Anda di halaman 1dari 16

Case Report Session

TINEA CRURIS

Oleh :

Enggar Nur Ari Zeri 1210070100009

Vina Yuliawati 1610070100075

Indah Rezki Nova 1610070100077

Resti Tunia 1610070100136

PRESEPTOR

dr. H. Yosse Rizal, Sp.KK. FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan case yang berjudul “Tinea Cruris”.Case ini disusun sebagai salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian Kulit dan Kelamin RSAM Bukittinggi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepadadr. H. Yosse Rizal, Sp.KK. FINSDVsebagai


pembimbing dalam pembuatan case ini. Mengingat pengetahuan dan pengalaman peulis serta
waktu yang tersedia untuk menyusun makalah ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak
kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya.

Akhir kata penulis berharap kiranya case ini dapat menjadi masukan yang berguna dan
bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan masalah kesehatan
pada umumnya, dan khususnya tentangTinea Cruris.

Bukittinggi, 12 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

BAB I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi.................................................................................................

B. Epidemiologi........................................................................................

C. Etiologi ................................................................................................

D. Patofisiologi.........................................................................................

E. Manifestasi Klinis.................................................................................

F.Diagnosis banding.................................................................................

G. Penatalaksanaan.................................................................................

BAB II. Laporan Kasus ……………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………

3
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea kruris adalah golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar
anus.Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas
ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.

B. Epidemiologi
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris
dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi dermatomikosis di berbagai
rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka persentase terhadap
seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6%
(Padang) yang tertinggi. Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita,
biasanya mengenai usia 18-25 tahun serta 40-50 tahun.

4
C. Etiologi
Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton floccosum dan Trichophyton
rubrum.Selain itu juga dapat disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan walaupun
jarang di sebabkan oleh microsporum gallinae.

D. Patofisiologi
Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang
terinfeksi.Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabotan, dan
sebagainya.Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi, selain itu
dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain.
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita melibatkan
tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan
perkembangan respon pejamu.
1. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada
jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan
sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar
sebasea juga bersifat fungistatik.
2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi
untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan
baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.
3. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan
organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang
belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan
tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang
dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang
terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier

5
epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur
hilang dan lesi secara spontan menyembuh.
E. Manifestasi klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas
bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik).Bentuk lesi yang beraneka ragam ini dapat
berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.Kelainan yang dilihat dalam klinik
merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi lesi.
Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering
disebut dengan central healing.Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.Kelainan
kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.Lesi dapat
meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.

F. Diagnosis banding
1. Kandidosis intertrigo
Pada kandidosis intertrigo lesi akan tampak sangat merah, tanpa adanya central healing, dan
lesi biasanya melibatkan skrotum serta berbentuk satelit.
2. Eritrasma
Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa eritema dan skuama tapi
dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris menggunakan lampu wood dimana pada
eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral red).
3. Psoriasis
Lesi pada psoriasis akan tampak lebih merah dengan skuama yang lebih banyak serta lamelar.
Ditemukannya lesi pada tempat lain misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku, atau kulit
kepala akan mengarahkan diagnosis kearah psoriasis.
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit berupa lesi
berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih aktif daripada bagian
tengahnya.Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit

6
dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%.Pemeriksaan KOH paling mudah
diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas lesi.
Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10% yang positif, yaitu adanya elemen jamur berupa
hifa yang bercabang dan atau artrospora.Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur di
perlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis sanitasi dan terapi
farmakologi.Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat dihindari dengan mencegah faktor risiko
seperti celana dalam yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap
hari.Selangkangan atau daerah lipat paha harus bersih dan kering. Hindari memakai celana
sempit dan ketat, terutama yang digunakan dalam waktu yang lama. Menjaga agar daerah
selangkangan atau lipat paha tetap kering dan tidak lembab adalah salah satu faktor yang
mencegah terjadinya infeksi pada tinea kruris.
Dermatofitisis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat
fungistatik.Bagan dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin dalam
bentuk fineparticle dapat di berikan denggan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g
untuk anak –anak sehari atau 10-25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan tergantung dari
lokasi penyakit dan keadaan imunitas penderita.
Efek samping griseofulvin jarang di jumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia
yang di dapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestifus ialah nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat
menggangu fungsi hepar.
1. Topikal : salep atau krim antimikotik. Lokasi lokasi ini sangat peka , jadi konsentrasi obat
harus lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam salisilat,asam benzoat, sulfur dan
sebagainya.
2. Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik ; griseofulvin 500-1.000 mg selama 2-3
minggu atau ketokonazole100 mg/hari selama 1 bulan.
I. Prognosis
Prognosis Tinea kruris akan baik, asalkan kelembaban dan kebersihan kulit selalu dijaga.

7
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

• Nama : Tn. H

• Umur : 35 tahun

• Jenis Kelamin : Laki-Laki

• Alamat : Padang

• Pekerjaan : sopir

• Status :Belum Menikah

• Tanggal periksa : 8 Desember 2020

B. Anamnesa
Keluhan Utama
8
Rasa gatal disertai bercak merah pada area selangkangan dan bokong sejak ±
sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

-Terdapat bercak kemerahan yang disertai rasa gatal di area selangkangan dan bokong
sejak 2 minggu yang lalu.

-Keluhan timbul pertama kali.

- Keluhan bertambah gatal jika sedang berkeringat

- Tidak disertai dengan kulit bernanah dan demam

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya.

Riwayat Pengobatan

Pasien belum pernah berobat sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan.

- Riwayat mengoleskan sesuatu sebelum timbul keluhan di kulit disangkal.


- Pasien sehari-hari jarang mengganti pakaian dalamnya.
- Pasien sering berkeringat karena perkerjaan Pasien seeorang sopir.

