Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

DERMATITIS KONTAK ALERGIK

Oleh :

Sedrial ( 1510070100051 )
Wahyu Widya ( 1510070100055 )
Ivani Titania ( 1510070100069 )

Preseptor :
dr. Yola Fadilla, Sp. DV

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini
dengan judul “Dermatitis Kontak Alergik” yang merupakan salah satu tugas
kepaniteraan klinik dari Bagian Kulit dan Kelamin.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada
dr.Yola Fadilla, Sp. DV selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Bukittinggi, 15 Juli 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3


2.1 Definisi................................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi........................................................................................ 3
2.3 Etiologi................................................................................................. 3
2.4 Patogenesis........................................................................................... 4
2.5 Gambaran Klinis.................................................................................. 5
2.6 Diagnosis.............................................................................................. 8
2.7 Diagnosis Banding............................................................................... 9
2.8 Penatalaksanaan................................................................................... 10
2.9 Komplikasi........................................................................................... 11
2.10 Prognosis…………………………………………………………….. 11
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 12
BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis Kontak Alergika (DKA) merupakan suatu penyakit keradangan
kulit yang ada dalam keadaan akut atau subakut, ditandai dengan rasa gatal, eritema,
disertai timbulnya papula, edema dan vesikula di tempat yang terkena. Pajanan yang
berulang atau berlanjut akan menyebabkan plak eritema terlikenifikasi dengan
hiperkeratosis, skuama, dan fissura. Keadaan ini dapat ditemukan pada keadaan
kronik. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe IV dan merupakan
respon hipersensitifitas tipe lambat dan timbul akibat pajanan suatu alergen, yang
sebelumnya sudah terpajan oleh alergen yang sama.1 Pada penelitian yang dilakukan
Paolo Pigatto dan kawan-kawan, didapatkan kejadian DKA meningkat dengan seiring
bertambahnya usia, tingkat prevalensi 13,3 -24,5% telah dilaporkan tetapi tingkat
sensitifitas tertinggi ditemukan pada anak usia 0 – 3 tahun.2 Dengan menggunakan uji
tes Patch menunjukan titik prevalensi dari sensitifitas kontak sebesar 15,2% . Ada
perbedaan jenis kelamin yang jelas ,dengan 19,4% perempuan dan 10,3% laki-laki. 3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Johnson dan Roberts terikat prevalensi DKA
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur menunjukan bahwa ada tren yang
jelas dari peningkatan prevalensi pada laki-laki. Pada wanita angka prevalensi
meningkat umumnya pada usia 40 tahun.4 DKA merupakan proses multifaktorial,
sehingga banyak faktor yang berperan dalam terjadinya penyakit ini. Etiologi dan
patogenesis DKA diketahui diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitifitas tipe IV
atau reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Tidak seperti jenis klasik reaksi tipe IV yang
dimediasi oleh CD4+ Tsel dan terjadi di dermis, Dermatitis Kontak Alergi terjadi
pada epidermis dan dimediasi terutama melalui CD8+ T-sel dengan profil sitokin tipe
Th1.5 Faktor-faktor yang ikut berperan dalam terjadi DKA antara lain genetik,
alergen, obatobatan, pekerjaan. Keluhan utama pada penderita DKA biasanya datang
dengan gatal dan eritema berbatas tegas. Tangan dan wajah adalah daerah yang paling

1
umum. Jika proses akut, akan timbul vesikel dan bula. Jika proses kronik, makan
akan timbul skuama dan penebalan kulit (likenifikasi). Biasanya tidak selalu proses
ini terbatas pada paparan kulit.6 Diagnosis DKA berdasarkan keluhan dan gambaran
klinis menggunakan Tes Patch. Selain menggunakan tes Patch, dapat juga digunakan
tes TRUE, (Thinlayer Rapid Use Epicutaneus), namun tes TRUE mempunyai
kekuranganya itu jumlah allergen dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan panel
untuk allergen potensial yang dihadapi dalam. Penatalaksanaan DKA ditujukan
terhadap kelainan kulit yang mendasari seperti gatal, eritema dan likenifikasi. Dalam
menghadapi DKA yang akut atau gejala dermatitis kontak alergi kronik, intervensi
farmakologis diperlukan untuk mengurangi gejala dan keterbatasan fisik yang
dikarenakan erupsi. Dampak dari DKA dalam kegiatan hidup sehari – hari dan
kemampuan untuk melakukan fungsi kerja juga harus diperhatikan.6

