Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik


pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri
tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang,
merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani.1 Perdarahan melalui hidung dapat berasal dari rongga hidung, sinus
paranasal atau nasofaring. Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan
posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan
hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis
posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang
A.sfenopalatina atau A.ethmoidhalis posterior. Perlu diingatkan epistaksis adalah
gejala dan bukan penyakit.
Epistaksis merupakan salah satu gejala karsinoma nasofaring sehingga harus
di periksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop.2 Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

 Nama : Tn. P
 Umur : 38 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Geragai TanJabTim

1
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Satpam

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 02 okt 2014
 Keluhan Utama
Keluar darah dari hidung sebelah kiri sejak ± 2 minggu yang lalu
 Riwayat Perjalanan Penyakit
Os. mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kiri sejak ± 2 minggu
yang lalu, secara tiba-tiba tanpa ada keluhan apapun, nyeri (-), demam (-).
± 7 tahun yang lalu, Os. pernah dirawat di RSUD Raden Mattaher
dengan keluhan yang sama keluar darah yang banyak dari hidung dan di
diagnosis sinusitis dengan hipertensi yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah. ± 5 tahun yang lalu, Os. juga di rawat di RSUD Raden
Mattaher dengan keluhan yang sama. Os di perbolehkan pulang, bila
perdarahannya sudah kering. Dan disarankan berobat jalan ke Poli THT
RSUD Raden Mattaher, apabila obat habis dan ada keluhan-keluhan
lainnya.
Terakhir ini, Os dirawat dengan keluhan yang sama, keluar darah dari
hidung sebelah kiri dan penyebabnya bukan dari hipertensi lagi.

 Riwayat Pengobatan
Os. pernah dirawat di RSUD Raden Mattaher dengan keluhan yang sama
keluar darah yang banyak dari hidung dan di diagnosis sinusitis karena
hipertensi yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (+), hipertensi (+), riwayat DM (-),
riwayat alergi obat (-), Riwayat asma (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga

2
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama
dengan OS. Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan pada telinga,
hidung, dan tenggorokan. Riwayat hipertensi dan DM dalam keluarga
tidak ada.

TELINGA HIDUNG TENGGOROK LARING


Ka / Ki Ka/ki
Gatal : -/- Rinore : -/- Sukar Menelan : - Suara parau : -
Dikorek : -/- Buntu : -/- Sakit Menelan : - Afonia :-
Nyeri : -/- Bersin Trismus :- Sesak napas : -
Bengkak : -/- * Dingin/Lembab : - Ptyalismus :- Rasa sakit :-
Otore : -/- * Debu Rumah :- Rasa Ngganjal : - Rasa ngganjal : -
Tuli : -/- Berbau : -/- Rasa Berlendir : -
Tinitus : -/- Mimisan : +/+ Rasa Kering :-
Vertigo : - Nyeri Hidung : -/-
Mual :- Suara sengau : +
Muntah : -

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

 Kesadaran : compos mentis


 Pernapasan : 22 x/menit
 Suhu : 36,8 °C
 Nadi : 88 x/menit
 TD : 130/80 mmHg
 Anemia : +/+
 Sianosis : -/-
 Stridor inspirasi : -/-
 Retraksi suprasternal : -
 Retraksi interkostal : -/-
 Retraksi epigastrial : -/-

3
a) Telinga

4
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Nyeri tekan tragus - -
Nyeri tarik daun telinga - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen Minimal -
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Edema - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Refleks Cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - - 5

Kista - -
Abses - -
b) Hidung

Rinoskopi Anterior Kanan Kiri


Vestibulum nasi Hiperemis (-), livide (-) Hiperemis (-), livide (-)
Sekret (-), hiperemis (-), Sekret (-), hiperemis (-),
Kavum nasi
Edema mukosa (-) Edema mukosa (-)
Selaput lendir DBN DBN
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-), luka (-)
Lantai + dasar
DBN DBN
hidung
Hipertrofi (-), hiperemis (-) Hipertrofi (-), hiperemis(-),
Konka inferior
Pucat (-), livide (-) pucat (-), livide (-)
Meatus nasi inferior DBN DBN
Konka media DBN DBN
Meatus nasi media DBN DBN
Polip - -
Korpus alineum - -
Massa tumor - -

