Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara
Oleh:
Preseptor:
dr. M. Mimbar Topik, M.Ked (DV), Sp.DV
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
"Tinea Korporis Et Kruris Luas Pada Wanita 42 Tahun dengan Obesitas".
Penyusunan lapkas ini merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan tugas
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, dengan rasa
hormat dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. M. Mimbar Topik, M.Ked (DV), Sp.DV atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk
motivasi dan dukungan semangat.
Dengan kerendahan hati, saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan
kasus ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat mengharapkan banyak kritik dan
saran yang membangun dalam penyempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
Secara umum gambaran klasik lesi tinea korporis dan tinea kruris berupa
lesi anular dengan central clearing dan tepi eritema yang aktif. Lesi yang
berdekatan dapat bergabung memben tuk pola gyrata atau polisiklik. Penegakan
diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat
dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu Wood
pada spesies tertentu (2,4).
BAB 2
LAPORAN KASUS
Ny. N perempuan berusia 42 tahun, Suku Aceh, alamat Jl. Rajawali Dusun
Buket Rata dengan nomor RM 022132, datang ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Cut Meutia pada hari Kamis, 8 September 2022. Berdasarkan autoanamnesis
didapatkan keluhan utama berupa bercak kemerahan di kedua tangan, punggung,
perut, lipat paha, bokong serta kedua kaki yang disertai kulit bersisik dan rasa gatal
sejak satu minggu yang lalu. Awalnya hanya muncul bercak merah sebesar uang
logam pada lengan bawah tangan kiri pada satu tahun yang lalu. Bercak tersebut
lama kelamaan bertambah lebar dan meluas ke daerah perut, punggung, bokong,
pelipatan paha dan kaki. Bercak kemerahan tersebut dirasakan sangat gatal terutama
bila udara panas dan berkeringat. Hal ini dirasakan telah memberat satu minggu
terakhir ini. Sebelum bercak kemerahan melebar dan meluas, pasien mengaku
pernah berobat di puskesmas terdekat untuk mengobati keluhan awal yaitu bercak
merah dan gatal pada lengan kiri. Kemudian, diberi salep berwarna putih yang
dikemas dalam plastik klip, amoxicillin, paracetamol, cetirizine, vitamin c. Setelah
satu minggu mengkonsumsi obat-obatan tersebut pasien mengaku gatal berkurang
namun, bercak kemerahan mulai meluas sehingga, pasien membeli obat tanpa
anjuran dokter yaitu kanalti. Setelah mengkonsumi selama satu minggu, pasien
merasa hanya ada perubahan dalam nafsu makan yang meningkat, tidak ada
perubahan terkait keluhan bercaknya maka dari itu, memutuskan untuk berobat ke
poliklinik kulit dan kelamin RSUD Cut Meutia.
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan tidak rutin mengkonsumsi obat anti
hipertensi. Selain Amlodipin, dan obat-obatan diatas, pasien mengaku tidak
mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang lainnya. Keluhan serupa juga dialami
oleh ibu pasien yang berada satu rumah dan terjadi lebih awal jika dibandingkan
dengan pasien. Riwayat alergi pada pasien disangkal. Pasien memiliki hewan ternak
yaitu kambing di belakang rumah. Pasien memiliki kebiasaan menggunakan celana
berlapis, pasien tinggal dirumah dengan kebersihan dan ventilasi yang cukup.
Pasien sehari-hari mandi dua kali sehari dan jarang beraktifitas di luar rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran kompos mentis, frekuensi nadi 78 kali per menit, frekuensi nafas 18 kali
3
4
per menit, berat badan 72,3 kg, tinggi badan 152 cm dengan indeks massa tubuh
(IMT) 31,29 kg/𝑚2 kategori obesitas grade I. Status dermatologis tampak plak
berwarna kemerahan (eritema), annular yaitu dengan tepi lesi yang meninggi terdiri
dari papul milier eritem (pinggir yang aktif), berbatas tegas, ukuran ± Ø 3 – 15 cm,
dengan skuama halus pada permukaan lesi yang terdapat pada regio manus sinistra,
1/3 bagian atas dari regio antebrachialis dextra, regio antebrachialis sinistra, regio
brachialis dextra et sinistra, regio torakalis anterior et posterior, seluruh regio
abdomen, regio pubis, regio inguinalis dextra et sinistra, regio gluteal dextra et
sinistra, 1/3 bagian atas dan 1/3 bagian bawah dari regio femur dextra et sinistra,
regio cruris dextra et sinistra, dan regio pedis dextra et sinistra (generalisata/lesi
yang menyebar).
mg selama satu minggu. Pada pasien diberikan KIE tentang penyakit, penyebab
penyakit, faktor risiko timbulnya penyakit, cara minum dan pemakaian obat yang
benar, serta mungkin efek samping obat. Pasien disarankan untuk tidak
menggunakan pakaian yang ketat dan segera mengganti pakaian ketika berkeringat,
menjaga hieginitas tubuh dan kontrol kembali dua minggu kemudian.