1.2 Tujuan Penulisan


 Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020
 Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi
peradangan kulit non imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses pengenalan/sensitasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi
pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/alergen.7

2.2 Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang dengan keadaan kulit sangat peka (hipersensitif). Diperkirakan
jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun,
informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakat sangat sedikit,
sehingga angka yang mendekati kebenaran belum didapat.
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari lnggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak alergik akibat kerja karena temyata cukup tinggi yaitu berkisar
antara 50 dan 60 persen. Sedangkan, dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA
bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dibandingkan dengan DKA akibat kerja.8

2.3 Etiologi
Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (<
1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat
menembus stratum komeum sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang
hidup. Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya potensi

3
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelem-baban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis),
status imun (misalnya sedang mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari secara
intens).7

2.4 Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV,
atau reaksi hipersen-sitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi
dapat mengalami DKA.7

Fase sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum komeum akan


ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi
oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR untuk
menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan
hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T.
Akan tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan,
keratinosit akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langer-hans
dan mampu menstimulasi sel-T. Aktivasi ter-sebut akan mengubah fenotip sel
Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi
molekul permukaan sel termasuk MHC klas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7.
Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFa, yang dapat
mengaktifasi sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi
sel dan pelepasan sitokin serta juga meningkatkan MHC kelas I dan II.

TNFa menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada


epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel

4
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan
kompleks antigen HLA-DR kepada sel-T penolong spesifik, yaitu sel T yang
mengekspresikan molekul CD4 yang dapat mengenali HLA-DR yang dipre-
sentasikan oleh sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali
antigen yang telah diproses. Keberadaan sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang men-stimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2
dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R) . Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi
dan diferensiasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan berubah menjadi
sel-T memori (sel T-teraktivasi) yang akan meninggalkan kelenjar getah bening dan
beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu telah tersensitisasi. Fase ini rata-
rata berlangsung selama 2-3 minggu.

Menurut konsep 'danger' signal, sinyal anti-genik mumi suatu hapten cenderung
menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritan menimbulkan sensitisasi. Dengan
demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang
dapat berasal dari alergen kontak sendiri, ambang rangsang yang rendah terhadap
respons iritan, bahan kimia inflamasi pada kulit yang me-radang, atau kombinasi
ketiganya. Jadi danger signal yang menyebabkan sensitisasi tidak hanya berasal dari
sinyal antigenik sendiri, melainkan juga dari sifat iritasi yang menyertainya. Suatu
tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.

Fase elisitasi

Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen
(hapten) yang sama atau serupa (pada reaksi silang). Seperti pada fase sensitisasi,
hapten akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi
antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya
kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel-T yang telah tersen-
sitisasi (sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses
aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadir-nya berbagai sel lain.

5
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2
dan mengekspresi IL-2R, yang akan menye-babkan proliferasi dan ekspansi populasi
sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan IFN-y yang akan mengaktifkan
keratinosit untuk mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1
rnemungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit lain yang
mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkin-kan keratinosit
untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi
antigen kepada sel tesebut. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain
IL-1, IL-6, TNF-a, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat
merangsang keratinosit untuk menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini
akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas yang berada di dekat pembuluh
darah dermis akan melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik,
PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4 ). Eikosanoid baik yang berasal dari sel
mas (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit akan menyebabkan dilatasi
vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul terlarut seperti
komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu
faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain
dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan
menimbulkan respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48
jam.9

2.5 Gambaran Klinis

Penderita umumnya mengeluh gatal, kelainan bergantung pada keparahan


dermatitis. Dermatitis kontak alergi umumnya mempunyai gambaran klinis
dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas tegas.
Dermatitis kontak iritan umumnya mempunyai ruam kulit yang lebih bersifat
monomorf dan berbatas lebih tegas.