Pemeriksaan Fisik

9
Status Generalisata

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif

Status Gizi : Sedang

Pemeriksaan Thoraks : Diharapkan dalam batas normal

Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus

Lokasi : Di area selangkangan dan bokong

Distribusi : Terlokalisir dan simetris

Bentuk : Khas

Susunan : Linear

Batas : Tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : Plak eritem dengan skuama halus di atasnya dan terdapat polisiklik ,
milier, multiple,dan Sebagian erosi.

10
Selaput lendir : Tidak ditemukan kelainan

Rambut : Tidak ditemukan kelainan

Kuku : Tidak ditemukan kelainan

Kelenjar limfa : Tidak ditemukan pembesaran KGB

Diagnosa Kerja : tinea cruris et causa infeksi jamur

Diagnosa Banding : - candidiasis

- eritrasma

Pemeriksaan Anjuran : kultur jamur

Penatalaksanaan

Terapi Umum

- Rajin ganti celana dalam

- Jaga kebersihan kaki


11
- Jaga tetap kering

Terapi Khusus

Sistemik : Tablet Ketokonazol 1 x 200 mg/hari selama 2 pekan.•

Tablet Cetirizine 1 x 10 mg/hari (jika rasa gatal timbul)

Topikal :

Prognosis

Qua ad vitam : Bonam

Qua ad functionam : Bonam

Qua ad sanationam : Bonam

Qua ad kosmetikum :Dubia etBonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien An.Z usia 12 tahun datang untuk periksa dengan keluhan gatal dan bercak
kemerahan pada selangkangan sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan tersebut timbul secara tiba-
tiba dan dirasakan terus menerus hingga bercak kemerahan menyebar luas.Terasa sangat gatal

12
saat berkeringat dan beristirahat.Rasa gatal berkurang saat beraktivitas.Gatal dapat disebabkan
karena infeksi bakteri, virus maupun jamur.Namun gatal pada selangkangan merupakan ciri khas
dari tinea kruris.Tinea kruris terjadi pada lipat paha (selangkangan), daerah perineum dan sekitar
anus selain itu juga dapat mencapai perut bagian bawah dan daerah gluteus.
Diagnosis diperkuat saat dilakukan anamnesis didapatkan adanya riwayat sakit serupa
dalam keluarga yaitu ayah pasien. Tinea kruris umumnya terjadi akibat infeksi dermatofitosis
pada individu yang sama melalui kontak langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan,
tidur bersama, dan hubungan seksual.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pola inflamasi dengan tipe yang aktif dan berbatas tegas
dimana peradangan pada tepi akan berwarna lebih kemerahan dan meninggi. Pada bagian tengah
lesi akan tampak central healing yang ditutupi skuama halus. Efloresensi terdiri atas macam –
macam bentuk primer dan sekunder.
Diagnosis banding dari tinea kruris yaitu Kandidosis intertrigo.Pada kandidosis intertrigo
lesi akan tampak sangat merah, tanpa adanya central healing, dan lesi biasanya melibatkan
skrotum serta berbentuk satelit.Yang membedakan dengan tinea kruris yaitu pada tinea kruris
memiliki ciri khas pada bagian tengah lesi tampak central healing.Diagnosis banding lainnya
yaitu eritrasma. Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa eritema dan
skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris menggunakan lampu wood
dimana pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral red). Pada tinea kruris apabila
diperiksa dengan menggunakan lampu wood akan tampak warna kehijauan. Psoriasis Lesi pada
psoriasis akan tampak lebih merah dengan skuama yang lebih banyak serta lamelar.
Ditemukannya lesi pada tempat lain misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku, atau kulit
kepala akan mengarahkan diagnosis kearah psoriasis.Pada tine kruris skuama tidak sebanyak
pada psoriasis.
Penatalaksanaan dari tinea kruris dengan menjaga higienis sanitasi dan diberikan terapi
farmakologis.Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat dihindari dengan mencegah faktor
risiko seperti celana dalam yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti
setiap hari.Selangkangan atau daerah lipat paha harus bersih dan kering. Untuk farmakologis
dapat diberikan obat topikal yaitu salep atau krim antimikotik, misalnya asam salisilat,asam
benzoat, sulfur dan sebagainya. Untuk obat sistemik dapat diberikan jika lesi meluas dan kronik ;
griseofulvin 500-1.000 mg selama 2-3 minggu atau ketokonazole100 mg/hari selama 1 bulan.

13
BAB V
KESIMPULAN

Tinea kruris adalah golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar
anus.Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang

14
berlangsung seumur hidup.Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton floccosum
dan Trichophyton rubrum.
Manifestasi klinis dari tinea kruris biasanya penderita merasa gatal dan kelainan lesi
berupa plakat berbatas tegas terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit
(polimorfik).Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit
berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata daripada bagian
tengahnya.Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit
dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%.Pemeriksaan KOH paling mudah
diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas lesi.Penatalaksanaan pada tinea kruris dengan
menjaga higienis sanitasi dan pemberian terapi farmakologi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2009.

15
2. Hainer Barry L. Dermatophyte Infection. American Family Physician. South Carolina. 2003,
Vol 67
3. Vander Straten MR et al. Cutaneus infections Dermatophytosis, onchomycosis and tinea
versicolor. Infectius Disease Clinics of North America. Cleveland. 2003
4. Patel GA, Wiederkehr M. Schwartz RA. Tinea Kruris in Children. Pediatric Dermatology.
New jersey. 2009
5. Mcphee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis & Treatment. Mc Graw hill. 2008 6.
Weitzman I, Summerbell R C. The Dermatophytes. American Society for Microbiology. New
York. 1995, 8(2):240

16

Anda mungkin juga menyukai