Anda di halaman 1dari 20

Laporan kasus

TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS


PADA WANITA 42 TAHUN DENGAN OBESITAS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara

Oleh:

Ayu Permata Sari Br Tarigan, S.Ked


2006112021

Preseptor:
dr. M. Mimbar Topik, M.Ked (DV), Sp.DV

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
"Tinea Korporis Et Kruris Luas Pada Wanita 42 Tahun dengan Obesitas".
Penyusunan lapkas ini merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan tugas
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, dengan rasa
hormat dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. M. Mimbar Topik, M.Ked (DV), Sp.DV atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk
motivasi dan dukungan semangat.
Dengan kerendahan hati, saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan
kasus ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat mengharapkan banyak kritik dan
saran yang membangun dalam penyempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Aceh Utara, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1

BAB 2 LAPORAN KASUS ...................................................................................3

BAB 3 PEMBAHASAN .........................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lesi regio torakalis ................................................................................. 4


Gambar 2 Lesi regio brachialis, antebrachialis dan manus ..................................... 4
Gambar 3 Lesi di regio abdomen, gluteal, inguinal dan cruris ............................... 5
Gambar 4 Mikroskopis KOH 10% (hifa dan spora (+)) ......................................... 5
Gambar 5 Gambaran klinis setelah terapi 2 minggu ............................................... 6
Gambar 6 Pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% pada terapi 2 minggu
(hifa dan spora positif) ............................................................................................ 7
Gambar 7 Patogenesis dan manifestasi klinis pada tinea corporis ........................ 11

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban


tinggi sehingga memungkinkan untuk tumbuhnya berbagai tanaman dan
mikroorganisme dengan baik. Salah satu mikroorganisme yang dapat tumbuh
dengan baik di Indonesia adalah jamur. Namun sayangnya, tidak semua jamur
bermanfaat bagi manusia. Terdapat beberapa jenis jamur yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia seperti dermatofitosis (1). Dermatofitosis yaitu salah satu
penyakit mikosis superfisialis disebabkan jamur yang menginvasi jaringan yang
mengandung keratin misal stratum korneum epidermis, rambut, serta kuku.
Seringkali disebut dengan infeksi tinea serta diklasifikasikan menurut bagian tubuh
yang terkena. Penyebab dermatofitosis termasuk dalam tiga genus, yaitu
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton, sedangkan berdasarkan
transmisinya terdapat tiga klasifikasi yaitu antropofilik (manusia), zoofilik (hewan),
serta geofilik (tanah) (2).
Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-
beda tiap negara. Penelitian World Health Organization (WHO) tahun 2016
terhadap insiden dari infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia
mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe
yang paling dominan dan diikuti dengan tinea kruris,tinea pedis, dan onikomikosis.
Sedangkan prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6% (3).
Berdasarkan data epidemiologi yang dilakukan di Indonesia insidensi
dermatofitosis dalam kurun waktu 3 tahun mengalami peningkatan secara
persentase. Kasus baru ditemukan persentase sebesar 78,3% (2014), 62,2% (2015),
dan 72,3% (2016). Diagnosis terbanyak yang ditemukan adalah tinea korporis
(56,1%) dan tinea kruris (34,3%). Hal ini dapat disebabkan karena tinea korporis
mampu mengenai semua permukaan tubuh dan bisa diderita oleh semua umur,
terutama pada orang dewasa yang kurang mengerti kebersihan. Tinea kruris
merupakan diagnosis tersering kedua, hal ini bisa disebabkan karena penggunaan
pakaian ketat atau yang tidak menyerap keringat, sehingga meningkatakan
kelembapan (2).

1
2

Secara umum gambaran klasik lesi tinea korporis dan tinea kruris berupa
lesi anular dengan central clearing dan tepi eritema yang aktif. Lesi yang
berdekatan dapat bergabung memben tuk pola gyrata atau polisiklik. Penegakan
diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat
dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu Wood
pada spesies tertentu (2,4).
BAB 2
LAPORAN KASUS

