa setelah cedera kepala
9. Ensefalopati traumatik kronis (CTE)
43

Kelainan fisik, kognitif, dan perilaku jangka panjang adalah faktor yang
paling sering membatasi pasien bersosialisasi kembali dengan masyarakat dan pada
saat bekerja kembali. Yang meliputi:
1. Insomnia
2. Penurunan kognitif
3. Sakit kepala posttraumatic: Sakit kepala tipe tegang adalah bentuk yang
paling umum, namun serangan sakit kepala seperti migrain juga sering
terjadi.
4. Depresi post trauma: Depresi setelah cedera kepala dikaitkan lebih
lanjut dengan penurunan kognitif, gangguan kecemasan,
penyalahgunaan zat, pengaturan ekspresi emosional yang salah, dan
agresif berlebihan

3.10 Prognosis cedera kepala


Menentukan prognosis pasien setelah cedera kepala tetap sulit dan
kompleks. Heterogenitas status kesehatan premorbid pasien, sifat dan tingkat
keparahan cedera, interval dari cedera pada perawatan awal, intervensi akut, dan
perbedaan tindak lanjut membuat kesulitan dalam mengembangkan sistem
penilaian sederhana dan akurat. Brown dan rekannya menemukan variabel berikut
untuk memprediksi hasil :
 Skor GCS awal
 Jangka waktu PTA
 Amnesia
 Jenis kelamin
 Usia

3.11 Penanganan cedera kepala


1. Cedera kepala ringan
Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15.
Terdiri atas :
a. Simple head injury
44

 Tidak ada penurunan kesadaran


 Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
 Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit
 Amnesia retrograde
 Pusing, sakit kepala, muntah
 Tidak ada defisit neurologis

Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
 Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan
suction, pasang NGT
 Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
 Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi
sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
 Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum
melakukan tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical,
maka tindakan yang dilakukan adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa
ditambah dengan tranfusi darah (whole blood). Pasang kateter untuk
memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan
kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika
ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak. Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
45

6. CTscan kepala. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala,
kecuali pada pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi

Kriteria rawat:
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal (adanya fraktur, perdarahan)
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah)
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang
setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti:
 Mengantuk dan sukar dibangunkan
 Mual dan muntah hebat
 Kejang
 Nyeri kepala bertambah hebat
 Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
 Gelisah
8. Terapi simtomatik

2. Cedera kepala sedang


Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti
perintah sederhana (GCS 9 – 12). Walau dapat mengikuti perintah, namun
dapat memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti
halnya pasien cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu
akut. Penanganannya sama seperti pada cedera kepala ringan ditambah
dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi membaik,pasien boleh pulang dan
46

kontrol di poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang apabila kesadaran pasien


tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk di observasi.

3. Cedera kepala berat

Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana


karena adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi:
a. Contusio cerebri
 Pingsan > 10 menit
 Kegelisahan motorik
 Sakit kepala, muntah
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Penangan kasus ini mencakup:
 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada
cedera kepala ringan.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera
atau gangguan di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex
cahaya pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo
sefalik ( Doll’s eye ).
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
 Rawat selama 7 – 10 hari.
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

Indikasi operasi
47

Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
 Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial
 Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial
 Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
 Tanda fokal neurologis semakin berat
 Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala
hebat, muntah proyektil)
 Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai
lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan
ulang

INDIKASI OPERAS! PENDERITA TRAUMA KAPITIS (14):


1. EDH (epidural hematoma)
a. > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal
dengan fungsi batang otak masih baik.
b. > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tandatanda penekanan batang
otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
c. EDH progresif.
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.
2. SOH (subdural hematoma)
a. SDH luas (> 40 cc I > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih
baik.
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan
fungsi batang otak masih baik.
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Indikasi operasi ICH pasca trauma:
a. Penurunan kesadaran progresif.
48

b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing


reflex).·
c. Perburukan defisit neurologi fokal.
4. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe.
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial).
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan
operasi dekompresi.

KASUS RINGAN (Simple Head Injury)


1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan luka luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama di rumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
 Pasien cenderung mengantuk
 Sakit kepala yang semangkin berat
 Muntah proyektil maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit.
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
 Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
 Sakit kepala dan muntah
 Tidak ada yang mengawasi di rumah
 Letak rumah jauh atau sulit utk kembali ke RS

KONSENSUS DI RUANG RAWAT


Pelayanan medis: Tujuan yang paling utama dari tata laksana trauma kapitis
tertutup harus maksimal terhadap proses fisiologis dari perbaikan otak itu sendiri
(14).
A. KRITIKAL- SKG 3 - 4
Perawatan di Unit IntensifNeurologi (Neurological ICU)/ICU (bila fasilitas
tersedia)
B. TRAUMA KAPITIS SEDANG DAN BERAT- SKG 5- 12
49