6
Rinoskopi
Kanan Kiri
Posterior
Kavum nasi
Selaput lendir
Koana
Septum nasi
Konka superior
Konka superior Sulit dinilai
Meatus nasi media
Muara tuba
Adenoid
Massa tumor
Fossa rossenmuller
Transiluminasi
Kanan Kiri
Sinus
Tidak dilakukan

c) Mulut

Hasil
Selaput lendir mulut DBN
Bibir Sianosis (-) pecah-pecah (+)
Lidah Atropi papil (-), tumor (-)
Gigi Kalkulus (-), Caries (+)
Kelenjar ludah DBN

d) Faring

Hasil
Uvula
Palatum mole
Sulit dinilai
Palatum durum
Plika anterior

7
Tonsil

Plika posterior
Mukosa orofaring

e) Laringoskopi indirect

Hasil
Pangkal lidah
Epiglotis
Sinus piriformis
Aritenoid Sulit dinilai
Sulcus aritenoid
Corda vocalis
Massa

f) Kelenjar Getah Bening Leher

Kanan Kiri
Regio I DBN DBN
Regio II DBN DBN
Regio III DBN DBN
Regio IV DBN DBN
Regio V DBN DBN
Regio VI DBN DBN
area Parotis DBN DBN
Area postauricula DBN DBN
Area occipital DBN DBN
Area supraclavicula DBN DBN

g) Pemeriksaan Nervi Craniales

Kanan Kiri
Nervus III, IV, VI DBN DBN

8
Nervus VII DBN DBN
Nervus IX DBN
Nervus XII DBN

2.4 PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Tes Pendengaran Kanan Kiri


Tes rinne + +
Tes weber Tidak ada lateralisasi
Tes schwabach Sama dg pemeriksa/N Sama dg pemeriksa/N
Tes berbisik Tidak Dilakukan
Kesimpulan : Fungsi Pendengaran telinga kanan dan kiri normal

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. CT Scan
CT Scan nasofaring dengan kontras :
 Tampak adanya lesi focal pada cavum nasi sampai ke Choana.
 Tampak membentuk nasofaring tidak simetris, kedua tuba masih
intake.
 Lesi hiperdens pada sinus maksilaris kanan.
 Tak tampak adanya defek/distruksi pada tulang.
 Sinus sphenoidalis normal.
 Soft tissue normal.
 Pada pemberian kontras tak terlihat adanya enchancement dari
kontras.
Kesan : tumor nasofaring yang meluas ke cavum nasi
2. Laboratorium

Hb : 10,9 gr/dL

Masa perdarahan : 1’

Masa pembekuan : 2,5’

Trombosit : 250.103/mm3

Leukosit : 16,5 103/mm3

9

tes fungsi hati :
- SGOT : 46 U/L
- SGPT : 37 U/L

tes fungsi ginjal :
- ureum : 40,1 mg/dl
- kreatinin : 0,9 mg/dl

GDS : 130 mg/dl

2.6 DIAGNOSIS
Epistaksis Posterior et causa suspek Karsinoma Nasofaring

2.7 DIAGNOSIS BANDING


- Karsinoma Nasofaring
- Angiofibroma Nasofaring

2.8 PENATALAKSANAAN
- Diagnostik : Rencana Biopsy Nasofaring
- Terapi :

Terpasang Tampon Bellocq

IVFD RL 20 gtt/i

Cefixim 2 X 100 mg

Paracetamol 3 X 500 mg

Tranexamic acid 3 X 500 mg
- Monitoring : keadaan umum (tekanan darah, nadi, suhu,dan pernafasan)
- KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

1. Menjelaskan mengenai penyakit pasien.


2. Menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan dan manfaat dari
pengobatan yang diberikan kepada pasien.
3. Menyarankan pasien untuk makan makanan yang mengandung anti
oksidan dan tidak mengandung pengawet.