1. Fase Akut

6
Pada dermatitis kontak alergi akut, derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin
hanya berupa eritema (kemerahan) dan edema (bengkak) yang lebih hebat
disertai pula vesikel atau bula (tonjolan berisi cairan) yang bila pecah akan
terjadi erosi dan eksudasi (cairan). Lesi cenderung menyebar dan batasnya
kurang jelas. Dalam fase ini keluhan subyektif berupa gatal.

2. Fase kronis
Pada dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga
campuran.10
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia
karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan
dermatitis purpura, dan derivatnya dapat mengakibatkan dermatitis
granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan
kosmetik.

Kelainan kulit bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya.


Pada stadium akut dimulai dengan bercak eritematosa berbatas tegas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula . Vesikel atau bula dapat pecah
menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya
kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh eritema dan edema. Pada DKA
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,
berbatas tidak tegas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan
kronis; dengan kemungkinan penyebab campuran.
DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi.
Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.9

Berbagai lokasi kejadian DKA

7
Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, mungkin karena tangan merupakan or!~an tubuh yang paling sering
digunakan untuk melakukan pe-kerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja,
sepertiga atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada
pasien . Pada pekerjaan yang basah ('wet work') , misalnya memasak makanan,
mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih
tinggi.

Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak faktor yang berperan
di samping atopi. Contoh bahan yang dapat menyebabkan dermatitis tangan,
misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan pestisida.

Lengan. Alergen penyebab umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam
tangan (nikel}, sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman . DKA di ketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, antiperspiran, formaldehid yang ada di pakaian.

Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat di-sebabkan oleh bahan kosmetik, spons
(karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca mata).
Semua alergen yang berkontak dengan tangan dapat mengenai wajah, kelopak mata
dan leher, misalnya pada waktu menyeka keringat. Bila terjadi di bibir atau sekitar-
nya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, dan getah buah-buahan. Dermatitis
di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow,
obat tetes mata dan salap mata.

Telinga. Anting atau jepit telinga yang terbuat dari nikel, dapat menjadi penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca
mata, cat rambut, hearing-aids, dan gagang telepon.

Leher. Sebagai penyebab antara lain kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari
ujung jari), parfum, alergen di udara, dan zat pewarna pakaian.

Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebab-kan oleh tekstil, zat pewama,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi
pakaian.

8
Genitalia. Penyebab antara lain antiseptik, obat topikal, nilon, kondom , pembalut
wanita, alergen yang berada di tangan , parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai
daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.

Tungkai atas dan bawah. Dennatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil,
dompet, kunci (nikel}, kaos kaki nilon, obat topikal, semen, maupun sepatu/sandal.
Pada kaki dapat disebabkan oleh deterjen, dan bahan pembersih lantai.

Dermatitis kontak sistemik. Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara
topikal oleh suatu alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, oleh alergen yang
sama.

2.6 Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai berdasarkan pada
kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, pada kelainan kulit berukuran numular di
sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likeni-fikasi , dengan papul dan erosi, perlu
ditanyakan apakah pasien memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang
terbuat dari logam (nikel}. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat
pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika,
berbagai bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah
dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.

Pemeriksaan Fisik

Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan kontak bahan


yang dicurigai, yang tersering adalah daerah tangan, lengan, muka atau anggota
gerak. Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh
sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab sebab endogen.10

9
Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, biasanya didapatkan adanya eritema, edema
dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk
dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak
berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya.

UJI TEMPEL

Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung . Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar, misalnya Allergan Patch Test Kit dan
T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat. Terdapat juga antigen standar
Eropa dan negara lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar,
dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari
rumah, atau lingkungan kerja. Mungkin ada sebagian bahan tersebut bersifat iritan
kuat, atau walaupun jarang dapat memberikan efek iritan secara sitemik. Oleh karena
itu, bila menggunakan bahan tidak standar, terutama bahan industri, harus berhati-
hati. Apabila bahan tidak standar maka harus dilakukan dengan pengenceran.