1. Lanjutkan penanganan ABC


2. Pantau tanda vital ( suhu, pernafasan, tekanan darah ), pupil, SKG, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar
 pantauan dilakukan tiap 4 jam lama pantauan sampai pasien
mencapai SKG 15
Perhatian khusus harus diberikan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) memperlihatkan bahwa hipotensi
pada pasien dengan trauma kranioserebral berat akan meningkatkan angka
kematian dari 27% menjadi 50%(14). Tatalaksana tradisional yang meliputi
pembatasan cairan dalam mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan akan
membahayakan pasien, terutama pada pasien yang telah mengalami banyak
kehilangan cairan (misalnya perdarahan).
Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut :
- Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
- Suhu > 38 derajat Celcius
- Frekuensi nafas > 20 x I menit
3. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, dengan cara : Posisi
kepala ditinggikan 30 derajat. Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% (hati-
hati kontraindikasi). Dosis awal 1 gr I kg BB, berikan dalam waktu 1/2 - 1 jam,
drip cepat , dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr I kg BB drip cepat, Yz
- 1 jam, stlh 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 gr I kg BB drip cepat, Yz
- 1 jam setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama Berikan analgetika,
dan hila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek.
4. Atasi komplikasi :
 kejang : profilaksis OAE selama 7 hari utk mencegah immediate dan
early seizure pada kasus risiko tinggi
 infeksi akibat fraktur basis kranii/fraktur terbuka : profilaksis
antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial, selama l0 - 14 hari.
 gastrointestinal - perdarahan lambung
 demam DIC: pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung·
mengalami koagulopati akut.
50

5. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat


6. Roboransia, neuroprotektan, nootropik sesuai indikasi.

C. TRAUMA KAPITIS RINGAN (KOMOSIO SEREBRI)


1. Di rawat 2 x 24 jam
2. Tidur dengan posisi kepala ditinggikan 30 derajat
3. Obat-obat simptomatis seperti analgetik, anti emetik, dan lain-lain sesuai
indikasi dan kebutuhan
BAB 4
PEMBAHASAN

Laki-laki, 21 tahun datang ke IGD RSUCM Aceh Utara dengan keluhan

keluar darah dari hidung terus-menerus dan keluar darah dari mulut pada saat batuk.

Keluhan ini muncul setelah sadar dari pingsan selama 15 menit di PKM Lhoksukon

post kecelakaaan lalu lintas dengan sepeda motor. Posisi pasien terjatuh yaitu

terlungkup dengan menggunakan helm. Pasien juga mengeluhkan dada terasa sesak

saat posisi tidur terlentang dan berkurang saat posisi tidur setengah duduk. Mual,

muntah dan nyeri pada kepala disangkal oleh pasien. Pasien merupakan rujukan

dari PKM Lhoksukon, setelah dilakukan primary survey melalui instalasi gawat

darurat di RSUCM Aceh utara, pasien direncakan untuk dirawat dan akan dilakukan

pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan kepala serta terapi lanjut untuk

mengetahui penyebab dan mengurangi keluhan perdarahan.

Cedera pada bagian kepala dapat dicurigai jika memiliki tanda klinis seperti

scalp wound, patah tulang diwajah, bengkak dan memar diwajah, penurunan

kesadaran, nasal discharge dan kaku kuduk. Kesadaran ditentukan oleh interaksi

kontinu antara fungsi korteks serebri (kualitas) dengan Ascending Reticular

Activating System (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian

atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris

dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks

serebri. ARAS bertindak sebagai suatu tombol off-on, untuk menjaga korteks

serebri tetap sadar (awake). Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi

dua, yakni gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan

51
52

gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang

dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi

supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya

kesadaran. Perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien dengan gangguan

kesadaran antara lain pada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu gangguan pernafasan,

kerusakan mobilitas fisik, gangguan hidrasi, gangguan aktifitas menelan,

kemampuan berkomunikasi, gangguan eliminasi. Periode hilangnya kesadaran

sesaat berarti hilangnya kesadaran intermiten dan muncul secara mendadak dari

pasien yang sebelumnya telah sadar penuh. Hal ini disebabkan penurunan aliran

darah ke otak secara akut (syncope) ataupun gangguan aktivitas elektrik pada otak.

Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.

Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,

jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar

otak. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat

menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau

telinga). Pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a.

karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga.