10
4. Bila terjadi perdarahan pada hidung, tekan 10 – 15 menit. Namun bila
tidak berhenti segera ke rumah sakit.
- PASIEN DIRUJUK  untuk penanganan lebih lanjut.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Faring


Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita
membahas mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulo-
membranosa di belakang rongga hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan

11
rongga-rongga tersebut dan dengan esofagus. Atau secara lebih jelas, faring
merupakan bangunan tabung fibromuskuler yang berbentuk corong ( membesar di
bagian atas dan mengecil dibagian bawah ) yang ke arah inferior akan berlanjut
menjadi esofagus. Bangunan ini terbentang mulai dari basis kranii hingga
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servical VI, dengan panjang kurang
lebih 5 inci (13 cm).

Secara anatomis, faring dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :


1. Nasofaring
2. Orofaring
3. Laringofaring, yang juga sering disebut hipofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku diatas ,


belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.
- Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi
belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan
gangguan yang sering timbul.
- Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superior-anterior
dan terletak dibawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang
nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis
dan otot-otot dinding faring.
- Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius
dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior torus tubarius,
sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan
orifisium tuba eustachis dan akan mengganggu pendengaran.
- Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa
Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering Karsinoma Nasofaring.

Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk


oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior
nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan
adenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama
mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).
Nasofaring juga berhubungan erat dengan beberapa struktur penting,
seperti: n. Glossopharingeus, n. Vagus dan n. Asesorius saraf spinal cranial dan
vena jugularis interna. Faring mendapat darah dari berbagai sumber dan kadang-

12
kadang tidak beraturan. Yang terutama berasal dari cabang a. Karotis eksterna,
serta dari cabang a. Maksilaris interna, yakni cabang palatine superior.

Vaskularisasi hidung
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum
nasi melalui :
1) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior
dan dinding lateral hidung.
2) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi.

Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri


ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral
superior.

13
3.2 Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari baik
pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri
tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang,
merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak ditangani segera.1

Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan local pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,
tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital. 1
1. Trauma. Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu
keras, atau sebagai akibat trauma yag lebih hebat seperti kena pukul, jatuh
atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda
asing tajam atau trauma pembedahan.

14
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang
tajam. Perdarahan dapat terjadi di spina itu sendiri atau pada mukosa
konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.

2. Kelainan pembuluh darah (lokal). Sering congenital. Pembuluh darah lebih


lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit
3. Infeksi Lokal. Epistaksis bias terjadi pada infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Bias juga pada infeksi spesifik
seperti rhinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis atau lepra.

4. Tumor. Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang


lebih sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan episktaksis
berat.

5. Penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti


yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau
diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi
pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.

6. Kelainan darah. Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,


trombositopenia, bermacam-macam anemia, serta hemophilia.

7. Kelainan congenital. Yang sering menyebabkan epistaksis adalah


teleangiektasis hemoragik herediter atau (hereditary hemorrhagic
teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease) juga sering terjadi pada Von
Willenbrand disease.

8. Infeksi sistemik. Yang sering ialah demam berdarah (dengue hemorrhagic


fever).Demam tifoid, influenza, dan morbili juga dapat disertai epistaksis.

9. Perubahan udara atau tekanan atmosfir. Epistaksis ringan sering terjadi


bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin atau kering.
Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industry
yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.

15
10. Gangguan hormonal. Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau
menopause karena pengaruh perubahan hormonal.

Sumber Perdarahan1
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan
walaupun kadang-kadang sulit.
Epistaksis anterior
Kebanyakan dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau dari
arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena
keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan
kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena pecaahnyaa arteri sfenopalatina.