Ny. N perempuan berusia 42 tahun, Suku Aceh, alamat Jl. Rajawali Dusun
Buket Rata dengan nomor RM 022132, datang ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Cut Meutia pada hari Kamis, 8 September 2022. Berdasarkan autoanamnesis
didapatkan keluhan utama berupa bercak kemerahan di kedua tangan, punggung,
perut, lipat paha, bokong serta kedua kaki yang disertai kulit bersisik dan rasa gatal
sejak satu minggu yang lalu. Awalnya hanya muncul bercak merah sebesar uang
logam pada lengan bawah tangan kiri pada satu tahun yang lalu. Bercak tersebut
lama kelamaan bertambah lebar dan meluas ke daerah perut, punggung, bokong,
pelipatan paha dan kaki. Bercak kemerahan tersebut dirasakan sangat gatal terutama
bila udara panas dan berkeringat. Hal ini dirasakan telah memberat satu minggu
terakhir ini. Sebelum bercak kemerahan melebar dan meluas, pasien mengaku
pernah berobat di puskesmas terdekat untuk mengobati keluhan awal yaitu bercak
merah dan gatal pada lengan kiri. Kemudian, diberi salep berwarna putih yang
dikemas dalam plastik klip, amoxicillin, paracetamol, cetirizine, vitamin c. Setelah
satu minggu mengkonsumsi obat-obatan tersebut pasien mengaku gatal berkurang
namun, bercak kemerahan mulai meluas sehingga, pasien membeli obat tanpa
anjuran dokter yaitu kanalti. Setelah mengkonsumi selama satu minggu, pasien
merasa hanya ada perubahan dalam nafsu makan yang meningkat, tidak ada
perubahan terkait keluhan bercaknya maka dari itu, memutuskan untuk berobat ke
poliklinik kulit dan kelamin RSUD Cut Meutia.
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan tidak rutin mengkonsumsi obat anti
hipertensi. Selain Amlodipin, dan obat-obatan diatas, pasien mengaku tidak
mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang lainnya. Keluhan serupa juga dialami
oleh ibu pasien yang berada satu rumah dan terjadi lebih awal jika dibandingkan
dengan pasien. Riwayat alergi pada pasien disangkal. Pasien memiliki hewan ternak
yaitu kambing di belakang rumah. Pasien memiliki kebiasaan menggunakan celana
berlapis, pasien tinggal dirumah dengan kebersihan dan ventilasi yang cukup.
Pasien sehari-hari mandi dua kali sehari dan jarang beraktifitas di luar rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran kompos mentis, frekuensi nadi 78 kali per menit, frekuensi nafas 18 kali

3
4

per menit, berat badan 72,3 kg, tinggi badan 152 cm dengan indeks massa tubuh
(IMT) 31,29 kg/𝑚2 kategori obesitas grade I. Status dermatologis tampak plak
berwarna kemerahan (eritema), annular yaitu dengan tepi lesi yang meninggi terdiri
dari papul milier eritem (pinggir yang aktif), berbatas tegas, ukuran ± Ø 3 – 15 cm,
dengan skuama halus pada permukaan lesi yang terdapat pada regio manus sinistra,
1/3 bagian atas dari regio antebrachialis dextra, regio antebrachialis sinistra, regio
brachialis dextra et sinistra, regio torakalis anterior et posterior, seluruh regio
abdomen, regio pubis, regio inguinalis dextra et sinistra, regio gluteal dextra et
sinistra, 1/3 bagian atas dan 1/3 bagian bawah dari regio femur dextra et sinistra,
regio cruris dextra et sinistra, dan regio pedis dextra et sinistra (generalisata/lesi
yang menyebar).

Gambar 1 Lesi regio torakalis

Gambar 2 Lesi regio brachialis, antebrachialis dan manus


5

Gambar 3 Lesi di regio abdomen, gluteal, inguinal dan cruris


Diagnosa banding pasien di atas yaitu dermatitis seboroik, psoriasis,
pitiriasis rosea, eritema annular sentrifugum. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopis dengan KOH 10% dan juga dilakukan
pemeriksaan glukosa darah sewaktu. Hasil pemeriksaan sediaan langsung KOH
10% dari regio infraskapular/torakalis posterior dan inguinal ditemukan adanya hifa
dan spora. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu 143 mg/dL. Penunjang
diagnosis lain yang diusulkan adalah kultur dari kerokan tepi lesi yang meninggi
pada agar Saboraud’s dextrose.