Setelah dua minggu pengobatan, pasien mengalami perbaikan secara klinis
berupa rasa gatal yang berkurang, penipisan lesi, tidak ditemukan perluasan lesi
ataupun lesi baru. Hanya saja masih terdapat bercak kemerahan yang terlihat samar
pada regio femur dextra et sinistra. Pada pemeriksaan mikroskopik pada lokasi
sampel yang sama, masih ditemukan hifa dengan spora.
7
BAB 3
PEMBAHASAN
8
kortikosteroid jangka panjang (7). Pada kasus, pasien adalah perempuan dengan
berat badan berlebih, yang sering menggunakan celana berlapis. Pasien juga tinggal
di negara tropis yang beriklim panas, sehingga faktor kelembaban yang tinggi pada
kulit pasien. Faktor lain yaitu pertahanan tubuh yang menurun seiring dengan
pertambahan usia. Adanya penurunan metabolisme di usia ini dapat mengakibatkan
obesitas yang menghasilkan lipatan-lipatan pada beberapa bagian tubuh. Mengingat
pasien pada kasus ini masih termasuk usia produktif, jika ditambah dengan faktor
aktivitas yang menghasilkan keringat dan tidak diimbangi dengan kebersihan diri
maka akan menyebabkan peningkatan resiko terkena dermatofitosis (6). Meskipun
belum ada yang meneliti tentang persentase tingkat kekambuhan dermatofitosis
dengan obesitas, kegemukan (obesitas) yang dialami oleh Ny. N merupakan suatu
keadaan klinis yang perlu mendapatkan perhatian untuk intervensi. Mengingat
selain obesitas yang dialaminya dapat memicu timbulnya kekambuhan
dermatofitosis seperti tinea korporis, obesitas juga dapat mengakibatkan timbulnya
penyakit lain seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia maupun penyakit
jantung koroner (8).
Berdasarkan riwayat penggunaan obat, pasien dicurigai telah
mengkonsumsi obat topikal maupun sistemik yang mengandung kortikosteroid
sehingga menunjukkan penyebaran lesi dan perburukan infeksi pada kulit pasien
setelah mengkonsumsinya. Obat-obatan yang mengandung kortikosteroid dapat
dibagi menjadi golongan obat topikal/lokal (dioleskan pada permukaan tubuh) atau
sistemik (dikonsumsi lewat mulut atau suntikan). Steroid merupakan obat yang
dianggap dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit dengan efek yang sangat
cepat. Bila kita telisik lebih jauh, karena efek steroid yang dapat menurunkan reaksi
peradangan dengan cepat, hal yang menjadi dasar dari hampir seluruh proses
penyakit. Adanya peradangan dalam tubuh dapat dilihat dari berbagai gejala seperti
panas/demam (kalor), kemerahan/eritema (rubor), nyeri (dolor), bengkak (tumor),
maupun gangguan fungsi (functio laesa). Namun demikian, perlu diketahui bahwa
tidak semua penyakit dapat dan perlu diberikan steroid. Seperti pada pemberian
steroid topikal, efek utamanya terjadi karena dampaknya dalam menurunkan sistem
imun tubuh. Hal ini dapat menutupi gambaran infeksi jamur sehingga
memperlebar/memperluas infeksi jamur (9,10).
9
10
Pada kasus, dari anamnesis didapatkan keluhan utama gatal dan bercak
kemerahan sejak satu tahun terakhir pada regio manus sinistra, 1/3 bagian atas dari
regio antebrachialis dextra, regio antebrachialis sinistra, regio brachialis dextra et
sinistra, regio torakalis anterior et posterior, seluruh regio abdomen, regio pubis,
regio inguinal dextra et sinistra, regio gluteal dextra et sinistra, 1/3 bagian atas dan
1/3 bagian bawah dari regio femur dextra et sinistra, regio cruris dextra et sinistra,
dan regio pedis dextra et sinistra. Keluhan gatal dirasakan terutama saat pasien
berkeringat. Sesuai dengan kepustakaan bahwa hal ini merupakan daerah predileksi
serta keluhan pada penderita tinea korporis et kruris (4).
Pada pemeriksaan fisik, status dermatologis yang telah disebutkan pada bab
dua menunjukan gambaran lesi yang sesuai dengan gambaran tinea korporis dan
tinea kruris pada literatur. Kelainan yang dilihat dalam klinis merupakan lesi bulat
atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengah biasanya lebih tenang (central healing).