Penatalaksanaan1
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan
umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi
terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh
darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya
dilihat apakah perdarahaan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang diperlukan
untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap.
Anamnesis yang lengkap sngat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknyaa
setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan

16
jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak dipangku,
badan dan tangan Pasien duduk dipangku dipeluk, kepala dipegangi agar tegak
dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan
bekuan darah dengaan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan
pantocain atau lidocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vaasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian
anterior atau posterior hidung.
Menghentikan perdarahan Anterior

Peradarahan anterior seringkali berasal daari pleksus kisselbch di septum


bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior,
terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar
selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila sumber perdaharan dapat terlihat,
tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-50%.
Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu
dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang
diberi pelumas vaaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon
mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau
dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengaan teratur dan
harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam,
harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila
perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.
Menghentikan Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi
anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior yang disebut tampon bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat

17
dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas
benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari
telunjuk untuk dapat meliwati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua
benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan
nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-
hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan
balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon
yang khusus untuk hidung atau tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus
untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-khir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan
endoskop.

Komplikasi dan Pencegahannya1


Komplikasi dapat terjaadi sebagai akibat dari epistaksisnyaa sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bawah, juga daapat menyebabkaan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya
tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia
serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan

18
kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan
secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjaadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinositis, otitis media,
septikimia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah
melalui tuba Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya
darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangaan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan
laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlau
ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon dan tampon balon tidak boleh dipompa
terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

Mencegah Perdarahan Berulang1


Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan
tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah,
hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis.
Konsul ke penyakit dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan
sistemik.

3.3 Karsinoma Nasofaring


Definisi2
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.

Epidemiologi2

19
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid,
namun demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi,
yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung)
atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma
Nasofaring, sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian
Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara
seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang
di duga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan
dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di
RSUDPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,
palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan
Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka yang di dapatkan di Medan, Semarang,
Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di
Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor THT RSCM,
pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari suku
bangsa lainnya.

Etiologi
Terjadinya kanker nasofaring mungkin multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait
dengan timbulnya kanker nasofaring adalah: .( 4,7 )
a. Kerentanan genetik
Walaupun kanker nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tapi
kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.

b. Virus EB

20
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen spesifik
seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini
(EA), antigen nuklir (EBNA).
c. Faktor lingkungan
Menurut laporan luar negeri, orang Cina generasi pertama yang bermigrasi
ke Amerika Serikat, memilik angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30
kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi
kedua turun menjadi 15 kali, pada generasi ketiga belum ada angka pasti, tapi
secara keseluruhan cenderung menurun. Sedangkan orang kulit putih yang
lahir di Asia Tenggara, angka kejadian karsinoma nasofaring meningkat.
Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Nikel sulfat dalam air
minum atau makanan dapat memacu efek karsinogenesis pada proses
timbulnya karsinoma nasofaring.
d. Diet
Ho dari Hong Kong pertama kali melaporkan bahwa ikan asing Cina,
makanan yang terkenal di Cina Selatan, utamanya yang berasal dari Kanton,
merupakan salah satu faktor etiologi KNF. Teori ini didasarkan fakta bahwa
insidens tertinggi KNF terjadi pada nelayan Hong Kong yang dietnya terdiri
dari ikan asin yang banyak dam mengalami defisiensi vitamin yang berasal
dari sayuran dan buah. Ikan asin ini juga terkenal di kalangan emigran Cina,
dan beberapa negara Asia Tenggara. Nitrosamin yang dikandung oleh ikan
asin kemudian diketahui menginduksi karsinoma squamosa, adenokarsinoma
dan tumor lain di nasal dan kavum paranasal atau nasofaring.