Gambar 4 Mikroskopis KOH 10% (hifa dan spora (+))


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, status dermatologis dan
pemeriksaan mikroskopis KOH 10%, pasien di diagnosa dengan tinea korporis et
kruris luas. Terapi yang diberikan adalah itrakonazol 1x100 mg dan cetirizine 1x10
6

mg selama satu minggu. Pada pasien diberikan KIE tentang penyakit, penyebab
penyakit, faktor risiko timbulnya penyakit, cara minum dan pemakaian obat yang
benar, serta mungkin efek samping obat. Pasien disarankan untuk tidak
menggunakan pakaian yang ketat dan segera mengganti pakaian ketika berkeringat,
menjaga hieginitas tubuh dan kontrol kembali dua minggu kemudian.
Setelah dua minggu pengobatan, pasien mengalami perbaikan secara klinis
berupa rasa gatal yang berkurang, penipisan lesi, tidak ditemukan perluasan lesi
ataupun lesi baru. Hanya saja masih terdapat bercak kemerahan yang terlihat samar
pada regio femur dextra et sinistra. Pada pemeriksaan mikroskopik pada lokasi
sampel yang sama, masih ditemukan hifa dengan spora.

Gambar 5 Gambaran klinis setelah terapi 2 minggu


Gambar 6 Pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% pada terapi 2 minggu
(hifa dan spora positif)

7
BAB 3
PEMBAHASAN

Tinea korporis adalah infeksi dermatofita (jamur) superfisial yang ditandai


lesi inflamasi maupun non inflamasi pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin)
yaitu seperti pada bagian muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.
Sedangkan tinea kruris ialah dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah. Kedua tinea ini
merupakan suatu infeksi jamur yang dikelompokkan dalam mikosis superfisial.
mikosis superifisial dikelompokan menjadi dua bagian yaitu infeksi jamur pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum kornemum pada
epidermis, rambut dan kuku yang disebut dermatofitosis. Sedangkan tinea korporis,
disebut sebagai dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) (4).
Tinea korporis adalah dermatofitosis tersering di Asia dengan angka
mencapai 35,40% (5). Baru-baru ini infeksi penyakit yang disebabkan oleh jamur
dapat ditemukan hampir di seluruh daerah Indonesia, karena Indonesia merupakan
wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur. Iklim dan kondisi geografis di
Indonesia memudahkan untuk pertumbuhan jamur sehingga menyebabkan
banyaknya kasus infeksi jamur. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari
seluruh dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan
dermatofitosis terbanyak. Dermatofitosis sendiri merupakan masalah kulit terbesar
di dunia terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan urutan kejadian
dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%),
tinea pedis dan tinea barbae (6%) dan sebanyak 1% tipe lainnya. Berdasarkan
penelitian di Indonesia pada 103 penderita tinea korporis, sekitar 59,2% (61 orang)
diderita oleh perempuan dengan rentang usia tertinggi yaitu 25-44 tahun (34%).
Berdasarkan pekerjaan, ibu rumah tangga adalah pekerjaan terbanyak pada pasien
tinea korporis yaitu 30 orang (29,1%) (6).
Dermatofitosis dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa faktor predisposisi
yang menyebabkan infeksi ini adalah personal hygiene, penggunaan pakaian yang
ketat, status sosial ekonomi, kondisi tempat tinggal padat yang dapat
mengakibatkan kontak langsung kulit ke kulit atau kontak yang erat dengan hewan,
serta adanya penyakit kronis (imunosupresi), penggunaan sitostatika, dan

8
kortikosteroid jangka panjang (7). Pada kasus, pasien adalah perempuan dengan
berat badan berlebih, yang sering menggunakan celana berlapis. Pasien juga tinggal
di negara tropis yang beriklim panas, sehingga faktor kelembaban yang tinggi pada
kulit pasien. Faktor lain yaitu pertahanan tubuh yang menurun seiring dengan
pertambahan usia. Adanya penurunan metabolisme di usia ini dapat mengakibatkan
obesitas yang menghasilkan lipatan-lipatan pada beberapa bagian tubuh. Mengingat
pasien pada kasus ini masih termasuk usia produktif, jika ditambah dengan faktor
aktivitas yang menghasilkan keringat dan tidak diimbangi dengan kebersihan diri
maka akan menyebabkan peningkatan resiko terkena dermatofitosis (6). Meskipun
belum ada yang meneliti tentang persentase tingkat kekambuhan dermatofitosis
dengan obesitas, kegemukan (obesitas) yang dialami oleh Ny. N merupakan suatu
keadaan klinis yang perlu mendapatkan perhatian untuk intervensi. Mengingat
selain obesitas yang dialaminya dapat memicu timbulnya kekambuhan
dermatofitosis seperti tinea korporis, obesitas juga dapat mengakibatkan timbulnya
penyakit lain seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia maupun penyakit
jantung koroner (8).
Berdasarkan riwayat penggunaan obat, pasien dicurigai telah
mengkonsumsi obat topikal maupun sistemik yang mengandung kortikosteroid
sehingga menunjukkan penyebaran lesi dan perburukan infeksi pada kulit pasien
setelah mengkonsumsinya. Obat-obatan yang mengandung kortikosteroid dapat
dibagi menjadi golongan obat topikal/lokal (dioleskan pada permukaan tubuh) atau
sistemik (dikonsumsi lewat mulut atau suntikan). Steroid merupakan obat yang
dianggap dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit dengan efek yang sangat
cepat. Bila kita telisik lebih jauh, karena efek steroid yang dapat menurunkan reaksi
peradangan dengan cepat, hal yang menjadi dasar dari hampir seluruh proses
penyakit. Adanya peradangan dalam tubuh dapat dilihat dari berbagai gejala seperti
panas/demam (kalor), kemerahan/eritema (rubor), nyeri (dolor), bengkak (tumor),
maupun gangguan fungsi (functio laesa). Namun demikian, perlu diketahui bahwa
tidak semua penyakit dapat dan perlu diberikan steroid. Seperti pada pemberian
steroid topikal, efek utamanya terjadi karena dampaknya dalam menurunkan sistem
imun tubuh. Hal ini dapat menutupi gambaran infeksi jamur sehingga
memperlebar/memperluas infeksi jamur (9,10).