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit
yang menjadi satu seperti pada kasus ini. Namun, bentuk dan tanda radang yang
lebih nyata lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. Pada tinea korporis yang
menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi
pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam
hal ini disebut tinea corporis et cruris (4). Berbeda dengan kasus ini, pada sebuah
penelitian di Bandung terhadap karakteristik pasien tinea corporis et cruris, angka
kejadian tinea kruris et korporis lebih sering ditemukan pada pria (62,5%) daripada
wanita (37,5%). Hal tersebut berhubungan karena pria memiliki aktivitas fisik dan
pekerjaan lebih banyak di luar rumah, serta kesadaran terhadap kebersihan dan
penampilan pribadi masih rendah (11).
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus
jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan
11
diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya dermatofitosis melalui 3
tahap utama, yaitu perlekatan, dengan keratinosit, penetrasi melewati dalam sel dan
pembentukan respon imun. Adanya virulensi jamur, mekanisme penghindaran,
kondisi imunitas pejamu yang lemah memudahkan infeksi dermatofit (12). Berikut
pathogenesis terjadinya tinea (13).
pada pasien tinea kruris dan 14,23% pasien tinea korporis). Dugaan sumber
penularan melalui kontak dengan tanah hanya ditemukan pada tinea kruris. Dugaan
sumber penularan tidak diketahui sebesar 16% kasus tinea kruris, 57,14% kasus
tinea korporis, dan 37,5% kasus tinea kruris et korporis. Pada kultur didapatkan
spesies penyebab tinea kruris dan/atau korporis yang paling banyak ditemukan ialah
Trichophyton rubrum (95,8%) diikuti Epidermophyton floccosum (4,2%) (11).
Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis
vulgaris dan dermatitis seboroik. Dimana diagnosis banding psoriasis vulgaris dan
dermatitis seboroik dapat disingkirkan dengan dijumpainya elemen jamur ( hifa
panjang dan bersepta dengan spora) pada pemeriksaan kerokan kulit (KOH 10%),
yang tidak ditemukan pada psoriasis vulgaris maupun dermatitis seboroik. Adapun
sensitivitas pemeriksaan mikroskopis KOH adalah sebesar 50-60%. Pemeriksaan
penunjang lain untuk mendiagnosa dermatomikosis superfisial ini ialah
pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood dan kultur jamur yang merupakan
‘gold standard’ diagnostic mikologi, namun pemeriksaan ini membutuhkan waktu
yang lama (2-4 minggu) untuk mendapatkan hasilnya. Media Saboraud’s dextrose
agar (SDA) paling banyak digunakan karena dapat digunakan untuk isolasi semua
jenis jamur (4).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien berupa pengobatan anti jamur
sistemik (itrakonazol 100 mg/hari) serta antihistamin (cetirizine 10 mg/hari) untuk
mengurangi rasa gatal. Pengobatan pada mikosis dapat diberikan melalui topikal
dan sistemik. Dimana pada kepustakaan dikatakan bahwa anti jamur sistemik
merupakan terapi pilihan untuk lesi yang luas, kronis atau bila gagal dengan
pengobatan topikal. Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena
dermatofit yang hidup pada jaringan kulit. Preparat yang sering digunakan yaitu
golongan imidazol (1-2 kali per hari selama 2-4 minggu), allilamin,
siklopirosolamin. Pada pasien ini dipilih anti jamur sistemik mengingat luasnya
lesi. Berdasarkan empat literatur, penggunaan itrakonazol pada tinea korporis et
kruris terjadi penyembuhan mikologis (minggu ke-4) mencapai 91,8%,
penyembuhan total (minggu ke-3) mencapai 50%. Mengingat tingkat kesembuhan
dan jumlah antijamur yang dibutuhkan untuk mengobati, itrakonazol adalah obat
yang paling efektif, diikuti oleh flukonazol, terbinafin dan griseofulvin (14). Hal ini
13
Ny. N, perempuan berusia 42 tahun, suku Aceh, alamat Buket Rata dengan
nomer RM 022132, datang ke Poliklinik kulit dan kelamin RSUD Cut Meutia pada
hari Kamis, 08 September 2022. Berdasarkan autoanamnesis pasien memiliki
keluhan utama berupa bercak kemerahan dan bersisik di kedua tangan, punggung,
perut, lipat paha, bokong serta kedua kaki yang disertai rasa gatal sejak satu tahun
terakhir dan memberat satu minggu yang lalu.
Pada pemeriksaan status dermatologis dan mikroskop dengan KOH 10%,
ditemukan gambaran hifa bersepta dan spora. Hal ini mendukung bahwa pasien
benar terinfeksi oleh jamur dengan diagnose tinea korporis et kruris yang luas.
Pengobatan diberikan berupa antijamur sistemik (itrakonazol 1x100 mg) dan
antihistamin (cetirizine 1x10 mg). Prognosis pasien dubia ad bonam.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
16