Bahan yang dipakai secara rutin, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai
untuk uji tempel, dapat langsung digunakan (as is). Sebagai bahan pengencer dapat
digunakan vaselin atau minyak mineral. Apabila benda padat, misalnya pakaian,
sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai menjadi penyebab alergi, maka uji tempel
dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut. Perlu diingat bahwa hasil positif
dengan alergen bukan standar, perlu dilakukan dengan kontrol (5 sampai 10 orang),
untuk menyingkirkan kemungkinan iritan.

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:

1. Dermatitis yang terjadi harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi positif palsu, dapat juga
menyebabkan penyakit yang sedang dialami makin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasil-kan reaksi negatif
palsu. Pemberian kortiko-steroid topikal di punggung dihentikan se-kurang-

10
kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari
(sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat
memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 48 jam (dua hari penempelan), kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7.
4. Pasien dilarang melakukan aktivitas yang me-nyebabkan uji tempel menjadi
longgar/ terlepas (tidak menempel dengan baik), karena dapat memberikan
hasil negatif palsu.
Pasien juga dilarang mandi sekurang-kurang-nya dalam waktu 48 jam, dan
menjaga agar punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai.

Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit
setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti
berikut:

+1 = reaksi lemah (non-vesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)

+2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)

+3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)

± = meragukan: hanya makula eritematosa (?)

IR = iritasi: seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)

- = reaksi negatif (-)

NT= tidak dites (NT=not tested)

Reaksi excited skin atau 'angry back', me-rupakan reaksi positif palsu, suatu
fenomena regional disebabkan oleh satu atau beberapa memberi reaksi positif kuat.
Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke-20, kemudian
diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975.

11
Pembacaan kedua dilakukan pada 72 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini
penting untuk membantu membedakan antara respons alergik atau iritan. Hasil positif
lambat dapat ter-jadi setelah 96 jam bahkan sarnpai satu minggu setelah aplikasi.

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Respons alergik biasanya
menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, (reaksi tipe crescendo),
sedangkan respons iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo).

Bila ditemukan respons positif terhadap suatu alergen, perlu ditentukan


relevansinya dengan ke-adaan klinik, riwayat penyakit, dan sumber antigen di
lingkungan pasien . Mungkin respons positif tersebut berhubungan denga penyakit
yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami.

Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau
bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi). Efek pinggir uji
tempel (edge effect), umumnya karena iritasi, secara klinis tampak bagian tepi
menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengah reaksi ringan atau sama sekali
tidak ada kelainan. lni disebabkan karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di
bagian pinggir. Sebab lain oleh karena efek tekanan, dapat terjadi bila uji tempel
dilakukan dengan menggunakan bahan padat.

Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya apabila konsentrasi yang digunakan
terlalu rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik,
atau menjadi longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian
kortikosteroid sistemik atau pemakaian kortikosteroid topikal berpotensi kuat dalam
jangka waktu lama pada daerah yang akan dilakukan uji tempel.11

12
2.7 Diagnosa Banding
Berbagai kelainan kulit yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
adalah:
1. Diagnosis banding yang terutama ialah DKI. Pada keadaan ini pemeriksaan
uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis
tersebut merupakan dermatitis kontak alergik.
2. Dermatitis Atopik: suatu kondisi yang umumnya terjadi pada siku atau
belakang lutut. Seringkali kelainan ini berhubungan dengan riwayat alergi,
asma, dan/atau riwayat keluarga alergi atau eksim. Dermatitis atopik timbul
pada usia kanakkanak, ditandai dengan kelainan berupa kulit kering dan
bersisik yang bersifat simetris.
3. Dermatitis Numularis: atau eczema discoid, suatu kondisi yang biasanya
muncul sesudah cedera minor, misalnya gigitan serangga atau luka bakar.
Kelainan kulit ini dapat terjadi pada segala usia, baik pria. 11 maupun wanita.
Namun demikian, pada beberapa anak, kelainan ini merupakan tanda dari
dermatitis atopik.
4. Dermatitis Seboroik: yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. Biasanya
kelainan ini hanya terjadi pada kulit yang berambut.