9
10

Pada kasus, dari anamnesis didapatkan keluhan utama gatal dan bercak
kemerahan sejak satu tahun terakhir pada regio manus sinistra, 1/3 bagian atas dari
regio antebrachialis dextra, regio antebrachialis sinistra, regio brachialis dextra et
sinistra, regio torakalis anterior et posterior, seluruh regio abdomen, regio pubis,
regio inguinal dextra et sinistra, regio gluteal dextra et sinistra, 1/3 bagian atas dan
1/3 bagian bawah dari regio femur dextra et sinistra, regio cruris dextra et sinistra,
dan regio pedis dextra et sinistra. Keluhan gatal dirasakan terutama saat pasien
berkeringat. Sesuai dengan kepustakaan bahwa hal ini merupakan daerah predileksi
serta keluhan pada penderita tinea korporis et kruris (4).
Pada pemeriksaan fisik, status dermatologis yang telah disebutkan pada bab
dua menunjukan gambaran lesi yang sesuai dengan gambaran tinea korporis dan
tinea kruris pada literatur. Kelainan yang dilihat dalam klinis merupakan lesi bulat
atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengah biasanya lebih tenang (central healing).
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit
yang menjadi satu seperti pada kasus ini. Namun, bentuk dan tanda radang yang
lebih nyata lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. Pada tinea korporis yang
menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi
pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam
hal ini disebut tinea corporis et cruris (4). Berbeda dengan kasus ini, pada sebuah
penelitian di Bandung terhadap karakteristik pasien tinea corporis et cruris, angka
kejadian tinea kruris et korporis lebih sering ditemukan pada pria (62,5%) daripada
wanita (37,5%). Hal tersebut berhubungan karena pria memiliki aktivitas fisik dan
pekerjaan lebih banyak di luar rumah, serta kesadaran terhadap kebersihan dan
penampilan pribadi masih rendah (11).
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus
jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan
11

diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya dermatofitosis melalui 3
tahap utama, yaitu perlekatan, dengan keratinosit, penetrasi melewati dalam sel dan
pembentukan respon imun. Adanya virulensi jamur, mekanisme penghindaran,
kondisi imunitas pejamu yang lemah memudahkan infeksi dermatofit (12). Berikut
pathogenesis terjadinya tinea (13).

Gambar 7 Patogenesis dan manifestasi klinis pada tinea corporis


Dermatofita terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan habitat alaminya,
yaitu antropofilik yang terbatas hanya pada manusia dan ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung (penggunaan sisir, sarung bantal, sepatu, pakaian
dalam, handuk, baju, sepatu, atau kaos kaki), zoofilik ditularkan melalui kontak
dengan hewan (kucing, anjing, kelinci, burung, dan binatang ternak), dan geofilik
ditularkan kepada manusia melalui kontak langsung dengan tanah (4,12). Pada
kasus ini, diduga pasien ditularkan melalui kontak antar individu yaitu dengan ibu
pasien yang lebih dahulu memiliki gejala serupa dan tinggal satu rumah.
Berdasarkan suatu penelitian, dermatofit yang antropofilik paling sering sebagai
sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi (jika mungkin)
untuk mencegah reinfeksi manusia. Sekitar 37,5% sumber penularan tinea kruris et
korporis melalui kontak antar individu. Melalui kontak dengan hewan (sebesar 20%
12