Pemeriksaan untuk menunjang keluhan berupa CT-Scan kepala dengan

tujuan untuk mencari asal dari perdarahan apakah berasal dari struktur tengkorak

(kepala). Setelah diperiksa, didapatkan kesan fraktur pada nasal dan struktur

dikepala dalam batas normal. Hal ini dapat disebabkan dari posisi jatuh pasien

berdasarkan alonamnesa yaitu terlungkup tanpa diketahui jarak terhempas dari

sepeda motor. Keluarnya darah dari hidung bisa diakibatkan oleh terkenanya
53

pembuluh darah di sekitar hidung yaitu a. ethmoidale anterior dan plexus

kiesselbach. Darah yang keluar saat batuk dapat berasal dari robeknya pembuluh

darah di bagian posterior rongga hidung yaitu a. etmoidale posterior. Berdasarkan

anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosa kerja pasien yaitu cedera kepala ringan dengan Fr. Nasal. Cedera

kepala ringan (CKR) dinilai berdasarkan penilaian tingkat kesadaran serta hasil CT-

Scan dengan tanpa lesi di struktur dan jaringan kepala. Prognosis dapat dinilai

berdasarkan Skor GCS awal, jangka waktu PTA (Post-traumatic amnesia), jenis

kelamin dan usia. Cedera kepala ringan memiliki mortality rate sebesar 0,1%,

artinya dalam kasus ini berdasarkan segala pemeriksaan dan hasilnya memiliki

prognosis dubia ad bonam.


BAB 5
KESIMPULAN

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat


kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera pada bagian
kepala dapat dicurigai jika memiliki tanda klinis seperti scalp wound, patah tulang
diwajah, bengkak dan memar diwajah, penurunan kesadaran, nasal discharge dan
kaku kuduk. Tingkat keparahan klinis dapat dinilai berdasarkan tingkat kesadaran
dengan GCS. Diagnosa dan prognosis dapat ditegakkan dengan bantuan
pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan kepala.

54
55

DAFTAR PUSTAKA

1. Esther M, Maximillian, Limpeleh H. Gambaran Ct Scan Kepala Pada


Penderita Cedera Kepala Ringan Di Blu Rsup Prof . Dr . R . D . Kandou
Manado Periode 2012-2013. J e-Clinic. 2014;2(2002):1–6.

2. Langlois J, Rutland-Brown, Thomas K, Xi Y. Incidence of Traumatic Brain


Injury. United State: Head Trauma Rehabilitation; 2006.

3. Teasdale G, Jennett B. Assessment Of Coma And Impaired Consciousness:


A Practical Scale. The Lancet; 1974.

4. Lee JC, Rittenhouse K, Bupp K, Gross B, Rogers A, Rogers FB, et al. An


analysis of Brain Trauma Foundation traumatic brain injury guideline
compliance and patient outcome. Injury [Internet]. 2015; Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.injury.2014.12.023

5. Ristanto R, Prodi D, Poltekkes K, Soepraoen RS. Deskripsi klien cedera


kepala yang mengalami trauma mayor. J Kesehat Hesti Wira Sakti.
2015;31:48–54.

6. Cheristina. Hubungan Respon Time Tindakankeperawatandengan


Penanganan Cedera Kepala Kategori 1, 2, 3 Di Igd Rsu Sawerigading Kota
Palopo Tahun 2017. J Fenom Kesehat. 2018;01(01).

7. Nasution SH. Mild Head Injury. Medula. 2014;2:89–96.

8. Pushkarna A, Bhatoe HS, Sudambrekar SM. Head Injuries. Med J Armed


Forces India. 2010;321–4.

9. Faiz O, Moffat D. At A Glance Anatomi. 2004. 118-153 p.

10. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia;
2008. 43-55 p.

11. Irianto K. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis,. Jakarta:
Ayrama Widya; 2008.

12. Faul, M., Xu, L., Wald, M. M., Coronado VG. Traumatic brain injury in the
United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths.
Centers Dis Control Prev Natl Cent Inj Prev Control. 2010;891–904.

13. New South Wales Government. Initial Management of Closed Head Injury
in Adults 2nd Edition. In: 2nd ed. NSW Health; 2011. p. 1–175.

14. Perhimpunan Dokters Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional


Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI dan
56

Bagian Neurologi FKUI/RSCM; 2006.

15. Maguire SA, Watts PO, Shaw AD, Holden S, Taylor RH, Watkins WJ, et al.
Retinal haemorrhages and related findings in abusive and trauma : a
systematic review. Eye Nat Publ Gr [Internet]. 2012;27(1):28–36. Available
from: http://dx.doi.org/10.1038/eye.2012.213

16. American College of Radiology Appropriateness Criteria 2015. Head


trauma. ACR Appropriateness Criteria; 2015. p. 1–10.

Anda mungkin juga menyukai