13
5. Psoriasis: peradangan pada kulit dengan karakteristik plak dan papula
eritema yang tebal dengan sisik perak. Lokasi predileksi soriasis termasuk
siku, lutut, kulit kepala, telinga, umbilikus, dan gluteal cleft.12

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Penatalaksanaan Umum
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya kelainan kulit akan
mereda dalam beberapa hari.

2.8.2 Penatalaksanaan Khusus


 Sistemik
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan untuk menghilangkan gejala serta perbaikan cepat pada DKA
yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif
(madidans), misalnya pemberian prednison 30 mg/hari.
Topikal cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan asam salisilat
1: 1000, atau untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah
mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik) cukup diberikan kortikosteroid
atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.13

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri
terutama staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks.
Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat mendorong
kelembaban pada kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri
dan jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan
menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis
(lichen simplex chronicus)14

14
2.10 Prognosis
Prognosis OKA umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan
penyebabnya. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi ber-samaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau
psoriasis), atau sulit menghindari alergen penyebab, misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan pasien.14

BAB III

15
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. W

Umur : 25 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Bukittinggi

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : Belum Menikah

Tanggal periksa : Senin, 15 Juli 2020

3.2 Anamnesa
3.2.1 Keluhan Utama
Seorang wanita berusia 25 tahun datang ke RSAM Bukittinggi dengan
keluhan bruntus-bruntus kemerahan yang terasa gatal di kedua punggung kaki sejak 2
minggu yang lalu.

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


 Terdapat bercak kemerahan yang semakin bertambah parah di kedua
punggung kaki sejak 2 minggu yang lalu.
 Keluhan timbul pertama kali.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

16
 Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya

3.2.4 Riwayat Pengobatan


 Pasien sudah mengobati keluhannya dengan salep antibiotik yang dibeli
sendiri di apotik akan tetapi tidak ada perbaikan.

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien.

3.2.6 Riwayat Sosial dan Kebiasaan.


 Riwayat mengoleskan sesuatu sebelum timbul keluhan di kulit disangkal.
 Pasien sehari-hari menggunakan sandal jepit berbahan karet.

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalisata

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif

Status Gizi : Sedang

Pemeriksaan Thoraks : Diharapkan dalam batas normal

Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

3.3.2 Status Dermatologikus

17
Lokasi : Di kedua punggung kaki kanan dan kiri

Distribusi : Terlokalisir dan simetris

Bentuk : Khas

Susunan : Linear

Batas : Tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : Plak hiperpigmentasi dengan skuama kasar di atasnya dan


terdapat likenifikasi, vesikel, erosi

Gambar 3.1 Dermatitis kontak alergik

Kelainan selaput lendir : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan rambut :Tidak ditemukan kelainan

Kelainan kuku :Tidak ditemukan kelainan

Kelenjar Limfa :Tidak ditemukan pembesaran KGB

3.4. Pemeriksaan Anjuran

18
Uji tempel

3.5. Diagnosa Kerja

Dermatitis Kontak Alergik et causa sandal jepit berbahan karet

3.6 Diagnosa Banding

 Dermatitis kontak iritan


 Dermatitis atopik
 Dermatitis numularis
 Dermatitis seboroik
 Psoriasis

3.7. Penatalaksanaan

a. Terapi Umum
- Hentikan pemakaian sandal karet
- Jaga kebersihan kaki
- Jaga tetap kering
b. Terapi Khusus
 Sistemik :
Kortikosteroid
Loratadine 10 mg, 1 x 1 tablet per hari
 Topikal
Krim pelembab : Urea 10% 40 g (2 x sehari, terutama jika kulit kering)