pada pasien tinea kruris dan 14,23% pasien tinea korporis). Dugaan sumber
penularan melalui kontak dengan tanah hanya ditemukan pada tinea kruris. Dugaan
sumber penularan tidak diketahui sebesar 16% kasus tinea kruris, 57,14% kasus
tinea korporis, dan 37,5% kasus tinea kruris et korporis. Pada kultur didapatkan
spesies penyebab tinea kruris dan/atau korporis yang paling banyak ditemukan ialah
Trichophyton rubrum (95,8%) diikuti Epidermophyton floccosum (4,2%) (11).
Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis
vulgaris dan dermatitis seboroik. Dimana diagnosis banding psoriasis vulgaris dan
dermatitis seboroik dapat disingkirkan dengan dijumpainya elemen jamur ( hifa
panjang dan bersepta dengan spora) pada pemeriksaan kerokan kulit (KOH 10%),
yang tidak ditemukan pada psoriasis vulgaris maupun dermatitis seboroik. Adapun
sensitivitas pemeriksaan mikroskopis KOH adalah sebesar 50-60%. Pemeriksaan
penunjang lain untuk mendiagnosa dermatomikosis superfisial ini ialah
pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood dan kultur jamur yang merupakan
‘gold standard’ diagnostic mikologi, namun pemeriksaan ini membutuhkan waktu
yang lama (2-4 minggu) untuk mendapatkan hasilnya. Media Saboraud’s dextrose
agar (SDA) paling banyak digunakan karena dapat digunakan untuk isolasi semua
jenis jamur (4).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien berupa pengobatan anti jamur
sistemik (itrakonazol 100 mg/hari) serta antihistamin (cetirizine 10 mg/hari) untuk
mengurangi rasa gatal. Pengobatan pada mikosis dapat diberikan melalui topikal
dan sistemik. Dimana pada kepustakaan dikatakan bahwa anti jamur sistemik
merupakan terapi pilihan untuk lesi yang luas, kronis atau bila gagal dengan
pengobatan topikal. Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena
dermatofit yang hidup pada jaringan kulit. Preparat yang sering digunakan yaitu
golongan imidazol (1-2 kali per hari selama 2-4 minggu), allilamin,
siklopirosolamin. Pada pasien ini dipilih anti jamur sistemik mengingat luasnya
lesi. Berdasarkan empat literatur, penggunaan itrakonazol pada tinea korporis et
kruris terjadi penyembuhan mikologis (minggu ke-4) mencapai 91,8%,
penyembuhan total (minggu ke-3) mencapai 50%. Mengingat tingkat kesembuhan
dan jumlah antijamur yang dibutuhkan untuk mengobati, itrakonazol adalah obat
yang paling efektif, diikuti oleh flukonazol, terbinafin dan griseofulvin (14). Hal ini
13

sejalan dengan studi komparatif griseofulvin dengan itrakonazol yang menyebutkan


outcome yang lebih baik pada 2 minggu terapi itrakonazol. Meskipun demikian,
terbinafin masih menjadi first line dalam terapi sistemik dan pilihan utama untuk
tinea baik pada anak-anak maupun dewasa dengan tingkat kesembuhan mencapai
87%. Penggunaaan terbinafin pada dewasa yang dianjurkan 250 mg per hari selama
2-3 minggu dan pilihan kedua yaitu itrakonazole 100 mg per hari selama 1-4
minggu. Second line dalam terapi tinea ini ialah griseofulvin 500-1000 mg per hari
selama 2-4 minggu dan flukonazol 150-300 mg per hari selama 2-6 minggu (15).
Pada pengamatan lanjutan (dua minggu kemudian), pasien mengalami
perbaikan secara klinis berupa rasa gatal yang berkurang, penipisan lesi, tidak
ditemukan perluasan lesi ataupun lesi baru. Pada pemeriksaan mikroskopik pada
lokasi sampel yang sama, masih ditemukan hifa dengan spora. Namun telah
menunjukkan belum ada perbaikan secara mikologis yaitu masih ditemukannya hifa
dan spora. Jjika dibandingkan dengan pemeriksaan sebelumnya yaitu jumlah spora
dengan hifa yang sudah terpisah seperti di bab dua. Kemudian pasien diberikan
edukasi untuk tidak lagi menggunakan celana berlapis, menjaga higienitas tubuh,
segera mengganti baju apabila basah karena berkeringat. Prognosis pada pasien ini
baik secara vitam, functionam dan sanationam adalah dubia ad bonam (4).
BAB 4
KESIMPULAN