Gambaran Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu Gejala
nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek atau sumbatan di telinga. 3,4,5
Gejala telinga, gangguan pada telinga terjadi akibat tempat asal tumor
dekat dengan muara tuba eustachi (Fossa Rosenmuller) dan menimbulkan

21
obstruksi sehingga dapat terjadi penurunan pendengaran, otitis media serous
maupun supuratif, tinnitus, gangguan keseimbangan, rasa tidak nyaman dan rasa
nyeri di telinga. Adanya otitis media serosa yang unilateral pada orang dewasa
meningkatkan kecurigaan akan terjadinya karsinoma nasofaring. 3,4,5
Gejala saraf yaitu gangguan oftalmoneurologik terjadi karena nasofaring
behubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, sehingga
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula
ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dulu
ke dokter mata. Gejala mata lain berupa penurunan reflex kornea, eksoftalmus dan
kebutaan (berkaitan dengan saraf otak II). Neuralgia terminal merupakan gejala
yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang
berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan
XII jika penjalaran melalui foremen jugulare yang  relatif jauh dari nasofaring,
sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut
sindrom unilateral. Ada juga yang dikenal dengan trias Trotter yaitu tuli
konduktif, neuralgia temporoparietal ipsilateral dan paralisis palatal terjadi secara
kolektif akibat karsinoma nasofaring. berupa gangguan saraf otak, seperti
diplopia, parastesia daerah pipi, neuralgia trigeminal, paresis/paralisis arkus
faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak. 3,4,5
Gejala metastasis atau gejala leher berupa benjolan di leher. Metastasis di
leher, merupakan gejala yang paling jelas manifestasinya berupa benjolan di leher
yang kemudian mendorong pasien berobat. Benjolan biasanya ditemukan antara
mandibula dan mastoid. Untuk metastasis lanjutan, gejala melibatkan tulang,
paru-paru, hepar dan lain-lain. 3,4,5

22
Gbr. Simptom karsinoma nasofaring

Histopatologi2
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang
dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe
ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas
sel tidak terlihat dengan jelas.6

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-
Barr. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.

23
Stadium Kanker
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On
Cancer (AJCC 2002)
T = Tumor primer
T0 : Tidak tampak tumor.
Tis : Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1 : Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dll).
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak di orofaring dan/atau fossa  nasal.
T2a : Tanpa perluasan parafaringeal.
T2b : Dengan perluasan parafaringeal.
T3 : Tumor menyerang struktur tulang dan/atau sinus paranasal.
T4 : Tumor dengan extensi intracranial dan/atau keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal,  hipofaring, atau orbita.

N = Nodule
N : Pembesaran kelenjar getah bening regional .
NX : Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada pembesaran.
N1 : Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe
berukuran 6 cm atau lebih kecil.
N2 : Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm
atau lebih kecil.
N3 : Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau
tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”.
N3a : Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
N3b : Tumor ditemukan di dalam fossa supraklavikula.

M = Metastasis jauh
MX : Metastesis jauh tidak dapat dinilai.
M0 : Tidak ada metastesis jauh.
M1 : Terdapat Metastesis jauh .

24
- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0

- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

25
- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

26
- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

Penatalaksanaan
- Stadium I : Radioterapi
- Stadium II & III : Kemoradiasi
- Stadium IV dgn N < 6 cm : Kemoradiasi
- Stadium IV dgn N > 6 cm : Kemoterapi dosis penuh  kemoradiasi

Terapi
Untuk mengobati penderita KNF sampai sekarang masih banyak rumah
sakit yang menggunakan pesawat teletherapy bertenaga tinggi yaitu Telecobalt
(Cobalt60dan Linac (4 MV, 6 MV, 10 MV). Hanya sejumlah kecil penderita
(sangat selektif, atau untuk tujuan penelitian) mendapat terapi tambahan berupa