3.8.Prognosis
 Qua ad vitam : Bonam

19
 Qua ad functionam : Bonam
 Qua ad sanationam : Bonam
 Qua ad kosmetikum : Dubia et Bonam

RESEP

RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR

Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin

Dokter : Y

Sip no : 3003/sip/2019

Bukittinggi, 15 Juli 2020

R/ Tab Cetirizin 10 mg No. X

S1dd tab 1

R/ Tab Metilprednisolon 4 mg No.XV

S2 dd 1 pc

R/ Krim Deoksimetason 0,25% 2,5 mg tube No. 1

Sue

Pro : Nn. W
Umur : 25 Tahun
Alamat : bukittinggi

BAB IV
KESIMPULAN

20
Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, atau
reaksi imunologi tipe IV, dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya
tersensitisasi, yang menyebabkan peradangan dan edema kulit.
Perubahan kulit akibat reaksi imunologi berupa gatal, eritema, kemudian
timbul papul, vesikel, erosi, dan krustosa. Apabila proses berlangsung kronik, maka
akan timbul plak dan terjadi likenifikasi.
Letak lesi biasanya ditangan, lengan, wajah, telinga, badan, paha dan tungkai
bawah. Letak lesi tergantung pada pajanan allergen,tapi terkadang lesi dapat timbul
pada tempat yang tidak tepajan allergen.
Dermatitis kontak alergi dapat didiagnosis banding dengan dermatitis kontak
iritan, dermatitis seboroik, dermatitis numularis, dermatitis atopic dan psoriasis.
Penatalaksaan yang diberikan berupa penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan
khusus. Penatalaksanaan umum berupa edukasi untuk menghindari kontak ulang
dengan bahan alergen. Penatalaksaan khusus berupa pengobatan lesi dan lokal dengan
tujuan mengatasi inflamasi dan menyembuhkan lesi.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Ale TS, Maibach HI. Evidence-based patch testing. In: Maibach HI, Bashir
SJ, McKibbon A. 's: Evidence-based dermatology. Hamilton: BC Decker Inc;
2002. p 149-53.
2. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant contact dermatitis. In: Fitzpatrick's
Dermatology in General

Medicine, 8111 • Ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012. p 499-506.

3. Archer CB. Pharmacological mechanisms in atopic dermatitis. In: Harper J,


Oranje A, Prose N.'s:Text book of Pediatric Dermatolouy; vol 1. Oxford:
Blackwell Science Ltd; 2000. p 186-91 .

4. Banfield CC, Gallard RE, Harper JI. The role of cutaneous dendritic cells in
the immunopathogenesis of atopic dermatitis. Br J Dermatol. 2001 ;1 44: 940-
6.
5. Belsito DV. Autosensitization Dermatitis. In:
6. Freedberg IW, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz Si's:
Dem1atology in General Medicine. 8111 ed, vol.1 . New York: McGraw-Hill;
2012. p 194-6.

7. Goldsmith LA, Katz Si's: Dem1atology in General Medicine. 8 111 ed, vol.1 .
New York: McGraw-Hill; 2012. p 194-6.
8. Bingham EA. Guidelines to management of atopic dermatitis. In: Harper J,
Oranje A, Prose N.'S: Text book of Pediatric Dermatology, vol 1. Oxford:
Blackwell Science Ltd; 2000. p 215-30.

9. Cohen DE, Jacob SE. Allergic contact dermatitis. In:Fitzpatrick'sDermatology


in General Medicine. 8111 ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012. p 152-64.

10. Eichenfield LF, Hanifin JM, Luger TA, Stevens SR, Pride HB. Concensus
conference on pediatric atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. 2003;49:
1088.

11. English J. Current concept in contact dermatitis. Br J Dermatol. 2001 ;


145:527.

12. Griffiths CEM. Ascomycin: an advance in the management of atopic


dermatitis. Br J Dermatol. 2001 ;144:679.

22
13. Gutgesell C, Heise S, Subert S, Domhof S, Bruner E, Neumann C. Double-
blincl placebo-controled house dust mite control measures in adult patients
with atopic dermatitis. Br J Dermatol. 2001 ;145:70.

14. Harper J, Green A, Scott G, Gruendi E, Dorobek B, Cardno M, Burtin P. First


experience of topical SDZ ASM 981 in children with atopic dermatitis. Br J
Dermatol. 2001 ;144:781.

23

Anda mungkin juga menyukai