Ny. N, perempuan berusia 42 tahun, suku Aceh, alamat Buket Rata dengan
nomer RM 022132, datang ke Poliklinik kulit dan kelamin RSUD Cut Meutia pada
hari Kamis, 08 September 2022. Berdasarkan autoanamnesis pasien memiliki
keluhan utama berupa bercak kemerahan dan bersisik di kedua tangan, punggung,
perut, lipat paha, bokong serta kedua kaki yang disertai rasa gatal sejak satu tahun
terakhir dan memberat satu minggu yang lalu.
Pada pemeriksaan status dermatologis dan mikroskop dengan KOH 10%,
ditemukan gambaran hifa bersepta dan spora. Hal ini mendukung bahwa pasien
benar terinfeksi oleh jamur dengan diagnose tinea korporis et kruris yang luas.
Pengobatan diberikan berupa antijamur sistemik (itrakonazol 1x100 mg) dan
antihistamin (cetirizine 1x10 mg). Prognosis pasien dubia ad bonam.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Pravitasari N, Hidayatullah TA, Nuzula AF. Profil Dermatofitosis


Superfisialis Periode Januari – Desember 2017 Di Rumah Sakit Islam
Aisiyah Malang. J Saintika Med. 2019;15(1):25–32.
2. Devy D, Ervianti E, Staf D, Fungsional M, Kesehatan I, Kedokteran F, et al.
Studi Retrospektif : Karakteristik Dermatofitosis. Berk Ilmu Kesehat Kulit
dan Kelamin. 2016;30(1).
3. Kerja W, Kuok P, Kunci K. Hubungan Kebersihan Diri (Personal Hygiene)
Dengan Kejadian Penyakit Dermatofitosis Di Desa Lereng Wilayah Kerja
Puskesmas Kuok. J Ners. 2018;2(23):86–94.
4. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. 7th ed. Jakarta Pusat: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. 109-113 p.
5. Hayette MP, Sacheli R. Dermatophytosis, Trends in Epidemiology and
Diagnostic Approach. Curr Fungal Infect Rep. 2015;9:164–179.
6. Taufiq, Batubara DE. Profil Dermatofitosis Di Rumah Sakit Umum Daerah
Deli Serdang Tahun 2015-2017. Junal Ilm Maksitek. 2020;5(4):32–9.
7. Hosthota A, Gowda T, Manikonda R. Clinical profile and risk factors of
dermatophytoses : a hospital based study. Int J Res Dermatology.
2018;4(4):508–13.
8. Aprillia E, Kanti A, Rahmanisa S. Tine Corporis With Grade I Obesity In
Women Domestic Workers Age 34 Years. Medula. 2014;2(4):24–32.
9. Kementrian Kesehatan RI. Penyalahgunaan Steroid di Masyarakat (Manfaat
dan Efek Samping Steroid) [Internet]. Kemenkes RI. 2022. Available from:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1421/penyalahgunaan-steroid-di-
masyarakat-manfaat-dan-efek-samping-steroid
10. Indramaya DM, Karim A, Ahmad Z. A Case of Tinea Incognito: A Misuses
of Steroid. J Airlangga. 2019;31(3):242–7.
11. Yuwita W, Ramali LM, H RMN. Karakteristik Tinea Kruris dan / atau Tinea
Korporis di RSUD Ciamis Jawa Barat ( Characteristic of Tinea Cruris and /
or Tinea Corporis in Ciamis District Hospital , West Java ). Period
Dermatology Venereol. 2016;28(2):42–51.
12. Sp CR. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berk Ilmu Kesehat Kulit dan
Kelamin. 2008;20(3):243–50.
13. Hawker K. Tinea capitis, tinea corpora and tinea pedis: pathogenesis and
clinicaal findings [Internet]. The Calgary Guide; 2020. Available from:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/tinea-capitis-tinea-corpora-and-tinea-pedis/
14. Warouw MWM, Kairupan TS, Suling PL. Efektivitas Anti Jamur Sistemik

15
16

Terhadap Dermatofitosis. J Biomedik. 2021;13(28):185–91.


15. Kaul S, Yadav S. Treatment of Dermatophytosis in Elderly, Children, and
Pregnant Women. Indian Dermatol Online J. 2017;8(5).

Anda mungkin juga menyukai