27
kemoterapi. Secara umum, pengobatan KNF dengan cam seperti ini (radioterapi
konvensional saja) hasilnya kurang memuaskan (buruk). Ini ditunjukkan dari
angka rerata respon tumor terhadap radiasi (ORR) yang tidak terlalu tinggi yaitu
sekitar 25%-65%, kegagalan kendali loko- regional (loco-regional failure)
mencapai 40%-80%, metastasis jauh pasca radioterapi sebesar 15%-57% dan
angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%. ( 12,13,14, 15)
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan
tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua
pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi
masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-
platinum sebagai inti.Pemberian anjuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan
5-fluororacil dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula
telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan
cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan
harapan kesembuhan lebih baik. ( 1, 12,13,14, 15)
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluoroucil oral
setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer”
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien
karsinoma nasofaring. ( 1, 12,13,14, 15)
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan
di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali
setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Operasi tumor induk sisa
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi. ( 1)

Pencegahan

28
Pemberian vaksinasi denganvaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan resiko tinggi. ( 1,4 )
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-
kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA
anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring secara lebih dini. .( 1)

BAB IV
ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada Tn. P, laki-laki 38 tahun,


diketahui bahwa Os. mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kiri sejak ± 2
minggu yang lalu, secara tiba-tiba tanpa ada keluhan apapun, nyeri (-), demam (-).
± 7 tahun yang lalu, Os. pernah dirawat di RSUD Raden Mattaher dengan
keluhan yang sama keluar darah yang banyak dari hidung dan di diagnosis

29
sinusitis karena hipertensi yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah. ± 5
tahun yang lalu, Os. juga di rawat di RSUD Raden Mattaher dengan keluhan yang
sama. Os di perbolehkan pulang, bila perdarahannya sudah kering. Dan
disarankan berobat jalan ke Poli THT RSUD Raden Mattaher, apabila obat habis
dan ada keluhan-keluhan lainnya. Terakhir ini, Os dirawat dengan keluhan yang
sama, keluar darah dari hidung sebelah kiri dan penyebabnya bukan dari
hipertensi lagi.
Riwayat pengobatan, Os. pernah dirawat di RSUD Raden Mattaher dengan
keluhan yang sama keluar darah yang banyak dari hidung dan di diagnosis
sinusitis karena hipertensi yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah.
Riwayat penyakit dahulu, Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (+), hipertensi
(+), riwayat DM (-), riwayat alergi obat (-), Riwayat asma (-). Riwayat penyakit
keluarga tidak ada.
Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik terhadap Tn. P dan didapat keluar
darah dari hidung sebelah kiri yang belum diketahui penyebabnya. Pada
pemeriksaan CT Scan didapatkan tumor nasofaring yang meluas ke cavum nasi,
Pada pasien ini di curigai epistaksis posterior et causa suspek karsinoma
nasofaring. Namun untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemeriksaan
lanjutan. Diagnosa pasti dari karsinoma nasofaring di butuhkan pemeriksaan
biopsy.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah terpasang tampon bellocq dan
IVFD RL 20 gtt/i, Cefixim 2 X 100 mg, Paracetamol 3 X 500 mg, Tranexamic
acid 3 X 500 mg. Namun untuk penangan lebih lanjut, pasien di rujuk ke rumah
sakit yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap agar tercapai terapi yang optimal.

BAB V
KESIMPULAN

Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.


Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan
medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah
kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak ditangani segera. Melihat asal
perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

30
Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan walaupun kadang-
kadang sulit.
Epistaksis merupakan salah satu gejala karsinoma nasofaring sehingga
harus di periksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop. Karsinoma
nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang dan Wardani, Retno S.. Epistaksis dalam Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keenam.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
hal. 155-159.
2. Roezin, Averdi dan Adham, Marlinda. Karsinoma Nasofaring dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keenam.

31
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
hal. 182 – 187.
3. Bull, Tony. 2003. Color Atlas of ENT diagnosis. Thime. Clinical science.
4. Japaries, W. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi ke-2. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
6. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program &
abstrak PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
7. Jeffrey. 2007. Head and Neck Manifestation of Systemic Disease.
Informa health care.

32

Anda mungkin juga menyukai